Tiga Nalar Ke-NU-an Terkait Nasab

Tiga Nalar Ke-NU-an Terkait Nasab HABIB Banyak warga NU yang kurang memahami sejarah berdirinya NU dan peristiwa-peritiwa yang menyertai dan melatarbe

Tiga Nalar Ke-NU-an Terkait Nasab

3 NALAR KE-NU-AN TERKAIT NASAB
Oleh: GP Anshor Kauman

Sebuah kritik ke-NU-an terhadap struktural NU & Kyai Muhibbin 

NALAR 1: HUBUNGAN KEORGANISASIAN NU-RA (RABITHAH ALAWIYAH)

Banyak warga NU yang kurang memahami sejarah berdirinya NU dan peristiwa-peritiwa yang menyertai dan melatarbelakanginya, termasuk struktural NU. beberapa fakta yang menunjukkan ulama NU dan habaib merupakan dua (2) entitas yang berbeda

1. NU berdiri tahun 1926 dan Rabitoh Alawiyah (RA) berdiri tahun 1928 (memilih bergabung dengan NU)

2. NU didirikan untuk memberikan wadah organisasi kaum tradisionalis yang tidak sejalan dengan organisasi lainnya. (Muhammadiyah, Serikat Islam).

3. RA didirikan karena ekseklusifme habaib. Dibuktikan habaib juga tidak dapat hidup bersama dengan sesama imigran Yaman yang tergabung dalam Al-Irsyad juga tidak bersedia bergabung dengan NU

4. NU mengakomodir Tariqot yang merupakan  salah satu maskot kaum tradisionalis. Tariqat menjadi simpul tradisi dan filosofi NU. Namun tradisi ini oleh Habib Usman difatwakan sebagai ajaran sesat. Ini tertulis dalam buku Manhaj al-Istiqomah karya Habib Usman bin Yahya. Bahkan  habib Usman bin Yahya mengusulkan kepada Belanda melalui Snock Hourge agar fatwa tersebut diterapkan di negara jajahan Belanda lainnya. Mengingat jamaah toriqoh dan pesantren sering menjadi simpul perjuangan.

NALAR 2 : PEMBATALAN NASAB HABAIB OLEH KH HASYIM ASY’ARI DAN 24 ULAMA

 Nasab habaib pernah dibatalkan oleh KH Hasyim Asy’ari sebagaimana terekam pada majalah at-Tobib, edisi ke 15 bulan September 1932. Pembatalan ini, bukanlah lahir dari kehampaan, apalagi kesia-siaan. Namun sebaliknya, merupakan salah satu perjuangan KH Hasyim Asy’ari. Tampaknya akibat terdesak oleh waktu sehingga beliau hanya mampu melibatkan  24 ulama saja. 

Dengan adanya fatwa awal ini, bagi struktural NU maupun Kyai NU apabila benar-benar mengikuti kyai Hasyim Asy’ari, jika hendak berbeda atau menyelisihi fatwa KH Hasyim Asy’ari, haruslah diawali dengan bahtsul masail apabila kehendak lembaga, atau secara personal memberikan istidlal dan hujjah sebagai antitesis untuk menggugurkan atau disandingkan dengan fatwa KH Hasyim Asy’ari.


 

Mari kita lihat fakta dan kronologi yang melatar belakangi munculnya fatwa tersebut :

1. Habaib mengajukan pada Belanda melalui RA pada tahun 1929 agar gelar sayyid di khususkan kepada Ba’lawi

2. Tahun 1932, Habaib mendesak Belanda kesekian kalinya, agar Belanda segera mengeluarkan aturan tersebut. Ini merupakan permohonan ke tiga. Demi mendorong permintaan itu, Habib Usman Bin Yahya juga melayangkan surat kepada Snock Hourge. (permohonan ke 4)

3. September Tahun 1932 KH. Hasyim Asy’ari bersama 24 ulama mengeluarkan fatwa ”Penggunaan gelar Sayyid, Syarif dan Syarifah hanya di peruntukkan bagi dzuriyah Nabi" sebagai bentuk penolakan pengajuan Ba’lawi. Maka  Belanda pada Pebruari 1933 mengambil sikap atas desakan Habaib tersebut dengan menolak permintaan Habaib dengan alasan urusan agama bukan domain Belanda. Tampaknya belanda sangat memperhatikan fatwa KH. Hasyim Asy’ari tersebut. Dan Akibat penolakan tersebut, Ba’lawi pun akhirnya tetap menggunakan gelar habib hingga sekarang.

4. Kyai Hasyim tentunya mengetahui banyak ulama di Indonesia yang merupakan Sayyid-Syarif. Sebaliknya, konon banyak Dzuriyah walisongo (baca; dzuriyah nabi) malah menyembunyikan 

NALAR 3 : KEMBALILAH KE KHITTOH NU

NU harus berani kembali kepada fitrah ke-Ulama-annya. Yaitu menjadi wadah ahli-ilmu yang mengakomodir dan membentengi ilmu, keyakinan dan amalan warga NU. Menjadi penerang warga NU. Jikapun menerangi warga non NU, itu adalah sebuah implikasi dan bonus. Melek terhadap kebutuhan warga NU dan menjauhkannya dari segala bentuk pembodohan atas nama agama. 

1. Berani mengkaji nasab atas dasar keharusan ilmu dan kebenaran

2. Berani mengkaji khurofat ba’lawi, mengkaji dengan serius ajaran-ajaran khurofat yang di ajarkan ba’lawi kepada warga NU demi melindungi warga NU yang diamanatkan oleh kh hasyim asyari kepada NU. 

3. Bahwa pada dasarnya NU adalah sebuah paguyuban, Dan struktural itu bukan otoritas Dan penafsir tunggal. Maka NU Harus berani menghormati kajian yang telah Banyak dilakukan ilmuan NU (jika NU kesulitan mengakui keulamaan generasi muda seperti kepakaran kiai Imad, K. Ihya’ KH. Gholob. Gus Azis Jazuli Gus Hasan dll) yang nyata-nyata ke-NU-annya tidak perlu dipertanyakan daripada habaib yang nyata-nyata memiliki ormas tersendiri

4. Nu harus menerima kenyataan dan memiliki marwah terhadap ke-NU-an, bahwa penggiringan visi kiblat Dari kebijakan local (syaikh Abdul qodir,walisongo-ulama) ke Tarim (Faqih Muqoddam, umroh, karomah2) itu Ada. Pendeskreditan kepada ulama oleh habaib itu nyata, Penyelewengan sejarah itu harus disikapi, Penggerusan ajaran NU (ulama-ilmu-tasawuf) kepada ajaran fanatisme itu sedang terjadi. Dst

5. Siap melakukan otokritik baik pada lembaga NU, Generasi NU maupun Peradaban NU.

LihatTutupKomentar