Tafsir Falsafi dan Tafsir Ilmi

Tafsir Falsafi dan Tafsir Ilmi pengertian definisi, sejarah munculnya, tokoh mufassir dan kitab karyanya dalam kedua corak tafsir tersebut

 

Tafsir Falsafi dan Tafsir Ilmi

A. Pengertian Tafsir Falsafi

Pengertian tafsir falsafi adalah upaya penafsiran al-Qur’an dikaitkan dengan persoalan- persoalan filsafat.1 Tafsir falsafi yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat al- Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat al-Qur’an dapat ditafsirkan dengan menggunakan filsafat. Karena ayat al-Qur’an bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafsirkan dengan menggunakan teori-teori filsafat.

 

Daftar isi

  1. Pengertian Tafsir Falsafi
  2. Sejarah Munculnya Tafsir Falsafi 
  3. Pengertian Tafsir Ilmi
    1. Pro-Kontra Pandang Ulama tentang Tafsir Ilmi
    2. Ulama Pendukung Tafsir Ilmi
    3. Ulama yang Menolak Tafsir Ilmi
  4. Penutup
  5. Catatan Kaki / Footnote
  6. Daftar Pustaka dan Referensi

 

Tafsîr al-Falasifah, yakni menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti tafsir bi al-Ra`yi. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat.2 seperti tafsir yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina, dan ikhwan al-Shafa. Menurut Dhahabi, tafsir mereka ini di tolak dan di anggap merusak agama dari dalam.3

 

Pendekatan yang digunakan dalam tafsir falsafi adalah penggunaan akal yang lebih dominan sehingga ayat-ayat yang ada dipahami dengan rasio mufasir sendiri. Menanggapi hal ini umat Islam terbagi menjadi dua kelompok, pertama golongan yang menolak dan yang menerima corak tafsir ini.

 

Kelompok Pertama, mereka yang menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para filosof. Mereka menolaknya karena menganggap bahwa antara filsafat dan agama adalah dua bidang ilmu yang saling bertentangan sehingga tidak mungkin disatukan.

 

Kelompok Kedua, mereka yang mengagumi filsafat. Mereka menekuni dan menerima filsafat selama tidak bertentangan dengan norma-norma Islam. Mereka berusaha memadukan filsafat dan agama serta menghilangkan pertentangan yang terjadi di antara keduanya.4

 

B. Sejarah Munculnya Tafsir Falsafi

Pada saat ilmu-ilmu agama dan sain mengalami kemajuan, kebudayaan- kebudayaan Islam berkembang di wilayah-wilayah kekuasaan Islam dan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah, diantara buku-buku yang diterjemahkan adalah buku-buku karangan para filosof seperti Aristoteles dan Plato. Pada perkembangan selanjutnya para ulama tafsir mencoba memahami Alquran dengan metode filsafat tersebut, maka lahirlah metode falsafi.

 

Thaba Thaba’i dalam tafsir al-Mizan fi tafsir al-Qur’an berpendapat bahwa para filosof menggunakan pemikiran filsafat dalam memahami ayat-ayat Alquran. Sesuai dengan kecenderungan dan keilmuannya, Diantara tokoh filosof Islam adalah Al- Farabi, Ibnu-Shina. Thaba’ Thaba’i dalam tafsirnya memasukkan pembahasan filsafat sebagai tambahan dalam menerangkan suatu ayat atau menolak teori filsafat yang bertentangan dengan Alquran. Ia menggunakan pembahasan filsafat hanya pada bagian ayat tertentu saja.5

 

Dalam hal ini, ulama Islam terbagi menjadi dua golongan yaitu sebagai berikut:

 

Pertama, Golongan yang menolok filsafat, karena mereka menemukan adanya pertentangan antara filsafat dan Agama. Kelompok ini secara radikal menentang filsafat dan berusaha menjauhkan umat darinya. Tokoh pelopor kelompok ini adalah Imam al-Ghazali, karena itu ia mengarang kitab al-Isyarat dan kitab-kitab lain untuk menolak faham mereka. Demikian pula Fakhr al-Razi di dalam kitab tafsirnya mengemukakan paham mereka dan membatalkan teori-teori filsafat mereka karena dinilai bertentangan dengan Agama dan Alquran. Dia membeberkan ide-ide filsafat yang dipandang bertentangan, khususnya dengan AlQuran dan akhirnya ia menolak dengan tegas berdasarkan alasan dan dalil yang ia anggap memadai.6

 

Kedua, Golongan yang mengagumi dan menerima filsafat meskinya didalamnya terdapat ide-ide yang bertengan dengan nash-nash syar’i. Kelompok ini berupaya mengkompromikan antara filsafat dan Agama serta berusaha untuk menyingkapkan segala pertentangan tersebut, namun usaha mereka belum mencapai titik temu secara final, melainkan masih berupaya memecahkan masalah secara setengah-setengah, sebab penjelasan mereka tentang ayat-ayat Alquran semata-mata berangkat dari sudut pandang teori filsafat yang didalamnya banyak hal tidak mungkin diterapkan dan dipaksakan terhadap nash-nash al-Qur’an.7

 

Jadi sederhananya adalah ada dua alasan dalam mengkompromikan Alquran dengan filsafat, yaitu:

 

  1. Cara pertama, mereka melakukan ta’wil terhadap nash-nash Alquran sesuai dengan pandangan Yakni mereka menundukkan nash-nash Alquran pada pandangan-pandangan filsafat. Sehingga keduanya nampak seiring sejalan.
 
  1. Cara kedua, adalah mereka menjelaskan nash-nash al-Qur’an dengan pandangan pandangan teori Mereka menempatkan pandangan para filosof sebagai bagian primer yang mereka ikuti, dan menempatkan al- Qur’an sebagai bagian sekunder yang mengikuti filsafat. Yakni filsafat melampaui al-Qur’an. Cara ini lebih berbahaya dari cara yang pertama.8

 

Contoh Tafsir Falsafi adalah seperti dikatan al-Dzahabi menyebutkan penafsiran sebagian filosof yang mengingkari kemungkinan mi’raj Nabi Muhammad Saw, dengan fisik di samping ruhnya. Mereka hanya meyakini kemungkinan mi’raj Nabi Muhammad Saw. hanya dengan ruh tanpa jasad.

 

Di antara kitab tafsir yang ditulis berdasakan corak falsafi ini, yaitu dari golongan pertama yang menolak tafsir falsafat adalah:

 

  1. Mafatih Al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H)
  2. al-Isyarat, karya Imam al-Ghazali (w. 505 H)

 

Sedangkan dari golongan kedua seperti komentar al-Dzahabi tidak pernah mendengar bahwa diantara filosof mengarang kitab tafsir Alquran secara lengkap, kerana sejauh ini tidak lebih dari sebagian pemahaman terhadat al-Qur’an secara parsial yang termuat dalam kitab falsafah yang mereka tulis.9 Penulisan secara parsial tafsir falsafi antara lain:

 

  1. Fushush al-Hikam, karya al-Farabi (w. 339 H)
  2. Rasail Ibn Sina, karya Ibn Sina (w. 370 H)
  3. Rasail Ikhwan al-Safa. 
 
C. Pengertian Tafsir Ilmi

Tafsir ‘ilmi adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pendekatan ilmiah atau menggali kandungan al-Qur’an berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan. Ayat-ayat al-Qur’an yang di tafsirkan dalam corak tafsir ini adalah ayat-ayat kauniyah (kealaman).

 

Tafsir ‘ilmi atau scientific exegies dalah corak penafsiran al-Qur’an yang menggunakan penedekatan teori-teori ilmiah untuk menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an. Di maksudkan untuk menggali teori-teori ilmiah dan pemikiran filosofis dari ayat-ayat al-Qur’an juga di maksudkan untuk justifikasi dan mengkompromikan teori-teori ilmu pengetahuan dengan al-Qur’an serta bertujuan untuk mendeduksikan teori-teori ilmu pengetahuan dari ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri.

 

Menurut Yusuf al-Qardhawi tafsir bi al-ilmi adalah penafsiran yang menggunakan perangkat ilmu-ilmu kontemporer, realita-realita dan teorinya untuk menjelaskan sasaran dari makna al-Quran.

 

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat kita pahami bahwa tafsir ‘ilmi adalah penafsiran al-Quran dengan pendekatan ilmu pengetahuan. Dari definisi ini kita juga mengetahui bahwa ayat-ayat al-Quran yang dijadikan objek penafsiran bercorak ‘ilmi ini adalah ayat-ayat yang mengandung nilai-nilai ilmiah dan kauniyah (kealamaan).

 

Tafsir ‘ilmi di bangun berdasarkan asumsi bahwa al-Qur’an mengandung berbagai macam ilmu, baik yang sudah di temukan maupun yang belum di temukan. Tafsir corak ini berangkat dari paradigma bahwa al-Qur’an disamping tidak bertentangan dengan akal sehat dan ilmu pengetahuan, al-Qur’an tidak hanya memuat ilmu-ilmu agama atau segala yang terkait dengan ibadah ritual, tetapi juga memuat ilmu-ilmu duniawi, termasuk hal-hal mengenai teori-teori ilmu pengetahuan.10

 

D. Pro-Kontra Pandang Ulama tentang Tafsir Ilmi

 

Para ulama telah memperbincangkan kaitan antara ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an dengan ilmu-ilmu penegetahuan modern yang timbul pada masa sekarang, sejauh mana paradigma-paradigma ilmiah itu memberikan dukungan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dan penggalian berbagai jenis ilmu pengetahuan, teori- teori baru dan hal-hal yang ditemukan setelah lewat masa turunnya al-Qur’an, yaitu hukum-hukum alam, astronomi, teori-teori kimia dan penemuan-penemuan lain yang dengannya dapat dikembangkan ilmu kedokteran, fisika, zoologi, botani dan lain- lain.11

 

Ulama telah membahas tentang tafsir ilmi secara mendalam. Secara umum, ulama dalam menghukumi tafsir ilmi terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang melegalkan dan memperbolehkan penggunaan tafsir ‘Ilmi dalam menafsirkan al-Quran, sedangkan kelompok kedua adalah kelompok yang melarang dan menolak penggunaan tafsir Ilmi.

 

1. Para Ulama Pendukung Tafsir Ilmi

 

Sebagian ulama mendukung tafsir ‘ilmi dan bersikap terbuka, seperti hal nya al- Ghazali, salah seorang ulama yang mendukung tafsir ini , menurutnya segala macam ilmu baik yang terdahulu maupun yang kemudian, baik yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari al-Qur’an . hal ini di’sebabkan segala macam ilmu termasuk dalam af’al Allah dan sifat-sifat-Nya. Artinya bahwa corak penafsiran ‘ilmiah, menurutnya tidak bertentangan dengan al-Qur’an.

 

Salah satu mufasir kontemporer yang paling populer dalam memberikan perhatian yang cukup besar terhadap metode penafsiran ini, serta telah mengaplikasikannya dalam bentuk kitab tafsir yang sangat tebal adalah syekh Thanthawi Jauhari, dalam tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Jawahir (25 jilid). Ulama-ulama lain yang mendukung dan membenarkan penggunaan tafsir ‘ilmi di antaranya ialah, al-Ghazali, as-Suyuthi, Fakhruddin ar-Razi dan yang lain.

 

Para mufassir yang mendukung dan memperbolehkan tafsir ‘ilmi secara umum berlandaskan pada firman Allah:

 

Artinya: Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun? (QS. Qaf : 6).

 

Keberpihakan al-Ghazali dan as-Suyuthi mengenai corak tafsir ‘ilmi ini berkembang luas hingga muncul beberapa kitab tafsir corak tafsir ‘ilmi seperti al- Razy yang menuangkan gagasannya dalam kitab tafsir nya yang di sebut Tafsir Mafatih al-Gayb. Thanthawi Al-Jauhari dengan karyanya Al-Jawahir fi Tafsir al- Quran al-Karim dan kitab tafsir ilmi lainnya seperti yang telah di sebutkan di atas.

 

Para pendukung tafsir ‘ilmi ini mempunyai argumen bahwa al-Qur’an itu menghimpun ilmu –ilmu agama dan ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak kesemuanya dapat di jangkau oleh manusia, bahkan lebih dari itu al-Qur’an mengemukakan hal- hal yang terjadi jauh sebelum al-Qur’an turun dan yang akan terjadi. Di dalamnnya pula terdapat kaidah-kaidah yang menyeluruh dan prinsip-prinsip umum tentang hukum alam yang bisa di saksikan, fenomena-fenomena alam yang bisa kita lihat dari waktu ke waktu dan hal-hal lain yang berhasil di ungkap oleh ilmu pengetahuan modern dan kita menduga itu semua sebagai sesuatu yang baru .Itu semua sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru menurut al-Qur’an sebab kesemuanya telah di ungkap dan diisyaratkan oleh ayat-ayat muhkamat dalam al-Qur’an.

 

2. Para Ulama yang Menolak Tafsir Ilmi

 

Beberapa ulama lain menolak adanya penafsiran al-Qur’an secara ilmiah ini, mereka mempunyai argumen bahwa tidak perlu terlalu jauh dalam memahami al- Qur’an dan menginterpretasikan ayat-ayat al-Qur’an, oleh karena al-Qur’an itu tidak tunduk kepada teori-teori yang bersifat relatif, tidak perlu pula mengaitkan ayat-ayat al-Qur’an dengan kebenaran-kebenaran ilmiah dan teori-teori ilmu alam. Sebaliknya kita harus menempuh cara yang mudah dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan mengungkapkan makna-makna yang ditunjukan oleh ayat dan benar-benar sesuai dengan konteksnya tanpa melngkah terlalu jauh dan lepas ke makna yang tidak ditunjukan oleh teks ayat dan hal-hal lain yang tidak perlu diungkap dalam kaitan dengan dengan pensyariatan agam islam dan fungsi al-Qur’an sebgai kitab ptunjuk. Hal ini dikarenakan kepentingan al-Qur’an bukanlah berbicara kepda manusia tentang problematika kosmologis dan kebenaran-kebenaran ilmiah, tetapi al-Qur’an semata-mata merupakan kitab petunjuk dan penuntun yang di turunkan Allah untuk kebahgiaan manusia.

 

Para penolak tafsir ‘ilmi ini juga berargumen, bahwa al-Qur’an bukanlah buku ilmu pengetahuan, melainkan kitab hidayah. Jika semua teori ilmu pengetahuan telah ada dalam al-Qur’an, maka berarti ia akan menjadi sumber ilmu pengetahuan, pertanian, tehnik, dan sebagainya. Padahal teori-teori tersebut bersifat relatif, ia bisa salah dan bisa benar. Ketika suatu teori yang dulu dianggap benar dan telah dicarikan justifikasi dari ayat al-Qur’an, ternyata di kemudian hari teori tersebut dinyatakan keliru, karena ada penelitian terbaru yang lebih valid, maka hal itu akan mengganggu keyakinan umat Islam. Seolah-olah ayat al-Qur’an itu juga keliru dan bertentangan dengan teori yang baru tersebut. Kesan yang muncul adalah bahwa al-Qur’an telah ketinggalan zaman. Paling tidak, ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan, mengapa mereka menolak penafsiran sains terhadap al-Qur’an. Pertama, terkadang ayat-ayat itu tidak dipahami pengertiannya sebagaimana saat pewahyuan. Kedua, ada kecenderungan memaksakan (takalluf) untuk mencocok-cocokkan ayat dengan perkembangan sains modern. Ketiga, sisi kesinambungan iptek menunjukkan bahwa tidak semua ajaran dan teori iptek diambil dari teks al-Qur’an.12

 

Di antara ulama yang menentang adanya tafsir al-‘Ilmi adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Asy-Syathibi. Menurutnya penafsiran yang setelah dilakukan oleh ulama salaf lebih dapat diakui kredibilitas dan kebenarannya dari pada penafsiran ilmiah. Asy-Syathibi   juga   mengatakan   bahwa   al-Qur’an   diturunkan   bukan   untuk mnerangkan ilmu pengetahuan dan ia menyarankan agar orang yang ingin memahami al-Quran harus membatasi diri hanya menggunakan ilmu–ilmu bantu yang telah dikenal oleh masyarakat Arab pada masa Nuzul al-Quran. Barang siapa yang memahami al-Quran berdasarkan ilmu bantu selainnya, maka ia akan terjerumus dalam kesesatan dan mengetasnamakan Allah dan Rasul-Nya dalam hal- hal yang tidak pernah dimaksudkannya.

 

Di antara ulama lainnya yang juga menolak kehadiran tafsir ‘ilmi adalah Abu al- Hayan Al-Andalusi, Muhammad rasyid Ridha, Mahmud Syaltut, Musthafa AL- Maraghi, M. Izzah Ad-Darwizah, Syauqi Dhaif dan Amin Al-Khulli.

 

Dari perbedaan pandangan mengenai tafsir ‘ilmi tersebut, dapat di cari jalan tengah, yakni bahwa memang al-Qur’an bukan kitab ilmu pengetahuan, namun tidak dapat di sangkal bahwa di dalamnya terdapat isyarat-isyarat atau pesan-pesan moral akan pentingnya untuk mengembngkan ilmu penegtahuan.13 Banyak hikmah di dalamnnya yang jika di kaji oleh seorang ahli akan jelaslah rahasia-rahasianya dan mampu menjelaskan kemu’jizatanya. Dan siapa pula yang mengngkari bahwa ilmu biologi, geografi, dan ilmu lainnya kita perlukan? Ini bukan berarti al-Qur’an merupakan kitab tentang ilmu kedokteran, fisika atau kimia. Ia adalah semata-mata kitab petunjuk, penuntun, syari’at, hukum, dan akhlak. Al-Qur’an tidak banyak mngemukakan rincian-rincian, keterangan-keterangan secara detail dan teori-teori yang di anggap penting oleh manusia.

 

Di samping itu, seorang mufassir yang hendak melakukan penafsiran ‘ilmi perlu memperhatikan hal-hal sebagian berikut, yakni:

 

  1. Bersikap modern artinya tidak terlalu berelebihan dalam meniadakan atau menetapkan ilmu pengatahuan dalam al-Qur’an.
  2. Seorang mufassir hendaknya berpegang pada kebenaran ilmiah yang sudah mapan, bukan pada teori yang masih bersifat asumtif dan
  3. Menjauhi pemaksaan diri (takalluf) dalam memahami teks al-Qur’an, sehingga penafsir ‘ilmi jangan sampai terlalu jauh dari makna-makna yang masih mungkin yang terkandung dalam suatu
  4. Produk tafsir ‘ilmi hendaknya tidak di klaim sebagai satu-satunya makna yang dikehendaki oleh Allah swt, sehingga mengabaikan kemungkinan makna yang lain yang terkandung dalam suatu Sebab ayat al-Qur’an itu yahtamalu wujuhal ma’na memungkinkan banyak penafsiran).14
 
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Tafsir falsafi berati pernafsiran al-Qur’an dengan menggunakan perserktif falsafah, yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat al-Qur’an dapat ditafsirkan dengan menggunakan filsafat. Karena ayat al-Qur’an bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafsirkan dengan menggunakan teori-teori filsafat.

Tafsir ‘ilmi adalah penafsiran al-Quran dengan pendekatan ilmu pengetahuan ataupun sains. Dari definisi ini kita juga mengetahui bahwa ayat-ayat al-Quran yang dijadikan objek penafsiran bercorak ‘ilmi ini adalah  ayat-ayat  yang  mengandung  nilai-nilai  ilmiah dan kauniyah (kealamaan). Tafsir ‘ilmi di bangun berdasarkan asumsi bahwa al-Qur’an mengandung berbagai macam ilmu, baik yang sudah di temukan maupun yang belum di temukan.

 

B. Saran

 

Dengan penulisan makalah ini maka diharapkan pembaca untuk mengetahui lebih luas lagi tentang Ushul Tafsir.

 

CATATAN KAKI 

 

1 Quraisy Syihab dkk, Sejarah dan Ulum Al Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), hlm. 182

 

2 Muhammad Husein al-Dzahabi, Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), Jilid I, hlm. 419.

 

3 Ibid., hlm.431

 

4 Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung : Pustaka Setia, 2008)  hal. 169-170

 

5 http://id.scribd.com/doc/72480986/72090745-Tafsir-Falsafi

 

6 Muhammad Husein al-Dzahabi, Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), Jilid III, hlm. 83

 

7 Ibid., hlm. 84

 

8 http://id.scribd.com/doc/72480986/72090745-Tafsir-Falsafi

 

9 Muhammad Husein al-Dzahabi, Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), Jilid III, hlm. 90

 

10 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Studi Aliran-Aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer. (Yogyakarta: Adab Press, 2014), hlm. 136-137

 

11 Dr. ‘Ali Hasan Al-‘Aridl. Sejarah dan Metodologi Tafsir. (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 62

 

12 Abdul Mustaqim, “Kontroversi Tentang Corak Tafsir Ilmi”. Jurnal ilmu-ilmu al-Qur’an dan Tafsir, hlm 11

 

13 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Studi Aliran-Aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer. (Yogyakarta: Adab Press, 2014), hlm 138

 

14 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Studi Aliran-Aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer. (Yogyakarta: Adab Press, 2014), hlm 138-140

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Quraisy Syihab dkk, Sejarah dan Ulum Al Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999). Muhammad Husein al-Dzahabi, Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995).

 

Mustaqim, Abdul.2014. Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Studi Aliran-Aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer. Yogyakarta: Adab Press Al’aridl, 

 

Dr. ‘Ali Hasan. 1992.Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta: Rajawali Pers Mustaqim, Abdul.“Kontroversi Tentang Corak Tafsir Ilmi”. Jurnal ilmu-ilmu al-Qur’an dan  Tafsir

 

http://id.scribd.com/doc/72480986/72090745-Tafsir-Falsafi

LihatTutupKomentar