Empat Macam Orang Kafir (Non Muslim)

Empat Macam Orang Kafir (Non Muslim) menurut syariah Islam yaitu kafir harbi dzimmi, muahad dan mustakman Mu'ahad (yang berperjanjian), yaitu orang y

Empat Macam Orang Kafir (Non Muslim)

Jenis Orang Kafir:

Orang-orang kafir terbagi menjadi empat bagian:


Bagian Pertama: Kafir perang (muharib) atau kafir harbi, yaitu orang yang kita hadapi di medan pertempuran dan lokasi-lokasi perang.

Bagian Kedua: Dhimmi, yaitu orang yang membayar jizyah (upeti) kepada pemimpin umat Islam setiap tahun.

Bagian Ketiga: Mu'ahad (yang berperjanjian), yaitu orang yang ada perjanjian antara kita dengannya untuk jangka waktu tertentu atau umum, seperti orang-orang musyrik yang diperjanjikan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Perjanjian Hudaibiyah.

Bagian Keempat: Musta'min (yang diberi jaminan aman), yaitu orang yang diberi aman oleh seorang Muslim.

Ini adalah pembagian orang-orang kafir.

Semua itu termasuk dalam ringkasan yang disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma dalam Shahih al-Bukhari, dengan katanya: "Orang-orang musyrik berada pada dua kedudukan terhadap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang mukmin; yaitu musyrik dari kalangan ahli perang yang memerangi mereka dan diperangi, serta musyrik dari kalangan ahli perjanjian yang tidak memerangi mereka dan tidak diperangi."

Hukum Setiap Bagian dari Bagian-Bagian Tersebut:

Adapun kafir perang (muharib), tidak ada keraguan bahwa yang wajib dilakukan terhadapnya adalah mengamalkan firman Rabb semesta alam: {Maka apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir (dalam peperangan), maka pukullah leher mereka, hingga apabila kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka dengan saling mengikat tangan secara kukuh. Kemudian (bebaskanlah mereka) baik dengan membebaskan secara penuh atau membebaskan dengan membayar tebusan, hingga peperangan itu mengakhiri tugasnya. Yang demikian itu (perintah Allah). Dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mengalahkan mereka. Akan tetapi (sebagaimana adanya), supaya Dia menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain. Dan orang-orang yang dibunuh di jalan Allah, maka tidak akan Allah menyia-nyiakan amal mereka.} [QS. Muhammad: 4].

Adapun dhimmi, telah banyak nash-nash yang melarang kita untuk membunuhnya, dan tidak ada kafir dhimmi di zaman ini; karena umat Islam telah menghentikan syiar jihad fi sabilillah. Telah shahih dalam Shahih Muslim dari hadits Buraydah bin al-Hushib radhiyallahu 'anhu, bahwa beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila mengutus seorang amir atas pasukan atau seriyyah, beliau berwasiat kepadanya secara khusus tentang takwa kepada Allah dan kebaikan terhadap kaum Muslimin yang bersamanya, kemudian beliau bersabda: "Berperanglah dengan nama Allah di jalan Allah, perangilah orang yang kufur kepada Allah, berperanglah, dan janganlah kamu khianat, janganlah kamu berkhianat, janganlah kamu memutilasi, dan janganlah kamu membunuh anak kecil. Apabila kamu bertemu musuhmu dari kalangan musyrik, ajaklah mereka kepada tiga perkara, maka bagian mana pun yang mereka penuhi darimu, terimalah itu dari mereka dan berhentilah daripada mereka." Dan ketiga perkara itu adalah:

1/ "Ajaklah mereka kepada Islam, maka jika mereka memenuhinya darimu, terimalah itu dari mereka dan berhentilah daripada mereka."

2/ "Maka jika mereka menolak, mintalah jizyah dari mereka, maka jika mereka memenuhinya darimu, terimalah itu dari mereka dan berhentilah daripada mereka."

3/ "Maka jika mereka menolak, mintalah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka."

Maka barangsiapa yang membayar jizyah dari golongan ini, maka dialah dhimmi. Kami memohon kepada Allah agar mengembalikan kemuliaan Islam.

Allah berfirman: {Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari akhir, dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, (yaitu) orang-orang yang (sebenarnya) menerima agama kebenaran (yaitu) dari kalangan Ahli Kitab, (perangilah mereka) sehingga mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka tunduk diri.} [QS. at-Taubah: 29].

Maka jenis ini dilarang oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk disentuh dengan keburukan. Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa membunuh seorang yang dilindungi (dhimmi), maka ia tidak akan mencium bau surga, padahal baunya tercium dari jarak tempuh empat puluh tahun." [Diriwayatkan oleh Imam Ahmad].

Ali radhiyallahu 'anhu berkata: "Mereka membayar jizyah hanya agar darah mereka seperti darah kami, dan harta mereka seperti harta kami." [Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni].

Adapun mu'ahid (yang berperjanjian), tidak boleh berkhianat kepadanya. Jika kami khawatir akan pengkhianatannya, kami batalkan perjanjiannya. Allah berfirman: {Dan jika kamu khawatir dari suatu kaum bahwa mereka akan mengkhianati (mu), maka balaslah pengkhianatan itu kepada mereka secara adil. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang khianat.} [QS. al-Anfal: 58].

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengharamkan membunuhnya dengan sabdanya: "Barangsiapa membunuh seorang mu'ahid, maka ia tidak akan mencium bau surga, padahal baunya tercium dari jarak tempuh empat puluh tahun." [Diriwayatkan oleh al-Bukhari].

Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa membunuh jiwa yang berperjanjian tanpa haknya, maka Allah haramkan surga baginya." [Abu Dawud dan an-Nasa'i].

Jika mu'ahid dibunuh secara tidak sengaja, maka Allah mewajibkan qishash (diyat) dan kaffarah kepada pembunuhnya dengan firman-Nya: {Dan kalau orang itu termasuk dari kaum yang ada perjanjian (damai) dengan kamu, maka diyah yang diserahkan kepada keluarganya dan memerdekakan seorang budak mukmin. Maka barangsiapa tidak memperolekannya, maka (wajib) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai taubat yang wajib daripada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.} [QS. an-Nisa': 92].

At-Thantawi dalam al-Wasith berkata: "Dan jika yang dibunuh secara tidak sengaja {dari kaum yang ada perjanjian (damai) dengan kamu}, yaitu: dari kaum yang ada perjanjian antara kamu—wahai orang-orang mukmin—dengan mereka, yaitu perjanjian hudaibiyah atau aman, dan mereka tetap pada agama mereka sementara kamu pada agamamu, maka atas pembunuh dalam keadaan ini adalah diyah yang dibayarkan oleh kaumnya kepada keluarga korban, karena hukum mereka seperti hukum orang Muslim, dan atasnya juga {memerdekakan seorang budak mukmin} agar menjadi kaffarah baginya di sisi Allah. Dan diyah disebutkan di sini sebelum pembebasan budak, berkebalikan dengan apa yang disebutkan di awal ayat, untuk menunjukkan kewajiban segera menyerahkan diyah agar pembunuh tidak ragu membayarkannya kepada non-Muslim yang ada perjanjian dengan Muslim yang mencegah serangan.

Maka engkau melihat bahwa Allah—Subhanahu—telah menjadikan hukum pembunuhan mu'ahid seperti hukum pembunuhan Muslim dari segi diyah dan pembebasan budak, dan sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan yang dibunuh secara tidak sengaja di sini adalah Muslim yang berada di kalangan kaum mu'ahid, dan diyah tidak dibayarkan kepada kaum ini, sehingga makna ayatnya: Dan jika yang dibunuh adalah mukmin {dari kaum kafir yang ada perjanjian (damai) dengan kamu}, maka atas pembunuhnya diyah yang diserahkan kepada keluarganya dari keluarga Islam jika ada, dan tidak dibayarkan kepada kerabatnya dari kalangan kafir meskipun mereka mu'ahid, karena kafir tidak mewarisi mukmin.

Dan tampak bagi kami bahwa pendapat pertama lebih dekat dengan kebenaran, karena jika yang dimaksud dengan yang dibunuh secara tidak sengaja di sini adalah korban Muslim, maka itu akan berulang dan tidak ada makna untuk memisahkannya, karena hukumnya termasuk dalam firman Allah—Subhanahu—di awal ayat {Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin secara tidak sengaja, maka memerdekakan seorang budak mukmin dan diyah yang diserahkan kepada keluarganya}. Maka karena Allah—Subhanahu—memisahkannya dengan menyebutkannya secara khusus, kami mengetahui bahwa yang dimaksud dengan pembunuhan secara tidak sengaja di sini adalah pembunuhan secara tidak sengaja dari kaum kafir yang ada perjanjian dengan kami, baik yang dibunuh beragama kami atau beragama mereka."

Adapun yang keempat, musta'min, dan ia adalah jenis yang mencakup banyak macam, yaitu:

1/ Orang yang diberi aman oleh seorang Muslim.

Maka Muslim memasukkan kafir ke dalam jiwanya ([2]), Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Darah kaum Muslimin setara, dan yang paling rendah di antara mereka menjamin perlindungan mereka, dan mereka adalah satu tangan terhadap selain mereka." [Abu Dawud].

"Darah kaum Muslimin setara": Seperti qishash untuk yang mulia jika dibunuh sama dengan untuk yang lemah.

"Dan yang paling rendah di antara mereka menjamin perlindungan mereka": Yang paling rendah dijamin seperti budak—berkhilaf dengan mazhab Hanafi—dan wanita, sehingga darahnya haram bagi umum kaum Muslimin.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam Shahihain kepada Ummu Hani' binte 'amnya Abu Thalib dan saudara Ali radhiyallahu 'anhu: "Kami telah menjamin aman siapa yang engkau jamin aman, wahai Ummu Hani'."

Maka barangsiapa yang memasuki jiwanya seorang Muslim, maka tidak boleh dibunuhnya karena hadits yang baru disebutkan: "Barangsiapa membunuh seorang mu'ahid, maka ia tidak akan mencium bau surga, padahal baunya tercium dari jarak tempuh empat puluh tahun." [Diriwayatkan oleh al-Bukhari].

Ibnu Hajar rahimahullah (dalam Fath al-Bari 12/259) berkata: "Dan yang dimaksud dengannya adalah orang yang ada perjanjian dengan kaum Muslimin, baik dengan akad jizyah, atau hudaibiyah dari sultan, atau aman dari seorang Muslim."

Allah mewajibkan kami agar tidak menyentuhnya, firman-Nya: {Dan jika salah seorang dari orang-orang musyrik itu memohon perlindungan kepadamu, maka berikanlah perlindungan kepadanya sehingga ia dapat mendengar perkataan Allah, kemudian antarlah ia ke tempat yang aman baginya.} [QS. at-Taubah: 6].

Ayat ini turun setelah firman Allah: {Maka apabila bulan-bulan haram itu telah lalu, maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kamu jumpai mereka}, yaitu bunuhlah mereka, tetapi jika salah seorang dari mereka ingin mengenal Islam, berikanlah aman kepadanya, jika ia masuk Islam atau tidak, tidak ada paksaan dalam agama, dan yang wajib atas kami adalah mengantarkannya ke tempat yang aman baginya.

Dan yang menunjukkan bahwa mu'ahid mencakup jenis-jenis ini adalah hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: "Ingatlah, barangsiapa yang menzalimi seorang mu'ahid, atau merendahkannya, atau membebani di atas kemampuannya, atau mengambil sesuatu darinya tanpa senang hatinya, maka aku adalah penanggung jawabnya di hari kiamat." [Abu Dawud]. Ini mengenai dhimmi, dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutnya mu'ahid.

2/ Para utusan.

Utusan-utusan musyrik tidak dibunuh, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang pembunuhan utusan-utusan. Maslamah al-Kadzzab mengutus dua utusan kepadanya yang telah mempercayai kenabiannya, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada keduanya: "Demi Allah, seandainya bukan karena utusan-utusan tidak dibunuh, sungguh aku akan tebas leher kalian berdua." [Ahmad dan Abu Dawud].

Dan semisal mereka dalam hukum adalah para duta, dan anggota delegasi diplomatik, tidak ada keraguan bagi akal yang sehat mengenai itu.

3/ Orang yang memasuki negara dengan izinnya.

Maka setiap orang yang diizinkan negara untuk memasukinya, tidak boleh disentuh dengan keburukan, seperti para pedagang dan orang yang memasuki untuk keperluan seperti pengobatan dan pendidikan. Jika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan jaminan aman kepada seorang wanita, apalagi izin negara?

Jika ditemukan orang yang tidak memiliki izin dari negara, maka urusannya diserahkan kepada pemimpin umat, dan tidak boleh bagi siapa pun menyentuhnya dengan keburukan.

Seperti yang ditunjukkan oleh nash-nash tentang pengharaman menyentuh orang-orang kafir ini, fitrah yang selamat juga menunjukkannya, karena fitrah menunjukkan kewajiban menghormati orang-orang seperti ini.

 Kemudaratan Menyerang Orang Kafir yang Darahnya Dilindungi:

Sesungguhnya membunuh orang-orang ini adalah perbuatan kriminal yang melahirkan banyak kemudaratan, di antaranya:

1/ Terjerumus dalam pengkhianatan dan khianat.

Menyerang orang-orang ini yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hormati darahnya adalah pengkhianatan dan khianat. Oleh karena itu, al-Munadzdiri membab dalam at-Targhib wat-Tarhib dengan katanya: "Peringatan tentang khianat dan pengkhianatan, serta pembunuhan mu'ahid atau kezalimannya."

Maka bagaimana nasib pengkhianat di hari kiamat?

Menjawabnya adalah Sayyid al-Muthaqqin shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sabdanya dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim: "Apabila Allah mengumpulkan orang-orang yang terdahulu dan yang sesudahnya di hari kiamat, maka untuk setiap pengkhianat akan diangkat panji-panji, lalu dikatakan: Ini pengkhianatan fulan bin fulan," maka Allah akan memalukannya sebelum memutuskan urusannya.

Utsman bin Thalhah memberikan kunci Ka'bah kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau memasukinya sebagai pemenang, maka beliau memasukinya dan shalat di dalamnya, kemudian datang kepadanya pamannya al-Abbas lalu berkata: Jadikanlah kami pengurus bersama dengan penyediaan air. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Di mana Utsman bin Thalhah?" Maka ia datang, beliau serahkan kuncinya kepadanya dan bersabda: "Ini hari kebajikan dan pemenuhan janji." Dan turun ayat: {Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.} [QS. an-Nisa': 58]. Maka betapa agungnya agama ini!

2/ Melanggar nash-nash yang telah disebutkan sebelumnya dan terpapar pengusiran dari rahmat Allah.

3/ Bunuh diri.

Karena dalam banyak kesempatan, orang-orang nekat ini tidak mampu mencapai orang-orang kafir itu untuk membunuhnya kecuali dengan menyerbu tempat-tempat mereka sendiri, sehingga menyeret mereka dan meledakkan dirinya bersamanya. Dan sayang sekali, agama apa yang memerintahkan itu? Akal apa yang menerimanya? Dan dalil apa bagi orang bunuh diri ini?!

Apakah mereka belum mendengar hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Shahihain: "Barangsiapa membunuh dirinya dengan besi, maka besinya di tangannya ia tusuk ke perutnya di neraka Jahannam, kekal abadi di dalamnya selamanya. Barangsiapa meminum racun maka membunuh dirinya, maka ia akan meneguknya di neraka Jahannam, kekal abadi di dalamnya selamanya. Barangsiapa terjun dari gunung maka membunuh dirinya, maka ia akan terjun di neraka Jahannam, kekal abadi di dalamnya selamanya"?

4/ Membunuh sebagian kaum Muslimin.

Tempat-tempat orang-orang ini tidak lepas dari keberadaan Muslimin di dalamnya.

Cukuplah bagi saya di sini untuk mengingatkan dua kisah:

Yang pertama: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dinilai hasan oleh al-Albani, dari Imran bin al-Hushain radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus kami dalam seriyyah, maka seorang Muslim menusuk seorang musyrik dengan tombaknya, ketika ia hampir menewaskannya, ia berkata: Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, aku Muslim. Maka ia tusuknya, sehingga membunuhnya. Kemudian ia datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku binasa. Beliau bersabda: "Apa yang telah engkau lakukan?" Maka ia ceritakan apa yang dilakukannya, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya: "Mengapa engkau tidak belah perutnya sehingga engkau ketahui apa yang ada di hatinya?" Ia berkata: Wahai Rasulullah, jika aku belah perutnya, aku akan lebih tahu apa yang ada di hatinya. Beliau bersabda: "Maka engkau tidak menerima apa yang diucapkannya, dan engkau tidak tahu apa yang ada di hatinya?!" Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diam darinya, tidak lama kemudian ia mati, maka kami kuburkan, maka pagi harinya ia berada di permukaan tanah. Mereka berkata: Mungkin musuh yang menggali kuburnya, maka kami kuburkan lagi lalu perintahkan anak-anak muda kami menjaganya, maka pagi harinya ia berada di permukaan tanah. Kami berkata: Mungkin anak-anak muda itu mengantuk, maka kami kuburkan lalu jaga dengan diri kami sendiri, maka pagi harinya ia berada di permukaan tanah, maka kami lemparkan ke salah satu lembah itu. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam diberitahu, beliau bersabda: "Sesungguhnya bumi menerima orang yang lebih jahat daripadanya, tetapi Allah lebih suka menunjukkan kepadamu pemuliaan kemuliaan 'La ilaha illallah'."

Yang kedua: Dalam Shahihain dari Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus kami ke al-Hurqah, maka kami serang mereka di pagi hari, maka kami kalahkan mereka, dan aku serta seorang dari Ansar mengejar seorang dari mereka, ketika kami hampir menewaskannya, ia berkata: La ilaha illallah, maka Ansari berhenti, tetapi aku tusuk ia dengan tombakku hingga membunuhnya. Ketika kami kembali, sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: "Wahai Usamah, apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan La ilaha illallah?!" Aku berkata: Ia hanyalah berlindung (munafik). Maka beliau terus mengulanginya hingga aku berharap seandainya aku belum masuk Islam sebelum hari itu.

5/ Merusak citra Islam.

Islam bersih dari perbuatan-perbuatan ini, ia adalah agama kebaikan, kejujuran, dan pemenuhan janji. Allah berfirman atas lisan Ibrahim 'alaihissalam: {Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami sebagai ujian bagi orang-orang kafir}, dan atas lisan pengikut Musa 'alaihissalam: {Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami sebagai ujian bagi kaum yang zalim}, yaitu jangan jadikan mereka berkuasa atas kami sehingga mereka mengira bahwa mereka berada di atas kebenaran, maka makna ayatnya: Jangan jadikan kami ujian bagi mereka dengan apa yang keluar dari kami dan apa yang menimpa kami, dengan apa yang keluar dari kami dari perbuatan yang merusak agama kami, dengan apa yang menimpa kami dari kekalahan mereka, karena itu akan merusak jiwa mereka: Jika mereka berada di atas kebenaran, maka kekalahan akan bagi mereka. Dan jika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya engkau membimbing seorang pria lebih baik bagimu daripada kambing merah," [diriwayatkan oleh asy-Syaikhain] maka menyesatkan seorang kafir karena engkau lebih buruk bagimu daripada sekian dan sekian!

Sesungguhnya Islam adalah agama yang tidak mengenal pengkhianatan.. agama rahmat.. Maka ibu kami Aisyah kepada nabi kami shallallahu 'alaihi wa sallam: Apakah ada hari yang lebih berat daripada hari Uhud yang menimpamu? Beliau bersabda: "Sesungguhnya aku telah menerima dari kaummu apa yang aku terima, dan yang paling berat yang aku terima daripada mereka adalah hari al-Aqabah ketika aku tawarkan diriku kepada Ibnu Abd Yalil bin Abd Kulal, maka ia tidak jawabku atas apa yang aku inginkan, maka aku pergi dalam keadaan sedih menghadap wajahku, maka aku tidak sadar kecuali aku berada di Qarn ats-Tsa'alib, maka aku angkat kepalaku, maka aku lihat awan yang menaungiku, maka aku lihat di dalamnya Jibril, maka ia panggil aku, lalu bersabda: Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan apa yang mereka balas kepadamu, dan telah mengutus kepadamu malaikat gunung agar engkau perintahkan kepadanya apa yang engkau inginkan terhadap mereka. Maka malaikat gunung panggil aku, lalu salam kepadaku kemudian bersabda: Wahai Muhammad. Maka katakanlah apa yang engkau inginkan, jika engkau inginkan aku tutup kedua gunung itu atas mereka?

Maka dengan apa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membalas, beliau bersabda: "Sebaliknya, aku harap Allah keluarkan dari sulbi mereka orang yang menyembah Allah saja, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun."

6/ Merusak citra para pemeluk (Muslim).

Maka tuduhan-tuduhan akan menimpanya, dan cukuplah bagi mereka firman Rabb mereka: {Sesungguhnya Allah akan memberikan pertolongan kepada orang-orang yang beriman.} [QS. al-Hajj: 38]. Dan dengan orang-orang menyerang kehormatan mereka, amal shaleh mereka mengalir.

7/ Mengguncang keamanan dan menabur kekacauan.

8/ Memberi kesempatan kepada orang-orang kafir atas kami, dan di antara kami—wahai orang-orang mukmin—ada luka yang cukup bagi kami.

 Tiga Sanggahan:

1/ Barā'ah (berlepas diri) dari kekafiran dan orang-orang kafir mengharuskan kita memperlakukan mereka seperti ini, dengan ledakan dan kehancuran.

Jawabannya: Perbedaan besar, dan jarak yang jauh antara wala' (kesetiaan) dan wafa' (pemenuhan janji).. Maka tidak menyentuh orang-orang ini adalah wafa', bukan wala'.

Siapa yang mengajarkan kami aqidah berlepas diri dari orang-orang kafir? Bukankah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang melindungi darah orang-orang ini?!

2/ Sebagian mereka berkata—ketika dikritik bahwa mereka membunuh jiwa Muslim bersama dengan yang mereka bunuh dari musta'min—: Adapun Muslimin, kami percepatkan mereka ke surga!!

Dan aku katakan: Betapa besar permainan setan kepada mereka!

Siapa engkau hingga engkau bersaksi bagi fulan surga atau neraka?

Bukankah mukmin di surga? Bukankah Allah telah bersaksi di awal surah al-Mu'minun dengan Firdaus bagi mereka? Dan meskipun demikian, Allah berfirman: {Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahannam, ia kekal di dalamnya, dan Allah murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan baginya azab yang besar.} [QS. an-Nisa': 93].

Nabi kami shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberitahu kami bahwa yang paling jahat dari manusia adalah yang membunuh nabi atau dibunuh oleh nabi, maka jika mempercepat nabi ke surga menjadi uzur, tidaklah yang dipercepat menjadi yang paling disiksa di neraka Allah!

3/ Dan sebagian mereka berkata: Barangsiapa yang membunuh dari Muslimin, maka ia dibunuh dengan qiyas atas masalah at-tatarrus!

Sungguh telah bergurau hingga keluar dari kelemahannya semuanya, dan hingga mencicipinya setiap orang miskin.

Jika ditanya orang ini tentang qiyas dan pengertiannya, ia tidak akan temukan jawaban karena kebodohannya yang ekstrem! Kemudian ia berbicara dan berani terhadap isu-isu besar ini!

Maka apa itu masalah at-tatarrus?

At-tatarrus dengan dhammah ta': Apa yang digunakan untuk berlindung dalam perang, dikatakan: tatarrasa dengan perisai jika berlindung dengannya.

Dan at-tatarrus ada dua keadaan:

Keadaan Pertama:

Yaitu yang berkaitan dengan jihad ad-daf' (jihad bertahan)..

Bahwa pasukan Muslim menghadapi pasukan kafir (muharib), dan di kalangan kafir ada tawanan dari Muslimin, maka musyrik mengancam membunuh tawanan Muslim jika tidak menyerahkan negeri Islam kepada mereka, atau pasukan kafir menyerang untuk merampas negeri Islam dan telah jadikan tawanan Muslim sebagai perisai mereka.

Maka dalam keadaan ini, ulama berijma' untuk memerangi musyrik meskipun mereka tatarrus dengan Muslimin dan meskipun tawanan-tawanan itu terkena, sebagaimana akan datang penjelasannya.

Karena jika dibiarkan dan mereka serang Muslimin, mereka akan habisi semuanya, dan mati sembilan lebih ringan daripada mati seratus, dan oleh karena itu dikatakan oleh yang berkata untuk memerangi kafir dan tidak menargetkan Muslim yang ditatarruskan.

Keadaan Kedua:

Yaitu yang berkaitan dengan jihad ath-thalb (jihad menyerang)..

Bahwa Muslimin menyerang negeri kekafiran, dan di kalangan kafir ada tawanan dari Muslimin, maka musyrik mengancam membunuh tawanan Muslim jika Muslim mundur dari mereka, atau musyrik jadikan tawanan Muslim sebagai perisai dan penghalang antara mereka dan pasukan Muslim, dan tidak ada dalam meninggalkan perang terhadap kafir kehancuran negeri Islam dan pemusnahan Muslimin..

Maka ini adalah tempat perbedaan pendapat.

Masalah at-tatarrus memiliki syarat-syarat, yaitu:

- Bahwa barisan antara Muslimin dan musyrik terpisah.

- Bahwa musyrik adalah muharib, dan tidak ada perjanjian atau dhimmah antara kami dengannya.

- Dalam keadaan pertama: Bahwa akibat dari berhenti memerangi musyrik adalah pemusnahan Muslimin.

- Dan dalam keadaan kedua: Bahwa akibat dari berhenti adalah penghentian jihad secara keseluruhan.

- Bahwa tidak mampu mencapai pembunuhan musyrik muharib kecuali dengan kemungkinan membunuh tawanan-tawanan itu, maka jika mampu atas mereka tanpa jalan ini, tidak ada perbedaan di kalangan ulama dalam mengharamkan melempar mereka yang tatarrus.

- Bahwa tidak menargetkan pembunuhan tawanan Muslim, dan menghalangi itu dengan segala kemampuan dan upaya.

- Bahwa tidak ada dalam masalah at-tatarrus pengkhianatan, khianat, atau pelanggaran terhadap sultan Muslim.

Ibnu Qudamah rahimahullah dalam al-Mughni (13/141-142) berkata: "Bab: Dan jika mereka tatarrus dengan Muslim dan tidak ada kebutuhan untuk melempar mereka karena perang tidak sedang berlangsung, atau karena mampu atas mereka tanpa itu, atau karena aman dari kejahatan mereka, maka tidak boleh melempar mereka, jika melempar mereka dan mengenai Muslim, maka atasnya ganti rugi."

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Fatawa (20/53) berkata: "Para fuqaha sepakat bahwa bila tidak mungkin menolak mudarat dari Muslimin kecuali dengan apa yang mengarah kepada pembunuhan tawanan-tawanan yang ditatarruskan, maka boleh itu meskipun mudaratnya tidak berat, tetapi jika tidak mungkin jihad kecuali dengan apa yang mengarah kepada pembunuhan mereka, maka ada dua pendapat."

Maka di mana perbuatan mereka dari apa yang disebutkan oleh ulama kami ini?!

Mungkin aku akhiri dengan mengingatkan hadits nabi ini, dalam Sunan Abi Dawud, dari Ubada bin ash-Shamit radhiyallahu 'anhu, bahwa beliau berkata: Nabi Allah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa membunuh seorang mukmin lalu senang dengan pembunuhannya, maka Allah tidak menerima daripadanya shadaqah maupun qadha'."

Makna "lalu senang dengan pembunuhannya": Mengira bahwa ia berada di atas petunjuk dan tidak beristighfar!

Ya Allah, berilah petunjuk kepada yang sesat dari kaum Muslimin, dan satukan kata kami atas kebenaran yang nyata.

Ya Allah, shalawat, salam, dan berkah kepada nabi kami Muhammad, keluarganya, dan para shahabatnya semuanya.

-----------------------------

[1] / Asalnya adalah khutbah Jumat pada 12 Sya'ban 1428 H, yang sesuai dengan: 24/8/2007 M

[2] / Al-jar: Orang yang memberi aman kepada orang lain.

LihatTutupKomentar