Corak Tafsir Sufi Dan Rasional

Telaah perbandingan tafsir qs. 2: 1 dan qs. 56: 75-80 dari kitab lathaiful isyarat al-qusyairi dan al-kasyaf karya al-zamakhsyari

Corak Tafsir Sufi Dan Rasional


 CORAK TAFSIR SUFI DAN RASIONAL

 

(TELAAH PERBANDINGAN TAFSIR QS. 2: 1 DAN QS. 56: 75-80 DARI KITAB LATHAIFUL ISYARAT KARYA AL-SYAIKH AL-IMAM AL- QUSYAIRI DAN KITAB AL-KASYAF KARYA AL-SYAIKH AL-IMAM AL-ZAMAKHSYARI)

 

Piet Hizbullah Khaidir

 

Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains Al-Ishlah (STIQSI) Sendangagung Paciran Lamongan

Email: piet@alishlah.ac.id

 

Abstrak

Dalam ilmu tafsir, corak tafsir sufi dan rasional pernah mengalami pertentangan madzhab yang kental. Juga diwarnai oleh perseteruan madzhab fiqh dan teologi dengan bumbu olahan persaingan kekuasaan. Tulisan ini akan mengulas corak tafsir sufi dan rasional dengan mengupas pemikiran dua kitab karya dua mufassir yang mewakili dua corak tafsir tersebut, yaitu Lathaiful Isyarat Karya Al-Syaikh Al-Imam Al-Qusyairi dan Kitab Al-Kasyaf Karya Al-Syaikh Al- Imam Al-Zamakhsyari. Objek kajiannya adalah tafsir QS. 2: 1 dan QS. 56: 75-80. Fokus kajiannya adalah membandingkan corak tafsir keduanya dengan menganalisa pendekatan, metode, teori serta pengaruh madzhab terhadap penafsiran keduanya. Dengan metode perbandingan, tulisan diharapkan dapat mengetahui world view, konsep ontologi, epistemologi, dan metodologi, serta perbedaan model hasil penafsiran dari masing-masing tafsir. Telaah perbandingan dalam tulisan ini juga akan mengulas tentang pengaruh madzhab terhadap pendekatan dan produk penafsiran dari kedua kitab tafsir. Secara khusus, tulisan ini menggunakan teori intensionalitas objek dari metode fenomenologi, untuk memotret bagaimana masing-masing kitab tafsir memaknai teks, objek dan konsep penafsirannya.

 

Daftar Isi

  1. A. Pendahuluan
  2. B. Pembahasan
    1. 1. Tafsir Sufi dan Rasional
    2. 2. Biografi Al-Qusyairi dan Al-Zamakhsyari
      1. a. Biografi Al-Qusyairi
      2. b. Biografi Al-Zamakhsyari
  3. C. Perbandingan Metodologi Penafsiran
    1. 1. Tafsir QS. 2: 1 dan QS. 56: 75-80 dan Karakteristik Penafsiran
      1. a. Lathaiful Isyarat
      2. b. Al-Kasyaf
  4. D. Analisa Karakteristik Metodologi Penafsiran
  5. E. Kesimpulan
  6. Catatan Kaki
  7. Daftar Pustaka
 
A. PENDAHULUAN

Salah satu kajian penting dari tiga kajian yang berkembang dalam Kajian Pemetaan Tafsir adalah kajian metodologi.1 Sebagaimana pembahasan dalam Kitab Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Dr. Muhammad Hussein Al-Dzahabi, menjelaskan bahwa kajian tafsir itu bisa ditelaah dari beberapa hal, di antaranya: manhaj dan thariqah (metodologi dan cara) menafsirkan para ahli tafsir (al-mufassirun) dalam upaya mereka menjelaskan Al-Qur’an; dan juga corak penafsiran yang berkembang di kalangan madzahib al-mufassirin dan kelompok terpelajar umat Islam hingga saat ini.2

 

Lebih lanjut Al-Dzahabi mengatakan bahwa metodologi/cara dan corak warna penafsiran bisa dipahami dengan kacamata sejarah, alat dan model penafsirannya. Secara historis, Al-Dzahabi membagi penafsiran kepada beberapa marhalah. Yaitu: pertama, marhalah ‘fahmun Nabi Saw dan sahabat’. Menurut Al-Dzahabi, masa marhalah ini adalah rujukan paling penting dan utama dalam penafsiran Al-Qur’an. Kedua, marhalah penafsiran sahabat Nabi Saw. Kemudian penafsiran pada marhalah tabi’in dan disusul marhalah tabi’it tabi’in. Pada marhalah tabi’it tabi’in ini, disebut juga oleh Al-Dzahabi sebagai masa tadwin (kodifikasi) penafsiran (kitab tafsir).3

 

Pada masa sahabat dan tabi’in berkembang suatu model penafsiran yang dikenal dengan sebutan bi al-ma’tsur.4 Setelah itu, pada masa tabi’it tabi’in dan hingga masa sekarang, muncul corak penafsiran yang disebut penafsiran bi al- ra’yi.5 Setelah muncul dan berkembang corak dan model penafsiran yang bermacam-macam di atas, muncul juga model penafsiran dengan pendekatan- pendekatan tertentu. Misalnya, tafsir sufi, tafsir falsafi, tafsir fuqaha, tafsir ilmi, tafsir maudlu’i, tafsir ijtima’i, tafsir madzhabi, dan lain sebagainya.6

Dalam kaitan metodologi, Dr. Afifuddin Dimyathi dalam kitabnya berjudul Ilmu Al-Tafsir, Ushuluhu wa Manahijuhu mempertegas pembagiannya menjadi dua bagian besar, yaitu: manhaj tafsir naqli dan manhaj tafsir ‘aqli.7 Manhaj naqli secara makna sama dengan tafsir bi al-ma’tsur, sedangkan tafsir ‘aqli sama dengan tafsir bi al-ra’yi.8 

 

Menurut Dr. Dimyathi, perbedaan manhaj tafsir di antara para mufassir terjadi karena perbedaan arah pemikiran, sehingga para mufassir itu masing-masing memiliki manhaj khusus.9 Sedikit berbeda, Prof. Ignaz Goldziher menyebut perbedaan manhaj itu lebih ditekankan karena perbedaan qira’at. Hal ini dikaitkan dengan dalil Al-Qur’an tentang sab’at ahruf, tujuh macam qira’at.10 

 

Terlepas dari perbedaan analisa yang dikembangkan oleh para ahli, faktanya adalah ada manhaj tafsir yang metode, corak dan modelnya berbeda. Kesemuanya saling bersinggungan, baik dalam aspek metode ataupun geografis serta isu yang dibahas. Namun demikian, muaranya tetap yang dibahas satu, yaitu: Al-Qur’an Al- Karim. Dalam kaitan inilah, makalah ini akan mengkaji secara perbandingan corak metodologis penafsiran dalam Tafsir Sufi dan Tafsir Rasional, dengan contoh kitab tafsir dan penafsiran kitab tafsir tersebut terhadap ayat yang sama. Kitabnya adalah Lathaiful Isyarat karya Imam Al-Qusyairi dan Al-Kasyaf karya Imam Al- Zamakhsyari. Ayat yang dikaji adalah huruf muqatha’ah alif lam mim yang terdapat di QS. 2: 1; dan ayat yang terdapat dalam QS. 56: 75-80. 

 

Pertanyaannya: Apakah dan bagaimana perbedaan karakteristik metodologis, pendekatan, relevansi epistemologis serta natijah penafsiran (implikasi ontologis- epistemologis dan aksiologis) keduanya dalam menafsirkan beberapa ayat dari dua contoh surat tersebut di atas?

 

B. PEMBAHASAN
 
1. Tafsir Sufi dan Rasional

 

Kenapa dua tafsir tersebut? Kenapa yang dibandingkan Tafsir Sufi dan Rasional? Dalam pembagian metodologi tafsir, baik oleh Al-Dzahabi ataupun Dimyathi, Tafsir Sufi ataupun Tafsir Rasional termasuk dalam manhaj ‘aqli atau bi al-ra’yi. Menariknya  adalah Al-Dzahabi mengutip pandangan beberapa ulama salaf, menyatakan bahwa Tafsir Rasional model Al-Kasyaf adalah termasuk Tafsir bi al-ra’yi al-madzmum (tafsir rasional yang tercela).11

 

Lebih dari itu, secara epistemologis, Tafsir Sufi dan Tafsir Rasional, meskipun dalam konteks penjelasan manhaj tafsir disebut sebagai manhaj ‘aqli, memiliki alat dan pemahaman ontologis-epistemologis yang berbeda. Misalnya, Al-Syaikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi menyebut ulama rasional sebagai ahl nadhar, sedangkan ulama tasawuf disebut sebagai ahl al-kashf wa al-wujud. Penyebutan dengan istilah berbeda ini, karena operasional kerja relasi epistemologis dan ontologis keduanya berbeda.12 Secara epistemologis, ahl nadhar menggunakan rasio-nya untuk memahami objek. Objek tersebut bisa bersifat fisik ataupun non-fisik (idea). Sedangkan ahl al-kasyf wa al-wujud memandang bahwa secara epistemologis pengetahuan itu diperoleh melalui intuisi-batini. Rahasia pengetahuan terdalam hanya bisa diketahui oleh intuisi-batini. Objek itu bisa fisik, idea dan metafisik. Hakekat sesuatu ada pada rahasia makna terdalamnya (penyingkapan makna terdalam dari isyarat lafadh Al-Qur’an). Melalui isyarat, yang kemudian diungkap sebagai cara memahami rahasia makna sebuah lafadh dalam Al-Qur’an.13

 

Apakah Tafsir Sufi dan Rasional itu, dan bagaimana penerapannya? Dalam kajian manhaj tafsir, kitab tafsir apa sajanya yang bisa dikategorikan di dalamnya? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan mengurai apa makna Tafsir Sufi dan Tafsir Rasional, serta bagaimana metodologinya?

 

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa baik Tafsir Sufi ataupun Tafsir Rasional dalam manhaj tafsir dimasukkan dalam kategori manhaj ‘aqli atau tafsir bi al-ra’yi. Tafsir manhaj ‘aqli sendiri secara makna dalam tradisi Ilmu Al-Qur’an dan Ilmu Tafsir adalah pemahaman terhadap Al-Qur’an secara mendalam yang terpusat pada pemahaman lafadh-lafadh Al-Qur’an, dengan jalan memperoleh pemahaman kalimat-kalimat Al-Qur’an secara runtut melalui metodologi dan uraian dalilnya. Tafsir manhaj ‘aqli didasarkan pada proses kerja ijtihad dalam memahami nash-nash Al-Qur’an, memperoleh maksud-maksud lafadh Al-Qur’an. Tafsir manhaj ‘aqli ini juga adalah tafsir Al-Qur’an di mana mufassir yang berkecimpung di dalamnya, paling tidak, harus memahami beberapa hal terkait Ilmu Al-Qur’an, seperti nasakh dan mansukh, asbab al-nuzul, dan lain-lain, sebagaimana yang dibutuhkan oleh para mufassir lainnya.14 Inti tafsir manhaj ’aqli ini adalah penafsir Al-Qur’an menggunakan kapasitas keilmuannya secara ilmiah dan solid, yang dalam bahasa sehari-hari disebut dengan ijtihad.15

 

Macam-macam pembagian dan tafsir terhadap ayat dikaitkan dalam kelompok tafsir manhaj ‘aqli di antaranya: Pertama, manhaj kalam. Dalam kelompok tafsir kalam ini ada beberapa pembagian lagi, misalnya: manhaj ahlussunnah wal jama’ah; madzhab syi’i; madzhab mu’tazili, madzhab khawarij dan lain-lain. Contoh kitab tafsir kalam adalah Tafsir Fakhrur Razy, karya Al-Imam Fakhruddin Muhammad bin Umar bin Al-Husein Al-Razy, dari kalangan Ahlus sunnah dan Al- Kasyaf karya Al-Imam Al-Zamakhsyari, dari kalangan Mu’tazili. Kedua, tafsir lughawi. Contohnya adalah tafsir Nabi Saw terhadap makna bahasa washath dalam ummatan wasathan. Maknanya adalah adil. Contoh kitabnya adalah Tafsir Al- Bahrul Muhith karya Al-Imam Abi Hayyan. Ketiga, tafsir sufi. Tafsir sufi bermakna sebuah tafsir Al-Qur’an yang secara khusus menggunakan dasar telaah tasawuf, yakni sebuah tafsir yang dipergunakan seorang sufi dalam menjelaskan makna ayat- ayat Al-Qur’an sesuai dengan pandangan tasawufnya. Ada dua model tafsir sufi, yaitu tafsir nadhari dan isyari. Yang pertama, tafsir sufi yang meminjam telaah sufistik dalam menjelaskan makna ayat, yang dalam prosesnya sang sufi mengemukakan pandangan sufistiknya itu, kemudian dikaitkan dengan maksud ayat Al-Qur’an. Sedangkan yang kedua, memahami ayat Al-Qur’an melalui takwil untuk menjelaskan isyarat yang dirumuskan melalui riyadlah ruhaniyah tanpa membutuhkan hujjah (bayan) dan burhan. Dengan kata lain, tafsir ini tidak didahului dengan pendekatan ilmiah, tetapi melalui intuisi-batini dan olah ruhiyah oleh sang sufi, sehingga kemudian dia diberi ketersingkapan makna batin ayat langsung dari sisi Allah Swt.16

 

Yang membedakan Tafsir Sufi dan Rasional adalah pertama, Tafsir Sufi memiliki dua kerangka dalam memahami maksud Allah dalam ayat-ayat Al- Qur’an. Yaitu melalui refleksi terhadap simbol-simbol sufistik dalam Al-Qur’an guna memahami hakekat makna dari sebuah lafadh yang disebutkan dalam ayat Al- Qur’an, kemudian dicari makna batin dari lafadh itu. Atau melalui suluk ruhani, mendekatkan diri kepada Allah, sehingga Allah membukakan pintu pemahaman akan makna batin suatu lafadh dalam sebuah ayat dalam Al-Qur’an kepadanya. Jadi dalam Tafsir sufi, seorang mufassir berusaha menggali makna batin dari ayat-ayat Al-Qur’an atau memohon petunjuk Allah tentang makna batin apa yang dikandung oleh suatu lafadh dalam sebuah ayat. Inilah yang disebut proses perolehan ilmu pengetahuan melalui intuisi-batini. Kedua, Tafsir Rasional memiliki kerangka memahami maksud Allah dalam Al-Qur’an dengan hujjah-hujjah rasional, sehingga yang ingin dicapai adalah kelogisan makna yang didapat dari dan dalam sebuah ayat. Jadi, tafsir rasional lebih menekankan pada natijah rasionalitas pemahaman  yang  diperoleh  seorang  mufassir  dalam  memahami  lafadh  dalam sebuah ayat. Makna dhohir atau batin pada sebuah lafadh bukan tujuan. Bila rasionalitas dapat diperoleh dalam pemahaman sebuah ayat, itulah natijah yang diharapkan. Dengan kata lain, perbedaannya secara kentara terlihat pada natijahnya, yakni tafsir sufi ingin mengetahui makna batin melalui penyingkapan makna batin sebuah teks, sedangkan tafsir rasional ingin mengetahui rasionalitas yang dikandung dalam sebuah teks dan memaparkan rasionalitas itu sebagai natijahnya. Adapun kesamaannya, sama-sama dianggap sebagai manhaj tafsir ‘aqli yang prosesnya penafsirannya bukan hanya dengan tafsir naqli (Al-Qur’an bi Al- Qur’an; atau Al-Qur’an bi Al-Hadits), melainkan menggunakan analisa lain (pemaknaan isyarat sufistik atau telaah rasional) dalam memahami ayat-ayat Al- Qur’an.17 

 

Al-Dzahabi sedikit banyak menganggap tafsir rasional mu’tazili sebagai tafsir bi al-ra’yi al-madzmum. Untuk beberapa konteks, Tafsir Al-Zamakhsyari yang merupakan contoh tafsir rasional mu’tazili juga mendapatkan sorotan. Misalnya, terkait Al-Qur’an sebagai makhluk, kebebasan berkehendak manusia, dan tempat bagi orang fasik adalah manzilah bayn al-manzilatayn. Namun demikian, terlepas dari itu, secara metodologis, tafsir rasional Al-Zamakhsyari melalui telaah bahasa, leksikografis, balaghah dan penilaian logis filosofis, tetap dinilai memberikan kontribusi hebat dalam tradisi penafsiran Al-Qur’an dalam kesarjanaan Muslim.18 

 

Dengan pemaparan definisi tafsir sufi dan tafsir rasional di atas, pembahasan berikutnya akan mengurai lebih detail dalam kajian perbandingan terhadap Tafsir Lathaiful Isyarat dan Al-Kasyaf, dalam memotret tafsir QS. 2: 1 dan QS. 56: 75-80. Bagaimana kedua pengarang kitab tafsir tersebut menafsirkan beberapa ayat dari dua surat tersebut? Apa metodologinya? Bagaimana penerapan metodologinya dalam penafsirannya?

Pembahasan akan dimulai dengan memaparkan biografi singkat kedua mufassir.

 


2. Biografi Al-Qusyairi dan Al-Zamakhsyari 
 
a. Biografi Al-Qusyairi19

 

Nama lengkapnya adalah Abu Al-Qāsim ʿAbd Al-Karim bin Hawazin al- Qusyairi. Al-Qusyairi lahir pada tahun 376/986. Terlahir dari ayah-ibu Arab dari suku Qusyair dan Sulaym, yang hidup di Ustawa, daerah pertanian yang dekat dengan Barat daya, berbatasan dengan Kota Nishapur, Persia. Suku Arab pertama yang migrasi ke wilayah Khurasan pada abad I/VII bersamaan dengan penaklukan Imperium Sassanid. Perlu dicatat di sini, meskipun sekitar 80% masyarakat Persia telah memeluk Islam pada waktu al-Qusyairi dilahirkan, serta pada umumnya anak keturunan suku Arab telah berasimiliasi dengan penduduk lokal, mereka tetap melanjutkan untuk mempertahankan kesukuan mereka sebagai identitas keagamaan.20 

 

Ayah al-Qusyairi meninggal ketika al-Qusyairi masih kecil. Al-Qusyairi kecil tumbuh dalam pengasuhan paman dari pihak ibunya, seorang tuan tanah di wilayahnya. Meskipun bahasa keseharian utama al-Qusyairi adalah Bahasa Persia, dia mendapatkan pendidikan sebagai keluarga aristokrat Arab: belajar dengan ketat bahasa dan sastra Arab, menunggang kuda, memanah dan pencak silat. Al-Qusyairi muda traveling ke kota Nishapur untuk belajar administrasi fiskal (fiscal administration), pendidikan keterampilan yang sangat dibutuhkan dalam mengelola bisnis properti dan pertanahan (estate). 

 

Nishapur, kota besar dengan ukuran waktu itu, telah menjadi pusat intelektual dunia Muslim. Segera setelah tiba di Nishapur, al-Qusyairi berjumpa dengan guru spiritual pertamanya, Syaikh Abu Ali Al-Daqqaq (meninggal 405/1015). Dalam harapannya, al-Qusyairi membenamkan dirinya mendalami studi tentang ilmu agama terkait Al-Qur’an, Al-Sunnah, Fiqh, dan Kalam. Hubungan guru murid semakin mendalam, sebab al-Daqqaq menjodohkan Fatimah, putrinya, dengan al- Qusyairi. Sepeneninggal al-Daqqaq, al-Qusyairi menjadi syaikh madrasah yang telah didirikan al-Daqqaq, meski al-Qusyairi masih terus belajar dan meminta nasehat dari salah seorang mursyid di Nishapur, yaitu Abu ʿAbd al-Raḥman al- Sulami (meninggal 412/1021). Studinya tentang ilmu agama terus berlanjut, termasuk belajar hadits dari beberapa ulama hadits yang ditemuinya di Iraq dan Hijaz, ketika naik haji. Dengan kondisi ini, al-Qusyairi merupakan seorang ulama terkemuka yang sangat terhormat di kalangan elit intelektual dan sufi di Nishapur, dengan keistimewaan dan tanggung jawab yang hebat. 

 

Posisi intelektual ini juga telah menempatkannya dalam posisi yang cukup berbahaya ketika pertentangan faksional antar madzhab terjadi dengan begitu intensifnya pada tahun 420-an/1030-an dan 430-an/1040-an. Dalam kitab Risāla, al-Qusyairī menggambarkan tradisi Sufisme yang diikutinya, di Nishapur, adalah tradisi yang terkait dengan madzhab fiqh Syafiʿi dan teologi Asyʿari. “Klik madzhab Syafiʿi-Asyʿari-Sufi ini21 mendapatkan tentangan serius dari elit intelektual yang lebih mapan, yang tergabung dalam madzhab fiqh Ḥanafī dan teologi Muʿtazilī.22  Al-Qusyairi, dalam posisi ini, telah menjadi pembela utama teologi Asyʿarī dan telah menulis beberapa makalah yang menggambarkan prinsip pembelaannya itu. Pada tahun 437/1045–46, pada hari yang sama beliau mulai menulis Risāla dan Lathaʾiful Isyarat, al-Qusyairi mengeluarkan sebuah fatwā sebagai pembelaan terhadap ortodoksi teologi Asyʿarī. Hal ini menjebaknya dalam rintangan berhadapan dengan penguasa dinasti Saljūq yang telah menguasai kota Nishapur pada tahun 429/1038, dan secara lebih khusus bertentangan dengan Perdana Menteri Saljūq yang sangat powerful, ʿAmīd al-Mulk al-Kundurī (meninggal tahun 456/1064) yang telah membangun aliansi pemerintahan barunya dengan faksi madzhab Ḥanafī-Muʿtazilī, meskipun sang Perdana Menteri dididik langsung oleh guru-guru bermadzhab Syāfiʿī.23 

 

Pada tahun 440/1048 al-Kundurī mengeluarkan pernyataan mengutuk teologi Ashʿarī dan melarang pendukungnya berdakwah, mengajar, dan memegang jabatan keagamaan. Kemudian pada tahun 446/1054, penguasa Saljūq ini memenjerakan al-Qusyairi. Al-Qusyairi diselamatkan oleh pendukungnya sepekan kemudian, lalu meninggalkan Nishapur hingga kurang lebih satu dekade, hingga kematian al- Kundurī pada 455/1063, dan kemudian diganti oleh Niẓām al-Mulk (meninggal tahun 485/1092). Meskipun pertentangan tidak langsung secara terperinci terkait dengan Lathaiful Isyarat, ceramah-ceramah al-Qusyairi yang seringkali menyinggung orientasi spiritual, nampak dikaitkan dengan pembelaannya terhadap madzhab Syāfiʿī-Asyʿarī-Sufi dan pertentangannya dengan Hanafi-Mu’tazili.24 

 

Dalam pertarungan ide teologis dan fiqh berhadapan dengan orientasi sufistik itu, yang mengecam Al-Qusyairi rata-rata adalah kaum Mu’tazili dan neo- Hanbalian, yakni mereka yang memiliki pengaruh dalam pemerintahan Saljuk. Mereka menuntut agar sang raja menangkap al-Qusyairi, dicekal dari aktivitas dakwah dan dilaknati di berbagai masjid-masjid di negeri itu. Akhirnya murid- muridnya bercerai-berai, orang-orang pun mulai menyingkir darinya. Sedangkan majelis-majelis dzikir yang didirikan oleh Maha Guru ini dikosongkan. Cobaan itu sampai pada puncaknya. Al-Qusyairi harus keluar dari Nishapur dalam keadaan terusir, terjadi selama lima belas tahun: 440-455 H. Di sela-sela masa yang getir penuh cobaan, Al-Qusyairi pergi ke Baghdad dan Thous. Ketika peristiwa Thurghulbeg yang tragis berakhir dan tampuk kekhalifahan diambil-alih oleh Abu Syuja’, al-Qusyairi kembali bersama rombongan berhijrah dari Khurasan ke Nishapur. Hingga meninggalnya, Al-Qusyairi berada selama sepuluh tahun di kota kelahirannya. Masa yang sangat membahagiakan dirinya. Pengikut dan murid- muridnya bertambah banyak. Al-Qusyairi wafat pada pagi hari Ahad, tanggal 16 Rabi’ul Akhir 465/l073 di Nishapur. Dimakamkan di samping makam gurunya, Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq. Sebagai penghormatan kepada Al-Qusyairi, tak ada seorangpun yang berani memasuki kamar pustaka pribadinya dalam kurun waktu beberapa tahun.25

 

b. Biografi Al-Zamakhsyari 26

 

Nama lengkapnya adalah Abu Al-Qasim Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Umar Al-Khwarizmi. Lahir di Zamakhsyar, sebuah desa yang terletak di desa Khwarizm, pada tahun 467/1074 dan meninggal pada 538/1143. Masyhur dengan sebutan Jar Allah. Karena dia bepergian ke Makkah dan tinggal di sana lama sekali.27 

 

Al-Zamakhsyari adalah seorang Imam madzhab Hanafi-Mu’tazili. Seorang ulama yang luas ilmunya, sangat menguasai berbagai-macam ilmu, di antaranya, ilmu nahwu, bahasa dan adab. Juga seorang imam dalam cabang ilmu tafsir Al- Qur’an. Al-Zamakhsyari belajar adab dari Abi Mudhar Mahmud bin Jarir Al- Dhobbi Al-Ishfahani dan dari Abi Al-Hasan Ali ibn Al-Mudhaffar Al-Nishapuri; mendengar ilmu tersebut dari Syaikh Al-Islam Abu Manshur Nashr Al-Haritsy dan dari Abi Saad Al-Tsaqqafi.28 

 

Al-Zamakhsyari adalah seorang penulis yang prolifik. Menulis banyak sekali kitab, dan dalam berbagai konsentrasi keilmuan. Dalam bidang Ilmu Tafsir dan Tafsir Al-Qur’an, Al-Zamakhsyari mengarang sebuah kitab berjudul Al-Kasyaf ‘an Haqa’iq Al-Tanzil. Kitab ini dinilai sebagai sebuah Kitab Tafsir Al-Qur’an yang tidak ada yang menyerupainya sebelumnya, baik dari segi metodologi, penjelasan dan kedalaman argumentasinya. Dalam bidang hadits, Al-Zamakhsyari menulis kitab berjudul Al-Faiq; dan dalam bidang balaghah, dia menulis kitab berjudul Asas al-Balaghah. Adapun dalam bidang nahwu menulis banyak kitab, di antaranya: Al- Mufashal, Al-Anmudzaj, Al-Mufrad, Al-Mu’allif, Syarh Abyat Kitab Sibawayh. Dia juga menulis tentang ushul fiqh dan ilmu faraidl. Tulisan-tulisannya menggambarkan keluasan ilmunya dan posisinya yang terkemuka di kalangan ulama semasanya.29 

 

Menurut pengarang Kitab Wafiyyat al-A’yan, Hazrat Imam ibn-Khallikan [Shamsuddin-Abu-al-Abbas-Ahmad ibn Muhammad ibn Khallikan], sebagaimana dikutip Al-Dzahabi, Al-Zamakhsyari adalah seorang penganut teologi mu’tazili, yang mendeklarasikan secara terang-terangan bahwa dirinya adalah mu’tazili. Ada dua cerita utama yang berkaitan dengan kisah Al-Zamakhsyari mempublikasikan dirinya sebagai penganut teologi mu’tazili dengan terang-terangan ini. Pertama, bila dia pergi ke sebuah tempat, dan sudah tiba di depan pintu suatu rumah yang ditujunya, dia biasanya berkata kepada orang yang membukakan pintu untuknya, “Tolong katakan kepada tuanmu, Abu Al-Qasim Al-Mu’tazili akan bertemu”. Kedua, sebagaimana penganut teologi mu’tazili, Al-Zamakhsyari meyakini bahwa Al-Qur’an itu adalah makhluk. Karena itu, dia menulis dalam muqaddimah Kitab Tafsirnya: “Segala puji hanya untuk Allah swt. yang telah menciptakan (khalaqa) Al-Qur’an. Dikisahkan banyak orang tidak suka dengan pilihan diksinya ini. Kemudian dia mengubah diksi khalaqa menjadi ja’ala. Namun akhirnya, dia menggantinya sebagaimana diksi Al-Qur’an, yakni anzala/nazzala”.30 

 

Terkait dengan penggunaan kata khalaqa atau ja’ala oleh Al-Zamakhsyari dalam muqaddimah Al-Kasyaf, Al-Fayruz Abadi sebagaimana disebutkan Al- Dzahabi menyampaikan hal ini: “Disebutkan oleh sebagian pelajar (Tafsir) bahwa aslinya Al-Zamakhsyari menulis ‘khalaqa’ sebagai pilihan diksi untuk menjelaskan ‘anzala’, kemudian Al-Zamakhsyari mengubahnya lagi karena kuatir terjadi sesuatu yang sangat buruk. Tetapi, ini rupanya pernyataan yang tidak berdasar, dan saya mengajukan pendapat ini kepada guruku, dan guruku menolak pendapat ini. Lalu menunjukkan dua hal yang dianggap benar bila dikaitkan dengan teologi mu’tazili, yaitu: pertama, Al-Zamakhsyari tidak dianggap sebagai bagian (ahlan), sebab kesalahannya yang tak kelihatan sebagaimana disebut terkait penggunaan kata anzala dan nazzala dalam muqaddimah pernyataannya sebenarnya tidak ada disebutkan demikian. Kedua, Al-Zamakhsyari sebenarnya tidak benar-benar berafiliasi dengan teologi mu’tazili. Tetapi, dia menyukai teologi ini. Dan lafadh pengganti yang ditulis setelah itu jelas dalam maknanya, tetapi dia tidak mengganggapnya sebagai jelek. Tetapi, saya melihat naskah asli dengan tulisan tangannya di Madinah tersimpan di pesarean Imam Abu Hanifah, tidak terlihat bekas dihapus atau diperbaiki.31 

 

Di tengah kontroversi tentang posisi pandangan teologisnya, sebagaimana ulama pada umumnya, Al-Zamakhsyari adalah ulama yang sangat dicintai masyarakat. Meninggal sepulang dari Makkah, pada malam Arafah tahun 538/1143, masyarakat di Khwarizm membuatkan syair untuk mengenang kepergiannya: “Bumi Makkah tersedu dengan cucuran air mata, sedih berduka-cita dengan kepergian Sang Jar Allah yang terpuji kehadirat Allah.32

 


C. Perbandingan Metodologi Penafsiran
 

Membaca uraian mengenai peta pertarungan ide antara madzhab Syafii- Asy’ari-Sufi dan Hanafi-Mu’tazili, meski banyak dibumbui pertarungan politik penguasa, menarik membandingkan metodologi penafsiran dua madzhab tafsir yang mewakili pertarungan tersebut. Dua madzhab tafsir: Tafsir Sufi dan Tafsir Rasional, diwakili oleh Al-Qusyairi dengan karyanya Tafsir Lathaiful Isyarat dan Al-Zamakhsyari dengan karyanya Al-Kasyaf. Dua ulama besar di zamannya, yang memiliki nama panggilan sama: Abu Al-Qasim. 

 

Bila diperhatikan riwayat hidup keduanya, secara tahun Al-Qusyairi lebih senior. Bahkan, secara waktu, keduanya tidak pernah bertemu, karena Al- Zamakhsyari lahir dua tahun setelah Al-Qusyairi meninggal. Oleh karena itu, pembahasan mengenai perbandingan metodologi penafsiran dalam tulisan ini dimaksudkan membahas aspek metodologisnya saja, bukan sisi pertarungan ideologis aliran yang mengikutinya. Tentu pengaruh madzhab tafsir terhadap corak penafsiran juga akan dikaji sebagai salah satu aspek perbedaan yang akan diperbandingkan. 

 

Untuk melihat lebih detail, makalah ini akan mengkaji contoh penafsiran dari karya dua tokoh hebat di atas, yaitu: Lathaiful Isyarat dan Al-Kasyaf dalam menafsirkan huruf muqatha’ah pada QS. 2: 1 dan QS. 56: 75-80

 

1. Tafsir QS. 2: 1 dan QS. 56: 75-80 dan Karakteristik Penafsiran

 

Membaca tafsir Lathaiful Isyarat dan Al-Kasyaf dari contoh penafsiran QS. 2: 1 dan QS. 56: 75-80, kita mendapati isi penafsiran yang berbeda. Isi penafsiran dari dua kitab tersebut menegaskan tentang adanya corak dan model penafsiran yang berbeda. Dus, corak dan model penafsiran yang berbeda itu menggambarkan tentang karakteristik metodologi penafsiran yang juga berbeda dari dua kitab tersebut. 

 

Salah satu perbedaan itu misalnya, dalam menafsirkan contoh beberapa ayat dari dua surat di atas, penafsiran Lathaiful Isyarat cenderung lebih pendek dan langsung to the point pada inti penafsiran khas sufi. Sedangkan Al-Kasyaf lebih panjang mengurai makna bahasa dari aspek nahwu, sharaf dan implikasi analisisnya. Namun, bukan berarti bobot penafsiran Lathaiful Isyarat yang lebih pendek tidak lebih berkualitas dibandingkan Al-Kasyaf. Keduanya sangat berkualitas. Berikut saya urai berdasarkan rangkuman penafsiran keduanya. Kita akan melihat perbandingan panjang pendeknya, analisanya, dan diksi yang dipergunakan kedua penafsir.

 

a. Lathaiful Isyarat

Ketika menafsirkan QS. 2: 1, Al-Qusyairi dalam Lathaiful Isyarat memulai penafsirannya dengan mengatakan bahwa Alif Lam Mim merupakan huruf muqatha’ah, yang penakwilannya hanya Allah yang mengetahui. Dia melanjutkan bahwa seperti dialami oleh beberapa umat beragama yang agamanya memiliki kitab suci, beberapa umat itu mengatakan bahwa setiap kitab memiliki (makna/maksud, penulis) rahasia. Dan dalam Al-Qur’an, rahasia Allah terdapat dalam huruf muqatha’ah tersebut.33 

 

Lebih lanjut, huruf muqatha’ah itu menurut Al-Qusyairi adalah kunci memahami rahasia nama-nama-Nya. Alif adalah Allah; Lam adalah al-Lathif; Mim adalah al-Majid dan al-Mulk. Disebutkan juga bahwa maknanya adalah Allah bersumpah dengan huruf-huruf muqatha’ah tersebut untuk memuliakan huruf- huruf itu. Karena huruf-huruf tersebut merupakan dalil tentang (makna/maksud/hikmah, penulis) nama-nama dan uraiannya yang tak terbatas dan tak berbatas (لأنها بسائط أسمائه وخطابه). Dikatakan, bahwa huruf muqatha’ah itu adalah nama-nama surat (dalam Al-Qur’an). Disebutkan juga bahwa Alif adalah Allah; Lam adalah Jibril As.; Mim adalah Nabi Muhammad Saw. Hal ini dimaksudkan bahwa Al-Qur’an itu wahyu dari Allah Swt., disampaikan melalui perantara lisan Jibril As., diturunkan kepada Rasulullah Muhammad Saw.34 

 

Di atas itu, ada rahasia penting. Alif itu di antara huruf-huruf yang lain berdiri sendiri dalam bentuk dan penulisannya. Seluruh huruf penulisannya tersambung dengan Alif, kecuali huruf tersebut berada di sebelah kirinya. Al-Qusyairi mengingatkan kita agar memperhatikan tentang penulisan Alif (yang menunjukkan Allah) ini. Penulisan Alif mengandung makna simbolik Alif yang sangat mendalam. Yaitu, simbol yang menunjukkan makna bahwa seluruh makhluk membutuhkan-Nya, tetapi Dia tidak membutuhkan makhluk semuanya  

 

(  فِنتبه العبد عند  تأمل هذه الصفة إلٌي احتِياج الخلق بجملتهم إلِيه واستغنائه عن الجمِيع).35

 

Ketika menjelaskan QS. 56: 75-80, Al-Qusyairi mengurai pertanyaan, kenapa Al-Qur’an disifati dengan karim. Karena Al-Qur’an menunjuki setiap pembacanya dan umat manusia secara keseluruhan untuk berakhlak yang mulia (karim). Juga karena Al-Qur’an adalah kalamullah Yang Maha Mulia, diturunkan kepada Rasulullah Muhammad Saw yang berakhlak mulia, melalui perantara Jibril As yang mulia. Yang terjaga (mahfudh) dari perubahan. Dan akan selalu menjadi petunjuk bagi mereka yang mulia, yakni yang menjaga diri (lisan, hati, pikiran dan jiwa- raganya, penulis) dari keburukan, aib dan maksiat.36

 

b. Al-Kasyaf

Al-Zamakhsyari memulai penafsiran QS. 2: 1, dengan uraian panjang lebar mengenai sifat dan jenis huruf yang terdapat dalam huruf hijaiyah. Dia melanjutkan bahwa huruf-huruf tersebut ada yang memiliki sifat dan jenis, yang dalam konteks makharijul huruf, pembacaannya bisa ghunnah, tarqiq, tafkhim dan qalqalah. Sifat dan jenis huruf-huruf hijaiyah itu pasti menyimpan hikmah. Di antara hikmahnya adalah huruf-huruf tersebut akan tersusun menjadi kalimat (jumlah) dan juga menjelaskan jumlah lafadh yang menunjukkan nama-nama Allah. Hal ini merupakan hujjah tentang ungkapan Arab mengandung makna kalam yang sering disebut di dalam kamus atau pembicaraan. Karena itulah, misalnya Alif dan Lam seringkali muncul sebagai huruf awalan surat-surat Al-Qur’an, seperti Al-Baqarah, Ali Imran, Ar-Rum, Al-Ankabut, Luqman, As-Sajdah, Al-A’raf, Ar-Ra’d, Yunus, Ibrahim, Hud, Yusuf, dan Al-Hijr.37 

 

Kenapa seperti diulang-ulang penyebutannya? Al-Zamakhsyari menjelaskan bahwa menurut madzhab pentingnya tikrar huruf/kalimat dalam Al-Qur’an agar isinya menjadi tanbih (peringatan) yang diulang-ulang, sehingga masuk ke telinga dan hati. Namun demikian, bagaimana penjelasan huruf muqatha’ah yang hanya diulang sekali penyebutannya sebagai awal surat, seperti, Qaf, Nun, Shad, atau gabungan huruf seperti Thaha, kaf ha ya ain shad, alif lam mim shad? Al- Zamakhsyari menguraikan bahwa itu bermakna penegasan sekaligus pembedaan khusus (differentiation/tamyiz) yang dalam konteks bahasa biasa dilakukan. Sama dengan seseorang ketika menamai anaknya Zaid atau Umar, itu bukan dimaksudkan sebagai pengkhususan untuk Zaid dan Umar, tetapi pembedaan khusus, agar mudah penyebutan penandanya.38 

 

Adapun penjelasan mengenai huruf muqatha’ah itu menunjukkan satu ayat, atau kalimat lain menunjukkan dua ayat, seperti tha sin, yaa sin, mudhaammataan, dan lain-lain, menurut Al-Zamakhshari tidak bisa diurai kecuali dengan jalan meyakini bahwa itu adalah tawqif (ketetapan) dari Rasulullah Muhammad Saw. Jadi, tidak bisa sekedar dilihat dari aspek bahasa atau nahwu atau pemaknaan. Karena secara bahasa umum, tha sin, ya sin, secara nahwu dan makna tidak ada maknanya, karena yang tahu maknanya hanya Allah. Dan itu, tawqifi.39 

 

Ketika menjelaskan QS. 56: 75-80, Al-Zamakhsyari memulai dengan pembahasan aspek i’rab (nahwu) dan qira’at, dan implikasi logis dari alternatif- alternatif pemahaman aspek nahwu dan qira’atnya terhadap makna dan maksud ayatnya. Misalnya, falaa uqsimu maknanya fa uqsimu. Lam adalah lam mazidah mu’akkadah. Al-Hasan membaca fala uqsimu, maknanya fala ana uqsimu. Lam adalah lam al-ibtidak, yang masuk ke dalam kalimat mubtadak dan khabar (jumlah ismiyah), kemudian mubtadaknya mahdzuf, lalu menjadi fala uqsimu. Al- Zamakhsyari berpendapat bahwa yang lebih pas adalah bukan lam al-qasam. Karena: pertama, kalau lam al-qasam harus diikuti nun mu’akkadah. Kedua, biasanya Lam al-qasam memiliki jawab qasam yang bermakna untuk sesuatu yang terjadi pada masa mendatang (li al-istiqbal). Dan karena itu, fi’il al-qasam harus menjadi hal (adverb). Faktanya tidak. Karena bukan sumpah dan bisa lam ta’kid atau ibtidak, maka makna ayatnya adalah informasi agar memperhatikan peredaran gugusan bintang.40 

 

Tentang yang menyentuh Al-Qur’an harus yang suci, Al-Zamakhsyari membahasnya dari sisi sharaf dan implikasi logis pemaknaannya. Kata Al- Zamakhsyari, diksinya bisa dibaca al-mutathahharun, al-mutthahharun, al- muthhirun. Khusus kata terakhir, al-muthhirun, bisa dengan pemaknaan thaharahu yakni, membersihkannya; atau yuthhiruna anfusahum aw ghayrahum bil istighfar lahum yakni, menyucikan/membersihkan diri sendiri atau yang lainnya dengan istighfar. Dalam kaitan ini, wahyu (Al-Qur’an) yang diturunkan memiliki empat sifat, yaitu: (i) diturunkan dari sisi Tuhan alam semesta; (ii) disifati sebagai isim mashdar karena diturunkan secara bertahap dan menjadi bintang di antara kitab- kitab suci lainnya; (iii) seolah-olah diri kita yang mendapatkan petunjuk, karena pada diri sendiri itu ada proses pewahyuan (petunjuk berakhlak yang mulia); dan (iv)  pewahyuan dan berbicara dengan dan melalui wahyu (Al-Qur’an).41

 


D. Analisa Karakteristik Metodologi Penafsiran

Menganalisa perbandingan terhadap metodologi Al-Qusyairi dan Al- Zamakhsyari dalam Lathaiful Isyarat dan Al-Kasyaf, saya mendapati karakteristik metodologi penafsiran keduanya sebagai berikut: 

 

Pertama, pendekatan yang dipergunakan memiliki beberapa perbedaan. Misalnya, Al-Qusyairi menggunakan pendekatan sufistik, sedangkan Al- Zamakhsyari lebih banyak menggunakan pendekatan analisa rasional. Contoh yang bisa dijadikan petunjuk pendekatan yang berbeda itu adalah Al-Qusyairi dalam menafsirkan QS. 2:1 terlihat pendekatan sufistiknya ketika menafsirkan Alif Lam Mim sebagai huruf muqatha’ah dengan pengertian aksiomatis ruhaniyah suatu Kitab Suci, yakni setiap Kitab Suci memiliki makna rahasia. Dan rahasia Allah dalam Kitab Suci Al-Qur’an ada dalam huruf muqatha’ah itu. 

 

Penggunaan kata makna rahasia (sir) ini menunjukkan kekhasan bahasa sufistik. Kekhasan bahasa ini menjadi petanda bahwa Al-Qusyairi menggunakan pendekatan tasawuf, dan manhajnya bisa disebut sebagai manhaj ‘aqli tafsir sufi. Dengan kata lain, epistemologi Al-Qusyairi dalam Lathaiful Isyarat adalah intuitif- batini. Yaitu, basis pengetahuan dan perolehan pengetahuannya adalah relasi antara ontologi (teks sebagai isyarat) dan epistemologi (intuitif-batini). Isyarat itu karena sebagai objek metafisik, perolehan pengetahuannya melalui intuisi-batini. Melalui riyadlah dan suluk. Oleh karena itu, seperti disebut Kristin Zahra Sands,42 Lathaiful Isyarat adalah kitab yang ditulis oleh Al-Qusyairi untuk tujuan sebagai petunjuk riyadlah  ruhiyah  untuk  murid-murid  Al-Qusyairi,  dengan  keyakinan  bahwa pengetahuan Allah itu diperoleh melalui intuisi-batini. Dalam bahasa Ibn ‘Arabi43 ketika menjelaskan penggalan ujung QS. 2: 282, ilmu pengetahuan itu diperoleh melalui jalan taqwa (wattaqu Allah wa yu’alimukum Allah) mempertegas epistemologi intuisi-batini ini. 

 

Mari kita bandingkan dengan Al-Kasyaf. Ketika menjelaskan Alif Lam Mim, Al-Zamakhsyari langsung menggunakan analisa bahasa dari aspek tajwid, qira’at, dan implikasi logisnya. Misalnya, penjelasannya yang dimulai dengan menyebutkan sifat dan jenis huruf hijaiyah serta pengulangan penyebutan huruf- huruf tersebut dalam lafadh ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an dan apa hikmah (logis) di baliknya menggambarkan bahwa Al-Zamakhsyari berusaha menjelaskan secara logis rasional makna yang dimaksudkan Allah dalam lafadh-lafadh yang terdapat dalam ayat Al-Qur’an itu. Muara pendekatan ini seperti dapat diduga adalah upaya menggunakan perspektif ilmu kebahasaan agar diperoleh rasionalisasi makna Al-Qur’an, sehingga Al-Qur’an memang merupakan petunjuk bagi orang- orang yang berpikir. Pendekatan ini memang khas dari manhaj ‘aqli bil ra’yi. Dengan kata lain, epistemologi Al-Zamakhsyari dalam Al-Kasyaf adalah rasional. Yakni, basis pengetahuan dan perolehan pengetahuannya adalah relasi objek (ontologi) sebagai idea dan epistemologi rasional. Pencandraan objek idea diperoleh lewat upaya rasional, karena asumsi Al-Zamakhsyari dalam Al-Kasyaf bahwa wahyu adalah petunjuk untuk orang yang berpikir. Oleh karena itu pendekatannya menggunakan pendekatan linguistik sebagai rasionalisasi. 

 

Kedua, relevansi epistemologis kedua kitab ini juga berbeda. Ketika khusus menjelaskan tentang QS. 56: 75-80, Al-Qusyairi mengatakan bahwa pengetahuan Al-Qur’an itu adalah kemuliaan akhlak. Dipertegas lagi dengan ujung penjelasan QS. 2: 1, ketika menjelaskan basis pengetahuan yang diambil dari penulisan Alif yang tidak bersambung dengan huruf lain ketika berada di sebelah kanan, tetapi bersambung ketika berada di sebelah kiri huruf lainnya. Ini adalah sebagai isyarat bahwa Allah tidak membutuhkan makhluk, tetapi makhluklah yang membutuhkan- Nya. Poin ini mempertegas tentang relevansi epistemologi Al-Qusyairi dalam Lathaiful Isyarat adalah jalan ilmu sebagai riyadlah ruhiyah (penggemblengan ruhiyah) atau tazkiyah nafs (penyucian jiwa) sama dengan intuisi-batini. 

 

Sedangkan Al-Zamakhsyari dalam Al-Kasyaf, ketika menjelaskan QS. 56: 75- 80, masih konsisten menggunakan pendekatan bahasa (nahwu dan sharaf) dan implikasi logisnya terhadap pemaknaan lafadh-lafadh dalam ayat tersebut. Relevansi epistemologisnya adalah untuk jalan ilmu sebagai rasionalitas. 

 

Ketiga, implikasi ontologis-epistemologis dan aksiologis dari kedua kitab ini juga berbeda. Lathaiful Isyarat lebih menekankan kepada aspek implikasi akhlak. Pengetahuan itu sebagai akhlak. Karena itu, menyentuh Al-Qur’an, yakni agar memperoleh pengetahuan dari Allah melalui Al-Qur’an harus dibarengi dengan penyucian diri dari keburukan, aib dan maksiat. Sedangkan Al-Kasyaf lebih fokus kepada upaya menjelaskan tentang Al-Qur’an itu petunjuk bagi orang yang berpikir. Oleh karena itu, penafsiran Al-Qur’an harus dihadirkan secara rasional. Dan hanya orang-orang yang menggunakan akalnya dengan jernih yang akan diberi pengetahuan dan pemahaman makna-makna Al-Qur’an. 

 

Keempat, Al-Qusyairi baik ketika menafsirkan QS. 2: 1 ataupun QS. 56: 75- 80, menggunakan diksi dan penjelasan yang lebih pendek dibandingkan Al- Zamakhsyari. Terutama ketika misalnya menjelaskan tentang kata al- mutthahharun, sangat terlihat perbedaan pendek dan panjang penjelasan keduanya. Mungkin perbedaan panjang dan pendek penjelasan keduanya ini karena Al- Qusyairi lebih menekankan pada aspek pendekatan sufistik dan secara ilmu pengetahuan (epistemologi) yang mempercayai perolehan ilmu itu adalah melalui intuisi-batini, misalnya dengan semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt Sang Pemilik Ilmu melalui amaliyah akhlak yang mulia. Sedangkan Al-Zamakhsyari terlihat dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut adalah untuk upaya memperoleh rasionalitas wahyu dan cara memahaminya serta hasilnya yang rasional. Namun sebagai catatan, bukan berarti dengan memperhadapkan antara pendekatan sufistik dan rasional ini kemudian untuk disimpulkan bahwa pendekatan sufistik tidak rasional, sedangkan pendekatan rasional sudah tentu rasional. Yang perlu saya beri catatan adalah, pendekatan sufistik sudah tentu rasional dan filosofis, sedangkan pendekatan rasional tidak sama serta belum tentu filosofis. 

 

Secara lebih detail, perbandingan pendekatan rasional-filosofis dan rasional saja itu bisa dilihat dari poin-poin berikut. Pertama, pendekatan sufistik dalam tafsir menjelaskan proses relasi antara ontologi yang metafisik (lambang/isyarat) dan epistemologi yang intuitif-batini. Dengan kata lain, objek dalam tradisi pendekatan sufistik disebut sebagai isyarat (metafisik), dan proses mengetahuinya adalah melalui intuisi-batini. Dalam mengetahui yang metafisik itu, proses epistemologisnya bisa menggunakan rasio ketika ontologi metafisika adalah idea, dan bisa menggunakan intuisi ketika ontologi metafisik adalah isyarat. Ini adalah penjelasan filosofis yang bisa ditelaah secara rasional maupun intuitif prosesnya. Sedangkan rasional tidak sama dengan dan belum tentu filosofis karena sesuatu yang rasional seperti logika matematis tidak sama dengan filsafat, dan logika tersebut bukan bersifat filosofis. 

 

Dengan kata lain, bila diurai dalam kacamata paradigma yang memuat world view terhadap ayat-ayat Al-Qur’an beserta metodologi penafsiran tampak sekali perbedaan antara manhaj ‘aqli sufi dan manhaj ‘aqli rasional bil ra’yi. Dua tabel berikut menggambarkan poin perbedaan antara Al-Qusyairi dan Al-Zamakhsyari yang dilihat dari aspek paradigma dan metodologi tafsirnya.

 

Tabel 1 Paradigma Tafsir

Perbandingan Lathaiful Isyarat (LI) dan Al-Kasyaf (Ksyf)

Kitab World View Ontologi Epistemologi Metodologi Hasil
LI Ayat = Isyarat Metafisik- Intuisi Intuitif-Batini Intuitif- Batini Ilmu Pengetahuan sebagai Intuisi dan akhlak
Ksyf Ayat = Petunjuk bagi Orang Yang Berpikir Metafisik- Idea Rasional Rasional Ilmu Pengetahuan sebagai rasio dan argumentasi

 

Tabel 2

Metodologi Penafsiran

Perbandingan Lathaiful Isyarat (LI) dan Al-Kasyaf (Ksyf)

 

Kitab Madzhab Pendekatan Epistemologi Penafsiran
LI Shafi’i-Ash’ari-Sufi Sufistik Intuitif-Batini Mengurai Isyarat
Ksyf Hanafi-Mu’tazili Rasional Rasional Rasionalisasi lafadh

 

Kelima, untuk semakin mempertegas distingsi metodologisnya, saya akan menganalisa penafsiran Al-Qusyairi dalam Lathaiful Isyarat dan Al-Zamakhsyari dalam Al-Kasyaf dengan menggunakan pendekatan analisa intensionalitas.44 Fokus pendekatan intensionalitas adalah ada pada kesadaran akan objek (ontologi) dan tujuan (telos). 

 

Lathaiful Isyarat sebagai tafsir sufi memahami objek penafsiran QS. 2:1 dan QS. 56: 75-80 sebagai isyarat. Dari penafsirannya yang bisa kita klasifikasi sebagai objek adalah isyarat-isyarat berikut, yaitu: pertama, huruf muqatha’ah ditafsirkan sebagai objek yang merupakan perlambangan (isyarat) asma Allah. Khusus huruf Alif yang tidak bersambung ketika berada di sebelah kanan huruf lain, dan sebaliknya tersambung ketika berada di sebelah kiri, melambangkan Allah sama sekali tidak membutuhkan makhluk-Nya, sebaliknya makhluklah yang membutuhkan-Nya. Kedua, Al-Qur’an sebagai isyarat kemuliaan. Ketiga, Al- Mutthahharun sebagai isyarat kesucian batin yang memancarkan akhlak mulia. 

 

Telos dari perlambangan-perlambangan di atas adalah sebagai berikut: pertama, huruf muqatha’ah sebagai simbol asma Allah bertujuan untuk mempertegas bahwa Allah laytsa kamitslihi syai’un. Simbol-simbol itu seperti entitas rahasia yang dibiarkan memiliki rahasianya sendiri. Mungkin ini maksudnya seperti tradisi filsafat bahasa, ketika sebuah entitas didefinisikan, maka dia akan menjadi terbatas. Dan hal ini dipertegas dengan makna simbol khusus huruf Alif. Tujuan (telos) utama dari simbol itu agar setiap hamba semakin mendekat untuk memahami rahasia Allah serta semakin menggantungkan dirinya hanya kepada Allah. Kedua, telos dari Al-Qur’an dan Al-Mutthahharun adalah agar manusia berakhlak mulia dengan mengikuti petunjuk Al-Qur’an yang mulia. Dan untuk mencapai akhlak mulia itu seseorang harus menyucikan batinnya. 

 

Sementara itu, Al-Kasyaf mengurai objek dan telosnya melalui teks yang sama dengan uraian sebagai berikut. Pertama, Objek huruf muqatha’ah dijelaskan sebagai teks yang secara rasional memiliki hikmah. Huruf muqatha’ah memiliki jenis dan sifat yang berbeda-beda dalam segi bacaan makharijul hurufnya. Di dalam Al-Qur’an disebutkan berulang-ulang serta menjadi tarkib kalam (tersusunnya kalimat bahasa Arab yang dapat dipahami dengan logis). Beberapa huruf muqatha’ah disebut sekali saja, sebagai tamyiz/differentiation. Kedua, Al-Qur’an dalam bentuk isim mashdar merupakan objek yang digambarkan sebagai wahyu yang datang dari Allah Swt., sebagai bintang di antara kitab-kitab suci lainnya, petunjuk rasional untuk mendapatkan arah kepada kehidupan yang mulia. Ketiga, Al-Mutthahharun adalah objek idea yang dimaknai sebagai kesucian pikiran. 

 

Telos dari uraian objek yang dipaparkan Al-Kasyaf adalah sebagai berikut. Pertama, sifat dan jenis huruf muqatha’ah yang berbeda-beda lalu disebutkan dengan pengulangan beberapa kali serta menjadi tarkib kalam bertujuan (telos) untuk menjelaskan peringatan Allah itu bersifat logis. Pengulangan penyebutan bertujuan (telos) untuk menunjukkan tentang adanya peringatan Allah yang serius melalui Al-Qur’an. Jenis dan sifat huruf yang berbeda lalu tersusun menjadi tarkib kalam bertujuan (telos) untuk menunjukkan kelogisan dari peringatan itu. Penyebutan hanya sekali bertujuan (telos) untuk menunjukkan Al-Qur’an adalah pembeda konseptual. Kedua, Al-Qur’an itu petunjuk dari Allah yang paling hebat (bintang) dan paling terjamin terjaga kebenarannya. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa siapapun mengikuti petunjuk (Al-Qur’an) ini pasti menjadikan seseorang bisa berakhlak mulia. Ketiga, objek idea Al-Mutthahharun bertujuan (telos) untuk menjaga kesucian pikiran, seseorang harus terus-menerus beristighfar untuk dirinya sendiri dan juga untuk orang lain. 

 

Lebih ringkasnya, analisa intensionalitas atas penafsiran Al-Qusyairi dan Al- Zamakhsyari bisa dilihat dalam tabel berikut ini:

 

Tabel 3

Analisa Intensionalitas

Perbandingan Lathaiful Isyarat (LI) dan Al-Kasyaf (Ksyf)

 

Kitab Teks Objek Telos
LI

1.   Alif Lam Mim (Huruf Muqatha’ah)

2.   Al-Qur’an

3.   Al-

Mutthahharun

1.   Isyarat asma Allah

2.   Isyarat kemuliaan

3.   Isyarat kesucian batin yang memancarkan akhlak mulia.

1.   Tujuan (telos) tentang huruf muqatha’ah adalah agar setiap seorang hamba semakin mendekat dalam memahami rahasia Allah serta semakin menggantungkan dirinya hanya kepada Allah.

2.   Telos dari Al-Qur’an adalah agar manusia berakhlak mulia dengan mengikuti petunjuk Al- Qur’an yang mulia.

3.   Telos Al-Mutthahharun adalah untuk mencapai akhlak mulia itu seseorang harus menyucikan batinnya.

Ksyf

1.   Alif Lam Mim (Huruf Muqatha’ah)

2.   Al-Qur’an

3.   Al-

Mutthahharun

1.   Huruf muqatha’ah memiliki jenis dan sifat yang berbeda- beda dalam segi bacaan makharijul hurufnya. Di dalam Al-Qur’an disebutkan berulang-ulang serta menjadi tarkib kalam (tersusunnya kalimat bahasa Arab yang dapat dipahami dengan logis). Beberapa disebut sekali, sebagai

tamyiz/differentiatio n.

2.   Al-Qur’an dalam bentuk isim mashdar merupakan objek yang digambarkan sebagai wahyu yang datang dari Allah Swt., sebagai bintang di antara kitab-kitab suci lainnya, petunjuk rasional untuk mendapatkan arah

1.   Bertujuan (telos) untuk menjelaskan peringatan Allah itu bersifat logis. Pengulangan penyebutan bertujuan (telos) untuk menunjukkan peringatan Allah yang serius melalui Al- Qur’an. Jenis dan sifat huruf yang berbeda lalu tersusun menjadi tarkib kalam bertujuan (telos) untuk menunjukkan kelogisan dari peringatan itu. Penyebutan hanya sekali bertujuan (telos) untuk menunjukkan Al-Qur’an

adalah pembeda konseptual.

2.   Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa siapapun mengikuti petunjuk (Al- Qur’an) ini pasti menjadikannya dapat berakhlak mulia

3.   Telos objek idea Al- Mutthahharun adalah untuk menjaga kesucian pikirannya, orang harus terus-menerus beristighfar untuk dirinya sendiri dan untuk orang lain.

 

 

   

kepada kehidupan yang mulia.

3. Al-Mutthahharun adalah objek idea yang dimaknai sebagai kesucian pikiran.

 

 


E. Kesimpulan
 

Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, Lathaiful Isyarat dan Al-Kasyaf adalah dua kitab tafsir yang memberikan sumbangsih besar terhadap manhaj ‘aqli dalam penafsiran Al-Qur’an. Dengan kekhasan masing- masing, kedua tafsir menjadi petanda tentang kekayaan epistemologis dan aksiologis dalam khazanah ilmu pengetahuan dalam tradisi tafsir Al-Qur’an.

Kedua, keduanya memiliki pendekatan keilmuan tafsir yang secara metodologis telah memberikan corak tersendiri dalam tradisi tafsir Al-Qur’an. Corak tersendiri itu baik dalam kaitan dengan tradisi tafsir Al-Qur’an pada umumnya, ataupun secara khusus dalam manhaj tafsir ‘aqli yang sufistik ataupun yang rasional.

Ketiga, Al-Qur’an adalah kitab suci yang terbuka, dan dapat didekati dengan perspektif pengetaChuan apapun. Terlihat dari contoh corak penafsiran perbandingan antara Lathaiful Isyarat dan Al-Kasyaf. Betapa kayanya Islam dengan kitab suci yang bisa menjadi dan dijadikan sumber ilmu pengetahuan, sumber akhlak dan petunjuk bagi seluruh alam semesta.

Wallahu a’lam.

 

CATATAN KAKI

1Dua kajian lainnya adalah Kajian Geografis Tafsir dan Kajian Berbasis Isu (the living tafsir) Al-Qur’an yang dibahas dalam topik-topik penafsiran khusus. Pertama, di antara contoh tafsir bercorak geografis adalah Tafsir yang dikarang oleh mufassir Indonesia, biasa disebut Tafsir Keindonesiaan, seperti Tafsir Al-Azhar Buya Hamka, Tafsir Al-Furqan A. Hassan, Tafsir Al-Ibriz KH. Bisri Musthofa; atau Tafsir yang dikarang oleh mufassir wilayah lain, seperti Love in the Holy Qur’an karya Prince Ghazi of Jordan; The Story of The Qur’an: Its History and Place in Muslim life karya Prof. Ingrid Mattson, North American Muslim; School of Qur’anic Exegesis: Genesis and Development karya Prof. Hussein Abdul-Raof, Leeds England. Kedua, adapun di antara contoh tafsir  yang membahas isu khusus tertentu biasanya terkait dengan metode tafsir tematik (maudlu’i). Tafsir tersebut membahas isu tertentu dari lafadh Al-Qur’an, kemudian dikaitkan dengan persoalan- persoalan di publik, dengan tujuan mencari insight dari Al-Qur’an bagaimana Al-Qur’an memberikan kontribusi pemikiran terhadap isu-isu tersebut. Contoh Love in the Holy Qur’an karya Prince Ghazi of Jordan, dikaitkan dengan pandangan Al-Qur’an tentang cinta, sebagai jawaban terhadap betapa Islam itu bukan agama terorisme. Islam and Ecology, yang dieditori oleh Prof. Richard C. Foltz, adalah tulisan yang diinspirasi dari Al-Qur’an tentang bagaimana pandangan Al- Qur’an mengenai ecology; Nafhat Al-Qur’an karya Al-Syaikh Nashir Makarim Al-Syirazi adalah Tafsir yang khusus membahas tentang wilayah dan imamah dalam Al-Qur’an. Singkatnya, catatan saya adalah secara umum dan detail, corak model penafsiran dengan tiga aspek kajian tersebut di atas itu saling terkait. Sebab, meski secara khusus aspek kajiannya adalah geografis, secara lebih luas, aspek metodologis dan isu (the living tafsir) juga ikut dibahas. 

 

2Muhammad Hussein Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Jilid I (Mesir: Maktabah Mush’ab bin Umar Al-Islamiyah, 2004), 8.

 

3Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Jilid I, 9.

 

4Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Jilid I, 9 dan 112. Tafsir bi al-ma’tsur adalah tafsir yang penjelasan dan perinciannya datang dari Al-Qur’an sendiri, yang diterima dari Nabi Saw., dan para sahabat Nabi, serta juga tabi’in, terkait dengan penjelasan dan keterangan mengenai maksud Allah Swt dalam nash-nash kitab Al-Qur’an yang mulia. 

 

5Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Jilid I, 9 dan 183. Tafsir bi al-ra’yi adalah penafsiran dengan jalan ijtihad akal. Yaitu, penafsiran Al-Qur’an melalui ijtihad setelah seorang mufassir mengetahui dengan baik ungkapan orang Arab dan cara bicara mereka, lafadh-lafadh bahasa Arab dan berbagai-macam dalil-dalilnya, serta penggunaannya dalam syi’ir Arab, pemahaman dan sikapnya atas asbab al-nuzul, dan pengetahuan mereka tentang nasakh dan mansukh serta hal-hal lain yang dibutuhkan mufassir dalam memahami Al-Qur’an dengan jalan ijtihad. 

 

6Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Jilid I, 9 dan 10. 

 

7Makna manhaj adalah keterangan ilmiah dengan topik tertentu yang dibahas dengan metode dan kaidah; cara dan penerapan ushlub bahasa Arab yang dipegang oleh para mufassir dalam menafsirkan dan memahami kalamullah, Al-Qur’an Al-Karim. Lihat M. Afifuddin Dimyathi, Ilmu Al-Tafsir Ushuluhu wa Manahijuhu, (Malang: Penerbit Lisan Arabi, 2017), 108. 

 

8Dimyathi, Ilmu Al-Tafsir Ushuluhu wa Manahijuhu, 109-187. Tafsir naqli terdiri dari: manhaj qur’ani, manhaj bayani lil qur’an, manhaj al-qira’at al-mufassirah dan manhaj atsari. Adapun manhaj ‘aqli terdiri dari: manhaj tafsir kalam, manhaj tafsir lughawi, manhaj tafsir ijtima’i, manhaj tafsir ‘ilmi, manhaj tafsir bathini, manhaj tafsir sufi, manhaj tadzawwuq adabi dan manhaj Barat terhadap Al-Qur’an. 

 

9Dimyathi, Ilmu Al-Tafsir Ushuluhu wa Manahijuhu, 108.

 

10Ignaz Goldziher, Madzahib Al-Tafsir Al-Islami (Mesir dan Baghdad: Maktabah Al-Khaiji dan Maktabah Al-Matsna, 1955), 6. 

 

11Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Jilid I, 258-342. 

 

12William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge (New York: The State University of New York Press, 1989), 3, 212 dan 226 (ahl kashf wa al-wujud) & 52 dan 160 (ahl nadhar). Lihat juga Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Al-Futuhat Al-Makkiyah, Jilid I-IX (Beirut: DKI, 2011). Lihat Abu Bakr Siraj al-Din, The Book of Certainty, The Sufi Doctrine of Faith, Vision and Gnosis (Cambridge: The Islamic Text Society the Golden Palm Series, 1996), 3. 

 

13Abdul Tawwab Abdul Hadi, Lambang-Lambang Sufi dalam Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Salman ITB, 1986). 

 

14Dimyathi, Ilmu Al-Tafsir Ushuluhu wa Manahijuhu, 134.

 

15Dimyathi, Ilmu Al-Tafsir Ushuluhu wa Manahijuhu, 34-135. Lihat juga Al-Dzahabi, Al- Tafsir wa Al-Mufassirun, Jilid I, 205-252. 

 

16Dimyathi, Ilmu Al-Tafsir Ushuluhu wa Manahijuhu, 134-163.

 

17Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Jilid I, 205-252, dan Jilid II, 81-139. 

 

18Al-Dzahabi, Jilid I, 258-342. Lihat juga W. Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo, 1995), 266-267. 

 

19Diadaptasi dari hasil review terhadap edisi terjemah Lathaiful Isyarat dalam Bahasa Inggris oleh Kristin Zahra Sands, Introduction to Translation (of Lathaiful Isyarat into English) (Jordan: Royal Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought, 2017), ix – xxvi. Lihat juga Abu al-Qasim al- Qushayri, Al-Qushayri’s Epistle on Sufism (Al-Risala al-qushayriyya fi 'ilm al-tasawwuf), translated into English by Professor Alexander D. Knysh, and reviewed by Dr Muhammad Eissa (Reading England the UK: The Center for Muslim Contribution to Civilization, Garnet PUBLISHING, 2007), xxi-xxvii. 

 

20Kristin Zahra Sands, Introduction to Translation (of Lathaiful Isharat into English), xi, dikutip dari Richard W. Bulliet, Conversion to Islam and the Emergence of a Muslim Society in Iran, in Conversion to Islam, ed. Nehemia Levtzion (New York: Holmes & Meier, 1979), 31. Cited in Nguyen, Sufi Master and Qur’an Scholar, 26. 

 

21Richard W. Bulliet, The Patricians of Nishapur: A Study in Medieval Islamic Social History, Cambridge, MA: Harvard University Press, 1972), 45-46. 

 

22Bulliet, The Patricians of Nishapur, 28-46.

 

23Bulliet berpendapat bahwa aliansi yang dibangun al-Kundurī lebih terkait dengan upaya memanfaatkan situasi politik lokal, daripada karena urusan madzhab keagamaan. Lihat Bulliet, Patricians of Nishapur, 72. 

 

24Bulliet, Patricians of Nishapur, 72-80.

 

25Al-Qushayri, Al-Qushayri’s Epistle on Sufism (Al-Risala al-qushayriyya fi 'ilm al- tasawwuf), xxi-xxvii 

 

26Diadaptasi dari review tentang Al-Zamakhsari dari Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Jilid I, 304. Lihat juga Maktabah Syamilah Ar-Rawdah (www.shamela.ws) cetakan ke-7, dikutip dari Al-Mawsoah Al-Arabiyah Al-‘Alamiyah, http://www.mawsoah.net, last accessed 7 Oktober 2018. 

 

27Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Jilid I, 304-305. 

 

28Al-Dzahabi, Ibid., 304-305. Lihat juga www.almawsoa.net, last accessed 7 Oktober 2018. 

 

29Al-Dzahabi, Ibid., 304-305.

 

30Al-Dzahabi, ibid. Al-Zamakhsyari terkadang menggunakan kata khalaqa dan terkadang ja’ala, sebagai pilihan diksi penjelasan dari kata anzala atau nazzala yang dipergunakan dalam Al- Qur’an. Meski diinformasikan bahwa akhirnya Al-Zamakhsyari menggunakan diksi sebagaimana yang dipergunakan dalam Al-Qur’an anzala/nazzala dalam muqaddimah Al-Kasyaf. Saya mengecek dalam edisi tercetak ataupun maktabah syamilah, Al-Kasyaf menggunakan diksi sebagaimana diksi Al-Qur’an. 

 

31Al-Dzahabi, ibid. Melihat keterangan di atas, kemungkinan informasi tentang penggunaan kata khalaqa atau ja’ala oleh Al-Zamakhshari, bisa jadi hoax. 

 

32Al-Dzahabi, ibid., dikutip dari Imam ibn-Khallikan, Waffiyat Al-A’yaan, Juz 2, 509-513. 


33Maktabah Syamilah Ar-Rawdah (www.shamela.ws) cetakan ke-7, Juz 1, hal. 53, last accessed 7 Oktober 2018. 

 

34Maktabah Syamilah Ar-Rawdah, Ibid., hal. 53. 

 

35Maktabah Syamilah Ar-Rawdah, Ibid., hal. 54. 

 

36Maktabah Syamilah Ar-Rawdah, Ibid., Juz 3, hal. 525.

 

37Maktabah Syamilah Ar-Rawdah (www.shamela.ws) cetakan ke-7, Juz 1, hal. 30-31, last accessed 7 Oktober 2018. 

 

38Maktabah Syamilah Ar-Rawdah, Ibid., hal. 30-31.

 

39Maktabah Syamilah Ar-Rawdah, Ibid., hal. 30-31.

 

40Maktabah Syamilah Ar-Rawdah, Ibid., hal. 30-31.

 

41Maktabah Syamilah Ar-Rawdah, Ibid., hal. 30-31.

 

42Kristin Zahra Sands, Introduction to Translation (of Lathaiful Isharat into English), xi. 

 

43William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge (New York: The State University of New York Press, 1989), xii. Lihat juga Ibn ‘Arabi, Al-Futuhat Al-Makkiyah


44Pendekatan Intensionalitas ini diperkenalkan oleh Edmund Husserl ketika menjelaskan proses analisa fenomenologis terhadap Ilmu Humaniora. Analisa fenomenologis dilakukan agar Ilmu Humaniora menjadi rigorous, seperti kepastian matematis. Analisa fenomenologis berusaha ke arah pencapaian ini. Untuk mencapai itu, Husserl membuat proses fenomenologisnya ke dalam beberapa konsep, yaitu: a). epoche [metode penundaan agar peneliti terbebas dari praduga-praduga tidak perlu terhadap gejala objek yang diteliti]; b. reduksi [proses penyaringan informasi tentang gejala objek yang diteliti]. 

 

Ada tiga model reduksi: (i) reduksi fenomenologis [penyaringan informasi pada pnegamatan pertama]; (ii) reduksi eidetic [penyaringan dalam rangka menemukan esensi yang tersembunyi. Hasilnya adalah hakekat yang sebenarnya, bukan sesuatu yang sifatnya asesoris atau khayalan belaka]; dan (iii) reduksi transcendental [focus reduksi transcendental pada subjek, berbeda dengan dua reduksi sebelumnya. Dengan kata lain, reduksi transcendental adalah subjek yang dihayati oleh kesadaran itu sendiri. c). Intensionalitas [kesadaran yang selalu terarah pada suatu objek]. Untuk lebih detail dan jelasnya baca Dr. Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer (Depok: Rajawali Press, 2016), 207. Lihat juga Thomas Mormann, “Husserl's Philosophy of Science and the Semantic Approach”, Philosophy of Science, Vol. 58, No. 1 (Mar., 1991), 61-83.


DAFTAR PUSTAKA
 

‘Arabi, Al-Syaikh Muhyiddin Ibn. Al-Futuhat Al-Makkiyah. I-IX. Beirut, DKI, 2011. 

 

Abdul-Raof,   Prof.   Hussein.   School   of   Qur’anic   Exegesis:     Genesis   and

Development. USA-Canada: Routledge, 2010.

 

Abu al-Qasim Al-Qushayri, , translated into English by Professor Alexander D. Knysh, and reviewed by Dr Muhammad Eissa, Reading England, The Center for Muslim Contribution to Civ. Al-Qushayri’s Epistle on Sufism (Al- Risala al-qushayriyya fi 'ilm al-tasawwuf). n.d. 

 

Al-Din, Al-Syaikh Abu Bakr Siraj. The Book of Certainty, The Sufi Doctrine of Faith, Vision and Gnosis. Cambridge: The Islamic Text Society (the Golden Palm Series), 1996. 

 

              . The Book of Certainty, The Sufi Doctrine of Faith, Vision and Gnosis.

 

Cambridge: : The Islamic Text Society (the Golden Palm Series), 1996.

 

Al-Dzahabi, Al-Syaikh Dr. Muhammad Hussein. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun. Vol.Jilid I & II. Maktabah Mush’ab bin Umar Al-Islamiyah, 2004.

 

Al-Mawsoah Al-Arabiyah Al-‘Alamiyah, http://www.mawsoah.net, dikutip dari Maktabah Syamilah Ar-Rawdah (www.shamela.ws) cetakan ke-7, last accessed 7 Oktober 2018.

 

Al-Qushayri, Abu al-Qasim. Al-Qushayri’s Epistle on Sufism (Al-Risala al- qushayriyya fi 'ilm al-tasawwuf). Edited by and reviewed by Dr Muhammad Eissa, Reading England, The Center for Muslim Contribution to Civilization translated into English by Professor Alexander D. Knysh. Garnet Publishing, 2007. 

 

Al-Syiraz, Al-Syaikh Nashir Makarim. Nafhat Al-Qur’an. Qom: Bi Musa’adat Majmu’ah min Al-Fudlala’, tt. 

 

Bulliet, Richard W. Conversion to Islam and the Emergence of a Muslim Society in Iran, in Conversion to Islam. 31. Cited in Nguyen, Sufi Master and Qur’an Scholar. Disunting oleh Nehemia Levtzion. New York: Holmes & Meier, 1979. 

 

              . The Patricians of Nishapur: A Study in Medieval Islamic Social History.

 

Cambridge, MA: Harvard University Press, 1972.

 

Chittick, William C. The Sufi Path of Knowledge. New York: The State University of New York Press, 1989. 

 

Dimyathi, Dr. M. Afifuddin. Ilmu Al-Tafsir Ushuluhu wa Manahijuhu. Malang: Penerbit Lisan Arabi, 2017. 

 

Foltz, Richard C., ed. Islam and Ecology. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 2002. 

 

Goldziher, Ignaz. Madzahib Al-Tafsir Al-Islami. Mesir dan Baghdad: Maktabah Al- Khaiji dan Maktabah Al-Matsna, 1955. 

 

Hadi, Abdul Tawwab Abdul. Lambang-Lambang Sufi dalam Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Salman ITB, 1986. 

 

Hamka. Tafsir Al-Azhar . Jakarta: Penerbit Pustaka Panjimas, 2004.

 

Hassan, A. Al-Furqan: Tafsir Qur’an. Jakarta: Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), 2010. 

 

Maktabah Syamilah Ar-Rawdah (www.shamela.ws) cetakan ke-7, Juz 1, Juz 3, dan Juz 4,. n.d. 

 

Mattson, Ingrid. "The Story of The Qur’an: Its History and Place In Muslim life,North American Muslim."  the UK: Wiley-BlackWell, 2013.

 

Musthofa, Bisri. Tafsir Al-Ibriz. Kudus: Maktabah wa Mathba’ah Menara Kudus, tt. 

 

Sands,  Kristin  Zahra.  Introduction  to  Translation  (of  Lathaiful  Isharat  into English). Jordan: Royal Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought, 2017. 

 

Talal, Prince Ghazi bin Muhammad bin. Love in the Holy Qur’an. Chicago: Kazi Publications, 2011. 

 

Watt, W. Montgomery. Pengantar Studi Al-Qur’an. Jakarta: Raja Grafindo, 1995. 

 

Sumber: https://jurnal.stiqsi.ac.id/index.php/AlIJaz/article/view/29

LihatTutupKomentar