Fakta 9 Kesesatan Kaum Habaib yang Tertulis dalam Kitab-kitab Mereka
Judul asal: Khurafat Habaib Ba‘Alawi: 9 Klaim yang Perlu Diwaspadai
Ditulis Oleh: Abdul Aziz Jazuli, Lc, MH (Channel Youtube-nya)
Penerbit asal: rminubanten.or.id
Berikut ini adalah sedikit dari sekian banyak khurofat-khurofat yang dapat ditemukan dan dikaji di dalam kitab-kitab para habib Baalawi dan sebagian ceramahnya.
1. Mi’raj Habaib ke Sidrotul Muntaha Seperti Rasulullah saw.
Syekh Abdurrahman bin Muhammad Al Khotib di dalam kitab al Jauharus Syaffaf fi Manaqibis Sadatil Asyrof berkata:
وَكَانَ مِنْ جُمْلَةِ مَا كَتَبَ بِهِ إِلَى الشَّيْخِ سَعْدٍ، أَنَّهُ قَالَ: عُرِجَ بِيَ إِلَى سِدْرَةِ المُنْتَهَى سَبْعَ مَرَّاتٍ
Dan termasuk dari isi surat yang dikirimkannya kepada Syaikh Sa‘d, beliau berkata: “Aku telah diangkat menuju Sidratul Muntahā sebanyak tujuh kali.”
وَفِي رِوَايَةٍ: سَبْعَةً وَعِشْرِينَ مَرَّةً فِي لَيْلَةٍ وَاحِدَةٍ.
Dan dalam satu riwayat: sebanyak dua puluh tujuh kali dalam satu malam.
وَفِي رِوَايَةٍ: سَبْعِينَ مَرَّةً.
Dan dalam riwayat lain: sebanyak tujuh puluh kali.”[1]
Riwayat ini dikutip oleh Habib Ahmad bin Zain al Habsyi di dalam kitab syarah Al Ainiyyah.[2]
Berikut ini adalah daftar dari sekian banyak para ulama-ulama yang menentang pemahaman yang diajarkan oleh Faqih Muqoddam kepada para pengikutnya tentang Mi’roj sampai ke Sidrotul Muntaha:
Syekh Muhammad Nawawi al Bantani.
Ia berkata di dalam kitab Fathu Shomad al Alim Ala Maulid Syaih Ahmad bin Qosim:
(ٱلَّذِي شَرَّفَ ٱلْأَنَامَ) أَيْ: رَفَعَ ٱلْخَلْقَ (بِصَاحِبِ ٱلْمَقَامِ ٱلْأَعْلَى) أَيْ: بِٱلَّذِي صَاحِبُ ٱلدَّرَجَةِ ٱلْعُلْيَا ٱلَّتِي لَمْ يَصِلْهَا نَبِيٌّ وَلَا مَلَكٌ مُقَرَّبٌ
Ialah Allah yang telah memuliakan seluruh makhluk, maksudnya: mengangkat derajat ciptaan-Nya dengan sosok pemilik maqam (kedudukan) tertinggi, yakni dia (Nabi Muhammad saw), pemilik derajat yang paling tinggi, yang tidak dicapai oleh nabi mana pun dan tidak pula oleh malaikat yang didekatkan (kepada Allah).
وَذَٰلِكَ كَإِسْرَائِهِ صَلَّى ٱللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِٱلْجِسْمِ وَٱلرُّوحِ مِنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَى ثُمَّ عُرُوجِهِ إِلَى ٱلسَّمٰوَاتِ ٱلسَّبْعِ، ثُمَّ سِدْرَةِ ٱلْمُنْتَهَى، ثُمَّ إِلَى ٱلْمُسْتَوَى، ثُمَّ إِلَى ٱلْعَرْشِ وَٱلرَّفْرَفِ
Dan itu tampak dalam peristiwa Isra’-nya saw secara jasmani dan ruhani dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, lalu naiknya beliau ke tujuh lapis langit, kemudian ke Sidratul Muntaha, kemudian ke al-Mustawa, lalu ke ‘Arsy dan Rafraf (hamparan cahaya yang lembut).
حَيْثُ كَلَّمَهُ ٱللّٰهُ وَرَآهُ بِعَيْنَيْ رَأْسِهِ
Di tempat itulah Allah berbicara langsung kepadanya (Nabi Muhammad saw) dan beliau melihat-Nya dengan kedua mata kepalanya.”[3]
Redaksi ini menegaskan keyakinan umum Ahlus Sunnah wal Jamā‘ah bahwa Nabi Muhammad saw mengalami peristiwa Isrā’ wal Mi‘rāj secara jasad dan ruh hanya terjadi kepada Nabi Muhammad saw dan tidak dialami oleh selainnya. Itu adalah maqom kenabian, bukan semata mimpi atau pengalaman ruhani biasa. Ini berarti klaim bahwa seorang wali, termasuk Faqīh al-Muqaddam, mengalami mi‘rāj seperti Nabi -apalagi dengan jasad apalagi 70 kali dalam semalam- adalah bertentangan dengan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Sebagian kalangan dari para habaib dan muhibbin para pengagum habaib mengklaim bahwa tokoh seperti Faqīh al-Muqaddam, Habib ‘Abdullāh al-Ḥaddād, atau Habib Abu Bakar al-‘Aṭṭās dan yang lainnya mengalami mi‘rāj sebagaimana Nabi saw —bahkan ada yang menarasikan bahwa mereka naik ke langit, menembus tabir-tabir ghaib, dan berbicara langsung dengan Allah swt.
Klaim ini tidak hanya bertentangan dengan akidah Ahlus Sunnah, tetapi juga menabrak batas kerasulan, sebab pengalaman mi‘rāj seperti itu adalah khāṣṣiyyah nabawiyyah (kekhususan kenabian) yang tidak dimiliki oleh malaikat dan nabi manapun apalagi seorang wali, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Nawawi al-Bantanī.
Bahkan para wali agung seperti Sayyid ‘Abdul Qādir al-Jailānī dan Imām al-Ghazālī dikenal sangat tunduk kepada batas syariat dan tidak pernah mengklaim mi‘rāj atau berbicara langsung dengan Tuhan sebagai-mana pengalaman Nabi.
Imam Abul Qosim Abdul Karim Ibnu Hawazin Al Qusyairi.
Di dalam karyanya Kitabul Mi’raj ia berkata:
قِيلَ: أَمَّا الْمِعْرَاجُ بِالْبَدَنِ فَلَمْ يُنْقَلْ عَنْ وَاحِدٍ، وَلَمْ يُخْبَرْ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ لَهُ،
Dikatakan: Adapun mi‘rāj dengan jasad, maka tidak pernah dinukil dari seorang pun, dan tidak pernah diberitakan dari mereka bahwa hal itu terjadi pada mereka (selain Nabi Muhammad saw).
وَلَا يَبْعُدُ أَنْ يُقَالَ: إِنَّ ذَلِكَ لَا يَكُونُ لِغَيْرِ الْمُصْطَفَى بِالْإِجْمَاعِ،
Dan tidak mustahil untuk dikatakan: Sesungguhnya hal itu (mi‘rāj jasmani) tidak akan terjadi pada selain al-Muṣṭafā (Nabi Muhammad saw) berdasarkan ijma‘ (konsensus) umat Islam.”[4]
Qodhi Iyadh Al Yahshubi.
Di dalam kitabnya Asy Syifa’ Fi Ta’rifi Huquqil Mushtofa:
فَذَلِكَ كُلُّهُ كُفْرٌ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ،
Maka semua itu adalah kekufuran menurut ijma‘ (kesepakatan bulat) kaum Muslimin, (sebagaimana halaman sebelumnya melawan ijma berarti zindik).
كَقَوْلِ الإِلَهِيِّينَ مِنَ الْفَلَاسِفَةِ وَالْمُنَجِّمِينَ وَالطَّبِيعِيِّينَ،
seperti ucapan golongan yang mengaku ketuhanan dari kalangan para filsuf (extrimis), ahli nujum (peramal), dan kaum naturalis.
وَكَذَلِكَ مَنْ ادَّعَى مُجَالَسَةَ اللَّهِ وَالْعُرُوجَ إِلَيْهِ وَمُكَالَمَتَهُ، أَوْ حُلُولَهُ فِي أَحَدِ الْأَشْخَاصِ كَقَوْلِ بَعْضِ الْمُتَصَوِّفَةِ وَالْبَاطِنِيَّةِ وَالنَّصَارَى وَالْقَرَامِطَةِ.
“Demikian pula halnya dengan orang yang mengaku duduk bersama Allah, naik kepada-Nya, berbicara langsung dengan-Nya, atau bahwa Allah bersemayam dalam diri seseorang. Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian kaum sufi, kelompok Bāṭiniyyah, kaum Nasrani, dan kelompok Qaramithah.”[5]
Hadrotus Syekh KH Hasyim Asyari.
Di dalam Kitab Risalah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Hadratus Syekh KH Hasyim Asyari mengutip pernyataan Qodhi Iyadh di atas secara lengkap.[6] Ini menunjukkan bahwa klaim mi’roj ke langit apalagi ke Sidrotul Muntaha, apalagi d sat malamnya sebanyak 70 kali adalah hal yang bertentangan dengan syariat.
Penjelasannya adalah sebagai berikut: Demikian pula halnya termasuk kekufuran, orang yang mengaku pernah duduk bersama Allah, naik menuju-Nya mi’raj): (seperti Faqih Muqadam, Habib Abdullah al Haddad, Habib Muhammad Maula Dawilah dst), atau klaim pernah berbicara dengan-Nya yakni dengan Allah swt: seperti seorang wali yang dikisahkan di dalam kitab Kunuzus Sa’adah al Abadiyyah fi Majmu’ Kalam Habib Ali bin Muhammad al Habsyi,[7] dan Habib Abdullah bin Husen bin Tohir (yang diklaim Sebnagai Penyusun kitab Sulamut Taufiq), sebagaimana disebutkan di dalam kitab Tadkirun Nas.[8] Seperti orang-orang yang mengatakan bahwa Allah swt menjelma dalam diri salah satu manusia (seperti ucapan sebagian kaum sufi (extrimis), kaum batiniyyah, kaum Nasrani, dan golongan Qaramithah.
Klaim tersebut juga tertulis dalam kitab Ghoyatul Qhosdi wal Murad yang menyebutkan bahwa Allah swt berwujud seperti wujudnya Habib Abdullah bin Alwi Al haddad sebagai berikut:
أَخْبَرَنِي بَعْضُ الصَّالِحِينَ. قَالَ: رَأَيْتُ رَبَّ العِزَّةِ – سُبْحَانَهُ – فِي المَنَامِ مُتَجَلِّيًا فِي صُورَةِ سَيِّدِي عَبْدِ اللهِ، وَأَنَّ سَيِّدِي عَبْدَ اللهِ وَهُوَ يُحَاسِبُ الخَلَائِقَ.
“Salah satu dari orang-orang saleh mengabarkan kepadaku. Ia berkata: “Aku melihat Tuhan (Allah) Yang Maha Perkasa swt dalam mimpi, dalam keadaan menampakkan Diri-Nya dalam rupa Sayyidī Habib Abdullāh (Al Haddad), dan aku melihat Sayyidī Habib Abdullāh sedang menghisab (menghitung amal) para makhluk.”
فَعَرَفْتُ أَنَّهُ – نَفَعَ اللهُ بِهِ – خَلِيفَةُ اللهِ فِي أَرْضِهِ.
Maka aku pun mengetahui bahwa beliau (Habib Abdullah Al Haddad) adalah khalīfah Allah di bumi-Nya.
وَأَخْبَرَنِي بَعْضُ الصَّالِحِينَ أَيْضًا. قَالَ: رَأَيْتُ رَبَّ العِزَّةِ فِي المَنَامِ، كَأَنَّهُ مُتَجَلٍّ فِي صُورَةِ سَيِّدِنَا عَبْدِ اللهِ بْنِ عَلَوِيٍّ الحَدَّادِ.
“Dan salah satu dari orang-orang saleh juga mengabarkan kepadaku. Ia berkata: “Aku melihat Tuhan Yang Maha Perkasa dalam mimpi, seakan-akan Dia menampakkan Diri-Nya dalam rupa Sayyidunā Habib ‘Abdullāh bin ‘Alawī al-Ḥaddād.”[9]
Dan sebagaimana Faqih Muqadam yang disebut memiliki faham Ittihad menyatu dengan tuhan sebagaimana dalam kitab al Masyra’ur Rawi:
وَحُكِيَ أَنَّهُ قِيلَ لَهُ وَهُوَ فِي تِلْكَ الْوَارِدَاتِ: كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ، فَقَالَ: لَيْسَ لِي نَفْسٌ.
“Dan diceritakan bahwa ada yang berkata kepadanya ketika ia sedang dalam limpahan spiritual: “Setiap jiwa pasti merasakan kematian”, maka ia menjawab: “Aku tidak memiliki jiwa.”
فَقِيلَ لَهُ: كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ، فَقَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهَا.
Lalu dikatakan kepadanya: “Semua yang ada di atasnya pasti binasa”, maka ia menjawab: “Aku bukan termasuk yang berada di atasnya.”
فَقِيلَ لَهُ: كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ، فَقَالَ: أَنَا مِنْ نُورِ وَجْهِهِ.
Kemudian dikatakan kepadanya: “Segala sesuatu pasti binasa kecuali Wajah-Nya”, maka ia menjawab: “Aku berasal dari cahaya Wajah-Nya.”
وَسَمِعَ أَعْرَابِيًّا يَقُولُ: هَلْ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ هُوَ اللهُ؟ فَقَالَ: أَنَا اللهُ، وَخَرَّ مَغْشِيًّا عَلَيْهِ، وَقَالَ: مَا لِي حَاجَةٌ إِلَى مُحَمَّدٍ وَمُحَمَّداه
Dan ia mendengar seorang Arab Badui berkata: “Apakah Muhammad bin Ali itu adalah Allah?”, maka ia berkata: “Akulah Allah”, lalu ia pun jatuh pingsan, dan berkata: “Aku tidak butuh kepada Muhammad maupun kepada Muhammad.”[10]
Catatan Atas Klaim Mi‘rāj dalam Warisan Tasawuf
Klaim mi‘rāj yang dinisbatkan kepada sejumlah tokoh dari kalangan Habaib, seperti al-Faqīh al-Muqaddam, al-Ḥabīb ʿAbdullāh al-Ḥaddād, dan al-Ḥabīb Muḥammad Maulād Dawilah. Disampaikan secara ṣarīḥ dalam berbagai redaksi mereka bahwa pengalaman tersebut terjadi dalam keadaan sadar (yaqẓah), bukan dalam mimpi. Klaim semacam ini harus dikritisi secara tajam karena bertentangan dengan ijmā‘ para fuqahā’ dan mashāyikh tasawuf, bahwa pengalaman semacam itu merupakan kekhususan kenabian. Maka klaim tersebut tidak hanya batil, tetapi juga dapat dikategorikan sebagai bentuk penyimpangan serius dalam manhaj—atau dalam istilah salaf, termasuk dalam kategori zindik. Lebih dari itu, membenarkan klaim semacam ini secara sadar berarti menyetujui kebatilan yang nyata menurut konsensus para imam, dan hal itu pun termasuk sikap yang tercela secara syar‘ī.
Berbeda halnya dengan klaim yang dinisbatkan kepada Abū Yazīd al-Bisṭāmī. Dalam riwayat yang sah, dikutip secara eksplisit bahwa pengalaman mi‘rāj yang beliau sebutkan terjadi dalam mimpi (في النوم), bukan dalam keadaan sadar. Maka dalam hal ini, klaim tersebut tidak termasuk dalam perkara yang menyebabkan penyimpangan, karena mimpi bukan sumber hukum dan tidak memiliki konsekuensi syar‘ī. Ia bisa menjadi penghibur ruhani pribadi, bukan kebenaran objektif yang mengikat umat. Meski begitu, mimpi semacam itu hanya layak dipertimbangkan jika datang dari seseorang yang tsiqah (terpercaya), lurus akidahnya, jujur lisannya, dan tidak dikenal sebagai pembual dalam urusan spiritual.
Adapun beberapa penulis dari kalangan Habaib yang mengklaim pengalaman mi‘rāj dalam bentuk mimpi, maka validitas riwayat tersebut pun diragukan, sebab mereka terkenal gemar menukil dan menyebarkan kisah-kisah karangan yang penuh dengan kedustaan spiritual, glorifikasi yang melampaui batas, ghuluw (berlebihan) dan khurafat yang tidak berdasar. Maka, klaim tersebut pun tertolak, baik secara sanad akhlak maupun secara manhaj ilmiah.
2. Bermusyawarah Dengan Allah Swt
Di dalam kitab Al Yaqut wal Jawahir fi Majmu’ Kalam Habib Umar bin Hasan Al Haddad karya Syekh Hasanbin Said bin Hassan disebutkan:
وَأَتَى بِقِصَّةِ الحَبِيبِ مُحَمَّدٍ مَشْهُورٍ مَعَ الحَبِيبِ أَحْمَدَ جُنَيْدٍ وَامْتِنَاعِهِ مِنَ السَّفَرِ. قَالَ لَهُ: إِنَّنَا شَاوَرْتُ رَبِّي، قَالَ لِي: لَا تُسَافِرْ مِنْ تَرِيمَ لَوْ جَفَا الْجَبَلُ. اُنْظُرْ إِلَى قَوْلِهِ: شَاوَرْتُ رَبِّي، كَيْفَ كَيْفَ مَقَامٌ كَبِيرٌ، وَشُفْ هَؤُلَاءِ يَتَطَامَرُونَ عَلَى الْوَهْمِ كَذَا. وَالأَشْيَاءُ هَذِهِ بَغَتْ تِحْفَظْ جَمٍّ، وَخُصُوصًا النَّقَلَةَ مِنْ أَمَاكِنِ السَّلَفِ؛ لِأَنَّكَ مَا دَارِي تَرْجِعْ أَوْ لَا
“Habib Umar Mendatangkan kisah Habib Muhammad al-Masyhur bersama Habib Ahmad Junaid dan penolakannya untuk bepergian. Ia berkata kepadanya: ‘Sesungguhnya aku telah bermusyawarah dengan Tuhanku, dan Dia berkata kepadaku: Jangan engkau bepergian dari Tarim, sekalipun gunung menjauh darimu.
“Lihatlah ucapannya: ‘Aku bermusyawarah dengan Tuhanku’—betapa, betapa tinggi maqam (kedudukan spiritual) seperti itu. Sementara lihatlah orang-orang ini, mereka meloncat-loncat di atas khayalan seperti itu. Hal-hal seperti ini harus dijaga dengan sungguh-sungguh, terutama oleh mereka yang berpindah dari tempat-tempat para salaf; karena engkau tidak tahu apakah engkau akan kembali atau tidak.”[11]
Ini adalah hal yang menentang ajaran Allah. Bagaimana seseorang meskipun ia adalah seorang Habib dan bergelar waliyullah untuk menyatakan bahwa dirinya telah bermusyawarah dengan Allah swt. Ini kesesatan yang nyata.
Dalam Islam, komunikasi langsung dengan Allah dalam bentuk musyawarah bukanlah maqam yang dimiliki oleh manusia biasa. Bahkan para nabi pun tidak bermusyawarah dengan Allah, melainkan menerima wahyu. Maka, mengklaim bahwa seseorang “bermusyawarah dengan Tuhannya” adalah bentuk pengaburan antara maqam kenabian dan kewalian, dan sangat berbahaya secara teologis.
Allah swt berfirman:
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا
“Dan tidaklah pantas bagi seorang manusia bahwa Allah berbicara kepadanya kecuali dengan wahyu…” (QS. Ash-Shura: 51).
3. Allah swt Takut Disaingi Oleh Nabi Muhammad saw
Di dalam kitab an Nahrul Maurud fi Majmu’ Kalam Habib Idrus bin Umar Al Habsyi disebutkan:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى أَطْلَعَ نَبِيَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عِلْمِ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ، ثُمَّ سَتَرَ عَنْهُ بَعْضَهَا غَيْرَةً مِنْهُ تَعَالَى عَلَى الرُّبُوبِيَّةِ أَنْ تُضَاهَى، فَلِذَا كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَا أَدْرِي مَا يُفْعَلُ بِي وَلَا بِكُمْ. وَيَقُولُ: وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ.
“Sesungguhnya Allah swt telah memperlihatkan kepada Nabi-Nya saw ilmu tentang yang terdahulu dan yang kemudian, kemudian Allah menyembunyikan sebagian dari ilmu itu darinya karena kecemburuan-Nya terhadap sifat ketuhanan agar tidak saingi. Oleh karena itu, Nabi saw pun berkata: ‘Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan terhadapku dan terhadap kalian.’ Dan beliau bersabda: ‘Kalau aku mengetahui perkara ghaib, tentu aku akan memperbanyak kebaikan.”[12]
Ungkapan ini bertentangan dengan ajaran dalam ilmu tauhid bahwa Allah swt maha segala-galanya. Logika mana yang akan membenarkan bahwa Allah takut sifat ketuhanannya disaingi oleh makhluk-Nya; karena Ia adalah maha sempurna. Terlebih makhluk yang terkasih adalah Rasulullah saw. Jika ia takut disaingi oleh kekasih-Nya berarti Ia bukan dzat yang sempurna, dan ia menyerupai makhluk.
4. Faqih Muqoddam Mengaku Sebagai Allah
Habib Muhammad bin Abu Bakar Al Syilli di dalam kitab Al Masyra’ur Rowi berkata:
وَسَمِعَ أَعْرَابِيًّا يَقُولُ: هَلْ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ هُوَ اللهُ؟ فَقَالَ: أَنَا اللهُ، وَخَرَّ مَغْشِيًّا عَلَيْهِ، وَقَالَ: مَا لِي حَاجَةٌ إِلَى مُحَمَّدٍ وَمُحَمَّداه
Dan ia mendengar seorang Arab Badui berkata: “Apakah Muhammad bin Ali itu adalah Allah?”, maka ia berkata: “Akulah Allah”, lalu ia pun jatuh pingsan, dan berkata: “Aku tidak butuh kepada Muhammad maupun kepada Muhammad.”[13]
Kisah lengkapnya disebutkan di dalam kitab al Jauharus Syaffaf fi Manaqibil Asyrof:
أنَّ الشَّيخَ الفَقِيهَ مُحَمَّدَ بْنَ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ خَرَجَ ذَاتَ يَوْمٍ مِنَ الأَيَّامِ إِلَى شَارِعٍ مِنْ شَوَارِعِ تَرِيمَ. وَكَانَ ذَلِكَ الشَّارِعُ مَطْرُوقًا، فَوَقَفَ الشَّيخُ فِيهِ، فَمَرَّ بِهِ بَدَوِيٌّ، مَعَهُ حِمْلٌ عَلَيْهِ سَعْفَةٌ. فَسَاوَمَهُ الشَّيخُ فِي السَّعْفِ، فَأَبَى الْبَدَوِيُّ أَنْ يَبِيعَ السَّعْفَ لِلشَّيخِ بِالَّذِي أَرَادَ. فَقَالَ لَهُ الْحَاضِرُونَ: بِعِ السَّعْفَ لِلشَّيخِ! وَأَلَحُّوا عَلَيْهِ، فَأَبَى الْبَدَوِيُّ. فَأَتَى إِلَيْهِ الفَقِيهُ الأَجَلُّ، الإِمَامُ الأَكْمَلُ أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَبُو عَلَوِيٍّ، وَقَالَ لَهُ: بِعِ الشَّيخَ السَّعْفَ بِمَا أَرَادَ؛ فَإِنَّ الشَّيخَ كَذَا وَكَذَا. وَذَكَرَ شَيْئًا مِنْ مَنَاقِبِ الشَّيخِ. فَقَالَ لَهُ الْبَدَوِيُّ: هُوَ الشَّيخُ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ اللهُ؟ فَلَمَّا سَمِعَ الشَّيخُ ذِكْرَ اللهِ، قَالَ بِأَعْلَى صَوْتِهِ: نَعَمْ، أَنَا اللهُ. وَسَقَطَ مَغْشِيًّا عَلَيْهِ.
“Suatu hari, Syekh yang faqih, Muhammad bin Ali (Faqih MUqoddam), keluar menuju salah satu jalan di kota Tarim. Jalan itu merupakan jalan yang biasa dilalui orang. Syekh (Faqih Muqoddam) pun berdiri di sana, lalu lewatlah seorang Arab pedalaman (badui) yang membawa beban berisi pelepah kurma.
Syekh menawar pelepah itu, namun si badui menolak menjualnya dengan harga yang diinginkan oleh syekh. Orang-orang yang hadir berkata kepadanya, “Jual pelepah itu kepada syekh!” Mereka mendesaknya, tetapi si badui tetap menolak.
Kemudian datanglah seorang faqih agung, imam yang sempurna, Habib Ahmad bin Abdurrahman Abu Alawi, dan berkata kepada si badui, “Jual pelepah itu kepada syekh dengan harga yang ia inginkan. Sesungguhnya syekh ini adalah begini dan begitu…” Lalu ia menyebutkan beberapa keutamaan dan kemuliaan syekh.
Si badui pun bertanya, “Apakah dia ini Syekh Muhammad bin Ali… Allah?” Ketika Syekh Muhammad bin Ali mendengar disebutnya nama Allah, ia berteriak dengan suara lantang, “Ya, aku adalah Allah!” Lalu ia jatuh pingsan.”[14]
Mengatakan “Aku adalah Allah” adalah penyerupaan makhluk dengan Tuhan, yang secara eksplisit ditolak oleh ayat Al Qur’an. Allah adalah Zat yang Maha Suci dari penyerupaan, dan tidak mungkin seorang manusia, seberapapun tinggi maqamnya, dapat menyatu atau menjadi Allah.
Allah swt berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Ash-Shura: 11)
Syekh Nawawi Al Bantani menafsirkan: ““Dia menjadikan bagi kalian dari diri kalian sendiri” — maksudnya dari jenis kalian, yaitu manusia — pasangan-pasangan, yakni perempuan. “Dan dari hewan ternak pasangan-pasangan” — maksudnya, Allah juga menjadikan dari jenis hewan ternak itu pasangan-pasangan, yakni jantan dan betina. “Agar Dia memperbanyak kalian dengannya” — maksudnya, Allah memperbanyak keturunan kalian melalui sistem pasangan ini, karena manusia dan hewan berkembang biak melalui pasangan jantan dan betina. “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya” — maksudnya, tidak ada satu pun makhluk yang menyerupai Zat-Nya, dan tidak pula ada yang menyerupai sifat-sifat-Nya. “Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” — yakni terhadap segala sesuatu yang dapat didengar dan dilihat.”[15]
Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada satu pun makhluk yang setara atau bagian dari Allah. Maka klaim “أنا الله” adalah bentuk pengingkaran terhadap tauhid, dan sangat berbahaya jika tidak ditolak secara tegas.
5. Perbuatan Asusila Habib Dianggap Karomah Wali
Di dalam kitab Kunuzus Sa’adah al Abadiyyah fi Majmu’ Kalam Habib Ali Al Habsyi disebutkan:
وَذَكَرُوا أَنَّ الحَبِيبَ أَحْمَدَ المَذْكُورَ كَانَ إِذَا رَأَى ٱمْرَأَةً فِي ٱلطَّرِيقِ قَبَصَهَا فِي ثَدْيِهَا، وَالحِكْمَةُ فِي ذَلِكَ أَنَّهُ يُخْرِجُ شَهْوَةَ ٱلزِّنَا مِنْهَا،
“Mereka menceritakan bahwa al-Habib Ahmad yang disebutkan itu, apabila melihat seorang perempuan di jalan, maka ia mencubit bagian puting payudara dadanya, dan hikmah dari hal itu adalah untuk mengeluarkan syahwat zina dari dalam diri perempuan tersebut.”
فَقَالَ بَعْضُ ٱلسَّادَةِ لِزَوْجَتِهِ: إِنَّ خَلِيتِي عَمِّي أَحْمَدَ يَقْبِصُ ثَدْيَكِ، فَعَلْتُ بِكِ وَفَعَلْتُ،
“Salah seorang dari para habib berkata kepada istrinya:
“Sesungguhnya kekasihku, pamanku Ahmad, mencubit puting payudara dadamu, dan aku pun telah melakukan ini dan itu terhadapmu (dengan berbagai bentuk perbuatan) yakni hubungan suami isteri.”
فَلَمَّا كَانَ فِي بَعْضِ ٱلْأَيَّامِ أَقْبَلَتْ تِلْكَ ٱلْمَرْأَةُ تَسِيرُ وَزَوْجُهَا يَمْشِي فِي تِلْكَ ٱلطَّرِيقِ، فَإِذَا ٱلْحَبِيبُ أَحْمَدُ وَاصَلٌ إِلَيْهَا،
Kemudian pada suatu hari, datanglah perempuan itu berjalan bersama suaminya di jalan tersebut, maka tiba-tiba al-Habib Ahmad sedang menuju ke arah mereka.”
فَأَسْرَعَتْ فِي ٱلْمَشْيِ وَخَبَتْ خَوْفًا مِنَ ٱلْحَبِيبِ أَحْمَدَ وَمِنْ زَوْجِهَا، فَخَبَّ ٱلْحَبِيبُ أَحْمَدُ وَرَاءَهَا،
Lalu perempuan itu mempercepat jalannya dan menyelinap (menghindar) karena takut kepada al-Habib Ahmad dan kepada suaminya, maka al-Habib Ahmad pun menyelinap mengikuti dari belakangnya.”
وَقَالَ لَهَا: مَا لَكِ عُذْرٌ مِنْ قَبْصَةِ عَمِّكِ أَحْمَدَ، وَإِنْ خَبِيتِ، فَلَحِقَهَا وَقَبَصَهَا فِي ثَدْيِهَا وَزَوْجُهَا يَنْظُرُ،
“Beliau berkata kepadanya: “Engkau tidak punya alasan untuk meng-hindari cubitan dari pamanmu Ahmad, meskipun engkau menyelinap,” maka beliau menyusulnya dan mencubit bagian puting payudara dadanya sementara suaminya menyaksikan.
وَقَالَ لَهَا: بَا تَأْتِينَ بِسَبْعَةِ أَوْلَادٍ كُلُّهُمْ يَرْكَبُونَ ٱلْخَيْلَ عَلَىٰ رَغْمِ أَنْفِ زَوْجِكِ،
‘Kemudian beliau berkata kepadanya: “Engkau akan melahirkan tujuh anak, semuanya akan menunggang kuda meskipun bertentangan dengan kehendak suamimu.”[16]
Dan kisah karomah habib ini diulangi di dalam kitab yang lain yaitu Majmu’ Kalam Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf:
ثُمّ قالَ سَيِّدِي أَيْضًا: وكان هذا السيِّد “يَعْنِي أَحْمَدَ الْهَدَّارَ”، إِذْ عَارَضَ امْرَأَةً فِي الطَّرِيقِ، قَبَصَهَا كَائنًا مَا كَانَ. فَقَالَ بَعْضُ السَّادَةِ لِزَوْجتِهِ: إِنْ خَلَّيْتِي عَمَّ أَحْمَدَ يَقْبِصِشْ لَا تَلُومِيْنَ إِلَّا نَفْسِشْ، وَحَذَّرهَا وَأَنْذَرَهَا، فَفِي يَوْمٍ مِنَ الْأَيَّامِ خَرَجَتْ مِنْ دَارِهَا، وَإِذَا بِالحبِيبِ أَحْمَدَ يَمْشِي قَفَاهَا، فَلَمَّا رأته أَسْرَعَتْ فِي مَشْيِهَا، وَإِذَا بِزَوْجِهَا عَارَضَهَا، وَالسَّيِّدُ أَحْمَدُ يَطْرُدُهَا حَتَّى أَدْرَكَهَا، فَقَبَصَهَا سَبْعَ قَبْصَاتٍ. وَقَالَ لَهَا: عَلَى خَزا زَوْجِشْ بِسَبْعَةِ عِيَالٍ، فَقَالَ لَهَا زَوْجُهَا: إِذَا كَانَتِ الْقَبْصَةُ بِوَلَدٍ، حَتَّى بَغَيْتُ أَكْثَرَ مِنْ هَذَا.
“Kemudian beliau (Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf) berkata:
Dan tuanku ini maksudnya adalah Habib Ahmad al-Haddar. Suatu ketika ia menghadang seorang wanita di jalan, lalu ia mencubitnya. Maka sebagian para habib berkata kepada suaminya: “Kalau kau biarkan Ahmad mencubitmu, jangan salahkan siapa pun kecuali dirimu sendiri.” Ia pun memperingatkan dan menasihatinya. Lalu pada suatu hari, wanita itu keluar dari rumahnya, dan ternyata Habib Ahmad berjalan di belakangnya. Ketika ia melihatnya, ia mempercepat langkahnya. Kemudian suaminya meng-hadangnya, dan Sayyid Ahmad mengejar-nya hingga berhasil menangkap-nya. Ia mencubitnya sebanyak tujuh kali. Lalu ia berkata kepadanya: “Sebagai ganti dari suamimu, tujuh anak.”Maka suaminya berkata kepadanya: “Kalau satu cubitan menghasilkan satu anak, maka aku ingin lebih dari itu.”[17]
Dari dua teks di atas, perbedaannya sangat jelas. Bahwa di kitab pertama secara jelas bahwa Habib Ahmad al Haddar mencubit puting Payudara, sementara redaksi yang kedua tidak disebutkan mencubit bagian tubuh yang mana dari perempuan yang bukan mahram itu. Di manakah amanah pengutipan padahal ini adalah kisah yang sama? Apakah ini merupakan perilaku dari seseorang yang dianggap sebagai seorang wali? Apakah seorang wali yang dia adalah kekasih Allah swt akan melanggar syariat? Apalagi dalam kisah tersebut sang suami mempersilahkan agar puting payudara istrinya dicubit oleh Sang Habib yang wali tersebut? Apakah suami tersebut adalah dayyuts yang tidak memiliki rasa cemburu kepada istrinya padahal dia adalah seorang habib ?.
Mengklaim bahwa tindakan cabul terhadap wanita adalah bentuk karamah adalah penyimpangan serius dari ajaran Islam. Ini bukan karamah, tapi kemungkaran dan pelanggaran akhlak. Pengkultusan tokoh hingga membenarkan tindakan cabul sebagai “hikmah spiritual” adalah bentuk penyimpangan dari tauhid dan adab terhadap Allah. Islam mendorong penggunaan akal sehat dan moral tinggi. Tindakan seperti ini, jika dilakukan oleh siapa pun, secara hukum adalah pelecehan seksual dan tidak bisa dibenarkan secara agama maupun hukum.
6. Boleh Membuat Kuburan Palsu, Meskipun Kuburan Nabi.
Di dalam kitab Tadzkirun Naas Habib Ahmad bin Hasan al Attos berkata:
ولما توفّى الحبيب عمر البار المذكور، شقّ فراقه على أخيه الحبيب عيدروس.
Dan ketika al-Habib ‘Umar al-Bār yang disebutkan itu wafat, perpisahan dengannya terasa sangat berat bagi saudaranya al-Habib ‘Aydarūs.
فقال له جدّي علي بن عبد الله العطاس: إنّ عادة السلف، إذا مات أحدٌ منهم في مكان بعيد، يجعلون له مشهداً يتذكّرونه به.
Maka kakekku, Habib ‘Alī bin ‘Abdullāh al-‘Aṭṭās, berkata kepadanya: “Sesungguhnya kebiasaan para salaf habaib (leluhur habaib), apabila salah seorang dari mereka (habaib) wafat di suatu tempat yang jauh, maka kebiasaan mereka habaib membuatkan untuknya sebuah mashhad (kuburan palsu/maqom), agar mereka mengingatnya dengan kuburan palsu itu.”
ويتبرّكون بزيارته، فأنشأ المشهد المعروف تجدّه القرين.
Dan mereka (habaib dan muhibin) mengambil berkah dengan menziarahi kuburan palsu itu. Oleh karena itu, maka dibuatlah masyhad (quburan palsu/ maqom) yang terkenal itu, yang dapat engkau dapati di daerah al-Qarīn ( Hadramaut yaman).[18]
Dan di dalam kitab An Nahrul Maurud fi Majmu’ Kalam Habib Idrus bin Umar al Habsyi berkata:
يَنْبَغِي لِمَنْ عَجَزَ عَنْ زِيَارَةِ بَعْضِ الْأَوْلِيَاءِ، بَلْ وَالْأَنْبِيَاءِ، أَنْ يُشَخِّصَ ضَرِيحَ ذَلِكَ النَّبِيِّ أَوِ الْوَلِيِّ صُورَةً حِسِّيَّةً مِنْ ثَوْبٍ أَوْ نَحْوِهِ،
“Seyogianya bagi orang yang tidak mampu menziarahi sebagian wali (tokoh Habaib Baalwi), bahkan para nabi sekalipun, agar ia membuat rupa makam nabi atau wali itu dalam bentuk kasat mata (yakni buat kuburan palsu) entah dari sehelai kain atau semisalnya.
ثُمَّ يَسْتَحْضِرَ رُوحَانِيَّتَهُ، وَيَزُورَهُ، وَيَعْمَلَ مَا يَعْمَلُ لَوْ حَضَرَ عِنْدَ ضَرِيحِهِ.
Kemudian ia (sang pembuat makam palsu itu) harus menghadirkan ruhaniyyahnya, (wali atau nabi yang sudah dibuatkan makam palsunya). Lalu ziarahilah kuburan palsu itu, dan lakukanlah segala sesuatu ritual yang biasa sebagaimana yang biasa dilakukan jika para peziarah hadir langsung di makamnya wali atau nabi yang asli.
فَإِنَّهُ يَحْصُلُ لَهُ الْمِدَادُ مِنْ ذَلِكَ الْوَلِيِّ أَوِ النَّبِيِّ بِحَسَبِ نِيَّتِهِ،
Maka sesungguhnya ia akan memperoleh curahan (spiritual) dari wali atau nabi tersebut sesuai dengan niatnya,
وَقُوَّةِ هِمَّتِهِ وَعَزِيمَتِهِ.
“Dan sesuai dengan kekuatan tekadnya serta keteguhan azamnya.”[19]
Rasulullah saw bersabda di dalam sebuah hadist:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَن زِيَارَةِ الْقُبُورِ، فَزُورُوهَا، فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ
“Dulu aku melarang kalian ziarah kubur, sekarang ziarahlah, karena ia mengingatkan kalian pada akhirat.” (HR. Muslim)
Ziarah kubur disyariatkan karena ada jenazah nyata yang dikubur, dan tujuannya adalah mengingat kematian dan akhirat, bukan mengambil berkah dari bangunan kosong. Maka membangun mashhad tanpa jenazah dan menjadikannya tempat berkah adalah bentuk penyimpangan dari tujuan ziarah yang sah.
Dan bangsa terdahulu membuat simbol-simbol fisik untuk mengenang orang saleh, lalu lambat laun disembah dan diagungkan secara berlebihan. Membuat mashhad (kuburan) palsu dan menganggapnya tempat berkah adalah langkah awal menuju pengultusan, yang menyerupai praktik kaum musyrik dan Yahudi yang membangun kuburan palsu untuk klaim sejarah.
7. Orang Ajam (non-Arab) Seperti Binatang
Habib Idrus bin Umar al Habsyi berkata di dalam Kitab An Nahrul Maurud fi Majmu’ Kalam Habib Idrus bin Umar al Habsyi:
ثُمَّ إِنَّ جَمَاعَةً مِنَ الْعَجَمِ اجْتَمَعُوا فَقَالَ وَاحِدٌ مِنْهُمْ: أَنَا الْأَمِيرُ عَلَيْكُمْ، فَقَالَ لَهُ بَقِيَّتُهُمْ: وَنَحْنُ أَتْبَاعُكَ، وَامْتَثَلُوا أَمْرَهُ وَانْقَادُوا لَهُ.
Kemudian, sekelompok orang dari bangsa ‘Ajam (yakni non-Arab) berkumpul. Lalu salah satu dari mereka berkata: “Aku adalah pemimpin atas kalian.” Maka yang lainnya menjawab kepadanya: “Dan kami pengikutmu.” Lalu mereka pun mematuhi perintahnya dan tunduk kepadanya.”
Penjelasan: Paragraf ini memberi contoh bahwa bangsa ‘Ajam sangat mudah tunduk pada seseorang yang mengaku sebagai pemimpin—tanpa perdebatan, tanpa pembahasan, tanpa pertimbangan kelayakan. Cukup ada yang bicara, mereka ikut.
هَلِ الْعَرَبُ أَفْضَلُ مَعَ قِلَّةِ انْقِيَادِهِمْ لِأَمِيرِهِمْ، أَوِ الْعَجَمُ لِانْقِيَادِهِمْ لِلْأَمِيرِ وَأَدَبِهِمْ مَعَ أَمِيرِهِمْ؟
Apakah bangsa Arab lebih utama meskipun mereka sedikit tunduk kepada pemimpin mereka, ataukah bangsa ‘Ajam karena mereka cepat tunduk dan sopan kepada pemimpin mereka?
Penjelasan: Ini adalah pertanyaan yang muncul dari pengamatan dua sikap. Di satu sisi, bangsa Arab dikenal susah tunduk—mereka keras, sering membantah, dan ingin memimpin sendiri. Sementara bangsa ‘Ajam mudah tunduk, sopan, dan teratur. Maka muncul pertanyaan: mana yang lebih baik? Yang keras kepala tapi mungkin punya rasa tanggung jawab tinggi, atau yang patuh tapi tanpa berpikir?
فَقَالَ: بَلِ الْعَرَبُ، فَإِنَّمَا حَمَلَهُمْ عَلَى الِاخْتِلَافِ وَادِّعَاءِ كُلٍّ مِنْهُمْ أَنْ يَكُونَ أَمِيرًا إِنَّمَا هُوَ مَا فِيهِمْ مِنْ صِفَاتِ الْكَمَالِ وَالِإِحْسَاسِ مِنْ نَفْسِهِ بِالتَّأَهُّلِ لِلْإِمَارَةِ وَاسْتِحْقَاقِهَا.
Lalu dijawab: “Justru bangsa Arab lebih utama. Karena alasan mereka berselisih dan masing-masing ingin menjadi pemimpin bukan karena kedunguan, tapi karena dalam diri mereka terdapat sifat-sifat kesempurnaan dan perasaan sadar bahwa dirinya pantas dan layak untuk memimpin.”
Penjelasan: Jawaban ini membalik logika semula. Penolakan bangsa Arab terhadap tunduk membuta bukan dianggap aib, tapi justru pertanda rasa mulia: mereka merasa punya kapasitas, punya nilai, dan tidak sembarang orang pantas memimpin mereka. Jadi, yang tampak sebagai perpecahan justru lahir dari kesadaran pribadi akan kelayakan.
وَأَمَّا الْعَجَمُ فَإِنَّمَا هُمْ كَالْبَهَايمِ أَتْبَاعُ كُلِّ نَاعِق. اِنْتَهَى
Adapun bangsa ‘Ajam, maka mereka itu hanyalah seperti binatang ternak yang mengikuti siapa saja yang bersuara memanggil. Tamat.[20]
Penjelasan: Ini kritik tajam dari habib terhadap watak pasif. Bangsa ‘Ajam digambarkan seperti hewan ternak—tidak menimbang kelayakan pemimpin, tidak berpikir, hanya ikut siapa pun yang bicara duluan. Maka kepatuhan mereka bukan dari adab mulia, tapi dari kelemahan watak.
8. Habaib Baalawi Ras Terbaik Di Dunia
Habib Abdurrahman bin Muhammad al Masyhur di dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin berkata:
وَنَقَلَ الْعَلَّامَةُ مُحَمَّدٌ بَحْرَقٌ عَنْ شَيْخِهِ الْعَارِفِ بِاللهِ مُحَمَّدٍ بَاجَرَافِيلَ
Dan al-‘Allāmah Syekh Muḥammad Baḥraq menukil dari gurunya al-‘Ārif billāh Muḥammad Bājarafil:
إِنَّ أَهْلَ الْبَيْتِ أَفْضَلُ النَّاسِ، وَآلَ أَبِي عَلَوِيٍّ أَفْضَلُ أَهْلِ الْبَيْتِ؛ لِاتِّبَاعِهِمُ السُّنَّةَ، وَلِمَا اشْتُهِرَ عَنْهُمْ مِنَ الْعِلْمِ، وَالْعِبَادَةِ، وَحُسْنِ الْأَخْلَاقِ، وَالْكَرَمِ، وَالتَّقْوَى بِالِاتِّفَاقِ.
Sesungguhnya Ahlul Bait adalah manusia paling utama, dan keluarga Abī ‘Alawī (Habaib Baalawi) adalah golongan Ahlul Bait yang paling utama; karena mereka mengikuti sunnah, dan karena telah masyhur dari mereka ilmu, ibadah, akhlak yang baik, kemurahan hati, serta takwa secara ijma’.[21]
Islam menolak pengultusan berdasarkan garis keturunan. Keutamaan seseorang ditentukan oleh amal dan takwa, bukan nasab. Allah swt berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)
““Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan” — yakni dari Adam dan Hawa, dari ayah dan ibu — maka semua manusia setara dalam hal ini. Tidak ada alasan untuk berbangga diri karena nasab.
“Dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku” — serta dalam tingkatan keturunan yang dikenal oleh bangsa Arab sebagai tujuh lapisan:
Asy-Sya‘b(bangsa besar)
Al-Qabīlah(suku)
Al-‘Imārah(kelompok dalam suku)
Al-Baṭn(kelompok dalam ‘imārah)
Al-Fakhidh(kelompok dalam baṭn)
Al-Faṣīlah(kelompok dalam fakhidh)
Al-‘Ashīrah(kelompok dalam faṣīlah)
Setiap lapisan masuk dalam lapisan sebelumnya. Maka: Khuzaymah adalah sya‘b, Kinānah adalah qabīlah, Quraisy adalah ‘imārah, Quṣayy adalah baṭn, ‘Abd Manāf adalah fakhidh, Hāsyim adalah faṣīlah, Al-‘Abbās adalah ‘ashīrah
“Agar kalian saling mengenal” — yakni agar manusia mengetahui asal-usulnya dan tidak mengaku sebagai keturunan yang bukan dari ayahnya. Bukan untuk saling membanggakan diri atas ayah atau suku, dan bukan untuk mengklaim keunggulan dalam nasab.
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Ḥujurāt: 13)”[22]
Mengklaim bahwa satu cabang Ahlul Bait lebih utama dari yang lain karena keturunan adalah bentuk kesombongan nasab yang bertentangan dengan ayat ini. Bahkan Rasulullah saw tidak pernah mengajarkan kasta di kalangan umat Islam.
مَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Barangsiapa yang amalnya lambat, maka nasabnya tidak akan mempercepatnya.” (HR. Muslim)
Hadis ini secara eksplisit menolak gagasan bahwa kemuliaan nasab bisa menggantikan kualitas amal. Maka, menjadikan Ba’alawi sebagai “ras terbaik” adalah bentuk penyimpangan dari prinsip amal sebagai ukuran kemuliaan.
9. Faqih Muqoddam Selevel dengan Para Sahabat Rasulullah
Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad berkata:
قَالَ سَيِّدُنَا الشَّيْخُ الإِمَامُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُحَمَّدٍ السَّقَّافُ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ: مَا تَفَضَّلَ عَلَى الفَقِيهِ المُقَدَّمِ بَعْدَ الصَّحَابَةِ إِلَّا مَنْ وُرِدَ بِتَفْضِيلِهِ نَصٌّ، كَأُوَيْسِ القَرَنِيِّ، رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنِ الجَمِيعِ، وَرَضِيَ عَنَّا بِهِمْ، وَأَمَدَّنَا بِهِمْ.
“Berkata Sayyidunā Syekh Imām Habib ‘Abdurraḥmān bin Muḥammad as-Seggāf: “Tidak ada yang melebihi keutamaan Faqīh al-Muqaddam setelah para sahabat, kecuali orang yang terdapat nash (teks) khusus yang menunjukkan keutamaannya, seperti Uwais al-Qornī ra.”[23]
Para Sahabat Nabi Muhammad saw adalah golongan mansusia yang Allah sebutkan keutamaannya di dalam al Quran:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.” (QS. At-Taubah: 100)
Keutamaan sahabat dijamin langsung oleh Allah, bukan berdasarkan klaim tokoh atau tradisi. Tidak ada satu pun dalil sahih yang menyebutkan bahwa Faqih Muqaddam memiliki kedudukan mendekati sahabat, apalagi melebihi mereka kecuali yang disebut secara nash.
Syekh Nawawi al Bantani menyebutkan:
وَاعْلَمْ أَنَّ فَضْلَ الصَّحَابَةِ لَا يُعَادِلُهُ عَمَلٌ، وَمِنْ ثَمَّ سُئِلَ ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَمُعَاوِيَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَيُّهُمَا أَفْضَلُ؟ فَقَالَ: لِلْغُبَارِ الَّذِي دَخَلَ فِي أَنْفِ مُعَاوِيَةَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرٌ مِنْ مِائَةٍ مِثْلِ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ.
“Ketahuilah bahwa keutamaan para sahabat tidak dapat ditandingi oleh amal apa pun. Maka dari itu, Ibnul Mubarak pernah ditanya tentang siapa yang lebih utama antara Umar bin Abdul Aziz dan Muawiyah radhiyallahu ‘anhuma. Ia menjawab: Debu yang masuk ke hidung Muawiyah saat bersama Rasulullah saw lebih baik dari pada seratus orang seperti Umar bin Abdul Aziz.”[24]
Sehingga tidak ada seorangpun dari umat Islam yang dapat menyamai keutamaan dari para sahabat Nabi Muhammad saw, apalagi melebihinya. Maka klaim seperti di atas adalah klaim pengkultusan tokoh untuk mendapatkan penghormatan masyarakat dan untuk penjajahan spiritual.
Footnote:
[1] Al Jauharusy Syaffaf fi Manaqibi assadatil Asyrof, Syekh Abdurrahman bin Muhammad al Khotib, manuskrip, hal 79, vol 1.
[2] Syarah al Ainiyyah, Habib Ahmad bin Zain Al Habsyi, Darul Ulum al Islamiyyah, Surabaya, hal 158.
[3] Fathus Shomadil Alim Al Maulidis Syekh Ahmad bin Al Qosim, Syekh Muhammad Nawawi Al Bantani, hal 7.
[4] Kitabul Mi’raj, Imam Abul Qosim Abdul Karim Ibnu Hawazin al Qusyairi, hal 75.
[5] Asy Syifa Fi Ta’rifi Huquqil Mushtofa, Qodhi Iyadh al Yahshubi, Darul Fikr, Beirut, cet pertama, 1988, hal 283, vol 2.
[6] Risalah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Hadrotus Syekh KH Hasim Asyari, hal 13.
[7] Kunuzus Sa’adah al Abadiyyah fi Majmu’ Kalam Habib Ali Al Habsyi, Muhsin bin Abdullah Assegaf, manuskrip, hal 245.
[8] Tadzkirun Nas Majmu’ Kalam Habib Ahmad bin Hasan al Attos, Abu Bakar Attos al Habsyi, mathba’ah Ma’had Huraidhoh – Maktabah Al Ma’ruf, hal 247, cet 2, hal 214. .
[9] Ghoyatul Qoshdi wal Murod Fi Manaqib Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad, Habib Muhammad bin Zain bin Shumaith, cet Ali Isa Haddad, hal 294, vol 1.
[10] Al Masyra’ur Rowi, Muhammad bin Abu Baka al Syilli, cet al Mathba’ah al ‘Amiroh al Syarqiyyah, 1319 H, hal 9, vol 2.
[11] Al Yaqut wal Jawahir fi Majmu’ Kalam Habib Umar bin Hasan Al Haddad, Syekh Hasanbin Said bin Hassan, Darul Haddad, Tarim, cet 1, 2023, hal 321.
[12] An Nahrul Maurud fi Majmu’ Kalam Habib Idrus bin Umar Al Habsyi, Habib Ubaidillah bin Muhsin Assegaf, manuskip, hal 124-125, vol 1. .
[13] Al Masyra’ur Rowi, Muhammad bin Abu Bakar al Syilli, cet al Mathba’ah al ‘Amiroh al Syarqiyyah, 1319 H, hal 9, vol 2.
[14] Al Jauharus Syaffaf fi Manaqibil Asyrof, Syekh Abdurrahman bin Muhammad al Khotib, manuskrip, hal 92, vol 1.
[15] Tafsir Marah Labid, Syekh Muhammad Nawawi Al Bantani, Darul Kutub Ilmiyyah, Beirut, cet 1, 1417 H, hal 370, vol 2.
[16] Kunuzus Sa’adah al Abadiyyah fi Majmu’ Kalam Habib Ali Al Habsyi, Muhsin bin Abdullah Assegaf, manuskrip, hal 237-238.
[17] Majmu’ Kalam Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf, Habib Abdul Qodir bin Ahmad bin Abdurrahman Assegaf, Darul Faqih Tarim, cet 1 1999, hal 72.
[18] Tadzkirun Nas Majmu’ Kalam Habib Ahmad bin Hasan al Attos, Abu Bakar Attos al Habsyi, mathba’ah Ma’had Huraidhoh – Maktabah Al Ma’ruf, hal 216.
[19] An nahrul Maurud fi Majmu’ Kalam Habib Idrus bin Umar Al Habsyi, Ubaidillah bin Muhsin Assegaf, manuskip, hal 266, vol 2.
[20] An Nahrul Maurud fi Majmu’ Kalam Habib Idrus bin Umar Al Habsyi, Habib Abaidillah bin Muhsin Assegaf, Manuskrip, hal 4, vol 2.
[21] Bughyatul Mustarsyidin, Habib Abdurrahman bin Muhammad Al Masyhur, hal 834, vol 2.
[22] Tafsir Marah Labid, Syekh Muhammad Nawawi Al Bantani, Darul Kutub Ilmiyyah, Beirut, cet 1, 1417 H, hal 440, vol 2.
[23] An Nafaisul ulwiyyah fi Masa’ilis Shufiyyah, Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad, Darul Hawi, Tarim Hadramaut, cet 1, 1993, hal 92.
[24] Targhibul Mustaqin fi Syarhi Mandhumatil Al Barzanji, Syekh Muhammad Nawawi Al Bantani, Darul Wildan, Kresek – Banten, cet 1, hal 7.