Membanggakan Nasab adalah Haram

Membanggakan Nasab adalah Haram membanggakan diri dengan kemuliaan dan keutamaan dari hasab (kebanggaan keturunan dari sisi ayah) dan nasab (keturunan

Membanggakan Nasab adalah Haram

Membanggakan Nasab kepada orang mulia adalah Haram karena termasuk sifat sombong

 Dalam Al-Mausuah al-Fiqhiyah dijelaskan tentang membangga-banggakan diri dan hukumnya:

 الفخر وَهُوَ الْمُبَاهَاةُ بِالْمَكَارِمِ وَالْمَنَاقِبِ مِنْ حَسَبٍ وَنَسَبٍ وَغَيْرِ ذَلِكَ، إِمَّا فِي الْمُتَكَلِّمِ، أَوْ فِي آبَائِهِ. اهـ.

 الْفَخْرُ مِنَ الأْمُورِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا شَرْعًا فِي الْجُمْلَةِ، وَقَدْ وَرَدَ النَّهْيُ عَنْهُ فِي أَحَادِيثَ كَثِيرَةٍ:
مِنْهَا: حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ -رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ- قَال: قَال رَسُول اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَل قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ، وَفَخْرَهَا بِالآْبَاءِ، مُؤْمِنٌ تَقِيٌّ، وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ. أَنْتُمْ بَنُو آدَمَ، وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ، لَيَدَعَنَّ رِجَالٌ فَخْرَهُمْ بِأَقْوَامٍ، إِنَّمَا هُمْ فَحْمٌ مِنْ فَحْمِ جَهَنَّمَ، أَوْ لَيَكُونُنَّ أَهْوَنَ عَلَى اللَّهِ مِنَ الْجِعْلاَنِ الَّتِي تَدْفَعُ بِأَنْفِهَا النَّتِنَ.
قَال الْخَطَّابِيُّ: مَعْنَاهُ أَنَّ النَّاسَ رَجُلاَنِ: مُؤْمِنٌ تَقِيٌّ، فَهُوَ الْخَيِّرُ الْفَاضِل، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حَسِيبًا فِي قَوْمِهِ، وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ، فَهُوَ الدَّنِيُّ وَإِنْ كَانَ فِي أَهْلِهِ شَرِيفًا رَفِيعًا.

وَقِيل: مَعْنَاهُ أَنَّ الْمُفْتَخِرَ إِمَّا مُؤْمِنٌ تَقِيٌّ، فَإِذَنْ لاَ يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَتَكَبَّرَ عَلَى أَحَدٍ، أَوْ فَاجِرٌ شَقِيٌّ فَهُوَ ذَلِيلٌ عِنْدَ اللَّهِ، وَالذَّلِيل لاَ يَسْتَحِقُّ التَّكَبُّرَ، فَالتَّكَبُّرُ مَنْفِيٌّ بِكُل حَالٍ.

وَمِنْهَا حَدِيثُ أَبِي مَالِكٍ الأْشْعَرِيِّ -رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ- أَنَّ النَّبِيَّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قَال: أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ: الْفَخْرُ فِي الأْحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي الأْنْسَابِ، وَالاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ، وَالنِّيَاحَةُ.

قَال الأْبِيُّ: يَعْنِي الْفَخْرَ بِهَا مَعَ احْتِقَارِ الْغَيْرِ؛ لإِنَّ مُطْلَقَهُ مُعْتَبَرٌ بِدَلِيل طَلَبِ الْكَفَاءَةِ فِي النِّكَاحِ.

وَقَدْ عَدَّ الْعُلَمَاءُ، كَالْغَزَالِيِّ وَابْنِ قُدَامَةَ الْفَخْرَ مِنْ دَرَجَاتِ الْكِبْرِ. اهــ.

Al-Fakhr, yaitu membanggakan diri dengan kemuliaan dan keutamaan dari hasab (kebanggaan keturunan dari sisi ayah) dan nasab (keturunan) serta selainnya, baik pada diri pembicara, atau pada ayah-ayahnya. (Selesai kutipan).

Al-fakhr termasuk perkara-perkara yang dilarang secara syar'i secara umum, dan telah datang larangan terhadapnya dalam banyak hadits:

Di antaranya: Hadits Abu Hurairah—radhiyallahu ta'ala 'anhu—beliau berkata: Rasulullah—shallallahu 'alaihi wa sallam—bersabda: "Sesungguhnya Allah 'azza wa jalla telah menghilangkan dari kalian kebanggaan Jahiliyah dan kebanggaannya dengan para ayah, (seseorang adalah) mukmin yang bertakwa, dan fasiq yang sengsara. Kalian adalah anak-anak Adam, dan Adam dari tanah liat, pasti akan ada laki-laki yang meninggalkan kebanggaannya dengan kaum-kaum, mereka hanyalah bara dari bara Jahannam, atau pasti akan menjadi lebih ringan di sisi Allah daripada kumbang yang menolak najis dengan hidungnya."

Al-Khattabiyy berkata: Maknanya bahwa manusia dua jenis: mukmin yang bertakwa, maka ia adalah yang baik yang mulia, meskipun tidak memiliki hasab di kaumnya, dan fasiq yang sengsara, maka ia adalah yang rendah meskipun di keluarganya terhormat dan tinggi derajatnya.

Dan dikatakan: Maknanya bahwa yang membanggakan diri adalah mukmin yang bertakwa, maka tidak pantas baginya untuk sombong atas seseorang pun, atau fasiq yang sengsara maka ia hina di sisi Allah, dan yang hina tidak layak untuk sombong, sehingga kesombongan dinafikan dalam segala keadaan.

Dan di antaranya hadits Abu Malik al-Asy'ari—radhiyallahu ta'ala 'anhu—bahwa Nabi—shallallahu 'alaihi wa sallam—bersabda: "Empat (perkara) di umatku dari urusan Jahiliyah yang mereka tidak tinggalkan: kebanggaan dengan hasab, celaan dengan nasab, istisqa' (meminta hujan) dengan bintang-bintang, dan niayah (ratapan berlebihan)."

Al-Abiyyu berkata: Maksudnya kebanggaan dengan itu disertai merendahkan orang lain; karena bentuk mutlaknya dianggap berdasarkan dalil permintaan kafa'ah (kesetaraan) dalam pernikahan.

Dan para ulama, seperti al-Ghazali dan Ibnu Qudamah, menghitung al-fakhr sebagai salah satu derajat dari kibar (kesombongan).[] 

LihatTutupKomentar