Konsultasi Agama Islam Konsultasi Agama Islam
recent

Breaking News

recent
جاري التحميل ...

PONDOK PESANTREN: Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter

PONDOK PESANTREN: Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter

Judul esai, makalah, artikel: PONDOK PESANTREN: Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter

Penulis: Dr. Drs. H. IMAM SYAFE'I, M.Ag

Email: syafeiimam6@gmail.com

Jabatan: Kajur PAI UIN Raden Intan Lampung, Lektor Kepala/Ketua pada Program Studi Pendidikan Agama Islam Strata Dua (S2) Pascasarjana UIN Raden Intan Lampung Masa Jabatan Tahun 2022 s.d 2026

Jurnal/universitas penerbit: Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, Mei 2017

Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

Tahun terbit: Mei 2017

 

Daftar isi

  1. PENDAHULUAN
  2. HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN
    1. A. Sejarah Pesantren dan Perkembangannya.
    2. C. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Pesantren
    3. D. Pesantren Antara Harapan dan Tantangan
    4. E. Format Pesantren Masa Depan.
  3. SIMPULAN DAN SARAN
  4. Daftar Pustaka 
  5. Lihat artikel kategori Pesantren


PENDAHULUAN

Pondok pesantren yang melembaga di masyarakat, terutama di pedesaan merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Awal kehadiran pondok pesantren bersifat tradisional untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam sebagai pedoman hidup (tafaqquh fi al-din) dengan menekankan pentingnya moral dalam bermasyarakat. (mastuhu, 1994). Munculnya pesantren di Indonesia diperkirakan sejak 300-400 tahun yang lalu dan menjangkau hampir di seluruh lapisan masyarakat muslim (Agama, 1984/1985), terutama di jawa. 

 

 Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik. Tidak saja karena keberadaannya yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur, metode, dan jaringan yang diterapkan oleh lembaga agama tersebut. Karena keunikannya itu, C. Geertz demikian juga Abdurrahman Wahid menyebutnya sebagai subkultur masyarakat Indonesia (khususnya Jawa). Pada zaman penjajahan, pesantren menjadi basis perjuangan kaum nasionalis-pribumi.


Kiprah pesantren dalam berbagai hal sangat dirasakan oleh masyarakat. Salah satu yang menjadi contoh utama adalah, selain pembentukan kader-kader ulama dan pengembangan keilmuan Islam, juga merupakan gerakan-gerakan protes terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Protes tersebut selalu dimotori dari dan oleh kaum santri. Setidaknya dapat disebutkanya misalnya; pemberontakan petani di Cilegon-Banten 1888, (Kartodirjo, 1993). Jihad Aceh 1873 (Kartodirjo, 1993, pp. 250-252). gerakan yang dimotori oleh H. Ahmad Ripangi Kalisalak 1786-1875 dan yang lainnya merupakan fakta yang tidak dapat dibantah bahwa pesantren mempunyai peran yang cukup besar dalam perjalanan sejarah Islam di Indonesia. (Steenbrink, 1994)

 

Setelah kemerdekaan negara Indonesia, terutama sejak transisi ke Orde Baru dan ketika pertumbuhan ekonomi betul-betul naik tajam, pendidikan pesantren menjadi semakin terstruktur dan kurikulum pesantren menjadi lebih tetap. Misalnya, selain kurikulum agama, pesantren juga menawarkan mata pelajaran umumdengan menggunakan kurikulum ganda, yaitu kurikulum Kemendiknas dan kurikulum Kemenag. Meskipun demikian, karena otoritas pesantren ada pada kyai, seringkali pesantren juga membuat kurikulum sendiri sebagai tambahan dari materi kurikulum kemendiknas dan kemenag, karena dianggap kedua kurikulum tersebut belum mengakomodir semangat institusi pesantren tersebut.
Proses pengembangan dunia pesantren selain menjadi tanggung jawab internal pesantren, juga harus didukung oleh pemerintah secara serius sebagai proses pembangunan manusia seutuhnya. 

 

Meningkatkan dan mengembangkan peran serta pesantren dalam proses pembangunan di era otonomi daerah merupakan langkah strategis dalam upaya mewujudkan tujuan pembangunan nasional terutama sektor pendidikan. Terlebih, dalam kondisi bangsa yang tengah mengalami krisis (degradasi) moral. Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit moral bangsa. Sehingga, pembangunan tidak menjadi hampa melainkan lebih bernilai dan bermakna.

 

Seiring dengan keinginan yang luhur dalam membina dan mengembangkan masyarakat, dengan kemandiriannya, pesantren secara terus-menerus melakukan upaya pengembangan dan penguatan diri. Walaupun terlihat berjalan secara lamban, kemandirian yang didukung keyakinan yang kuat, ternyata pesantren mampu mengembangkan kelembagaan dan eksistensi dirinya secara berkelanjutan.Dalam tulisan ini, penulis akan membahas tentang (a) Sejarah pesantren dan perkembangannya,(b) pesantren antara harapan dan tantangan,(c) Fungsi dan Tujuan Pendidikan Pesantren(d) format pesantren masa depan.



HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN
A. Sejarah Pesantren dan Perkembangannya.

 
Pesantren sesungguhnya merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia, yang secara nyata telah melahirkan banyak ulama'. Tidak sedikit tokoh Islam lahir dari lembaga pesantren. Bahkan Prof.Dr.Mukti Ali pernah mengatakan bahwa tidak pernah ada ulama yang lahir dari lembaga selain pesantren. Istilah ''pesantren'' berasal dari kata pe-''santri''-an, dimana kata "santri" berarti murid dalam bahasa Jawa. Istilah ''pondok'' berasal dari bahasa Arab ''funduuq'' ('''ęp : ''') yang berarti penginapan. Khusus di Aceh, pesantren disebut juga dengan nama ''dayah''. Menurut laporan Van Bruinessen pesantren tertua di Jawa adalah pesantren Tegalsari yang didirikan tahun 1742, disini anak-anak muda dari pesisir utara belajar agama Islam. Namum hasil survey Belanda 1819, dalam Van Bruinessen lembaga yang mirip pesantren hanya ditemukan di Priangan, pekalongan, Rembang, Kedu, Madiun, danSurabaya (Martin, 1995)Laporan lain, Soebardi mengatakan bahwa pesantren tertua adalah pesantren Giri sebelah utara Surabaya, Jawa Timur yang didirikan oleh wali Sunan Giri pada abad 17 M langsung dipimpin oleh keturunan Nabi-Wali (Soebardi S: 1978: 68).  

 

Baca juga: 10 Pesantren Terbaik di Indonesia

 

Mastuhu memberikan kesimpulan lain, bahwa pesantren di Nusantara telah ada sejak abad ke 13-17, dan di Jawa sejak abad 15-16 M bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia. Laporan mastuhu dikuatkan oleh Dhafier bahwa dalam serat Senthini dijelaskan pada abad 16 telah banyak pesantren-pesantren mashur di Indonesia yang menjadi pusat pendidikan Islam (Dhafier, 1982). Akan tetapi, laporan Mastuhu dan Dhofier di tolak oleh Van Bruinessen, dimana serat Senthini tersebut disusun abad 19, oleh karena itu tidak bisa dianggap sebagai sumber yang dapat dipercaya untuk menjelaskan kejadian abad 17 M (Martin, 1995).

 

Oleh karena itu para sejarahwan menyimpulkan bahwa lembaga pendidikan Islam di Indonesia belum ada sebelum abad 18 M dan baru muncul pada akhir abad 18 M dan awal 19 M (Martin, 1995).
Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang kyai. Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya dalam pesantren salaf(tradisional) disebut ''lurah pondok''.Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka belajar hidup mandiri agar dapat meningkatkan hubungan yang baik dengan kyai dan juga Tuhan.Ada beberapa elemen pesantren yang membedakan dengan lembaga pendidikan lain, yaitu; (1) pondok tempat menginap para santri, (2) santri: peserta didik, (3) masjid: sarana ibadah dan pusat kegiatan pesantren, (4) kyai: tokoh atau sebutan seseorang yang memiliki kelebihan dari sisi agama, dan kharisma yang dimilikinya, (5) kitab kuning: sebagai referensi pokok dalam kajian keislaman (Dhafier, 1982). 

 

Di awal munculnya pesantren, pembelajarannya bersifat nonklasikal, dimana seorang kyai mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam yang ditulis pada abad pertengahan (Prasidjo, 2001). Meskipun kajian-kajian tersebut banyak mengungkap fikih, tafsir dan bahasa arab sebagai alat untuk membedah ilmu-ilmu agama. Fikih yang banyak dikaji pada umkumnya adalah yang bernuansamazhab Syafii dengan sedikit menerima mazhab yang lain, kemudian ajaran-ajaran akhlak dan tasawufnya lebih bercorak tasawuf al- Ghazali, meskipun banyak tokoh sufi atau ajaran-ajaran tasawuf yang lain (Martin, 1995). Oleh karena itu, pesantren menurut pandangan Azumardi Azra masih sangat minim mengkaji tasawauf secara mendalam, tasawuf yang dikaji hanya sebatas tasawuf al-Ghazali dan As- Ariyyah.

 

Pesantren, jika dilihat dari sejarah, sosiologis dan antropologis, lembaga ini seharusnya dipandang sebagai lembaga pendidikan alternatif di Indonesia, namun pemerintah terkesan melihat sebelah mata dengan lembaga pendidikan formal lainnya. Di satu sisi pemerintah mengakui produk-produk atau kualitas lulusan pesantren akan tetapi disisi lain pesantren tetap pesantren yang tidak secara utuh diakui sebagai lembaga pendidikan.Sebagai lembaga pendidikan, Pesantren memiliki ciri-ciri khas yang berbeda dari lembaga pendidikan pada umumnya. 

 

Ciri khas yang disandang itu menjadikan tidak akan mungkin pesantren diberlakukan peraturan yang sama dengan sekolah. Penyelenggaraan pendidikan di pesantren salaf pada umumnya dengan menggunakan metode sorogan, bandungan, dan wetonan. Sistem sorogan merupakan proses pembelajaran yang bersifat individual pada dunia pesantren atau pendidikan tradisional, dan sistem pembelajaran dasar dan paling sulit bagi para santri, sebab santri dituntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin diri dalam menuntut ilmu. 

 

Seringkali santri tidak menyadari bahwa mereka seharusnya mematangkan diri pada tingkat sorogan ini sebelum mengikuti sistem pembelajaran selanjutnya di pesantren. Seorang santri yang telah mahir dalam penguasaan sorogan ini menjadi kunci dalam penguasaan ilmu agama dan menjadi seorang alim. Sedangkan sistem bandungan atau juga disebut wetonan yaitu sistem belajar kelompok dalam arahan dan bimbingan kyai yang terdiri antara 5 sampai 500 orang santri.Mereka mendengarkan seorang guru atau kyai yang membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan mengulas kitab-kitab dal;am bahasa arab dan santri masing-masing memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan yang dianggap sulit atau penting. 

 

Kelompok sistem ini disebut halaqah. Jika kyai berhalangan untuk memberikan pengajaran dalam sistem ini, biasanya kyai menunjuk santri senior untuk mewakilinya atau yang disebut ustadz. Dalam sistem sorogan ini juga terjadi musyawarah atau diskusi tentang kajian Islam klasik dengan sumber kitab yang jelas. Apa yang menjadi bahan diskusi dan hasil diskusi selalu dihadapkan ke kyai untuk dikoreksi dan penguatan apabila hasil diskusi tidak menyimpang dan sudah sesuai dengan teks-teks kitab klasik. Metode ini diberikan untuk melatih dan menguji kematangan mental santri, agar kelak kemudian menjadi orang yang tangguh dalam beragama atau menjadi ulama yang warasatul anbiya` (Dhafier, 1982, pp. 28- 31). 

 

Sedangkan pesantren khalaf menejemen pesantren dan kurikulum pesantren semuanya adalah sisten modern. Kyai tidak lagimengurus keuangan pesantren, tetapi diserahkan sepenuhnya kepada bendahara pesantren. Demikian juga kurikulum yang ada dengan pola kurikulum modern dengan sistem pembelajaran klasikal (Zarkasyi, 1998, pp. 224-225).Di sini tampak perbedaan bahwa pesantren khalaf sistem administrasi, menejemen, dan tata kelola lembaga lebih terbuka dibandingkan dengan sistem pesantren salaf yakni sistem menejemen, dan keuangan pesantren selalu dalam kendali otoritas kyai, meski telah dibantu oleh lurah pondok sebagai pengendali operasionalnya, namun pelaksanaannya tetap mengacu kepada restu kyai, atau dengan kata lain sistem pesantren salaf, semuanya masih serba kyai, semua oleh kyai, duitnya kyai, utangnya juga kyai yang menanggung, santri tidak bayar juga urusan kyai dan sebagainya. 

 

Pada abad ke 19 Masehi, muncul pengaruh wahabiyah di Indonesia. Sebagai akibat dari pengaruh ini, di Minangkabau terjadi peperangan antara kaum paderi dengan kaum adat. Belanda mengambil kesempatan dengan adanya peperangan ini dan berpihak kepada kaum adat. Sementara itu, di jawa berdiri beberapa organisasi seperti Muhammadiyah dan Persis. Seiring dengan perkembangan Islam di Nusantara corak tersebut secara pelan mengalami pergeseran. Menurut survai yang diselenggarakan kantor Shumubu berdasarkancatatankantor Urusan Agama yang dibentuk oleh Pemerintah Militer Jepang tahun 1942 dalam Dhafier jumlah elemen-elemen pesantren di Jawa sebagaimana dilihat dalam tabel berikut.


No

Elemen Pesantren

Jakarta

Jawa Barat

Jawa Tengah

Jawa Timur

Jumlah

1

Pesantren/Madrasah

167

1.046

351

307

1.871

2

Kyai

 

7.652(Dhafier:

1982: 40)

4.466

6.150

18.268

3

Santri/murid

14.513

69.954

21.957

32.931

139.415

 

Jumlah angka-angka ini terus mengalami pertumbuhan, menurut laporan resmi Departemen Agama tahun 1978 dengan data pesantren tahun 1977, jumlah lembaga-lembaga pesantren di Jawa dan Madura sebanyak 3.195, dan jumlah murid sebanyak 677. 384 (Dhafier, 1982, p. 42). Kemudian tahun 1982 menurut catatan Departemen Agama RI jumlah pesantren diseluruh Indonesia 4.980 pesantren dengan 735.417 santri (Azra, 1997, p. 103). Jumlah ini mengalami peningkatan yang cukup luar biasa sebagaimana dikutip Masyhud pada tahun 1985, di mana pesantren berjumlah sekitar 6.239 buah dengan jumlah santri sekitar 1.084.801 orang. 

 

Dua dasawarsa kemudian 1997, Departemen Agama mencatat jumlah pesantren sudah mencapai kenaikan angka 224% atau 9.388 buah dan kenaikan jumlah santri mencapai 261% atau 1.770.768 orang. Data terakhir Departemen Agama tahun 2001 menunjukan jumlah pesantren seluruh Indonesia sudah mencapai 11.312 buah dengan santri sebanyak 2.737.805 orang. Jumlah ini meliputi pesantraen salafiyah, tradisional sampai modern (Moh. Khusnurdilo, 2003). Kebanyakan dari jumlah pesantren tersebut adalah pesantren shalafi. Baik pesantren khalafi maupun salafi kecuali Gontor menurut dhafier, tetap mempertahankan elemen-elemen pesantren sebagai ciri khas lembaga pendidikan Islam Indonesia.

 

Pembaharuan penting yang terjadi di pesantren menurut Dhafier terjadi pada tahun 1910, pesantren Denanyar di Jombang, telah membuka murid-murid untuk wanita. Dan tahun 1920-an pesantren Tebuireng Jombang dan pesantren Singosari di Malang, mulai mengajarkan pelajaran umum, seperti; bahasa Indonesia, berhitung, ilmu bumi, dan sejarah, disini tampaknya sudah mulai adanya sistem klasikal di pesantren. Selanjutnya di awal abad 20 misalnya, Gontor mempelopori berdirinya pesantren yang menekankan aspek kaderisasi pendidikan Islamdan menejemen terbuka (open menegement). Di pesantren ini santri dibekali dengan dasar-dasar ilmu agama dan berbagai ketrampilan hidup sehingga kelak ia bisa berwirausaha dan membina masyarakat. Metode pengajaran pun dimodernisasi sedemikian rupa.

 

Dibukanya sistem madrasah di pesantren sejak abad 20-an, merupakan salah satu ciri menghilangnya santri kelana dan diterapkannya sistem klasikal merubah pandangan santri terhadap ketergantungan kepada ijazah formal sebagai hasil belajarnya. Meskipun pada saat itu pesantren telah mengalami perubahan, tetapi jumlahnya masih sangat terbatas dibandingkan dengan sekolah umum. Menurut Dhafier ada dua alasan mengapa pesantren lambang mengadakan perubahan, pertama kyai masih mempertahankan dasar-dasar tujuan pendidikan pesantren, yaitu untuk menyebarkan dan mempertahankan Islam. 

 

Kedua, belum memiliki tenaga ahli sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan (Dhafier, 1982, p. 38). Barangkali perubahan sistem ini yang membuat pesantren hingga kini tetap survive ditengah- tengah masyarakat, meskipun ada faktor lain yang menjadikan tetapsurvive-nya pesantren, seperti; (1) menjadi alternatif bagi calon siswa dan mahasiswa yang gagal PSB masuk dalam sekolah umum atau UMPTN/ PMB, (2) tradisi pesantren yang merakyat – tidak elitis- sebagai modal berharga bagi pengembangan pendidikan pesantren yang humanis, (3) keampuhan pesantren sebagai benteng kultur dan agama bagi generasi muda, dan (4) memiliki ikatan dan keakraban yang kuat dengan dengan masyarakat sekitarnya (Azra, 1997, p. 109).

 

Sampai akhir abad 20, sistem pendidikan pesantren terus mengalami perkembangan. Pesantren tidak lagi hanya mengajarkan ilmu agama tetapi juga mengajarkan ilmu-ilmu umum. Selain itu juga muncul pesantren-pesantren yang mengkhususkan ilmu-ilmu tertentu, seperti khusus untuk tahfidz al-Qur'an, iptek, ketrampilan atau kaderisasi gerakan-gerakan Islam.Perkembangan model pendidikan di pesantren ini juga didukung dengan perkembangan elemen-elemennya. Jika pesantren awal cukup dengan masjid dan asrama, pesantren modern memiliki kelas-kelas, dan bahkan sarana dan prasarana yang cukup canggih.

 

Dengan tidak meninggalkan tradisi, abad 21 ini, pesantren terus mengadakan pembaharuan-pembaharuan baik di bidang kelembagaan maupun menejemennya, hal ini seiring dengan perkembangan dan tuntutan zaman.Oleh karena itu, di era sekarang ini banyak ditemukan model-model pesantren di Indonesia yang nyaris berbeda design bangunannya dengan pesantren-pesantren klasik. Melihat perubahan-perubahan ini, dengan meminjam pendapat Manfred Ziemek, maka tipe-tipe persantren di Indonesia dapat digolongkan sebagai berikut.

 

1.    Pesantren Tipe A, yaitu pesantren yang sangat tradisional. Pesantren yang masih mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya dalam arti tidak mengalami transformasi yang berarti dalam sistem pendidikannya atau tidak ada inovasi yang menonjol dalam corak pesantrennya dan jenis pesantren inilah yang masih tetap eksis mempertahankan tradisi- tradisi pesantren klasik dengan corak keislamannnya (Laode Ida: 1996: 13). Masjid digunakan untuk pembelajaran Agama Islam disamping tempat shalat. Pesantren tipe ini biasanya digunakan oleh kelompok-kelompok tarikat. Olek karena itu, pesantrennya disebut pesantren tarikat. Namun mereka tidak tinggal dimasjid yang dijadikan pesantren. Para santri pada umumnya tinggal di asrama yang terletak di sekitar rumah kyai atau dirumah kyai. Tipe pesantren ini sarana fisiknya terdiri dari masjid dan rumah kyai, yang pada umumnya dijumpai pada awal-awal berdirinya sebuah pesantren (Ziemek, 1986).

 

2.    Pesantren Tipe B, yaitu pesantren yang mempuyai sarama fisik, seperti; masjid, rumah kyai, pondok atau asrama yang disediakan bagi para santri, utamanya adalah bagi santri yang datang dari daerah jauh, sekaligus menjadi ruangan belajar. Pesantren ini biasanya adalah pesantren tradisional yang sangat sederhana sekaligus merupakan ciri pesantren tradisional (Ziemek, 1986). Sistem pembelajaran pada tipe ini adalah individual (sorogan), bandungan, dan wetonan.

 

3.    Pesantren tipe C, atau pesantren salafi ditambah dengan lembaga sekolah (madrasah, SMU atau kejuruan) yang merupakan karakteristik pembaharuan dan modernisasi dalam pendidikan Islam di pesantren. Meskipun demikian, pesantren tersebut tidak menghilangkan sistem pembelajaran yang asli yaitu sistem sorogan, bandungan, dan wetonan yang dilakukan oleh kyai atau ustadz (Prasidjo, 2001, p. 4).

 

4.    Pesantren tipe D, yaitu pesantren modern,Pesantren ini terbuka untuk umum, corak pesantren ini telah mengalami transformasi yang sangat signifikan baik dalam sistem pendidikanmaupun unsur-unsur kelembagaannya. Materi pelajaran dan sistem pembelajaran sudah menggunakan sistem modern dan klasikal. Jenjang pendidikan yang diselenggarakan mulai dari tingkat dasar (barangkali PAUD dan juga taman kanak-kanak) ada di pesantren tersebut sampai pada perguruan tinggi. 

 

Di samping itu, pesantren modern sangat memperhatikan terhadap mengembangkan bakat dan minat santri sehingga santri bisa mengekplor diri sesuai dengan bakat dan minat masing-masing (Nizar, 2007). Hal yang tidak kalah penting adalah keseriusan dalam penguasaan bahasa asing, baik bahsa Arab dan Inggris maupun bahasa internasional lainnya. Sebagai contoh misalnya, pesantren Gontor, Tebuireng dan pesantren modern lainnya yang ada di tanah air.

 

5.    Pesantren tipe E, yaitu pesantren yang tidak memiliki lembaga pendidikan formal, tetapi memberikan kesempatan kepada santri untuk belajar pada jenjang pendidikan formal di luar pesantren. Pesantren tipe ini,dapat dijumlai pada pesantren salafi dan jumlahnya di nusantara relatif lebih kecil dibandingkan dengan tipe-tipe lainnya.

 

6.    pesantren tipe F, atau ma'had ‘Aly, tipe ini, biasanya ada pada perguruan tinggi agamaatau perguruan tinggi bercorak agama. Para mahasiswa di asramakan dalam waktu tertentu dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh perguruaan tinggi,mahasiswa wajib mentaati peraturan-peraturan tersebut bagi mahasiswa yang tinggal di asrama atau ma'had. 

 

Sebagai contoh, ma'had ‘aly UIN Malang yang telah ada sejak tahun 2000 dan semua mahasiswa wajib diasramakan selama satu tahun. Kemudian ma'had ‘aly IAIN Raden Intan Lampung yang telah berdiri sejak 2010yang lalu. Tujuan dari ma'had ‘aly tersebut adalah untuk memberikan pendalaman spiritual mahasiswa dan menciptakan iklim kampus yang kondusif untuk pengembangan bahasa asing(Visi, Misi, dan Tradisi: 2012: 5-6)

 

Melihat keaneka ragaman pesantren tersebut diatas, maka Abdullah Syukri Zarkasyi berpendapat bahwa pesantren sejak berdirinya hingga perkembangannya dewasa ini, pesantren dapat dikategorikan menjadi tiga macam bentuk, yaitu: Pertama, pesantren tradisional yang masih tetap mempertahankan tradisi-tradisi lama, pembelajaran kitab, sampai kepada permasalahan tidur, makan dan MCK-nya, serta kitab-kitab maraji'-nya biasa disebut kitab kuning (Zarkasyi, 1998, p. 220). 

 

Kedua, pesantren semi modern, yaitu pesantren yang memadukan antara pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pembelajaran disamping kurikulum pesantren tradisional dalam kajian kitab klasik juga menggunakan kurikulum Kemenag dan kemendiknas. Ketiga, pesantren modernyang kurikulum dan sistem pembelajarannya sudah tersusun secara modern demikian juga menejemennya. Disamping itu, menurut Zarkasyi pesantren modern sudah didukung ITdan lembaga bahasa asing yang memadai (Zarkasyi, 1998). Termasuk ma'had ‘aly dikategorkanbentuk pesantren modern.

 

C.    Fungsi dan Tujuan Pendidikan Pesantren

 
Melihat tipe-tipe pesantren tersebut diatas, agaknya fungsi pesantren tidak semata-mata hanya sebagai lembaga pendidikantafaqquh fi al-dien an sich, tetapi multi komplek yang menjadi tugas pesantren. Pendidikan di pesantren tidak berhenti sebagai aktifitas transfer ilmu saja. Azyumardi Azra menyebutkan, selain sebagai transfer ilmu, pesantren juga sebagai kaderisasi ulama' dan sebagai pemelihara budaya Islam.  

 

Baca juga: 16 Pesantren Tertua di Indonesia

 

Dua unsur tambahan tersebut perlu ditekankan sebab seorang ulama' bukan sekedar orang yang memiliki penguasaan ilmu yang tinggi, tetapi juga harus disertai dengan kemampuan mengamalkan ilmu tersebut.Hal senada juga dikemukakan oleh Tholkhah Hasan mantan menteri agama RI, bahwa pesantren seharusnya mampu menghidupkan fungsi-fungsi sebagai berikut, 1) pesantren sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan nilai- nilai Islam (Islamic vaues); 2) pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial; dan 3) pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering)        atau    perkembangan    masyarakat    (community    development).       

 

Semua    itu, menurutnya hanya bisa dilakukan jika pesantren mampu melakukan proses perawatan tradisi- tradisi yang baik dan sekaligus mengadaptasi perkembangan keilmuan baru yang lebih baik, sehingga    mampu    memainkan    peranan        sebagai        agent    of        change (http://www.searchresults.com/web?l=dis&q=telaah+pesantren+dari+masa+kemasa&o=APN 10645A. Di akses tanggal 20 November 2012)

 

Pesantren sebagai lembaga sosial dan penyiaran keagamaan. Hampir kita temukan masyarakat di sekitar pesantren relatif lebih bagus dibandingkan dengan masyarakat yang jauh dari pesantren. Hal ini tidak terlepas dari peran pesantren dalam membangun masyarakat melalui pesan-pesan agama. Jaringan (network) pesantren kepada masyarakat lebih dititik beratkan kepada ikatan orang tua, santri dengan pesantren, atau jaringan thariqah yang ada pada pesantren tertentu.

 

 Jaringan thariqah ini biasanya memiliki hubungan lebih kuat dengan pesantren ketimbang hanya hubungan orang tua santri pada umumnya. Hubungan-hubungan semacam ini yang membuat masyarakat merasa dekat dan senang terhadap keberadaan pesantren, ditambah lagi pesantren mampu menunjukkan dan mempertahankan kualitas dan kuantitasnya ditengah-tengah masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren menyelenggarakan pendidikan sekolah, (madrasah, sekolah umum, kejuruan, dan perguruan tinggi) serta pendidikan luar sekolah berupa kursus-kursus keahlian (life skill), untuk menunjang kehidupan santri pasca mengikuti pendidikan pesantren, karena pesantren tidak mencetak santrinya untuk menjadi pegawai pemerintah (PNS), tetapi lebih menitik beratkan kepada kemandirian santri yang tidak meng-ekor atau menjadi beban orang/lembaga lain. Karena itu, pesantren selalu membekali pendidikan kewirausahaan kepada santrinya sesuai dengan bentuk life skill yang diberikan oleh masing-masing pesantren.

 

Proses rekrutmen santri, juga beraneka ragam. Ini menunjukan bahwa pesantren adalah lembaga untuk semua. Menurut Nizar sebagai lembaga pendidikan dan sosial, pesantren tidak pernah membeda-bedakan status sosial bagi calon santri maupun tamu yang datang (Nizar, 2007, p. 288). Hal semacam ini berbeda dan sulit ditemukan pada jenis lembaga pendidikan yang lain. Seringkali pada lembaga-lembaga pendidikan (sekolah), terlebih lagi era sekarang ini,status sosial sangat menentukan dimana anak itu sekolah dan dari kasta mana saja mereka yang datang ke lembaga sekolah tersebut. Kiprah pesantren yang demikian itu, dalam berbagai hal sangat dirasakan oleh masyarakat. 

 

Salah satu yang menjadi contoh utama adalah, selain pembentukan dan terbentuknya kader-kader ulama serta pengembangan keilmuan Islam.Di samping fungsi tersebut, menurut Mansyur Suryanegarapesantren juga memiliki peran yang sangat besar dalam merespon ekspansi politik kolonial Belanda (Suryanegara, 1998). Semangat juang dalam mengusir kaum penjajah di tanah air lebih banyak dikibarkan dari pesantren atau kaum santri dengan semangat jihad dan hubb-u al- wathan min al- imanmereka berani mati melawan penjajah.  

 

D.    Pesantren Antara Harapan dan Tantangan

 
Ketangguhan pesantren dalam mempertahankan misinya sebagai lembaga pendidikan Islam bukan berarti tidak mengalami hambatan. Tantangan yang dihadapi pesantren pertama kali muncul, ketika bangsa Indonesia mengalami penindasan kaum penjajah (Muljono Damopolii: 2011hal. 57). Perjanjian Gianti yang terjadi pada 1825 pemerintah Belanda membatasi jumlah calon jama'ah haji Indonesia dan melakukan hubungan multilateral dengan negara-negara Islam lainnya, pesantren dicap sebagai basis perlawanan terhadap bangsa asing (Hindia Belanda).  

 

Baca juga:  10 Situs Terpopuler Pondok Pesantren

 

Oleh karena itu, sebagai respon atas penindasan belanda, kaum santri pun mengadakan perlawanan. Menurut Clifford Geertz, antara 1820-1880 M, telah terjadi pemberontakan besar yang dimotori oleh kaum santri di Indonesia, antara lain; :1). Pemberontakan kaum padri di sumatra dipimpin oleh Imam Bonjol, 2). Pemberontakan Diponegoro di Jawa, 3). Pemberontakan Banten akibat aksi tanam paksa yg dilakukan belanda, 4). Pemberontakan di Aceh yg dipimpin antara lain oleh Teuku Umar dan Teuku Ciktidiro.

 

Pada era Soekarno, pesantren harus berhadapan dengan kaum komunis. Banyak sekali pertikaian ditingkat bawah yg melibatkan kalangan santri dan kaum komunis. Sampai pada puncaknya setelah peristiwa G30S PKI, kalangan santri bersama TNI dan segenap komponen yg menentang komunisme memberangus habis komunisme di Indonesia. Demikia juga pada masa pemerintahan Soeharto, seolah tidak mengakui jasa pesantren. Kalangan santri dianggap manusia kelas dua yg tidak dapat melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi dan tidak bisa diterima menjadi pegawai-pegawai pemerintah. Agaknya hal ini memang sengaja direncanakan secara sistematis untuk menjauhkan orang-orang Islam dari struktur pemerintahan guna melanggengkan ideologi sekuler.

 

Meskipun mendapat tekanan dari pihak pemerintah, pesantren pada kedua orde tersebut tetap mampu menelorkan orang-orang hebat yg menjadi orang-orang penting di negara kita seperti KH Wahid Hasyim, M Nastir, Buya Hamka, Mukti Ali, KH Saifuddin Zuhri dll.Mulai tahun 1970-an dan diakhir tumbangnya orde baruyang dimana ekonomi Indonesia mulai ambruk, pesantren tampak kembali dengan supremasinya karena adanya program-program baru yang digulirkan oleh pemerintah yaitu ekonomi kerakyatan. 

 

Pihak pemerintah berupaya menggandeng pesantren sebagai mitra dalam pengentaskan kemiskinan dan mengembangkan ekonomi kerakyatan (PPIM IAIN Jakarta: 1997-1998:7). Di jadikannya pesantren sebagai agen pembangunan yang berorientasi kerakyatan karena pesantren dianggap satu-satunya lembaga yang eksis dan dipercaya untuk penyaluran dana-dana ekonomi kerakyatan serta memiliki akar bawah yang sangat kuat dan sikap mentalitas yang bisa dipertanggung jawabkan. Tawaran ini ditanggapi dengan serius dan diterima oleh pesantren (Kuntowijoyo, 1993). sehingga tidak heran saat itu banyak pesantren yang mendapat hadiah kalpataru dari pemerintah Suharto, karena peran pesantren dalam pengembangan ekonomi umat juga pesantren menjadi mitra ekonomi kerakyatan pemerintah.

 

Gerakan globalisasi dan modernisasi adalah dua sisi dari satu mata uangjuga telah masuk pada bilik-bilik pesantren.Ini memberikan ujian yang cukup luar biasa bagi pesantren. Satu sisi pesantren harus mempertahankan tradisi kepesantrenannya sebagai lembaga “asli” atau “indigenous” Indonesia(Nurchalis Madjid: 1977: 103), tetapi disisi lain pesantren tidak bisa menghindar dari globalisasi dan modernisasi dengan segala produk yang ditawarkan. Ia menawarkan sebuah pilihan yang ambivalen, satu sisi membawa kebaikan, dan mungkin juga membawa petaka bila tidak siap menghadapinya. 

 

Globalisasi adalah sebuah keniscayaan yang nyata yang mau tak mau akan kita hadapi bersama. Menghadapi tantangan ini pesantren dituntut untuk bertindak bijak. Kalau serta merta menolak globalisasi dengan melestarikan konstruksi lama dan tidak mau melihat sesuatu yang baru sangat jelas ini akan merugikan pesantren di kemudian hari, karena orang modern sebagai mana disebutkan di atas lebih mementingkan nilai-nilai instrumental.Dengan mengikuti perkembangan zaman, akhir-akhir ini pesantren telah membuka diri. Jika dahulu pesantren hanya sebagai tempat mengaji ilmu agama melalui sistem sorogan, wetonan, dan bandungan, maka saat ini telah membuka pendidikan sistem klasikal dan bahkan program baru yang berwajah modern dan formal seperti madrasah, sekolah, dan bahkan universitas. 

 

Sekalipun pendidikan modern telah masuk ke pesantren, akan tetapi tidak boleh menggeser tradisinya, yakni gaya kepesantrenan. Sebaliknya, kehadiran lembaga pendidikan formal ke dalam pesantren dimaksudkan untuk memperkokoh tradisi yang sudah ada, yaitu pendidikan model pesantren. Adaptasi adalah suatu bentuk keniscayaan tanpa menghilangkan ciri khas yang dimiliki pesantren (al- muhâfazhah `ala al-qadîm as-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah). Tradisi yang dimaksud untuk selalu dipertahankan oleh pesantren adalah pengajaran agama secara utuh. Pendidikan pesantren sejak awal memang bukan dimaksudkan untuk menyiapkan tenaga kerja terampil pada sektor-sektor modern sebagaimana diangankan sekolah dan universitas pada umumnya. Melainkan diorientasikan kepada bagaimana para santri dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam secara baik. Pendidikan pesantren adalah pendidikan Islam yang berusaha mengantarkan para santri menjadi alim dan shalih, bukan menjadi pegawai atau pejabat.

 

Dalam perkembangannya ke depan, yang harus selalu diingat adalah bahwa pesantren harus tetap menjadi “rumah” dalam mengembangkan pertahanan mental spiritual sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan masa. Selain itu, ilmu yang diajarkan di pesantren harus memiliki pola perpaduan (umum-agama) yang dilandasi karakteristik keilmuan Islam melalui kajian ayat-ayat qauliyah dan qauniyah, yang bersumber dari Allah SWT, untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat duniawi dan ukhrawi, dan berlaku umum untuk semua komunitas manusia, realistis, dan terpadu (integral); artinya tidak membeda-bedakan pada dimensi keilmuannya, serta universal sehingga dapat melahirkan konsep-konsep keilmuwan di segala bidang dan semua kebutuhan manusia. Dan, yang tak kalah pentingnya adalah pesantren yang merupakan pendidikan berbasis agama (Islam), harus mampu memaksimalkan aspek da'wah karena da'wah merupakan bagian dari Islam dan tidak bisa dipisahkan dengan ilmu-ilmu keislaman.

 

E.    Format Pesantren Masa Depan.

 
Sudah tidak diragukan lagi bahwa pesantren memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan pendidikan. Apalagi dilihat secara historis, pesantren memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.Pembangunan manusia, tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau masyarakat semata-mata, tetapi menjadi tanggung jawab semua komponen, termasuk duniapesantren. Pesantren yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan membangun masyarakat, kualitasnya harus terus didorong dan dikembangkan. Proses pembangunan manusia yang dilakukan pesantren tidak bisa dipisahkan dari proses pembangunan manusia yang tengah diupayakan pemerintah.

 

Proses pengembangan dunia pesantren yang selain menjadi tanggung jawab internal pesantren, juga harus didukung oleh pemerintah secara serius sebagai proses pembangunan manusia seutuhnya. Meningkatkan dan mengembangkan peran serta pesantren dalam proses pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun mewujudkan tujuan pembangunan nasional terutama sektor pendidikan. Terlebih, dalam kondisi yang tengah mengalami krisis (degradasi) moral. Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral, dengan basic agama harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangunan moralbangsa. Sehingga, pembangunan tidak menjadi hampa melainkan lebih bernilai dan bermakna.

 

Pesantren pada umumnya bersifat mandiri, tidak tergantung kepada pemerintah atau kekuasaan yang ada. Karena sifat mandirinya itu, pesantren bisa memegang teguh kemurnianlembaga pendidikan Islam. Karena itu, pesantren tidak mudah disusupi oleh ajaran- ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.Sekalipun belakangan issu terorisme dienduskan dari kalangan pesantren, sebenarnya faham semacam itu tidak pernah diajarkan di lembaga pesantren. Pendidikan pondok pesantren yang merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional memiliki 3 unsur utama yaitu: 1) Kyai sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri; 2) Kurikulum pondok pesantren; dan 3) Sarana peribadatan dan pendidikan, seperti masjid, rumah kyai, dan pondok, serta sebagian madrasah dan bengkel-bengkel kerja keterampilan. Kegiatannya terangkum dalam “Tri Dharma Pondok pesantren” yaitu: 1) Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT; 2) Pengembangan keilmuan yang bermanfaat; dan 3) Pengabdian kepada agama, masyarakat, dan negara.

 

Agaknya perlu dicermati, bahwa pemaknaan pesantren masa lalu perlu ditinjau kembali atau perlu redefinisi dan reinterprestasi. Pesantren pada masa lalu yang dipahami sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana santrinya tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang dikenal dengan sebutan kyai (Zarkasyi, 1998, p. 18). Pondokatau asrama para santri pada masa lalu biasanya berupa bangunan yang terbuat dari bambu,atau bangunan tempat tinggal yang berpetak-petak yang berdinding bilik dan beratap rumbia. (Steenbrink, 1994, p. 781). 

 

Berangkat dari kenyataan, jelas pesantren di masa yang akan datang dituntut berbenah, menata diri dalam mengahadapi persaingan bisnis pendidikan seperti yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah dan lainnya. Tapi perubahan dan pembenahan yang dimaksud hanya sebatas menejemen dan bukan coraknya apalagi berganti baju dari salafiyah ke mu'asyir (modern), karena hal itu hanya akan menghancurkan nilai-nilai positif pesantren seperti yang terjadi sekarang ini, lulusannya ora iso ngaji.Maka, idealnya pesantren ke depan harus bisa mengimbangi tuntutan zaman dengan mempertahankan tradisi dan nilai-nilai kesalafiannya. Pengkajian kitab kuning sebagai ciri khas pendidikan pesantren sepatutnya diajarkan sejak jenjang Ibtidaiyah sampai Aliyah sebagai KBM wajib santri dan mengimbanginya dengan pengajian tambahan, kegiatan extra seperti kursus komputer, bahasa inggris, skill lainnya dan program paket A, B dan C untuk mendapatkan Ijazah formalnya. Atau dengan menjalin kerjasama dengan sekolah lain untuk mengikuti persamaan. Jika hal ini terjadi, akan lahirlah ustadz-ustadz, ulama dan fuqoha yang mumpuni.


Sekarang ini, ada dua fenomena menarik dalam dunia pendidikan di Indonesia yakni (a) munculnya sekolah-sekolah terpadu (mulai tingkat dasar hingga menengah); (b) penyelenggaraan sekolah bermutu yang sering disebut dengan boarding school. Nama lain dari istilah boarding school adalah sekolah berasrama. Para murid mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga siang di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama atau pendidikan nilai-nilai khusus di malam hari. Selama 24 jam anak didik berada di bawah didikan dan pengawasan para guru pembimbing. Tanpa disadari, sesungguhnya sekolah- sekolah itu merusaha meniru pola pendidikan pesantren, yang ternyata lulusan pesantren tidak kalah mutunya dengan lulusan sekolah-sekolah umum. 

 

Di sisi lain, sistem pesantren ternyata lebih unggul dalam membentuk kepribadian (UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003: 2009: 101)santri, hal ini dibuktikan hingga sekarang belum ditemukan kasus santri tawuran antar santri atau pesantren, demikian juga dengan sekolah-sekolah umum. Sementara itu, tawuran antar pelajar pada sekolah-sekolah umum seakan-akan menjadi tontonan masyarakat yang hampir setiap waktu terjadi tawuran (Tempo.Co : 2012). Kekuatan pesantren dalam membentuk kepribadian santri sebagaimana telah dikemukakan, tidak terlepas dari sistem boarding school yang telah lama diterapkan dalam pendidikian pesantren.

 

Disini mereka dipacu untuk menguasai ilmu dan teknologi secara intensif. Selama di lingkungan asrama mereka ditempa untuk menerapkan ajaran agama, tak lupa merekamengekspresikan seni bugaya dan ketrampilan lainnya di hari libur. Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para guru. Rutinitas kegiatan dari pagi hari hingga malam sampai ketemu pagi lagi, mereka menghadapi makhluk hidup yang sama, orang yang sama, lingkungan yang sama, dinamika dan romantika yang sama pula. Dalam khazanah pendidikan kita, sekolah berasrama adalah model pendidikan yang cukup tua (Azra, 1997, p. Xxiii).

 

Secara tradisional jejakboarding school dapat kita selami dalam dinamika kehidupan pesantren, pendidikan gereja, bahkan di bangsal-bangsal tentara. Pendidikan berasrama telah banyak melahirkan tokoh besar dan mengukir sejarah kehidupan umat manusia. Kehadiran boarding school adalah suatu keniscayaan zaman kini. Keberadaannya adalah suatu konsekwensi logis dari perubahan lingkungan sosial dan keadaan ekonomi serta cara pandang religiusitas masyarakat. Ada tiga alasan mengapa perlu boarding school, yaitu:

 

1.    Lingkungan sosial kita kini telah banyak berubah terutama di kota-kota besar. Sebagian besar penduduk tidak lagi tinggal dalam suasana masyarakat yang homogen, kebiasaan lama bertempat tinggal dengan keluarga besar atau marga telah lama bergeser kearah masyarakat yang heterogen, majemuk, dan plural. Hal ini berimbas pada pola perilaku masyarakat yang berbeda karena berada dalam pengaruh nilai-nilai yang berbeda pula. Oleh karena itu sebagian besar masyarakat yang terdidik dengan baik menganggap bahwa lingkungan sosial seperti itu sudah tidak lagi kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan intelektual dan moralitas anak.

 

2.    Keadaan ekonomi masyarakat yang semakin membaik mendorong pemenuhan kebutuhan di atas kebutuhan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Bagi kalangan mengengah-atas yang baru muncul akibat tingkat pendidikan mereka yang cukup tinggi sehingga mendapatkan posisi-posisi yang baik dalam lapangan pekerjaan berimplikasi pada tingginya penghasilan mereka. Hal ini mendorong niat dan tekad untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak melebihi pendidikan yang telah diterima orang tuanya.

 

3.    Cara pandang religiusitas. Masyarakat telah, sedang, dan akan terus berubah. Kecenderungan terbaru masyarakat perkotaan sedang bergerak kearah yang semakin religius. Indikatornya adalah semakin diminati dan semaraknya kajian dan berbagai kegiatan keagamaan. Modernitas membawa implikasi negatif dengan adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan ruhani dan jasmani. Untuk itu masyarakat tidak ingin hal yang sama akan menimpa anak-anak mereka. Intinya, ada keinginan untuk melahirkan generasi yang lebih agamis atau memiliki nilai-nilai hidup yang baik mendorong orang tua mencarikan sistem pendidikan alternatif.



Ketiga faktor di atas, sistem pendidikan boarding school seolah menemukan pasarnya.Dari segi sosial, sistem boarding school mengisolasi anak didik dari lingkungan sosial yang heterogen yang cenderung buruk. Di lingkungan sekolah dan asrama dikonstruksi suatu lingkungan sosial yang relatif homogen yakni teman sebaya dan para guru pembimbing. Homogen dalam tujuan yakni menuntut ilmu sebagai sarana mengejar cita-cita.Dari segi ekonomi, boarding school memberikan layanan yang paripurna sehingga menuntut biaya yang cukup tinggi. Oleh karena itu anak didik akan benar-benar terlayani dengan baik melalui berbagai layanan dan fasilitas.Dari segi semangat religiusitas, boarding school menjanjikan pendidikan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan ruhani, intelektual dan spiritual. Diharapkan akan lahir peserta didik yang tangguh secara keduniaan dengan ilmu dan teknologi, serta siap secara iman dan amal soleh.

 

Nampaknya, konsep Islamic boarding school menjadi alternatif pilihan sebagai model pengembangan pesantren yang akan datang. Pemerintah diharapkan semakin serius dalam mendukung dan mengembangkan konsep pendidikan seperti ini. Sehingga, pesantren menjadi lembaga pendidikan yang maju dan bersaing dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berbasis pada nilai-nilai spiritual yang handal.

 

Mengacu kepada UU Sisdiknas no. 20 tahun 2003 pasal 15 tentang jenis pendidikan yang menyatakan bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Maka, pesantren adalah salah satu jenis pendidikan yang concern di bidang keagamaan. Secara khusus, ketentuan tentang pendidikan keagamaan ini dijelaskan dalam Pasal 30 Undang-Undang Sisdiknas yang menegaskan: (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang sejenis. Era reformasi dan lahirnya UU Sisdiknas tahun 2003 tersebut, tampaknya membawa angin segar bagi pesantren. Pengakuan pemerintah terhadap keberadaan pesantren semakin jelas.Dengan demikian, maka pengembangan pesantren kedepan secara yuridis formal tidak lagi mengalami kesulitan sebagaimana awal munculnya pesantren sampai pada masa penindasan penjajah dan belenggu pada masa orde lama dan orde baru.



SIMPULAN DAN SARAN
Prinsip pesantren adalah al muhafadzah ‘ala al qadim al shalih, wa al akhdzu bi al jadid al ashlah, yaitu tetap memegang tradisi yang positif, dan mengimbangi dengan mengambil hal-hal baru yang positif. Persoalan-persoalan yang berpautan dengan civic values akan bisa dibenahi melalui prinsip-prinsip yang dipegang pesantren selama ini dan tentunya dengan perombakan yang efektif, berdaya guna, serta mampu memberikan kesejajaran sebagai umat manusia (al musawah bain al nas). Pembaharuan di pesantren hendaknya terus dilakukan terutama bidang menejemen, tata kelola bangunan juga harus menjadi perhatian serius sehingga tampak tertata asri, kurikulum pendidikan pesantren, dan berbagai bidang keahlian (bahasa dan life skill).Dengan demikian, pesantrendapat memainkan peran edukatifnya dalam penyediaan sumber daya manusia yang berkarakterdanberkualitas yang terintegrasikan dalam iman, ilmu, dan amal shaleh.

 

Keberadaan pesantren merupakan patner yang ideal bagi institusi pemerintah untuk bersama-sama meningkatkan mutu pendidikan yang ada sebagai basis bagi pelaksanaan transformasi sosial melalui penyediaan sumber daya manusia yang qualified dan berakhlakul karimah. Terlebih lagi, proses transformasi sosial di era otonomi, mensyaratkan daerah lebih peka menggali potensi lokal dan kebutuhan masyarakatnya sehingga kemampuan yang ada dalam masyarakat dapat dioptimalkan. Dengan demikian, maka pesantren bekerja keras untuk memperbaiki segala kekurangannya dan menambah hal-hal yang baru yang menjadi kebutuhan umat sekarang ini. Sebab, model pendidikan pesantren yang mendasarkan diri pada system konvensional atau klasik tidak akan banyak cukup membantu dalam penyediaan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi integratif baik dalam penguasaan pengetahuan agama, pengetahuan umum dan kecakapan teknologis.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Syukri zarkasyi, Langkah Pengembangan Pesantren dalam Rekontruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren Religiusitas Iptek,Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998.
Ahmad Mansyur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Bandung, Mizan, 1998.
Azyumardi Azra, Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan, dalam Nurchalish madjid, Bilik- Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, 1997.
--------,Esei-Esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, Jakarta, Logos Wacana ilmu, 1998. Departemen Agama RI, Norma dan Data Pondok Pesantren Seluruh Indonesia, 1984/1985.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1996.
http://www.searchresults.com/web?l=dis&q=telaah+pesantren+dari+masa+kemasa&o=APN1 0645A.
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Sekolah dan Madrasah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta, LP3ES, 1994
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interprestasi Untuk Aksi, Bandung, Mizan, 1993.
Pesantren
Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Jakarta, P3M, 1986.
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat,Bandung, Mizan, 1995. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta, INIS, 1994.
Masyhud, M. Sulthon, dan Moh. Khusnurdilo, Menejemen Pondok Pesantren, Jakarta, Diva
Pustaka, 2003.
Nurchalis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren sebuah Potret Perjalanan, Jakarta, paramadina, 1997. Proyek Pembangunan Pertanian Rakyat Terpadu Biro Perencanaan, Departemen Pertanian,
Kerja sama dengan PPIM IAIN Jakarta, Kajian Landasan Syari'ah, dan Kelembagaan
Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Melalui Pondok Pesantren, Jakarta, 1997-1998.
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasululloah Sampai Indonesia,Jakarta, Prenada Media Group, 2007.
Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emperium Sampai Imperium, 1993.
Sudjoko Prasidjo, et al. “Profil Pesantren”, dalam Abudin Nata (editor), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia,Jakarta, Grasindo, 2001.
TEMPO.CO – Senin, 24 September 2012.
Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Kompilasi Perundangan Bidang Pendidikan, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2009.
Zamakhsari Dhafier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangtan Hidup Kyai, Jakarta, LP3ESW, 1982

عن الكاتب

Tanya Ustadz

التعليقات


Kontak

Untuk mengajukan konsultasi ke KSIA, silahkan mengirim pertanyaan via email ke: alkhoirot@gmail.com. Pertanyaan tidak boleh lebih dari tiga dan tanpa subpertanyaan. Untuk lebih detail, klik penjelasannya di sini!

Terbaru

    islamiy.com

    جميع الحقوق محفوظة

    Konsultasi Agama Islam