Hukum Tajsim (Memfisikkan Allah) dan Mujassimah menurut Imam Syafi'i
Hukum Tajsīm dan Mujassimah menurut Mazhab Syafi'i:
Imam Syafi'i rahimahullah berkata, merangkum apa yang dikatakan tentang tauhid: «Barangsiapa yang berusaha untuk mengetahui Pencipta alam semesta, maka jika pemikirannya berhenti pada sesuatu yang wujud yang menjadi tujuan pemikirannya, maka ia adalah musyabbih (pembanding); dan jika ia tenang pada kekosongan murni, maka ia adalah mu'attil (peniada); dan jika ia tenang pada sesuatu yang wujud dan mengakui ketidakmampuannya untuk memahaminya, maka ia adalah muwahhid (penganut tauhid)» —sahih. Diriwatkan oleh al-Baihaqi dan lainnya([1]) dan telah disebutkan sebelumnya.
Ibnu al-Mu'allim al-Qurasyi berkata dalam daftar masalah-masalah yang keyakinannya menyebabkan kekafiran([2]): «Dan ini adalah urusan yang kekafirannya disepakati secara bulat, dan barangsiapa yang kami kafirkan dari kalangan Ahl al-Qiblah seperti yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah ciptaan([3]) dan bahwa Dia —Subhanahu— tidak mengetahui yang belum wujud sebelum keberadaannya, dan barangsiapa yang tidak beriman pada qadar, dan demikian pula barangsiapa yang meyakini bahwa Allah duduk di atas 'Arsy sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qadhi Husain dari teks Imam Syafi'i» —sahih.
Dan ia juga berkata([4]): «Telah terbukti bahwa Imam Syafi'i berkata: Barangsiapa yang mengatakan: Allah duduk di atas 'Arsy, maka ia adalah kafir» —sahih.
Al-Hafizh an-Nawawi berkata([5]): «Adapun rinciannya, al-Mutawalli berkata: Barangsiapa yang meyakini qidam (keabadian) alam semesta atau huduts (kebaruannya) Sang Pencipta, atau menafikan apa yang telah terbukti bagi Yang Kekal secara ijma' seperti sifat-Nya sebagai Yang Maha Mengetahui dan Maha Kuasa, atau membuktikan apa yang dinafikan darinya secara ijma' seperti warna-warna, atau membuktikan bagi-Nya sifat bersentuhan dan terpisah, maka ia adalah kafir([6])» —sahih.
Taqi ad-Din al-Hushni berkata([7]): «Kecuali bahwa an-Nawawi memutuskan dalam Sifat ash-Shalah dari Syarh al-Muhadhdhab dengan takfir terhadap mujassimah. Aku katakan: Dan itu adalah yang benar yang tidak ada jalan keluar darinya, karena di dalamnya —yaitu pendapat barangsiapa yang mengatakan jasmaniyah— terdapat penolakan tegas terhadap Al-Qur'an, semoga Allah memerangi mujassimah dan mu'attilah, betapa beraninya mereka menentang orang yang (tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat {11}) (asy-Syura), dan dalam ayat ini terdapat bantahan terhadap kedua kelompok» —sahih.
Al-Hafizh as-Suyuthi berkata([8]): «Qaidah: Imam Syafi'i berkata: Tidak ada seorang pun dari Ahl al-Qiblah yang dikafirkan, dan dikecualikan dari itu mujassim dan penyangkal ilmu juz'iyyat» —sahih.
Dan dalam buku yang sama dan dalam lembaran yang sama, as-Suyuthi meriwayatkan dari Imam Syafi'i rahimahullah qaulnya: «Mujassim adalah kafir» —sahih.
Imam al-Baihaqi menyebutkan mazhab Syafi'i dalam Asma' wa Shifat di banyak tempat bahwa Allah Maha Suci dari tempat dan batas, dan di antaranya adalah sabdanya([9]): «Dan sebagian sahabat kami beristi'dlal dalam menafikan tempat darinya —Subhanahu— dengan sabda Nabi ﷺ([10]): «Engkau adalah azh-Zahir sehingga tidak ada sesuatu pun di atas-Mu, dan Engkau adalah al-Bathin sehingga tidak ada sesuatu pun di bawah-Mu». Maka jika tidak ada sesuatu pun di atas-Nya dan tidak ada sesuatu pun di bawah-Nya, maka Ia tidak berada di tempat» —sahih.
Dan sabdanya([11]): «Dan apa yang difardhu-kan oleh al-Kalbi dan semisalnya menyebabkan batas, dan batas menyebabkan kebaruannya karena kebutuhan batas pada yang membatasinya secara khusus, sedangkan al-Bari (Allah) adalah Qadim (Kekal) yang tidak pernah sirna» —sahih.
Dan sabdanya([12]): «Allah Ta'ala tidak memiliki tempat», kemudian ia berkata: «Karena pergerakan, ketenangan, dan kestabilan adalah sifat-sifat benda jasmani, sedangkan Allah Ta'ala adalah Ahad Shamad, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya» —sahih.
Al-Munawi berkata([13]) ketika membahas pembagian bid'ah menjadi yang mengkafirkan dan yang tidak mengkafirkan, teksnya adalah: «Adapun barangsiapa yang dikafirkan karenanya seperti yang menyangkal ilmu juz'iyyat dan yang mendakwa tajsīm atau arah atau ketenangan atau bersentuhan dengan alam atau terpisah darinya, maka amalnya tidak digambarkan dengan diterima atau ditolak, karena ia lebih hina dari itu» —sahih.
Ibnu Hajar al-Haitami berkata([14]): «Dan ketahuilah bahwa al-Qarafi dan lainnya meriwayatkan dari Syafi'i, Malik, Ahmad, dan Abu Hanifah rahimahumullah qaul bahwa yang mengatakan arah dan tajsīm adalah kafir, dan mereka memang pantas dengan itu» —sahih.
Adapun apa yang diriwayatkan oleh para musyabbihah dari Imam Syafi'i yang bertentangan dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, maka tidak ada dasar keabsahannya, dan itu hanyalah bagian dari tipu daya terhadap para ulama kebenaran seperti Syafi'i, dan jika engkau mengetahui bahwa dalam sanad-sanad riwayat-riwayat buatan ini terdapat semisal al-'Uysyari, Ibnu Qadis, dan al-Hakkari, maka engkau akan mengetahui pemalsuannya dan tidak akan heran, karena ketenaran orang-orang yang disebutkan ini dengan pemalsuan dan kelalaian sebagaimana diketahui dari kitab-kitab jarh wa ta'dil. Adapun Ibnu Qadis adalah Abu al-'Izz Ibnu Qadis Ahmad bin 'Ubaidillah yang wafat tahun 526 H, dari sahabat al-'Uysyari yang mengaku pemalsuan, sebagaimana dalam Mizan al-I'tidal fi Naqd ar-Rijal([15]), dan hukum semisalnya di kalangan ahli kritik diketahui. Adapun al-'Uysyari adalah Abu Thalib Muhammad bin 'Ali al-'Uysyari yang wafat tahun 452 H, yang ceroboh, dan telah merajalela kepadanya aqidah yang dipalsukan kepada Syafi'i, dan semuanya dibuktikan oleh adz-Dzahabi sendiri dalam kitab al-Mizan([16]) dan lainnya, dan demikian pula apa yang dinisbatkan kepada Syafi'i —washiyyah Syafi'i— adalah dari riwayat Abu al-Hasan al-Hakkari([17]) yang terkenal dengan pemalsuan sebagaimana ditetapkan dalam kitab-kitab jarh wa ta'dil([18]), maka hendaklah berhati-hati dari tipu muslihat mujassimah karena kebiasaan mereka adalah penipuan dan pemalsuan serta menyebutkan apa yang sesuai dengan hawa nafsu mereka meskipun itu dusta dan batil.
Sungguh, seluruh ulama Syafi'iyyah yang kredibel sepakat pada penzihan Allah Subhanahu dari sifat-sifat makhluk dari benda-benda padat dan halus. Dan jika sebagian yang mengaku mengikuti mereka tersesat dalam labirin kebodohan, maka akarnya adalah ketidakstabilan aqidah penzihan di hati mereka sebagaimana diajarkan oleh Imam Syafi'i rahimahullah dan para ulama besar mazhabnya sebagaimana riwayat sebelumnya tentang mereka.
[1] ) Syarh al-Fiqh al-Akbar, Mulla 'Ali al-Qari, hlm. 152.
[2] ) Najm al-Muhtadi wa Rajm al-Mu'tadi, Ibnu al-Mu'allim al-Qurasyi, hlm. 551. Dan demikian pula Ibnu ar-Rifa'ah meriwayatkan qaul ini dari Syafi'i. Kifayah an-Nabih fi Syarh at-Tanbih, Ibnu ar-Rifa'ah, 4/24.
[3] ) Yaitu barangsiapa yang mengatakan bahwa Allah memiliki bibir dan gigi dan lidah, dan bahwa kalam-Nya yang azali adalah suara dan huruf, maka ia adalah kafir.
[4] ) Najm al-Muhtadi wa Rajm al-Mu'tadi, Ibnu al-Mu'allim al-Qurasyi, hlm. 555.
[5] ) Rawdah ath-Thalibin, an-Nawawi, 10/64.
[6] ) Karena bersentuhan dan terpisah adalah sifat-sifat benda jasmani.
[7] ) Kifayah al-Akhyar Hall Ghayah al-Ikhtishar, al-Hushni, hlm. 647.
[8] ) al-Asybah wa an-Nadha'ir, as-Suyuthi, hlm. 488.
[9] ) al-Asma' wa ash-Shifat, al-Baihaqi, hlm. 400.
[10] ) Shahih Muslim, Muslim, kitab adh-Dzikr wat-Taubah wad-Du'a wal-Istighfar, bab ma yaqul 'ind an-nawm wa akhdh al-mudja', 8/78.
[11] ) al-Asma' wa ash-Shifat, al-Baihaqi, hlm. 415.
[12] ) al-Asma' wa ash-Shifat, al-Baihaqi, hlm. 448, 449.
[13] ) Faidh al-Qadir, al-Munawi, 1/72.
[14] ) al-Munhaj al-Qawim Syarh al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah, al-Haitami, hlm. 224. Dan makna «pantas dengan itu» yaitu layak dikafirkan, dan takfir mereka bukanlah fitnah terhadap mereka melainkan karena mereka mujassimah dan menentang aqidah Islam yang benar sehingga mereka telah keluar dari kebenaran dan Islam dan menjadi kafir.
[15] ) Mizan al-I'tidal fi Naqd ar-Rijal, adz-Dzahabi, 1/259.
[16] ) Adz-Dzahabi berkata dalam tarjamahnya: «Mereka memasukkan kepadanya hal-hal lalu ia meriwayatkannya dengan keyakinan hati yang aman, di antaranya hadits maudhu' tentang fadilah malam 'Asyura', dan di antaranya aqidah untuk Syafi'i —dan menyebutkan sebagian kebatilan tentangnya lalu berkata— maka semoga Allah mencela yang memalsukannya, dan celaan sebenarnya pada perawi-perawi Baghdad bagaimana mereka membiarkan al-'Uysyari meriwayatkan kebatilan-kebatilan ini» —sahih. Mizan al-I'tidal, adz-Dzahabi, 6/267. Lisan al-Mizan, Ibnu Hajar, 5/302.
[17] ) 'Ali bin Ahmad bin Yusuf al-Hakkari Abu al-Hasan, wafat 486 H, dari keturunan 'Utbah bin Abi Sufyan bin Harb, rihlah dalam hadits dan mendengar dari Ibnu Nazif al-Farra', dan Ibnu 'Asakir berkata: «Ia tidak termasuk yang mu'tabar dalam riwayatnya» —sahih. Ibnu ats-Tsahir berkata: Banyak pendengarannya kecuali bahwa keanehan dalam haditsnya banyak, tidak diketahui apa sebabnya. al-Kamil fi ath-Tarikh. Ibnu ats-Tsahir. 8/169. Syudharat adh-Dzahab, Ibnu al-'Imad, 3/379.
[18] ) Abu al-Wafa al-Halabi at-Tarabulsi berkata dalam al-Kasyf al-Hathith 'an man Rumiya bi Wad' al-Hadits 1/184, (dan adz-Dzahabi dalam Mizan al-I'tidal fi Naqd ar-Rijal 3/112, dan Ibnu Hajar al-'Asqalani dalam Lisan al-Mizan 5/483, dan demikian pula adz-Dzahabi dalam al-Mughni fi ad-Dhu'afa' 2/443): «'Ali bin Ahmad Abu al-Hasan al-Hakkari, Ibnu an-Najjar berkata: Dituduh memalsukan hadits dan menyusun sanad, dan Ibnu 'Asakir berkata: Tidak termasuk yang mu'tabar» —sahih. Dan Ibnu adz-Dzimai thi berkata dalam al-Mustafad min Dzail Tarikh Baghdad 1/136: «Dan yang dominan pada haditsnya —yaitu al-Hakkari— adalah keanehan dan keburukan, dan haditsnya tidak menyerupai hadits Ahlus Shiddiq, dan dalam haditsnya terdapat matan-maatn maudhu' yang disusun pada sanad-shanad shahih, dan dikatakan: Ia memalsukan hadits di Isfahan, datang ke Baghdad, dan meriwayatkannya di sana. Abu al-Qasim Ibnu 'Asakir berkata: 'Ali bin Ahmad al-Hakkari tidak termasuk yang mu'tabar, sampai kepadaku bahwa Ibnu al-Khadhibah sengaja mendekatinya ketika ia datang ke Baghdad, lalu menyebutkan kepadanya bahwa ia mendengar dari seorang syaikh yang menolak pendengarannya darinya, maka bertanya kepadanya tentang tanggal pendengarannya darinya, lalu ia menyebutkan tanggal yang terlambat dari wafatnya syaikh itu, maka Ibnu al-Khadhibah berkata: Syaikh ini mengaku mendengar darinya setelah kematiannya selama suatu masa, lalu meninggalkannya dan pergi» —sahih.
حكم التجسيم والمجسمة عند الشافعية:
قال الإمام الشافعيّ رضي الله عنه جامعًا ما قيل في التوحيد: «من انتهض لمعرفة مدبّره فانتهى إلى موجود ينتهي إليه فكرُه فهو مشبّه، وإنِ اطمأنَّ إلى العدم الصّرف فهو معطِل، وإن اطمأن لموجود واعترف بالعجز عن إدراكه فهو موحّد» اهـ. رواه البيهقيّ وغيره([1]) وقد تقدَّم.
وقال ابن المعلّم القرشيّ في سرد مسائل يكفر معتقدها([2]): «وهذا مُنْتَظمُ مَن كفرُهُ مُجمعٌ عليه، ومَن كفّرناه من أهل القبلة كالقائلين بخلق القرآن([3]) وبأنه ـ تعالى ـ لا يعلم المعدومات قبل وجودها، ومَن لا يؤمن بالقَدَر، وكذا مَن يعتقد أن الله جالس على العرش كما حكاه القاضي حسين عن نصّ الشافعيّ» اهـ.
وقال كذلك([4]): «ثبت أن الشافعيّ قال: من قال: الله جالس على العرش كافر» اهـ.
وقال الحافظ النوويّ([5]): «وأما التفصيل فقال المتولّي: من اعتقد قِدَم العالم أو حدوث الصانع أو نفى ما هو ثابت للقديم بالإجماع ككونه عالِمًا قادرًا، أو أثبت ما هو منفي عنه بالإجماع كالألوان، أو أثبت له الاتصال والانفصال كان كافرًا([6])» اهـ.
وقال تقي الدين الحصنيّ([7]): «إلَّا أنَّ النوويّ جزم في صفة الصلاة من شرح المهذّب بتكفير المجسّمة، قلت: وهو الصَّواب الذي لا محيد عنه، إذ فيه ـ أي قول من قال بالجسميّة ـ مخالفة صريح القرآن، قاتلَ الله المجسّمةَ والمعطّلةَ، ما أجرأهم على مخالفة مَن (لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ {11}) (الشورى)، وفي هذه الآية ردّ على الفرقتين» اهـ.
وقال الحافظ السيوطيّ([8]): «قاعدة: قال الشافعيّ: لا يكفر أحد من أهل القبلة، واستُثْنِيَ من ذلك المجسّم ومنكر علم الجزئيات» اهـ.
وفي الكتاب نفسه وفي الصحيفة نفسها ينقل السيوطيّ عن الإمام الشافعيّ رضي الله عنه قوله: «المجسّم كافِـر» اهـ.
وقد ذكر الإمام البيهقي الشافعيّ المذهب في الأسماء والصفات في كثير من المواضع أن الله منـزّه عن المكان والحدّ، ومن ذلك قوله([9]): «واستدلّ بعض أصحابنا في نفي المكان عنه ـ تعالى ـ بقول النبيّ ﷺ([10]): «أنتَ الظاهرُ فليسَ فوقَكَ شىءٌ وأنتَ الباطنُ فليسَ دونَكَ شىءٌ» وإذا لم يكن فوقه شىء ولا دونه شىء لم يكن في مكان» اهـ.
وقوله([11]): «وما تفرّد به الكلبيّ وأمثاله يوجب الحدّ والحدّ يوجب الحَدَث لحاجة الحدّ إلى حادّ خصَّه به، والبارئ قديم لم يزل» اهـ.
وقوله([12]): «الله تعالى لا مكان له»، ثم قال: «فإنّ الحركة والسكون والاستقرار من صفات الأجسام، والله تعالى أحد صمد ليس كمثله شىء» اهـ.
وقال المناويّ([13]) عند الكلام على تقسيم البدعة إلى كفرية وغير كفرية ما نصُّه: «أمّا من كفر بها كمنكر العلم بالجزئيّات وزاعم التجسيم أو الجهة أو السكون أو الاتّصال بالعالم أو الانفصال عنه فلا يوصف عمله بقبول ولا رد، لأنه أحقر من ذلك» اهـ.
وقال ابن حجر الهيتميّ([14]): «واعلم أن القَرَافيّ وغيره حكوا عن الشافعيّ ومالك وأحمد وأبي حنيفة رضي الله عنهم القول بكفر القائلين بالجهة والتجسيم، وهم حقيقون بذلك» اهـ.
وأما ما ترويه المشبهة عن الإمام الشافعيّ مما يُخالف عقيدة أهل السنة والجماعة فلا وجه لصحته وإنما هو من جملة الدسائس على أعلام الحق كالشافعي، وإذا عرفت أن في أسانيد هذه الروايات المصنوعة أمثال العشاري وابن كادش والهكاري تَبَيّنْتَ وَضْعَها ولم تَعجَبْ، لاشتهار هؤلاء المذكورين بالوضع والغفلة كما يُعلم ذلك من كتب الجرح والتعديل، أما ابن كادش فهو أبو العز بن كادش أحمد بن عبيد الله المتوفى سنة 526هـ من أصحاب العشاري اعترف بالوضع ، كما في ميزان الاعتدال في نقد الرجال([15])، وحُكْمُ مِثْلِه عند أهل النقد معروف. وأما العشاري فهو أبو طالب محمد بن عليّ العشاري المتوفى سنة 452هـ مغفل، وقد راجت عليه العقيدة المنسوبة إلى الشافعي كذبًا، وكل ذلك بإثبات الذهبيّ نفسه في كتاب الميزان([16]) وغيره، وكذا ما ينسب للشافعيّ ـ وصية الشافعيّ ـ فهو من رواية أبي الحسن الهَكَّاريّ([17]) المعروف بالوضع كما هو مُقَرَّرٌ في كتب الجرح والتعديل([18])، فليحذر من تمويهات المجسّمة فإن دأبهم التدليس والتزوير وذكر ما يوافق هواهم وإن كان كذبًا وباطلًا.
فقد كان كل علماء الشافعية المعتبرين على تنـزيه الله سبحانه عن صفات المخلوقات من الأجسام الكثيفة واللطيفة. ولو تخبَّط بعض من ينتسب إليهم في متاهات الجهل، فمردّ هذا إلى عدم ثبات عقيدة التنـزيه في قلوبهم حسبما كان يعلّمها الإمام الشافعيّ رضي الله عنه وكبار علماء مذهبه كما سبق النقل عنهم.
[1] ) شرح الفقه الأكبر، ملا علي القاري، ص 152.
[2] ) نجم المهتدي ورجم المعتدي، ابن المعلم القرشيّ، ص 551. وكذلك نقل ابن الرفعة هذا القول عن الشافعي. كفاية النبيه شرح التنبيه، ابن الرفعة، 4/24.
[3] ) أي من قال بأن لله شفتين وأسنانًا ولهاة، وأن كلامه الأزليّ أصوات وحروف فهو كافر.
[4] ) نجم المهتدي ورجم المعتدي، ابن المعلم القرشيّ، ص 555.
[5] ) روضة الطالبين، النوويّ، 10/64.
[6] ) إذ الاتصال والانفصال من صفات الأجسام.
[7] ) كفاية الأخيار حل غاية الاختصار، الحصنيّ، ص 647.
[8] ) الأشباه والنظائر، السيوطيّ، ص 488.
[9] ) الأسماء والصفات، البيهقيّ، ص400.
[10] ) صحيح مسلم، مسلم، كتاب الذكر والتوبة والدعاء والاستغفار، باب ما يقول عند النوم وأخذ المضجع، 8/78.
[11] ) الأسماء والصفات، البيهقيّ، ص415.
[12] ) الأسماء والصفات، البيهقيّ، ص448، 449.
[13] ) فيض القدير، المناوي، 1/72.
[14] ) المنهاج القويم شرح المقدمة الحضرمية، الهيتميّ، ص 224. ومعنى «حقيقون بذلك» أي جديرون بالتكفير، وتكفيرهم ليس افتراءً عليهم بل لأنهم مجسمة وخالفوا المعتقد الإسلاميّ السليم فقد خرجوا عن الحق والإسلام وكفروا.
[15] ) ميزان الاعتدال في نقد الرجال، الذهبيّ، 1/259.
[16] ) قال الذهبيّ في ترجمته: «أدخلوا عليه أشياء فحدّث بها بسلامة باطن، منها حديث موضوع في فضل ليلة عاشوراء، ومنها عقيدة للشافعيّ ـ وذكر بعض الأباطيل عنه ثم قال ـ فقبّح الله من وضَعَه، والعَتَبُ إنما على محدّثي بغداد كيف تركوا العشاريّ يروي هذه الأباطيل» اهـ. ميزان الاعتدال، الذهبيّ، 6/267. لسان الميزان، ابن حجر، 5/302.
[17] ) عليّ بن أحمد بن يوسف الهكاريّ أبو الحسن، ت 486هـ، من ذرية عتبة بن أبي سفيان بن حرب، رحل في الحديث وسمع من ابن نظيف الفراء، وقال ابن عساكر: «لم يكن موثقًا في روايته» اهـ. قال ابن الأثير: كثر السماع إلا أن الغرائب في حديثه كثيرة لا يُدرى ما سببها. الكامل في التاريخ. ابن الأثير. 8/ 169. شذرات الذهب، ابن العماد، 3/379.
[18] ) قال أبو الوفا الحلبيّ الطرابلسيّ في الكشف الحثيث عمن رُمِيَ بوضع الحديث 1/184، (والذهبيّ في ميزان الاعتدال في نقد الرجال 3/112، وابن حجر العسقلانيّ في لسان الميزان 5/483، وكذلك قال الذهبي في المغني في الضعفاء 2/443): «عليّ بن أحمد أبو الحسن الهكاريّ، قال ابن النجار: متهم بوضع الحديث وتركيب الأسانيد، وقال ابن عساكر: لم يكن موثّقًا» اهـ. وقال ابن الدمياطيّ في المستفاد من ذيل تاريخ بغداد 1/136: «وكان الغالب على حديثه – أي على الهكاريّ – الغرائب والمنكرات، ولم يكن حديثه يشبه حديث أهل الصدق، وفي حديثه متون موضوعة مركبة على أسانيد صحيحة، وقيل: إنه كان يضع الحديث بأصبهان، قدم بغداد، وحدَّث بها. قال أبو القاسم بن عساكر: علي ابن أحمد الهكاريّ لم يكن موثّقًا، بلغني أن ابن الخاضبة قصده لما قدم بغداد، فذكر له أنه سمع من شيخ استنكر سماعه منه، فسأله عن تاريخ سماعه منه، فذكر تاريخًا متأخّرًا عن وفاة ذلك الشيخ، فقال ابن الخاضبة: هذا الشيخ يزعم أنه سمع منه بعد موته بمدة، وتركه وقام» اهـ.