Nafkah dalam Islam
DEFINISI MEMBERI NAFKAH
Yang dimaksud dengan nafkah adalah sesuatu yang diberikan seseorang untuk memenuhi kebutuhan yang lain dalam bentuk makanan,

Menafkahi Keluarga
DEFINISI MEMBERI NAFKAH
Yang dimaksud dengan nafkah adalah sesuatu yang diberikan seseorang untuk memenuhi kebutuhan yang lain dalam bentuk makanan, tempat dan pakaian dan semacamnya seperti tuntutan hidup dan kehidupan.
DALIL WAJIBNYA MEMBERI NAFKAH
- QS Al-Isra 17:23
وقضى ربك أن لا تعبدوا إلا إياه وبالوالدين إحسانا
Termasuk dalam berbuat baik adalah memberi nafkah.
- QS Al-Baqarah 2:228
لا تضار والدة بولدها
Janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya
- Hadits Nabi dari Aisyah:
إن أطيب ما أكل الرجل من كسبه وإن ولده من كسبه
Artinya: Sebaik-baik harta yang dimakan seorang lelaki adalah yang berasal dari kerjanya sendiri. Anak adalah bagian dari yang dinafkahi.
- Hadits Nabi dari Abu Hurairah
أن رجلا جاء إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقال : يا رسول الله عندي دينار فقال : [ أنفقه على نفسك قال : عندي آخر فقال : أنفقه على ولدك قال : عندي آخر فقال أنفقه على أهلك قال : عندي آخر قال : أنفقه على خادمك قال : عندي آخر قال : أنت أعلم به
"bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata: "Wahai Rasulullah, aku memiliki satu dinar." Beliau bersabda: [Infakkanlah pada dirimu sendiri]. Ia berkata: "Aku memiliki yang lain." Beliau bersabda: [Infakkanlah pada anakmu]. Ia berkata: "Aku memiliki yang lain." Beliau bersabda: [Infakkanlah pada keluargamu]. Ia berkata: "Aku memiliki yang lain." Beliau bersabda: [Infakkanlah pada hamba sahayamu]. Ia berkata: "Aku memiliki yang lain." Beliau bersabda: [Engkau lebih tahu dengannya]."
SEBAB WAJIB NAFKAH: PERNIKAHAN DAN KEKERABATAN
Hal yang mewajibkan nafkah ada dua yaitu perkawinan dan kekerabatan. Yang pertama nafkah wajib bagi suami menafkahi istrinya tidak sebaliknya: istri tidak wajib menafkahi suaminya dalam keadaan apapun. Sedangkan yang kedua, yakni kekerabatan, memberi nafkah diwajibkan bagi masing-masing pihak pada yang lain di mana yang mampu wajib memberi nafkah bagi yang miskin dan membutuhkan.
NAFKAH KARENA PERKAWINAN
Ulama keempat mazhab sepakat bahwa nafkah suami pada istri adalah wajib.
KERABAT YANG WAJIB DINAFKAHI
Kalangan kerabat yang wajib dinafkahi adalah: Ayah, ibu, kakek, nenek, anak, cucu
SYARAT WAJIB MEMBERI NAFKAH KARENA KERABAT
Menafkahi kerabat tidak wajib kecuali bagi yang kaya atau bagi orang yang bekerja yang ada kelebihan gaji dari yang dinafkahkan untuk kebutuhan diri, anak dan istri. Sedangkan bagi orang yang tidak memiliki kelebihan dari penghasilannya maka tidak wajib menafkahi orang lain. Berdasarkan pada hadits dari Jabir Nabi bersabda:
إذا كان أحدكم فقيرا فليبدأ بنفسه فإن كان فضل فعلى عياله فإن كان فضل فعلى قرابته
Artinya: Apabila kalian fakir miskin, maka mulailah dari diri sendiri. Apabila ada kelebihan, maka nafkahi keluarga, apabila ada kelebihan maka nafkahi kerabat.
Apabila tidak ada kelebihan selain untuk istri, maka tidak wajib menafkahi kerabat berdasarkan hadits dari Jabir di atas. Jadi, menafkahi istri didahulukan dari kerabat yang lain termasuk dari orang tua.
SYARAT KERABAT YANG BERHAK DIBERI NAFKAH
Kerabat yang berhak untuk mendapat nafkah adalah kedua orang tua ke atas, anak cucu ke bawah. Anak wajib menafkahi bapak dan ibunya. Berdasarkan pada firman Allah QS Al-Isra 17:23
وقضى ربك أن لا تعبدوا إلا إياه وبالوالدين إحسانا
} ] Al-Isra': 23 [ Dan termasuk ihsan adalah berinfak kepada keduanya. Dan Aisyah radhiyallahu 'anha meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: [Sesungguhnya yang paling baik yang dimakan seorang laki-laki dari hasil usahanya sendiri, dan sesungguhnya anaknya adalah dari hasil usahanya sendiri]. Dan wajib baginya nafkah bagi kakek dan nenek, karena nama orang tua berlaku pada semuanya, dan dalilnya adalah firman Allah Ta'ala: {milla abikum Ibrahim} [Al-Hajj: 78], maka Allah Ta'ala menamakan Ibrahim sebagai ayah padahal ia adalah kakek. Dan karena kakek seperti ayah dan nenek seperti ibu dalam hukum kelahiran seperti pengembalian kesaksian dan semisalnya, dan demikian pula dalam wajibnya nafkah. Dan wajib pada ayah nafkah bagi anak, karena apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku memiliki satu dinar. Beliau bersabda: [Infakkanlah pada dirimu sendiri]. Ia berkata: Aku memiliki yang lain. Beliau bersabda: [Infakkanlah pada anakmu]. Ia berkata: Aku memiliki yang lain. Beliau bersabda: [Infakkanlah pada keluargamu]. Ia berkata: Aku memiliki yang lain. Beliau bersabda: [Infakkanlah pada hamba sahayamu]. Ia berkata: Aku memiliki yang lain. Beliau bersabda: [Kamu lebih tahu dengannya]. Dan wajib baginya nafkah bagi anak dari anak, meskipun yang lebih rendah, karena nama anak berlaku padanya, dan dalilnya adalah firman-Nya 'Azza wa Jalla: {ya bani Adam}. Dan wajib pada ibu nafkah bagi anak, karena firman Allah Ta'ala: {la tudharu walidatu bi waladha} [Al-Baqarah: 233]. Dan karena jika wajib pada ayah dan kelahirannya dari sisi yang zahir, maka wajib pada ibu dan kelahirannya dari sisi yang mutlak lebih utama. Dan wajib baginya nafkah bagi anak dari anak, karena apa yang kami sebutkan pada ayah. Dan tidak wajib nafkah bagi selain orang tua dan yang dilahirkan dari kerabat seperti saudara dan paman dan semisalnya, karena syariat datang dengan wajibnya nafkah bagi orang tua dan yang dilahirkan, dan yang selain mereka tidak menyamai mereka dalam kelahiran dan hukum kelahiran, maka tidak menyamai mereka dalam wajibnya nafkah.
Fashl: Dan kerabat tidak berhak atas nafkah dari kerabatnya tanpa kebutuhan. Maka jika ia mampu, ia tidak berhak, karena itu wajib sebagai bentuk kemanusiaan, dan yang mampu tidak membutuhkan kemanusiaan. Dan jika ia miskin yang lemah untuk mencari nafkah karena belum baligh atau karena tua atau gila atau lumpuh, maka ia berhak atas nafkah dari kerabatnya, karena ia membutuhkan karena tidak ada harta dan tidak bisa mencari nafkah. Dan jika ia mampu mencari nafkah dengan sehat dan kuat, maka jika dari orang tua, maka ada dua pendapat: Yang pertama, ia berhak karena ia membutuhkan maka berhak atas nafkah dari kerabat seperti yang lumpuh. Dan yang kedua, ia tidak berhak karena kekuatan seperti kemampuan, dan untuk itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membedakan di antara keduanya dalam mengharamkan zakat, maka bersabdanya: [Sedekah tidak halal bagi orang kaya dan bagi yang kuat yang tidak membutuhkan]. Dan jika dari yang dilahirkan, maka ada dua jalan: Dari sahabat kami yang mengatakan padanya dua pendapat seperti orang tua, dan dari mereka yang mengatakan tidak berhak dengan satu pendapat, karena kehormatan orang tua lebih kuat maka berhak karenanya meskipun kuat, dan kehormatan anak lebih lemah maka tidak berhak karenanya meskipun kuat.
Fashl: Maka jika yang berhak atas nafkah memiliki ayah dan kakek atau kakek dan ayah kakek dan keduanya mampu, maka nafkah pada yang lebih dekat darinya, karena ia lebih berhak atas kemanusiaan daripada yang lebih jauh. Dan jika ia memiliki ayah dan anak yang mampu, maka ada dua pendapat: Yang pertama, nafkah pada ayah, karena wajibnya nafkah padanya disebutkan secara teks dan itu firman-Nya Ta'ala: {wa 'ala al-mawludi lahu rizquhunna wa kiswatuhunna bil ma'ruf} [Al-Baqarah: 233], dan wajibnya pada anak terbukti dengan ijtihad. Dan yang kedua, keduanya sama karena kesetaraan dalam kedekatan dan laki-laki. Dan jika ia memiliki ayah dan ibu yang mampu, maka nafkah pada ayah, karena firman-Nya Ta'ala: {fa in ardhana lakum fa atuhunna ujurahunna} [At-Talaq: 6], maka Ia menjadikan upah menyusui pada ayah. Dan Aisyah radhiyallahu 'anha meriwayatkan bahwa Hindah ibu Muawiyah datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah laki-laki yang kikir dan ia tidak memberiku apa yang cukup untukku dan anakku kecuali apa yang aku ambil darinya secara sembunyi-sembunyi dan ia tidak mengetahuinya, apakah ada sesuatu bagiku dalam hal itu? Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: [Ambillah apa yang cukup bagimu dan anakmu dengan cara yang ma'ruf]. Dan karena ayah menyamai ibu dalam kelahiran dan sendirian dalam 'ashabah maka didahulukan. Dan jika ia memiliki ibu dan ibu ayah dan keduanya mampu, maka nafkah pada kakek, karena baginya kelahiran dan 'ashabah maka didahulukan atas ibu seperti ayah. Dan jika ia memiliki anak perempuan dan anak anak perempuan, maka ada dua pendapat: Yang pertama, nafkah pada anak perempuan karena lebih dekat. Dan yang kedua, pada anak anak perempuan karena lebih kuat dan lebih mampu atas nafkah dengan laki-laki. Dan jika ia memiliki anak perempuan dan anak anak, maka nafkah pada anak anak, karena baginya kelahiran dan 'ashabah maka didahulukan seperti kakek didahulukan atas ibu. Dan jika ia memiliki ibu dan anak perempuan, maka nafkah pada anak perempuan, karena bagi anak perempuan ada 'ashabah dan bagi ibu tidak ada 'ashabah. Dan jika ia memiliki ibu ibu dan ayah ibu, maka keduanya sama karena kesetaraan dalam kedekatan dan tidak ada 'ashabah. Dan jika ia memiliki ibu ibu dan ibu ayah, maka ada dua pendapat: Yang pertama, keduanya sama karena kesetaraan dalam derajat. Dan yang kedua, nafkah pada ibu ayah, karena ia mendatangkan 'ashabah.
Fashl: Dan jika yang wajib baginya nafkah mampu atas nafkah satu kerabat dan ia memiliki ayah dan ibu yang berhak atas nafkah, maka ada tiga pendapat: Yang pertama, ibu lebih berhak karena diriwayatkan bahwa seorang laki-laki berkata: Wahai Rasulullah, siapa yang paling berbirr? Beliau bersabda: [Ibumu]. Ia berkata: Kemudian siapa? Beliau bersabda: [Ibumu]. Ia berkata: Kemudian siapa? Beliau bersabda: [Ibumu]. Ia berkata: Kemudian siapa? Beliau bersabda: [Ayahmu]. Dan karena ia menyamai ayah dalam kelahiran dan sendirian dalam mengandung dan melahirkan dan menyusui dan mendidik. Dan yang kedua, ayah lebih berhak karena ia menyamai ibu dalam kelahiran dan sendirian dalam 'ashabah, dan karena jika keduanya mampu dan anak miskin, ayah didahulukan dalam wajib nafkah padanya maka didahulukan dalam nafkah baginya. Dan yang ketiga, keduanya sama karena nafkah dengan kerabat bukan dengan 'ashabah dan keduanya sama dalam kerabat. Dan jika ia memiliki ayah dan anak, maka ada dua pendapat: Yang pertama, anak lebih berhak karena nafkahnya terbukti dengan teks kitab. Dan yang kedua, ayah lebih berhak karena kehormatannya lebih kuat, dan untuk itu tidak diqadhi dengan anak dan diqadhi dengannya anak. Dan jika ia memiliki anak dan anak anak atau ayah dan kakek, maka ada dua pendapat: Yang pertama, anak lebih berhak daripada anak anak dan ayah lebih berhak daripada kakek karena keduanya lebih dekat, dan karena jika keduanya mampu dan ia miskin, nafkahnya pada yang lebih dekat daripada keduanya maka demikian pula dalam nafkahnya padanya. Dan yang kedua, keduanya sama karena nafkah dengan kerabat, dan untuk itu salah satu tidak gugur dengan yang lain jika mampu atas nafkah keduanya.
Fashl: Dan barangsiapa yang wajib baginya nafkah dengan kerabat, maka wajib baginya nafkah sebesar kecukupan, karena itu wajib karena kebutuhan maka diukur dengan kecukupan. Dan jika ia membutuhkan yang melayaninya, maka wajib nafkah hamba sahayanya. Dan jika ia memiliki istri, maka wajib nafkah istrinya, karena itu termasuk kesempurnaan kecukupan. Dan jika berlalu masa dan ia tidak berinfak kepada yang wajib baginya nafkah dari kerabat, maka tidak menjadi hutang padanya, karena itu wajib baginya untuk mengisi waktu dan menolak kebutuhan, dan kebutuhan telah hilang karena berlalunya maka gugur.
Fashl: Dan jika ia memiliki ayah yang miskin gila atau miskin lumpuh dan membutuhkan pembebasan (dari pernikahan), maka wajib pada anak membebaskannya menurut yang disebutkan, dan Abu Ali bin Khairan mengeluarkan pendapat lain bahwa tidak wajib, karena ia kerabat yang berhak atas nafkah maka tidak berhak atas pembebasan seperti anak. Dan mazhab pertama karena makna yang dibutuhkan ayah kepadanya dan membahayakannya kehilangannya maka wajib seperti nafkah. Dan jika ia sehat kuat dan kami katakan wajib nafkahnya maka wajib pembebasannya, dan jika kami katakan tidak wajib nafkahnya maka pada pembebasannya ada dua pendapat: Yang pertama, tidak wajib karena tidak wajib nafkahnya maka tidak wajib pembebasannya. Dan yang kedua, dan itu pendapat Abu Ishaq, bahwa wajib pembebasannya, karena nafkahnya jika tidak wajib pada kerabat, ia berinfak darinya dari baitulmal, dan pembebasan tidak wajib di baitulmal maka wajib pada kerabat. Dan barangsiapa yang wajib baginya pembebasan, maka ia berhak memilih antara menikahkannya dengan wanita merdeka atau memerdekakan baginya seorang budak perempuan. Dan tidak boleh menikahkannya dengan budak perempuan, karena dengan pembebasan ia mandiri dari pernikahan dengan budak perempuan. Dan tidak membebaskannya dengan wanita tua atau yang buruk, karena asal dari pembebasan adalah kenikmatan dan itu tidak didapat dengan yang tua atau yang buruk. Maka jika ia menikahkannya dengan wanita merdeka atau memerdekakan baginya budak perempuan kemudian ia mandiri, tidak wajib baginya memisahkan wanita merdeka atau mengembalikan budak perempuan, karena apa yang dihakiminya karena kebutuhan tidak wajib dikembalikan karena hilangnya kebutuhan, seperti jika ia mengambil nafkah sehari kemudian mampu. Dan jika ia membebaskannya dengan wanita merdeka lalu menceraikannya atau memerdekakan budak perempuan lalu dibebaskan, tidak wajib baginya penggantinya, karena itu kemanusiaan untuk menolak bahaya, maka jika kami wajibkan pengganti, ia keluar dari batas kemanusiaan dan menimbulkan bahaya, dan bahaya tidak dihilangkan dengan bahaya. Dan jika mati padanya, maka ada dua pendapat: Yang pertama, tidak wajib pengganti karena keluar dari batas kemanusiaan. Dan yang kedua, wajib karena kepemilikannya atasnya hilang tanpa kelalaian maka wajib penggantinya, seperti jika diserahkan kepadanya nafkah sehari lalu dicuri darinya.
Fashl: Dan jika anak membutuhkan menyusui, maka wajib pada kerabat menyusuinya, karena menyusui bagi yang kecil seperti nafkah bagi yang dewasa. Dan tidak wajib kecuali dua tahun penuh, karena firman-Nya Ta'ala: {wal walidatu yurdhia'na awladahunna hulain kamilin liman aradla an yutimma ar rath'a} [Al-Baqarah: 233]. Maka jika anak dari istrinya dan ia menolak menyusui, ia tidak dipaksa. Dan Abu Tsur berkata: Dipaksa, karena firman-Nya Ta'ala: {wal walidatu yurdhia'na awladahunna hulain kamilin liman aradla an yutimma ar rath'a}, dan ini salah, karena jika tidak dipaksa atas nafkah anak meskipun ada ayah, maka tidak dipaksa atas menyusui. Dan jika ia ingin menyusuinya, suami membencinya, ia boleh mencegahnya karena susunya lebih cocok baginya. Dan jika ia ingin mencegahnya darinya, ia boleh itu, karena ia berhak atas kenikmatan dengannya setiap waktu kecuali waktu ibadah, maka tidak boleh baginya melewatkannya kepadanya dengan menyusui. Dan jika keduanya ridha dengan menyusuinya, apakah wajib padanya tambahan atas nafkahnya? Ada dua pendapat: Yang pertama, wajib, dan itu pendapat Abu Sa'id dan Abu Ishaq, karena ia membutuhkan dalam keadaan menyusui lebih dari yang dibutuhkan selainnya. Dan yang kedua, tidak wajib tambahan atas nafkahnya dalam nafkah, karena nafkahnya diukur maka tidak wajib tambahan karena kebutuhannya, seperti tidak wajib tambahan dalam nafkah pemakan karena kebutuhannya. Dan jika ia ingin menyusuinya dengan upah, maka ada dua pendapat: Yang pertama, tidak boleh, dan itu pendapat Syaikh Abu Hamid al-Isfarayini rahimahullah, karena waktu-waktu menyusui dihakimi untuk kenikmatan suami dengan pengganti dan itu nafkah, maka tidak boleh mengambil pengganti lain. Dan yang kedua, boleh, karena itu pekerjaan yang boleh mengambil upah atasnya setelah cerai, maka boleh mengambil upah atasnya sebelum cerai seperti menenun. Dan jika bercerai, ia tidak berkuasa memaksanya menyusui seperti tidak berkuasa sebelum cerai. Maka jika ia meminta upah yang pantas atas menyusui dan ayah tidak memiliki yang menyusui tanpa upah, maka ibu lebih berhak dengannya, karena firman-Nya Ta'ala: {fa in ardhana lakum fa atuhunna ujurahunna} [At-Talaq: 6]. Dan jika ia meminta lebih dari upah yang pantas, boleh merebutnya darinya dan menyerahkannya kepada yang lain, karena firman-Nya Ta'ala: {wa in ta'asaartuma fa saturdhiu lahu ukhra} [At-Talaq: 6]. Dan karena apa yang didapat dengan lebih dari ganti yang pantas seperti yang tidak ada, dan untuk itu jika air didapat dengan lebih dari harga yang pantas, dijadikan seperti yang tidak ada dalam perpindahan ke tayammum, maka demikian pula di sini. Dan jika ia meminta upah yang pantas dan ayah memiliki yang menyusuinya tanpa ganti atau tanpa upah yang pantas, maka ada dua pendapat: Yang pertama, ibu lebih berhak atas upah yang pantas, karena menyusui hak anak, dan karena susu ibu lebih pantas baginya dan lebih bermanfaat, dan ia ridha dengan ganti yang pantas maka lebih berhak. Dan yang kedua, ayah lebih berhak, karena menyusui bagi yang kecil seperti nafkah bagi yang dewasa, dan jika dewasa memiliki yang sukarela menyusuinya, tidak berhak pada ayah upah menyusui. Dan jika wanita mengklaim bahwa ayah tidak menemukan selainnya, maka kata ayah lebih benar, karena ia mengklaim berhak atas upah yang pantas dan asalnya adalah tidak ada.
Fashl: Dan wajib pada tuan nafkah budak laki-lakinya dan budak perempuannya dan pakaian keduanya, karena apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: [Bagi yang dimiliki makanannya dan pakaiannya, dan tidak dibebani dari pekerjaan kecuali apa yang ia mampu]. Dan wajib baginya nafkah dari makanan negeri, karena itu yang biasa, maka jika ia mengurus makanannya, mustahab memberinya darinya, karena apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Abu al-Qasim shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: [Jika salah seorang dari kalian datang dengan hamba sahayanya dengan makanan, maka dudukkanlah bersamanya, jika tidak mendudukkannya bersamanya, maka berikanlah suapan atau dua suapan, karena ia mengurus pengobatannya dan pembebasannya]. Maka jika ia memiliki budak perempuan untuk dinikahi, mustahab pakaiannya lebih tinggi dari pakaian budak perempuan pelayan, karena kebiasaan bahwa pakaiannya lebih tinggi dari pakaian budak perempuan pelayan.
Fashl: Dan tidak dibebani budak laki-laki dan budak perempuannya dari pelayanan apa yang tidak mereka mampu, karena sabda-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam: [dan tidak dibebani darinya dari pekerjaan apa yang tidak ia mampu]. Dan tidak menyusui budak perempuan kecuali apa yang bersisa dari anaknya, karena di dalamnya ada mudarat bagi anaknya. Dan jika budak laki-lakinya memiliki istri, ia boleh mengizinkannya kenikmatan pada malam, karena izinnya untuk nikah mencakup izin kenikmatan pada malam. Dan jika budak laki-laki atau budak perempuan sakit atau buta atau lumpuh, wajib baginya nafkah keduanya, karena nafkah keduanya dengan kepemilikan, dan untuk itu wajib dengan kecil maka wajib dengan buta dan lumpuh. Dan tidak boleh memaksa budak laki-lakinya untuk mukatabah, karena itu pertukaran maka tidak berkuasa memaksanya kepadanya seperti mukatabah. Dan jika budak meminta itu, tuan tidak dipaksa seperti tidak dipaksa jika meminta mukatabah. Maka jika keduanya sepakat padanya dan baginya penghasilan, boleh, karena diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mempekerjakannya Abu Thaybah lalu memberinya upahnya dan meminta pemiliknya agar meringankan kharadjnya. Dan jika tidak baginya penghasilan, tidak boleh, karena ia tidak mampu membayar kepadanya dari sisi yang halal maka tidak boleh.
Fashl: Dan barangsiapa yang memiliki hewan ternak, wajib baginya memelihara pakan mereka, karena apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: [Seorang wanita disiksa karena seekor kucing yang ia kurung hingga mati kelaparan, maka ia masuk ke neraka, dikatakan kepadanya —dan Allah lebih mengetahui— engkau tidak memberinya makan dan minum ketika mengurungnya, dan engkau tidak melepaskannya hingga ia makan dari tumbuhan liar bumi hingga mati kelaparan]. Dan tidak boleh baginya membebani padanya apa yang tidak ia mampu, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mencegah membebani budak apa yang tidak ia mampu, maka wajib hewan ternak seperti itu. Dan tidak memerah susunya kecuali apa yang bersisa dari anaknya, karena itu makanan bagi anak maka tidak boleh mencegahnya.
Fashl: Dan jika ia menolak berinfak kepada budaknya atau kepada hewan ternaknya, dipaksa padanya seperti dipaksa atas nafkah istrinya. Dan jika tidak baginya harta, disewa padanya jika memungkinkan penyewaannya, maka jika tidak memungkinkan, dijual padanya seperti hilangnya kepemilikan darinya pada istrinya jika ia miskin atas nafkah keduanya. Dan Allah lebih mengetahui.
SEBAB WAJIB NAFKAH: PERNIKAHAN DAN KEKERABATAN
Hal yang mewajibkan nafkah ada dua yaitu perkawinan dan kekerabatan. Yang pertama nafkah wajib bagi suami menafkahi istrinya tidak sebaliknya: istri tidak wajib menafkahi suaminya dalam keadaan apapun. Sedangkan yang kedua, yakni kekerabatan, memberi nafkah diwajibkan bagi masing-masing pihak pada yang lain di mana yang mampu wajib memberi nafkah bagi yang miskin dan membutuhkan.
NAFKAH KARENA PERKAWINAN
Ulama keempat mazhab sepakat bahwa nafkah suami pada istri adalah wajib.
KERABAT YANG WAJIB DINAFKAHI
Kalangan kerabat yang wajib dinafkahi adalah: Ayah, ibu, kakek, nenek, anak, cucu
SYARAT WAJIB MEMBERI NAFKAH KARENA KERABAT
Menafkahi kerabat tidak wajib kecuali bagi yang kaya atau bagi orang yang bekerja yang ada kelebihan gaji dari yang dinafkahkan untuk kebutuhan diri, anak dan istri. Sedangkan bagi orang yang tidak memiliki kelebihan dari penghasilannya maka tidak wajib menafkahi orang lain. Berdasarkan pada hadits dari Jabir Nabi bersabda:
إذا كان أحدكم فقيرا فليبدأ بنفسه فإن كان فضل فعلى عياله فإن كان فضل فعلى قرابته
Artinya: Apabila kalian fakir miskin, maka mulailah dari diri sendiri. Apabila ada kelebihan, maka nafkahi keluarga, apabila ada kelebihan maka nafkahi kerabat.
Apabila tidak ada kelebihan selain untuk istri, maka tidak wajib menafkahi kerabat berdasarkan hadits dari Jabir di atas. Jadi, menafkahi istri didahulukan dari kerabat yang lain termasuk dari orang tua.
SYARAT KERABAT YANG BERHAK DIBERI NAFKAH
Kerabat yang berhak untuk mendapat nafkah adalah kedua orang tua ke atas, anak cucu ke bawah. Anak wajib menafkahi bapak dan ibunya. Berdasarkan pada firman Allah QS Al-Isra 17:23
وقضى ربك أن لا تعبدوا إلا إياه وبالوالدين إحسانا
} ] Al-Isra': 23 [ Dan termasuk ihsan adalah berinfak kepada keduanya. Dan Aisyah radhiyallahu 'anha meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: [Sesungguhnya yang paling baik yang dimakan seorang laki-laki dari hasil usahanya sendiri, dan sesungguhnya anaknya adalah dari hasil usahanya sendiri]. Dan wajib baginya nafkah bagi kakek dan nenek, karena nama orang tua berlaku pada semuanya, dan dalilnya adalah firman Allah Ta'ala: {milla abikum Ibrahim} [Al-Hajj: 78], maka Allah Ta'ala menamakan Ibrahim sebagai ayah padahal ia adalah kakek. Dan karena kakek seperti ayah dan nenek seperti ibu dalam hukum kelahiran seperti pengembalian kesaksian dan semisalnya, dan demikian pula dalam wajibnya nafkah. Dan wajib pada ayah nafkah bagi anak, karena apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku memiliki satu dinar. Beliau bersabda: [Infakkanlah pada dirimu sendiri]. Ia berkata: Aku memiliki yang lain. Beliau bersabda: [Infakkanlah pada anakmu]. Ia berkata: Aku memiliki yang lain. Beliau bersabda: [Infakkanlah pada keluargamu]. Ia berkata: Aku memiliki yang lain. Beliau bersabda: [Infakkanlah pada hamba sahayamu]. Ia berkata: Aku memiliki yang lain. Beliau bersabda: [Kamu lebih tahu dengannya]. Dan wajib baginya nafkah bagi anak dari anak, meskipun yang lebih rendah, karena nama anak berlaku padanya, dan dalilnya adalah firman-Nya 'Azza wa Jalla: {ya bani Adam}. Dan wajib pada ibu nafkah bagi anak, karena firman Allah Ta'ala: {la tudharu walidatu bi waladha} [Al-Baqarah: 233]. Dan karena jika wajib pada ayah dan kelahirannya dari sisi yang zahir, maka wajib pada ibu dan kelahirannya dari sisi yang mutlak lebih utama. Dan wajib baginya nafkah bagi anak dari anak, karena apa yang kami sebutkan pada ayah. Dan tidak wajib nafkah bagi selain orang tua dan yang dilahirkan dari kerabat seperti saudara dan paman dan semisalnya, karena syariat datang dengan wajibnya nafkah bagi orang tua dan yang dilahirkan, dan yang selain mereka tidak menyamai mereka dalam kelahiran dan hukum kelahiran, maka tidak menyamai mereka dalam wajibnya nafkah.
Fashl: Dan kerabat tidak berhak atas nafkah dari kerabatnya tanpa kebutuhan. Maka jika ia mampu, ia tidak berhak, karena itu wajib sebagai bentuk kemanusiaan, dan yang mampu tidak membutuhkan kemanusiaan. Dan jika ia miskin yang lemah untuk mencari nafkah karena belum baligh atau karena tua atau gila atau lumpuh, maka ia berhak atas nafkah dari kerabatnya, karena ia membutuhkan karena tidak ada harta dan tidak bisa mencari nafkah. Dan jika ia mampu mencari nafkah dengan sehat dan kuat, maka jika dari orang tua, maka ada dua pendapat: Yang pertama, ia berhak karena ia membutuhkan maka berhak atas nafkah dari kerabat seperti yang lumpuh. Dan yang kedua, ia tidak berhak karena kekuatan seperti kemampuan, dan untuk itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membedakan di antara keduanya dalam mengharamkan zakat, maka bersabdanya: [Sedekah tidak halal bagi orang kaya dan bagi yang kuat yang tidak membutuhkan]. Dan jika dari yang dilahirkan, maka ada dua jalan: Dari sahabat kami yang mengatakan padanya dua pendapat seperti orang tua, dan dari mereka yang mengatakan tidak berhak dengan satu pendapat, karena kehormatan orang tua lebih kuat maka berhak karenanya meskipun kuat, dan kehormatan anak lebih lemah maka tidak berhak karenanya meskipun kuat.
Fashl: Maka jika yang berhak atas nafkah memiliki ayah dan kakek atau kakek dan ayah kakek dan keduanya mampu, maka nafkah pada yang lebih dekat darinya, karena ia lebih berhak atas kemanusiaan daripada yang lebih jauh. Dan jika ia memiliki ayah dan anak yang mampu, maka ada dua pendapat: Yang pertama, nafkah pada ayah, karena wajibnya nafkah padanya disebutkan secara teks dan itu firman-Nya Ta'ala: {wa 'ala al-mawludi lahu rizquhunna wa kiswatuhunna bil ma'ruf} [Al-Baqarah: 233], dan wajibnya pada anak terbukti dengan ijtihad. Dan yang kedua, keduanya sama karena kesetaraan dalam kedekatan dan laki-laki. Dan jika ia memiliki ayah dan ibu yang mampu, maka nafkah pada ayah, karena firman-Nya Ta'ala: {fa in ardhana lakum fa atuhunna ujurahunna} [At-Talaq: 6], maka Ia menjadikan upah menyusui pada ayah. Dan Aisyah radhiyallahu 'anha meriwayatkan bahwa Hindah ibu Muawiyah datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah laki-laki yang kikir dan ia tidak memberiku apa yang cukup untukku dan anakku kecuali apa yang aku ambil darinya secara sembunyi-sembunyi dan ia tidak mengetahuinya, apakah ada sesuatu bagiku dalam hal itu? Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: [Ambillah apa yang cukup bagimu dan anakmu dengan cara yang ma'ruf]. Dan karena ayah menyamai ibu dalam kelahiran dan sendirian dalam 'ashabah maka didahulukan. Dan jika ia memiliki ibu dan ibu ayah dan keduanya mampu, maka nafkah pada kakek, karena baginya kelahiran dan 'ashabah maka didahulukan atas ibu seperti ayah. Dan jika ia memiliki anak perempuan dan anak anak perempuan, maka ada dua pendapat: Yang pertama, nafkah pada anak perempuan karena lebih dekat. Dan yang kedua, pada anak anak perempuan karena lebih kuat dan lebih mampu atas nafkah dengan laki-laki. Dan jika ia memiliki anak perempuan dan anak anak, maka nafkah pada anak anak, karena baginya kelahiran dan 'ashabah maka didahulukan seperti kakek didahulukan atas ibu. Dan jika ia memiliki ibu dan anak perempuan, maka nafkah pada anak perempuan, karena bagi anak perempuan ada 'ashabah dan bagi ibu tidak ada 'ashabah. Dan jika ia memiliki ibu ibu dan ayah ibu, maka keduanya sama karena kesetaraan dalam kedekatan dan tidak ada 'ashabah. Dan jika ia memiliki ibu ibu dan ibu ayah, maka ada dua pendapat: Yang pertama, keduanya sama karena kesetaraan dalam derajat. Dan yang kedua, nafkah pada ibu ayah, karena ia mendatangkan 'ashabah.
Fashl: Dan jika yang wajib baginya nafkah mampu atas nafkah satu kerabat dan ia memiliki ayah dan ibu yang berhak atas nafkah, maka ada tiga pendapat: Yang pertama, ibu lebih berhak karena diriwayatkan bahwa seorang laki-laki berkata: Wahai Rasulullah, siapa yang paling berbirr? Beliau bersabda: [Ibumu]. Ia berkata: Kemudian siapa? Beliau bersabda: [Ibumu]. Ia berkata: Kemudian siapa? Beliau bersabda: [Ibumu]. Ia berkata: Kemudian siapa? Beliau bersabda: [Ayahmu]. Dan karena ia menyamai ayah dalam kelahiran dan sendirian dalam mengandung dan melahirkan dan menyusui dan mendidik. Dan yang kedua, ayah lebih berhak karena ia menyamai ibu dalam kelahiran dan sendirian dalam 'ashabah, dan karena jika keduanya mampu dan anak miskin, ayah didahulukan dalam wajib nafkah padanya maka didahulukan dalam nafkah baginya. Dan yang ketiga, keduanya sama karena nafkah dengan kerabat bukan dengan 'ashabah dan keduanya sama dalam kerabat. Dan jika ia memiliki ayah dan anak, maka ada dua pendapat: Yang pertama, anak lebih berhak karena nafkahnya terbukti dengan teks kitab. Dan yang kedua, ayah lebih berhak karena kehormatannya lebih kuat, dan untuk itu tidak diqadhi dengan anak dan diqadhi dengannya anak. Dan jika ia memiliki anak dan anak anak atau ayah dan kakek, maka ada dua pendapat: Yang pertama, anak lebih berhak daripada anak anak dan ayah lebih berhak daripada kakek karena keduanya lebih dekat, dan karena jika keduanya mampu dan ia miskin, nafkahnya pada yang lebih dekat daripada keduanya maka demikian pula dalam nafkahnya padanya. Dan yang kedua, keduanya sama karena nafkah dengan kerabat, dan untuk itu salah satu tidak gugur dengan yang lain jika mampu atas nafkah keduanya.
Fashl: Dan barangsiapa yang wajib baginya nafkah dengan kerabat, maka wajib baginya nafkah sebesar kecukupan, karena itu wajib karena kebutuhan maka diukur dengan kecukupan. Dan jika ia membutuhkan yang melayaninya, maka wajib nafkah hamba sahayanya. Dan jika ia memiliki istri, maka wajib nafkah istrinya, karena itu termasuk kesempurnaan kecukupan. Dan jika berlalu masa dan ia tidak berinfak kepada yang wajib baginya nafkah dari kerabat, maka tidak menjadi hutang padanya, karena itu wajib baginya untuk mengisi waktu dan menolak kebutuhan, dan kebutuhan telah hilang karena berlalunya maka gugur.
Fashl: Dan jika ia memiliki ayah yang miskin gila atau miskin lumpuh dan membutuhkan pembebasan (dari pernikahan), maka wajib pada anak membebaskannya menurut yang disebutkan, dan Abu Ali bin Khairan mengeluarkan pendapat lain bahwa tidak wajib, karena ia kerabat yang berhak atas nafkah maka tidak berhak atas pembebasan seperti anak. Dan mazhab pertama karena makna yang dibutuhkan ayah kepadanya dan membahayakannya kehilangannya maka wajib seperti nafkah. Dan jika ia sehat kuat dan kami katakan wajib nafkahnya maka wajib pembebasannya, dan jika kami katakan tidak wajib nafkahnya maka pada pembebasannya ada dua pendapat: Yang pertama, tidak wajib karena tidak wajib nafkahnya maka tidak wajib pembebasannya. Dan yang kedua, dan itu pendapat Abu Ishaq, bahwa wajib pembebasannya, karena nafkahnya jika tidak wajib pada kerabat, ia berinfak darinya dari baitulmal, dan pembebasan tidak wajib di baitulmal maka wajib pada kerabat. Dan barangsiapa yang wajib baginya pembebasan, maka ia berhak memilih antara menikahkannya dengan wanita merdeka atau memerdekakan baginya seorang budak perempuan. Dan tidak boleh menikahkannya dengan budak perempuan, karena dengan pembebasan ia mandiri dari pernikahan dengan budak perempuan. Dan tidak membebaskannya dengan wanita tua atau yang buruk, karena asal dari pembebasan adalah kenikmatan dan itu tidak didapat dengan yang tua atau yang buruk. Maka jika ia menikahkannya dengan wanita merdeka atau memerdekakan baginya budak perempuan kemudian ia mandiri, tidak wajib baginya memisahkan wanita merdeka atau mengembalikan budak perempuan, karena apa yang dihakiminya karena kebutuhan tidak wajib dikembalikan karena hilangnya kebutuhan, seperti jika ia mengambil nafkah sehari kemudian mampu. Dan jika ia membebaskannya dengan wanita merdeka lalu menceraikannya atau memerdekakan budak perempuan lalu dibebaskan, tidak wajib baginya penggantinya, karena itu kemanusiaan untuk menolak bahaya, maka jika kami wajibkan pengganti, ia keluar dari batas kemanusiaan dan menimbulkan bahaya, dan bahaya tidak dihilangkan dengan bahaya. Dan jika mati padanya, maka ada dua pendapat: Yang pertama, tidak wajib pengganti karena keluar dari batas kemanusiaan. Dan yang kedua, wajib karena kepemilikannya atasnya hilang tanpa kelalaian maka wajib penggantinya, seperti jika diserahkan kepadanya nafkah sehari lalu dicuri darinya.
Fashl: Dan jika anak membutuhkan menyusui, maka wajib pada kerabat menyusuinya, karena menyusui bagi yang kecil seperti nafkah bagi yang dewasa. Dan tidak wajib kecuali dua tahun penuh, karena firman-Nya Ta'ala: {wal walidatu yurdhia'na awladahunna hulain kamilin liman aradla an yutimma ar rath'a} [Al-Baqarah: 233]. Maka jika anak dari istrinya dan ia menolak menyusui, ia tidak dipaksa. Dan Abu Tsur berkata: Dipaksa, karena firman-Nya Ta'ala: {wal walidatu yurdhia'na awladahunna hulain kamilin liman aradla an yutimma ar rath'a}, dan ini salah, karena jika tidak dipaksa atas nafkah anak meskipun ada ayah, maka tidak dipaksa atas menyusui. Dan jika ia ingin menyusuinya, suami membencinya, ia boleh mencegahnya karena susunya lebih cocok baginya. Dan jika ia ingin mencegahnya darinya, ia boleh itu, karena ia berhak atas kenikmatan dengannya setiap waktu kecuali waktu ibadah, maka tidak boleh baginya melewatkannya kepadanya dengan menyusui. Dan jika keduanya ridha dengan menyusuinya, apakah wajib padanya tambahan atas nafkahnya? Ada dua pendapat: Yang pertama, wajib, dan itu pendapat Abu Sa'id dan Abu Ishaq, karena ia membutuhkan dalam keadaan menyusui lebih dari yang dibutuhkan selainnya. Dan yang kedua, tidak wajib tambahan atas nafkahnya dalam nafkah, karena nafkahnya diukur maka tidak wajib tambahan karena kebutuhannya, seperti tidak wajib tambahan dalam nafkah pemakan karena kebutuhannya. Dan jika ia ingin menyusuinya dengan upah, maka ada dua pendapat: Yang pertama, tidak boleh, dan itu pendapat Syaikh Abu Hamid al-Isfarayini rahimahullah, karena waktu-waktu menyusui dihakimi untuk kenikmatan suami dengan pengganti dan itu nafkah, maka tidak boleh mengambil pengganti lain. Dan yang kedua, boleh, karena itu pekerjaan yang boleh mengambil upah atasnya setelah cerai, maka boleh mengambil upah atasnya sebelum cerai seperti menenun. Dan jika bercerai, ia tidak berkuasa memaksanya menyusui seperti tidak berkuasa sebelum cerai. Maka jika ia meminta upah yang pantas atas menyusui dan ayah tidak memiliki yang menyusui tanpa upah, maka ibu lebih berhak dengannya, karena firman-Nya Ta'ala: {fa in ardhana lakum fa atuhunna ujurahunna} [At-Talaq: 6]. Dan jika ia meminta lebih dari upah yang pantas, boleh merebutnya darinya dan menyerahkannya kepada yang lain, karena firman-Nya Ta'ala: {wa in ta'asaartuma fa saturdhiu lahu ukhra} [At-Talaq: 6]. Dan karena apa yang didapat dengan lebih dari ganti yang pantas seperti yang tidak ada, dan untuk itu jika air didapat dengan lebih dari harga yang pantas, dijadikan seperti yang tidak ada dalam perpindahan ke tayammum, maka demikian pula di sini. Dan jika ia meminta upah yang pantas dan ayah memiliki yang menyusuinya tanpa ganti atau tanpa upah yang pantas, maka ada dua pendapat: Yang pertama, ibu lebih berhak atas upah yang pantas, karena menyusui hak anak, dan karena susu ibu lebih pantas baginya dan lebih bermanfaat, dan ia ridha dengan ganti yang pantas maka lebih berhak. Dan yang kedua, ayah lebih berhak, karena menyusui bagi yang kecil seperti nafkah bagi yang dewasa, dan jika dewasa memiliki yang sukarela menyusuinya, tidak berhak pada ayah upah menyusui. Dan jika wanita mengklaim bahwa ayah tidak menemukan selainnya, maka kata ayah lebih benar, karena ia mengklaim berhak atas upah yang pantas dan asalnya adalah tidak ada.
Fashl: Dan wajib pada tuan nafkah budak laki-lakinya dan budak perempuannya dan pakaian keduanya, karena apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: [Bagi yang dimiliki makanannya dan pakaiannya, dan tidak dibebani dari pekerjaan kecuali apa yang ia mampu]. Dan wajib baginya nafkah dari makanan negeri, karena itu yang biasa, maka jika ia mengurus makanannya, mustahab memberinya darinya, karena apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Abu al-Qasim shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: [Jika salah seorang dari kalian datang dengan hamba sahayanya dengan makanan, maka dudukkanlah bersamanya, jika tidak mendudukkannya bersamanya, maka berikanlah suapan atau dua suapan, karena ia mengurus pengobatannya dan pembebasannya]. Maka jika ia memiliki budak perempuan untuk dinikahi, mustahab pakaiannya lebih tinggi dari pakaian budak perempuan pelayan, karena kebiasaan bahwa pakaiannya lebih tinggi dari pakaian budak perempuan pelayan.
Fashl: Dan tidak dibebani budak laki-laki dan budak perempuannya dari pelayanan apa yang tidak mereka mampu, karena sabda-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam: [dan tidak dibebani darinya dari pekerjaan apa yang tidak ia mampu]. Dan tidak menyusui budak perempuan kecuali apa yang bersisa dari anaknya, karena di dalamnya ada mudarat bagi anaknya. Dan jika budak laki-lakinya memiliki istri, ia boleh mengizinkannya kenikmatan pada malam, karena izinnya untuk nikah mencakup izin kenikmatan pada malam. Dan jika budak laki-laki atau budak perempuan sakit atau buta atau lumpuh, wajib baginya nafkah keduanya, karena nafkah keduanya dengan kepemilikan, dan untuk itu wajib dengan kecil maka wajib dengan buta dan lumpuh. Dan tidak boleh memaksa budak laki-lakinya untuk mukatabah, karena itu pertukaran maka tidak berkuasa memaksanya kepadanya seperti mukatabah. Dan jika budak meminta itu, tuan tidak dipaksa seperti tidak dipaksa jika meminta mukatabah. Maka jika keduanya sepakat padanya dan baginya penghasilan, boleh, karena diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mempekerjakannya Abu Thaybah lalu memberinya upahnya dan meminta pemiliknya agar meringankan kharadjnya. Dan jika tidak baginya penghasilan, tidak boleh, karena ia tidak mampu membayar kepadanya dari sisi yang halal maka tidak boleh.
Fashl: Dan barangsiapa yang memiliki hewan ternak, wajib baginya memelihara pakan mereka, karena apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: [Seorang wanita disiksa karena seekor kucing yang ia kurung hingga mati kelaparan, maka ia masuk ke neraka, dikatakan kepadanya —dan Allah lebih mengetahui— engkau tidak memberinya makan dan minum ketika mengurungnya, dan engkau tidak melepaskannya hingga ia makan dari tumbuhan liar bumi hingga mati kelaparan]. Dan tidak boleh baginya membebani padanya apa yang tidak ia mampu, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mencegah membebani budak apa yang tidak ia mampu, maka wajib hewan ternak seperti itu. Dan tidak memerah susunya kecuali apa yang bersisa dari anaknya, karena itu makanan bagi anak maka tidak boleh mencegahnya.
Fashl: Dan jika ia menolak berinfak kepada budaknya atau kepada hewan ternaknya, dipaksa padanya seperti dipaksa atas nafkah istrinya. Dan jika tidak baginya harta, disewa padanya jika memungkinkan penyewaannya, maka jika tidak memungkinkan, dijual padanya seperti hilangnya kepemilikan darinya pada istrinya jika ia miskin atas nafkah keduanya. Dan Allah lebih mengetahui.
} ] الإسراء : 23 [ ومن الإحسان أن ينفق عليهما وروت عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه و سلم قال : [ إن أطيب ما أكل الرجل من كسبه وإن ولده من كسبه ] ويجب عليه نفقة الأجداد والجدات لأن اسم الوالدين يقع على الجميع والدليل عليه قوله تعالى : { ملة أبيكم إبراهيم } [ الحج : 78 [ فسمى الله تعالى إبراهيم أبا وهو جد ولأن الجد كالأب والجدة كالأم في أحكام الولادة من رد الشهادة وغيرها وكذلك في إيجاب النفقة ويجب على الأب نفقة الولد لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن رجلا جاء إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقال : يا رسول الله عندي دينار فقال : [ أنفقه على نفسك قال : عندي آخر فقال : أنفقه على ولدك قال : عندي آخر فقال : أنفقه على أهلك قال : عندي آخر قال : أنفقه على خادمك قال : عندي آخر قال : أنت أعلم به ] ويجب عليه نفقة ولد الوالد وإن سفل لأن اسم الولد يقع عليه والدليل عليه قوله عز و جل : { يا بني آدم } وتجب على الأم نفقة الولد لقوله تعالى : { لا تضار والدة بولدها } ] البقرة : 233 [ ولأنه إذا وجبت على الأب وولادته من جهة الظاهر فلأن تجب على الأم وولادتها من جهة القطع أولى وتجب عليها نفقة ولد الولد لما ذكرناه في الأب ولا تجب نفقة من عدا الوالدين والمولدين من الأقارب كالإخوة والأعمام وغيرهما لأن الشرع ورد بإيجاب نفقة الوالدين والمولدين ومن سواهم لا يلحق بهم في الولادة وأحكام الولادة فلم يلحق بهم في وجوب النفقة
فصل : ولا يستحق القريب النفقة على قريبه من غير حاجة فإن كان موسرا لم يستحق لأنها تجب على سبيل المواساة والموسر مستغن عن المواساة وإن كان معسرا عاجزا عن الكسب لعدم البلوغ أو الكبر أو الجنون أو الزمانة استحق النفقة على قريبه لأنه محتاج لعدم المال وعدم الكسب وإن كان قادرا على الكسب بالصحة والقوة فإن كان من الوالدين ففيه قولان : أحدهما يستحق لأنه محتاج فاستحق النفقة على القريب كالزمن والثاني لا يستحق لأن القوة كاليسار ولهذا سوى رسول الله صلى الله عليه و سلم بينهما في تحريم الزكاة فقال : [ لا تحل الصدقة لغني ولا لذي مرة قوي ] وإن كان من المولدين ففيه طريقان : من أصحابنا من قال فيه قولان كالوالدين ومنهم من قال لا يستحق قولا واحدا لأن حرمة الوالد آكد فاستحق بها مع القوة وحرمة الولد أضعف فلم يستحق بها مع القوة
فصل : فإن كان للذي يستحق النفقة أب وجد أو جد وأبو جد وهما موسران كانت النفقة على الأقرب منهما لأنه أحق بالمواساة من الأبعد وإن كان له أب وابن موسران ففيه وجهان : أحدهما أن النفقة على الأب لأن وجوب النفقة عليه منصوص عليه وهو قوله تعالى : { وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف } ] البقرة : 233 [ ووجوبها على الولد ثبت بالاجتهاد والثاني أنهما سواء لتساويهما في القرب والذكورية وإن كان له أب وأم موسران كانت النفقة على الأب لقوله تعالى : { فإن أرضعن لكم فآتوهن أجورهن } ] الطلاق : 6 [ فجعل أجرة الرضاع على الأب وروت عائشة رضي الله عنها أن هندا أم معاوية جاءت إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقالت : يا رسول الله إن أبا سفيان رجل شحيح وأنه لا يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه سرا وهو لا يعلم فهل علي في ذلك من شيء ؟ فقال النبي صلى الله عليه و سلم : [ خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف ] ولأن الأب ساوى الأم في الولادة وانفرد بالتعصيب فقدم وإن كان له أم وجد أبو الأب وهما موسران فالنفقة على الجد لأن له ولادة وتعصيبا فقدم على الأم كالأب وإن كانت له بنت وابن بنت ففيه قولان : أحدهما أن النفقة على البنت لأنها أقرب والثاني أنها على ابن البنت لأنه أقوى وأقدر على النفقة بالذكورية وإن كانت له بنت وابن ابن فالنفقة على ابن الابن لأن له ولادة وتعصيبا فقدم كما قدم الجد على الأم وإن كان له أم وبنت كانت النفقة على البنت لأن للبنت تعصيبا وليس للأم تعصيب وإن كان له أم أم وأبو أم فهما سواء لأنهما يتساويان في القرب وعدم التعصيب وإن كان له أم أم وأم أب ففيه وجهان : أحدهما أنهما سواء لتساويهما في الدرجة والثاني أن النفقة على أم الأب لأنها تدلي بالعصبة
فصل : وإن كان الذي تجب عليه النفقة يقدر على نفقة قريب واحد وله أب وأم يستحقان النفقة ففيه ثلاثة أوجه : أحدها أن الأم أحق لما روي أن رجلا قال : يا رسول الله من أبر ؟ قال : [ أمك قال : ثم من ؟ قال : أمك قال : ثم من ؟ قال : أمك قال : ثم من ؟ قال : أبوك ] ولأنها تساوي الأب في الولادة وتنفرد بالحمل والوضع والرضاع والتربية والثاني أن الأب أحق لأنه يساويها في الولادة وينفرد بالتعصيب ولأنهما لو كانا موسرين والابن معسرا قدم الأب في وجوب النفقة عليها فقدم في النفقة له والثالث أنهما سواء لأن النفقة بالقرابة لا بالتعصيب وهما في القرابة سواء وإن كان له أب وابن ففيه وجهان : أحدهما أن الابن أحق لأن نفقته ثبتت بنص الكتاب والثاني أن الأب أحق لأن حرمته آكد ولهذا لا يقاد بالابن ويقاد به الابن وإن كان له ابن وابن ابن أو أب وجد ففيه وجهان : أحدهما أن الابن أحق من ابن الابن والأب أحق من الجد لأنهما أقرب ولأنهما لو كانا موسرين وهو معسر كانت نفقته على أقربهما فكذلك في نفقته عليهما والثاني أنهما سواء لأن النفقة بالقرابة ولهذا لا يسقط أحدهما بالآخر إذا قدر على نفقتهما
فصل : ومن وجبت عليه نفقته بالقرابة وجبت نفقته على قدر الكفاية لأنها تجب للحاجة فقدرت بالكفاية وإن احتاج إلى من يخدمه وجبت نفقة خادمه وإن كانت له زوجة وجبت نفقة زوجته لأن ذلك من تمام الكفاية وإن مضت مدة ولم ينفق على من تلزمه نفقته من الأقارب لم يصر دينا عليه لأنها وجبت عليه لتزجية الوقت ودفع الحاجة وقد زالت الحاجة لما مضى فسقطت
فصل : وإن كان له أب فقير مجنون أو فقير زمن واحتاج إلى الإعفاف وجب على الولد إعفافه على المنصوص وخرج أبو علي بن خيران قولا آخر أنه لا يجب لأنه قريب يستحق النفقة فلا يستحق الإعفاف كالابن والمذهب الأول لأنه معنى يحتاج الأب إليه ويلحقه الضرر بفقده فوجب كالنفقة وإن كان صحيحا قويا وقلنا إنه تجب نفقته وجب إعفافه وإن قلنا لا تجب نفقته ففي إعفافه وجهان : أحدهما لا يجب لأنه لا تجب نفقته فلا يجب إعفافه والثاني وهو قول أبي إسحاق أنه يجب إعفافه لأن نفقته إن لم تجب على القريب أنفق عليه من بيت المال والإعفاف لا يجب في بيت المال فوجب على القريب ومن وجب عليه الإعفاف فهو بالخيار بين أن يزوجه بحرة وبين أن يسريه بجارية ولا يجوز أن يزوجه بأمة لأنه بالإعفاف يستغنى عن نكاح الأمة ولا يعفه بعجوز ولا بقبيحة لأن الأصل من العفة هو الاستمتاع ولا يحصل ذلك بالعجوز ولا القبيحة فإن زوجه بحرة أو سراه بجارية ثم استغنى لم يلزمه مفارقة الحرة ولا رد الجارية لأن ما استحق للحاجة لم يجب رده بزوال الحاجة كما لو قبض نفقة يوم ثم أيسر وإن أعفه بحرة فطلقها أو سرا بجارية فأعتقها لم يجب عليه بدلها لأن ذلك مواساة لدفع الضرر فلو أوجبنا البدل خرج من حد المواساة وأدى إلى الضرر والضرر لا يزال بالضرر وإن ماتت عنده ففيه وجهان : أحدهما لا يجب البدل لأنه يخرج عن حد المواساة والثاني يجب لأنه زال ملكه عنها بغير تفريط فوجب بدله كما لو دفع إليه نفقة يوم فسرقت منه
فصل : ومن وجبت عليه نفقته بالقرابة وجبت نفقته على قدر الكفاية لأنها تجب للحاجة فقدرت بالكفاية وإن احتاج إلى من يخدمه وجبت نفقة خادمه وإن كانت له زوجة وجبت نفقة زوجته لأن ذلك من تمام الكفاية وإن مضت مدة ولم ينفق على من تلزمه نفقته من الأقارب لم يصر دينا عليه لأنها وجبت عليه لتزجية الوقت ودفع الحاجة وقد زالت الحاجة لما مضى فسقطت
فصل : وإن كان له أب فقير مجنون أو فقير زمن واحتاج إلى الإعفاف وجب على الولد إعفافه على المنصوص وخرج أبو علي بن خيران قولا آخر أنه لا يجب لأنه قريب يستحق النفقة فلا يستحق الإعفاف كالابن والمذهب الأول لأنه معنى يحتاج الأب إليه ويلحقه الضرر بفقده فوجب كالنفقة وإن كان صحيحا قويا وقلنا إنه تجب نفقته وجب إعفافه وإن قلنا لا تجب نفقته ففي إعفافه وجهان : أحدهما لا يجب لأنه لا تجب نفقته فلا يجب إعفافه والثاني وهو قول أبي إسحاق أنه يجب إعفافه لأن نفقته إن لم تجب على القريب أنفق عليه من بيت المال والإعفاف لا يجب في بيت المال فوجب على القريب ومن وجب عليه الإعفاف فهو بالخيار بين أن يزوجه بحرة وبين أن يسريه بجارية ولا يجوز أن يزوجه بأمة لأنه بالإعفاف يستغنى عن نكاح الأمة ولا يعفه بعجوز ولا بقبيحة لأن الأصل من العفة هو الاستمتاع ولا يحصل ذلك بالعجوز ولا القبيحة فإن زوجه بحرة أو سراه بجارية ثم استغنى لم يلزمه مفارقة الحرة ولا رد الجارية لأن ما استحق للحاجة لم يجب رده بزوال الحاجة كما لو قبض نفقة يوم ثم أيسر وإن أعفه بحرة فطلقها أو سرا بجارية فأعتقها لم يجب عليه بدلها لأن ذلك مواساة لدفع الضرر فلو أوجبنا البدل خرج من حد المواساة وأدى إلى الضرر والضرر لا يزال بالضرر وإن ماتت عنده ففيه وجهان : أحدهما لا يجب البدل لأنه يخرج عن حد المواساة والثاني يجب لأنه زال ملكه عنها بغير تفريط فوجب بدله كما لو دفع إليه نفقة يوم فسرقت منه
فصل : وإن احتاج الولد إلى الرضاع وجب على القريب إرضاعه لأن الرضاع في حق الصغير كالنفقة في حق الكبير ولا يجب إلا في حولين كاملين لقوله تعالى : { والوالدات يرضعن أولادهن حولين كاملين لمن أراد أن يتم الرضاعة } ] البقرة : 233 [ فإن كان الولد من زوجته وامتنعت من الإرضاع لم تجبر وقال أبو ثور تجبر لقوله تعالى : { والوالدات يرضعن أولادهن حولين كاملين لمن أراد أن يتم الرضاعة } وهذا خطأ لأنها إذا لم تجبر على نفقة الولد مع وجود الأب لم تجبر على الرضاع وإن أرادت إرضاعه كره للزوج منعها لأن لبنها أوفق له وإن أراد منعها منه كان له ذلك لأنه يستحق الاستمتاع بها في كل وقت إلا في وقت العبادة فلا يجوز لها تفويته عليه بالرضاع وإن رضيا بإرضاعه فهل تلزمه زيادة على نفقتها فيه وجهان : أحدهما تلزمه وهو قول أبي سعيد و أبي إسحاق لأنها تحتاج في حال الرضاع إلى أكثر مما تحتاج في غيره والثاني لا تلزمه الزيادة على نفقتها في النفقة لأن نفقتها مقدرة فلا تجب الزيادة لحاجتها كما لا تجب الزيادة في نفقة الأكولة لحاجتها وإن أرادت إرضاعه بأجرة ففيه وجهان : أحدهما لا يجوز وهو قول الشيخ أبي حامد الإسفرايني رحمة الله عليه لأن أوقات الرضاع مستحقة لاستمتاع الزوج ببدل وهو النفقة فلا يجوز أن تأخذ بدلا آخر والثاني أنه يجوز لأنه عمل يجوز أخذ الأجرة عليه بعد البينونة فجاز أخذ الأجرة عليه قبل البينونة كالنسج وإن بانت لم يملك إجبارها على إرضاعه كما لا يملك قبل البينونة فإن طلبت أجرة المثل على الرضاع ولم يكن للأب من يرضع بدون الأجرة كانت الأم أحق به لقوله تعالى : { فإن أرضعن لكم فآتوهن أجورهن } ] الطلاق : 6 [ وإن طلبت أكثر من أجرة المثل جاز انتزاعه منها وتسليمه إلى غيرها لقوله تعالى : { وإن تعاسرتم فسترضع له أخرى } ] الطلاق : 6 [ ولأن ما يوجد بأكثر من عوض المثل كالمعدوم ولهذا لو وجد الماء بأكثر من ثمن المثل جعل كالمعدوم في الانتقال إلى التيمم فكذلك ههنا وإن طلبت أجرة المثل وللأب من يرضعه بغير عوض أو بدون أجرة المثل ففيه قولان : أحدهما أن الأم أحق بأجرة المثل لأن الرضاع لحق الولد ولأن لبن الأم أصلح له وأنفع وقد رضيت بعوض المثل فكان أحق والثاني أن الأب أحق لأن الرضاع في حق الصغير كالنفقة في حق الكبير ولو وجد الكبير من يتبرع بإرضاعه لم يستحق على الأب أجرة الرضاع وإن ادعت المرأة أن الأب لا يجد غيرها فالقول قول الأب لأنها تدعي استحقاق أجرة المثل والأصل عدمه
فصل : ويجب على المولى نفقة عبده وأمته وكسوتهما لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه و سلم قال : [ للمملوك طعامه وكسوته ولا يكلف من العمل إلا ما يطيق ] ويجب عليه نفقته من قوت البلد لأنه هو المتعارف فإن تولى طعامه استحب أن يطعمه منه لما روى أبو هريرة رضي الله عنه قال : قال أبو القاسم صلى الله عليه و سلم : [ إذا جاء أحدكم خادمه بطعام فليجلسه معه فإن لم يجلسه معه فليناوله أكلة أو أكلتين فإنه تولى علاجه وحره ] فإن كانت له جارية للتسري استحب أن تكون كسوتها أعلى من كسوة جارية الخدمة لأن العرف أن تكون كسوتها أعلى فوق كسوة جارية الخدمة
فصل : ولا يكلف عبده وأمته من الخدمة ما لا يطيقان لقوله صلى الله عليه و سلم : [ ولا يكلفه من العمل ما لا يطيق ] ولا يسترضع الجارية إلا ما فضل عن ولدها لأن في ذلك إضرارا بولدها وإن كان لعبده زوجة أذن له في الاستمتاع بالليل لأن إذنه بالنكاح يتضمن الإذن في الاستمتاع بالليل وإن مرض العبد أو الأمة أو عميا أو زمنا لزمه نفقتهما لأن نفقتهما بالملك ولهذا تجب مع الصغر فوجبت مع العمى والزمانة ولا يجوز أن يجبر عبده على المخارجة لأنه معاوضة فلم يملك إجباره عليها كالكتابة وإن طلب العبد ذلك لم يجبر المولى كما لا يجبر إذا طلب الكتابة فإن اتفقا عليها وله كسب جاز لما روي أن النبي صلى الله عليه و سلم حجمه أبو طيبة فأعطاه أجره وسأل مواليه أن يخففوا من خراجه وإن لم يكن له كسب لم يجز لأنه لا يقدر على أن يدفع إليه من جهة تحل فلم يجز
فصل : ومن ملك بهيمة لزمه القيامة بعلفها لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : [ عذبت امرأة في هرة حبستها حتى ماتت جوعا فدخلت فيها النار فقيل لها ـ والله أعلم ـ لا أنت أطعمتها وسقيتها حين حبستها ولا أنت أرسلتها حتى تأكل من خشاش الأرض حتى ماتت جوعا ] ولا يجوز له أن يحمل عليها ما لا تطيق لأن النبي صلى الله عليه و سلم منع أن يكلف العبد ما لا يطيق فوجب أن تكون البهيمة مثله ولا يحلب من لبنها إلا ما يفضل عن ولدها لأنه غذاء للولد فلا يجوز منعه
فصل : وإن امتنع من الإنفاق على رقيقه أو على بهيمته أجبر عليه كما يجبر على نفقة زوجته وإن لم يكن له مال أكرى عليه إن أمكن إكراؤه فإن لم يمكن بيع عليه كما يزال الملك عنه في امرأته إذا أعسر بنفقتهما والله أعلم
فصل : ويجب على المولى نفقة عبده وأمته وكسوتهما لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه و سلم قال : [ للمملوك طعامه وكسوته ولا يكلف من العمل إلا ما يطيق ] ويجب عليه نفقته من قوت البلد لأنه هو المتعارف فإن تولى طعامه استحب أن يطعمه منه لما روى أبو هريرة رضي الله عنه قال : قال أبو القاسم صلى الله عليه و سلم : [ إذا جاء أحدكم خادمه بطعام فليجلسه معه فإن لم يجلسه معه فليناوله أكلة أو أكلتين فإنه تولى علاجه وحره ] فإن كانت له جارية للتسري استحب أن تكون كسوتها أعلى من كسوة جارية الخدمة لأن العرف أن تكون كسوتها أعلى فوق كسوة جارية الخدمة
فصل : ولا يكلف عبده وأمته من الخدمة ما لا يطيقان لقوله صلى الله عليه و سلم : [ ولا يكلفه من العمل ما لا يطيق ] ولا يسترضع الجارية إلا ما فضل عن ولدها لأن في ذلك إضرارا بولدها وإن كان لعبده زوجة أذن له في الاستمتاع بالليل لأن إذنه بالنكاح يتضمن الإذن في الاستمتاع بالليل وإن مرض العبد أو الأمة أو عميا أو زمنا لزمه نفقتهما لأن نفقتهما بالملك ولهذا تجب مع الصغر فوجبت مع العمى والزمانة ولا يجوز أن يجبر عبده على المخارجة لأنه معاوضة فلم يملك إجباره عليها كالكتابة وإن طلب العبد ذلك لم يجبر المولى كما لا يجبر إذا طلب الكتابة فإن اتفقا عليها وله كسب جاز لما روي أن النبي صلى الله عليه و سلم حجمه أبو طيبة فأعطاه أجره وسأل مواليه أن يخففوا من خراجه وإن لم يكن له كسب لم يجز لأنه لا يقدر على أن يدفع إليه من جهة تحل فلم يجز
فصل : ومن ملك بهيمة لزمه القيامة بعلفها لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : [ عذبت امرأة في هرة حبستها حتى ماتت جوعا فدخلت فيها النار فقيل لها ـ والله أعلم ـ لا أنت أطعمتها وسقيتها حين حبستها ولا أنت أرسلتها حتى تأكل من خشاش الأرض حتى ماتت جوعا ] ولا يجوز له أن يحمل عليها ما لا تطيق لأن النبي صلى الله عليه و سلم منع أن يكلف العبد ما لا يطيق فوجب أن تكون البهيمة مثله ولا يحلب من لبنها إلا ما يفضل عن ولدها لأنه غذاء للولد فلا يجوز منعه
فصل : وإن امتنع من الإنفاق على رقيقه أو على بهيمته أجبر عليه كما يجبر على نفقة زوجته وإن لم يكن له مال أكرى عليه إن أمكن إكراؤه فإن لم يمكن بيع عليه كما يزال الملك عنه في امرأته إذا أعسر بنفقتهما والله أعلم
(3/158
ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN WAJIB MENAFKAHI ORTU MISKIN
حاشية الباجورى ج ٢ ص ١٨٦
٠(قوله فأما الوالدون وإن علوا فتجب نفقتهم) أي على الفروع ، ولو تعدد المنفق من الفروع كابنين أو بنتين وجبت عليهما بالسوية إن استويا ...إلى أن قال وإن تفاوتا في الإرث كابن وبنت فوجهان المعتمد منهما أنها عليهما بحسب الإرث وقيل بالسوية وهو ضعيف