Bolehkah Seluruh Harta Warisan diberikan pada Satu Ahli Waris Saja?
Bolehkah Seluruh Harta Warisan diberikan pada Satu Ahli Waris Saja? Seluruh harta warisan boleh diberikan pada satu ahli waris apabila ahli waris lain sepakat dan rela. Di sini cacat atau tidaknya tidak menjadi pertimbangan syariah. Yang prinsip adalah setuju atau tidaknya ahli waris yang lain.
Pembagian Harta Waris untuk wanita dewasa yang belum menikah dan memiliki kebutuhan khusus (cacat)
Ass. Wr. Wb.
Ayah saya pensiunan PNS, meninggal tahun 1998.
Kami ahli warisnya terdiri dari :
1. Ibu usia 83 tahun, ibu rumah tangga
2. 1 anak laki-laki anak ke-2 : usia 60 tahun, Pendidikan S1, pensiunan PNS dengan pangkat golongan ³ 4a
3. 6 anak perempuan
a. Anak ke-1 : meninggal tahun 2007
b. Anak ke-3 : usia 55 tahun, menikah, swasta (usaha pulsa dan accessories hp)
c. Anak ke-4 : usia 53 tahun, menikah, Pendidikan S2, PNS (Guru) dengan pangkat golongan ³ 4a
d. Anak ke-5 : usia 50 tahun, menikah, Pendidikan S3, Swasta (Dosen)
e. Anak ke-6 : usia 47 tahun, belum menikah, Pendidikan S1, tidak bekerja
f. Anak ke-7 : usia 43 tahun, menikah, Pendidikan D3
DAFTAR ISI
- Bolehkah Warisan diberikan semua pada Satu Ahli Waris?
- Hukum Ibu Mencuci Celana Dalam Anak Perempuan
- Hukum Hutang Piutang Emas
- CARA KONSULTASI SYARIAH ISLAM
Harta waris yang ditinggalkan ayah saya :
1. Rumah (280 m2) berserta kebun (929 m2). Jika dirupiahkan kira2 Rp. 240 juta.
Kondisi rumah warisan ayah saya sudah kuno. Atapnya banyak yang lapuk dan bocor. Temboknya sudah banyak yang retak2 dan keropos.
2. Uang pensiun untuk janda PNS ± 1 juta rupiah per bulan.
3. Dulu ayah saya memiliki sawah seluas ± 8000 m2. Sampai saya lulus kuliah (tahun 1995) sawah tersebut masih utuh. Pada saat ayah saya meninggal, harta warisnya tinggal rumah dan kebun yang saat ini saya tempati. Tidak ada penjelasan mengenai sawah tersebut (tapi saya masih memiliki surat jual-belinya yang asli).
Saya : anak ke-6. Sejak kecil saya sakit-sakitan. Pada tahun 1973 (usia 6 tahun) saya mengalami kecelakaan sehingga Kaki kanan saya diamputasi. Untuk beraktivitas saya menggunakan kaki palsu.
Jika kaki palsu saya rusak, saya harus membeli lagi yang baru. Pada tahun 2009 harganya Rp. 2.5 juta.
· Saya Programmer. Saya pernah bekerja tetap (di luar kota) dari tahun 1995 s/d 2006. Kerja part time tahun 1993-1995, 2006-2008.
· Sejak tahun 2009 saya menetap dan tinggal dirumah ibu saya. Saya menemani ibu saya, sambil mencari2 pekerjaan dan peluang usaha (dengan sisa tabungan yang saya miliki). Sampai tabungan saya habis, saya masih menganggur.
· Sejak Juli 2010 ibu saya tinggal di rumah kakak ke-3 dan saya tinggal sendirian di rumah warisan ayah saya dan jadi tanggungan ibu saya, saya diberi uang belanja Rp. 500 ribu per bulan (diambilkan dari uang pensiun ayah).
· Kemudian sejak tahun 2012 saya diberi Rp. 300 ribu per bulan.
Ayah dan ibu saya dulu berwasiat kepada saya, bahwa :
“ Rumah dan kebun yang saya tempati saat ini diwariskan kepada saya, agar saya tidak menjadi beban bagi orang lain dan saudara2 saya (karena saya memiliki kebutuhan khusus). Sedangkan saudara2 saya sudah diberi bantuan sama bapak saya untuk membangun rumah masing2. Dan Menurut bapak saya semua saudara2 saya sudah diberitahu mengenai hal tersebut. Dulu, saudara2 saya, mengatakan hal yang sama kepada saya tentang wasiat orang tua saya tersebut“
Permasalahan saya :
1. Pertama :
a. Sekarang saudara2 saya seolah-olah lupa dengan wasiat tersebut, sedangkan Ibu saya sudah pelupa (karena sudah manula) dan saya tidak punya saksi dan bukti secara tertulis mengenai wasiat orang tua saya di atas.
Padahal Surat Tanah dan Karip (Kartu untuk mengambil uang pensiun) dibawa kakak saya. Saya hanya memiliki IMB rumah (asli) saja. saya pernah menanyakan ke kakak saya tentang hak saya, katanya saya sudah tidak berhak untuk meminta bagian dengan alasan karena semua sudah jadi haknya ibu saya dan saya hanya boleh menempati dan merawat rumah warisan tersebut, dengan uang belanja Rp. 300 ribu rupiah per bulan (diambilkan dari uang pensiun ayah saya).
b. Saya bermaksud untuk membawa ibu saya kembali ke rumah, karena hanya saya yang belum menikah. Dan mengontrakan sebagian rumah warisan tersebut. Hasilnya saya gunakan untuk biaya hidup saya sehari2 dan memperbaiki rumah. Jika ada sisa, saya gunakan untuk buka usaha. Jika lebih akan saya bagi dengan adik saya. Tapi saudara2 saya tidak setuju.
c. Sejak SMA tahun 1984 saya terbiasa kost, karena letak gedung SMA dan tempat kerja saya jauh dari rumah orang tua saya.
Pertanyaan saya : “Apa yang harus saya lakukan ?”
2. Kedua, dalam Al-Quran disebutkan :
a. surat Al-Baqarah ayat 180 berbunyi : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.
b. surat An-Nisaa ayat 9 berbunyi : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”
Pertanyaan saya, berdasarkan ke-2 ayat tersebut :
i. “Apa yang dimaksud dengan harta yang banyak ?”.
ii. “Berapa jumlah harta/kekayaan/warisan yang wajib untuk dibagikan ?”
iii. “Karena kondisi fisik saya, apakah haram hukumnya, jika semua warisan tersebut diberikan kepada saya ?”
iv. “Jika haram, apakah saya bisa meminta 1/3 bagian dari harta waris tersebut ?”
v. “Apakah ada bagian khusus bagi penyandang cacat ?”
Dengan uraian saya di atas, saya berharap ada solusi secara syari’ah untuk menyelesaikan pembagian harta warisan seperti kondisi permasalahan saya ini.
Wass. Wr. Wb.
JAWABAN
1. Segala sesuatu yang terkait dengan transaksi harta dan finansial hendaknya tertulis dan memiliki kekuatan legal formal. Tanpa itu, akan sulit bagi siapapun yang merasa dirugikan untuk melakukan klaim terutama ketika pihak-pihak terkait-- dalam hal ini saudara-saudara anda -- tidak mengakui klaim tersebut.
Selain itu, kalau memang betul ayah anda berwasiat untuk memberikan rumah dan kebun yang anda tempati saat ini, maka wasiat itu dalam Islam hanya berlaku tidak boleh melebihi dari 1/3 (sepertiga) dari harta warisan. Kecuali kalau ahli waris yang lain menyetujui untuk memberikan seluruh harta warisan kepada satu ahli waris, maka itu tidak masalah alias dibolehkan oleh syariah.
Saran saya, lakukan komunikasi yang baik dengan para saudara anda agar mereka mau mengakui wasiat ayah tersebut dan bujuklah mereka dengan halus dan lembut agar mau merelakan harta peninggalan tersebut untuk Anda. Posisi anda terkait wasiat tersebut sangat lemah karena tidak ada bukti tertulis, oleh karena itu, hanya sikap empati dari ahli waris sangat diperlukan. Dan itu bisa dicapai kalau anda berperilaku baik pada mereka.
2.
i. Harta yang banyak adalah adanya harta peninggalan yang cukup untuk menghidupi ahli waris, maka dianjurkan untuk mewasiatkan sebagian hartanya pada yang lain.
ii. Wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 (sepertiga) dari keseluruhan harta orang yang meninggal.
iii. Seluruh harta warisan boleh diberikan pada satu ahli waris apabila ahli waris lain sepakat dan rela. Di sini cacat atau tidaknya tidak menjadi pertimbangan syariah. Yang prinsip adalah setuju atau tidaknya ahli waris yang lain.
iv. 1/3 bagian adalah hak orang yang menerima wasiat. Sedangkan sisanya dibagikan kepada ahli seluruh waris, termasuk anda.
v. Tidak ada bagian khusus untuk penyandang cacat.
Lebih detail baca artikel berikut:
- Hukum Waris Islam (Panduan Lengkap)
- Wasiat dalam Islam
__________________________________________________
Hukum Ibu Mencuci Celana Dalam Anak Perempuan
Assalamualaikum wr.wb....
Nama saya Wiwin
Di – Bogor, Jawa Barat
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih dan ingin konsultasi mengenai hal berikut.
1). "Maaf..." Apakah benar berdosa, kalau celana dalam seorang anak perempuan yang sudah dapat haid (sudah dewasa) dicuci oleh ibu kandungnya sendiri? Karena saya kenal seorang Ustad di tempat kerja saya dan kata Ustad tersebut “kita BerDosa, kalau ibu kita mencuci celana dalam kita.”
2). Apakah ada dalil dalam Al-Quran maupun Sunnah atau Firman Allah yang menyebutkan hal ini?
3). Kalau berDosa. Dosanya seperti apa?
Terima kasih...
Wasalamualaikum wr.wb.
Wiwin Riyanti
Jawaban
Tidak ada dalil dari Quran atau hadits yang melarang atau mewajibkan seorang ibu untuk mencuci pakaian putrinya. Pakaian dalam atau luar. Sudah dewasa atau masih anak-anak. Islam tidak membahas siapa yang harus mencuci baju. Yang dibahas adalah cara mencucinya yang harus tepat dan benar sehingga dapat menghilangkan najis dan dapat dipakai untuk beribadah shalat 5 (liwa) waktu dan ibadah-ibadah yang lain.
Dalam sebuah hadits sahih riwayat Bukhari Nabi Muhammad pernah ditanya tentang cara mensucikan najis haid. Jawab beliau: "Gosok (darah haid yang ada di baju) dan cuci dengan air." (سئل النبي صلى الله عليه وسلم عن دم الحيضة يكون في الثوب فقال : اقرصيه بالماء واغسليه وصلي فيه)
HUKUM BERBAKTI PADA ORANG TUA
Mungkin yang dimaksud ustadz Anda yang mengatakan “kita berDosa, kalau ibu kita mencuci celana dalam kita” penekanannya bukan si ibu yang berdosa. Tapi anak perempuannya yang berdosa. Dalam hal ini, putri Anda.
Kalau memang itu maksudnya, maka kata-katanya mengandung poin kebenaran apabila seorang ibu yang mencuci baju putrinya itu merasa tersiksa dengan apa yang dilakukannya. Dalam Islam, itu termasuk kategori menyakiti orang tua (uquq al-walidain - عقوق الوالدين) yang masuk kategori dosa besar. Allah berfirman bahwa berbakti pada orang tua itu wajib. Termasuk dalam berbakti pada orang tua adalah mengabdi dan tidak menyakiti perasaan mereka baik dengan kata-kata atau perbuatan. Lihat kajian detail berbakti pada orang tua di sini.
Apabila seorang ibu yang mencuci baju putrinya karena kehendak sendiri, maka tentunya tidak ada masalah (putri ibu tidak menanggung dosa).
Namun demikian, alangkah baiknya kalau orang tua memerintahkan supaya sang anak yang mencucikan baju ayah dan ibunya. Bukan sebaliknya. Selain dalam rangka mendidik juga agar supaya anak terbiasa menghormati kedua orang tuanya.
__________________________________________________
Hukum Hutang Piutang Emas
Hukum meminjamkan/hutang piutang emas apakah termasuk riba
PERTANYAAN
Pernah saudara saya mau pinjam uang tapi saya tdk punya uang tunai kemudian dia saya pinjami perhiasan untuk di gadaikan dan stlh lunas perhiasan di kembalikan kpd saya. Bgm hukumnya bagi saya ,apakah saya menjalankan riba ?
Muhammad Ulil
JAWABAN
Memberi pinjaman atau hutangan pada orang yang membutuhkan itu sunnah. Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah 2:245:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافاً كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Nabi Muhammad bersabda dalam sebuah hadits sahih riwayat Muslim:
من نفّس عن مُؤمن كربة من كرب الدنيا نفس الله عنه كربة من كرب يوم القيامة، ومن يسّر على معسر يسّر الله عليه في الدنيا والآخرة، ومن ستر مسلماً ستره الله في الدنيا والآخرة، والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه
Memberi hutangan itu hukumnya sunnah. Adapaun berhutang itu hukumnya boleh (mubah).
Segala barang yang boleh dijual, maka ia boleh dihutangkan (كل ما صح بيعه صح قرضه). Oleh karena itu, meminjamkan emas hukumnya boleh.
Satu hal yang juga perlu diketahui dalam masalah hutang piutang yang syar'i adalah si penghutang (al-muqridh) tidak boleh mensyaratkan bunga atau manfaat tertentu dalam pengembalian hutang. Jadi, kalau meminjamkan emas 10 gram, maka kembaliannya 10 gram. Tidak boleh lebih karena hal itu disebut riba.
Akan tetapi, kalau ternyata orang yang hutang memberi lebih dari jumlah hutang atas dasar suka rela, hal itu dibolehkan. Bahkan itu sunnah.
(الإحسان في القرض مستحب إن لم يكن شرطاً كأن يقرضه من الإبل بكراً فيعطيه بدله رباعياً؛ لأن هذا من حسن القضاء ومكارم الأخلاق)