Tafsir Falsafi

Tafsir falsafi menurut Quraisy Shihab adalah upaya penafsiran al-Quran dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat.7 Tafsir falsafi, yaitu tafsir

Tafsir Falsafi

Tafsir
Falsafi

Pengertian Tafsir Falsafi
 

Tafsir falsafi menurut Quraisy Shihab adalah upaya penafsiran al-Quran dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat.7 Tafsir falsafi, yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai para- digmanya. Ada juga yang mendefinisikan tafsir falsafi sebagai penaf- siran ayat-ayat al-Quran dengan menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat al-Quran dapat ditafsirkan dengan meng- gunakan filsafat. Karena ayat al-Quran bisa berkaitan dengan perso- alan-persoalan filsafat atau ditafisirkan dengan menggunakan teori- teori filsafat.

 

 Daftar isi

  1. Pengertian Tafsir Falsafi
  2. Sejarah Munculnya Tafsir Falsafi
  3. Kitab Tafsir Falsafi
  4. Kitab Tafsir Falsafi secara Parsial
  5. Referensi

 

Tafsîr al-Falâsifah, yakni menafsirkan ayat-ayat al-Quran berda- sarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti tafsir bi al-ra’y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat.8 Seperti tafsir yang dilakukan al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ikhwan al-Shafa. Menurut Dza- habi, tafsir mereka ini ditolak dan dianggap merusak agama dari dalam.9

 

Al-Quran adalah sumber ajaran dan pedoman hidup umat Islam yang pertama, kita suci ini menempati posisi sentral dalam segala hal yaitu dalam pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan ke-Islaman. Pemahaman ayat-ayat al-Quran melalui penafsiran mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mun- durnya peradaban umat manusia. Di dalam menafsirkan al-Quran terdapat beberapa metode yang dipergunakan sehingga membawa hasil berbeda-beda pula, sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang penafsir masing-masing. Sehingga timbullah berbagai corak penafsiran seperti tafsir sufi, ilmi, adabi, fiqhi, dan falsafi yang tentunya juga akan menimbulkan pembahasan yang luas serta pro- kontra dari zaman ke zaman.

 

Penafsiran terhadap al-Quran telah tumbuh dan berkembang sejak masa  awal Islam. Sejalan dengan kebutuhan umat manusia untuk mengetahui seluruh segi kandungan al-Quran serta intensitas perhatian para ulama terhadap tafsir, maka tafsir al-Quran pun terus berkembang, baik pada masa ulama salaf maupun khalaf bahkan hingga sekarang. Pada tahapan-tahapan perkembangannya tersebut, muncullah karakteristik yang berbeda-beda baik dalam metode maupun corak penafsirannya.

 

Sejarah telah mencatat perkembangan tafsir yang begitu pesat, seiring dengan kebutuhan, dan kemampuan manusia dalam mengin- terpretasikan ayat-ayat Tuhan. Setiap karya tafsir yang lahir pasti me- miliki sisi positif dan negatif, demikian juga tafsir falsafi yang cende- rung membangun preposisi universal hanya berdasarkan logika, ka- rena peran logika begitu mendominasi, maka metode ini kurang memperhatikan aspek historis kitab suci. Namun, ada sisi positifnya yaitu kemampuannya membangun abstraksi dan preposisi makna- makna tersembunyi yang diangkat dari teks kitab suci untuk dikomu- nikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan bahasa.10

 

Dari pemahaman tersebut tidak terlalu berlebihan kiranya kalau kita mengharapkan nantinya terwujud tafsir falsafi ideal, se- buah konsep tafsir falsafi yang kontemporer yang tidak hanya berlan- daskan interpretasi pada kekuatan logika, tetapi juga memberikan perhatian pada realitas sejarah yang mengiringinya. Sebab pada prin- sipnya teks al-Quran tidak lepas dari struktur historis dan konteks sosiokultural di mana ia diturunkan. Dengan demikian, akan lahir tafsir-tafsir filosofis yang logis dan proporsional, tidak spekulatif dan berlebih-lebihan. Dan mungkin harapan tersebut tidak terlalu berle- bihan karena di samping memang kita belum menemukan tafsir yang secara utuh menggunakan pendekatan filosofis, kalaupun ada itu ha- nya pemahaman beberapa ayat yang bisa kita temukan dalam buku- buku mereka.

 

Corak penafsiran ini akan sangat bermanfaat nantinya untuk membuka khazanah ke-Islaman kita, sehingga kita  nantinya akan mampu mengetahui maksud dari ayat tersebut dari berbagai aspek, terutama aspek filsafat. Metode berfikir yang digunakan filsafat yang bebas, radikal dan berada dalam dataran makna tentunya akan mem- peroleh hasil penafsiran yang lebih valid walaupun kebenarannya ma- sih tetap relatif.

 

Kombinasi hasil penafsiran tersebut dengan aspek sosio-his- toris tentunya akan semakin menyempurnakan eksistensinya. Sehing- ga produk tafsir ini jelas akan lebih memikat dan kredibel dari pada tafsir lain.

 

Sejarah Munculnya Tafsir Falsafi

 

Pada saat ilmu-ilmu agama dan sains mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam berkembang di wilayah kekuasaan Islam dan gerakan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah, sedangkan di antara buku- buku yang diterjemahkan itu adalah buku-buku karangan para filoso- fi seperti Aristoteles dan Plato, maka dalam menyikapi hal ini ulama Islam terbagi kepada dua golongan, sebagai berikut:

 

Pertama, golongan ini menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para filosofi tersebut. Mereka tidak mau mene- rimanya, oleh karena itu mereka memahami ada di antara yang ber- tentangan dengan aqidah dan agama. Bangkitlah mereka dengan me- nolak buku-buku itu dan menyerang paham-paham yang dikemuka- kan di dalamnya, membatalkan argumen-argumennya, mengharam- kannya untuk dibaca dan menjauhkannya dari kaum muslimin.11

 

Di antara yang bersikap keras dalam menyerang para filosof dan filsafat adalah Hujjah al-Islam al-Imam, Abu Hamid al-Ghazaly. Oleh karena itu, ia mengarang kitab al-Isyarat dan kitab-kitab lain un- tuk menolak paham mereka, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, demikian pula Imam al-Fakhr al-Razy di dalam kitab tafsirnya mengemukakan paham mereka dan kemudian membatalkan teori-teori filsafat mere- ka, karena bernilai bertentangan dengan agama dan al-Quran.

 

Kedua, sebagian ulama Islam yang lain justru mengagumi filsa- fat. Mereka menekuni dan dapat menerima sepanjang tidak berten- tangan dengan norma-norma (dasar) Islam, berusaha memadukan antara filsafat dan agama, kemudian menghilangkan pertentangan yang terjadi di antara mereka keduanya.12

 

Golongan ini hendak menafsirkan ayat-ayat al-Quran berdasar- kan teori-teori filsafat mereka semata, akan tetapi mereka gagal, oleh karena itu mungkin nash al-Quran mengandung teori-teori mereka dan sama sekali tidak mendukungnya.

 

Muhammad Husain al-Dzahabi menanggapi sikap golongan ini, ia berkata: “Kami tidak pernah mendengar ada seseorang dari pa- ra filosof yang mengagung-agungkan filsafat, yang mengarang satu kitab tafsir al-Quran yang lengkap. Yang kami temukan dari mereka tidak lebih hanya sebagian dari pemahaman-pemahaman mereka ter- hadap al-Quran yang berpencar-pencar dikemukakan dalam buku- buku filsafat karangan mereka”.13

 

Contoh tafsir falsafi adalah seperti yang dikatakan oleh al-Dzahabi menyebutkan penafsiran sebagian filosof yang mengingkari kemungkinan mi’raj Nabi Muhammad SAW, dengan fisik di samping ruhnya. Mereka hanya meyakini kemungkinan mi’raj Nabi Muhammad SAW hanya dengan ruh tanpa jasad.

 

Kitab Tafsir Falsafi  

 

Di antara kitab tafsir yang ditulis berdasarkan corak falsafi ini, yaitu dari golongan pertama yang menolak tafsir filsafat yaitu:

 

  • Mafatih al-Ghaib karya Fakhr al-Razy (w. 606 H); dan
  • Al-Isyarat karya Imam al-Ghazaly (w. 505 H).

 

Sedangkan dari golongan kedua seperti komentar al-Dzahabi tidak pernah mendengar bahwa di antara filosof mengarang kitab tafsir al-Quran secara lengkap,  karena sejauh  ini tidak  lebih  dari sebagian pemahaman terhadap al-Quran secara parsial yang termuat dalam kitab falsafah yang mereka tulis.14 Penulisan secara parsial tafsir falsafi antara lain:

 

Tafsir Falsafi secara Parsial 


  • Fushush al-Hikam karya al-Farabi (w. 339 H);
  • Rasail Ibn Sina karya Ibn Sina (w. 370 H); dan
  • Rasail Ikhwan al-Safa.

 

Footnote Referensi

7  Quraisy Shihab, Sejarah dan ‘Ulum al-Quran (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999), hlm. 182.

 

8 M. Husein al-Dzahabi, Kitab al-Tafsir wa al-Mufassirun (Beirut: Dar al-Fikr. 1995), jilid I, hlm. 419.

 

9 Ibid. jilid II, hlm. 431.

 

10 Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermaneutik (Jakarta: Paramadina. 1996), hlm. 215.

 

11   Ali  Hasal  al-Aridl,  Sejarah  dan  Metodologis  Tafsir  (Jakarta:  PT.  Raja Grafindo Persada. 1994), hlm. 61.

 

12 Ibid.

 

13 Ibid. hlm. 62.

 

14 Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun. hlm. 90. 

 

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Taufiq ibn. t.th. Dirasah fi al-Zuhd wa al-Tasawwuf. Beirut: Dar al-Fikr.

 

Anshori.  2010.  Tafisr  bi  al-Ra’yi:  Memahami  al-Quran  Berdasarkan Ijtihad. Jakarta: Gaung Persada Press.

 

al-Aridl, Ali Hasan. 1994. Sejara dan Metodologi Tafsir. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

 

al-Dzahabi, Muhammad Husein. 1995. Kitab al-Tafsir wa al-Mufassirun. Beirut: Dar al-Fikr.

 

Ghani, Bustami Abdul. 1994. Beberapa Aspek Ilmiah tentang al-Quran. Jakarta: Litera Antar Nusa.

 

Goldziher, Ignaz. 1983. Madzahib al-Tafsir terj. Abdul Halim al-Najar. Beirut: Dar Iqra’.

 

Hanafi, A. 1979. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Hidayat, Komaruddin. t.th. Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermaneutik. Jakarta: Pramadina.

 

Nasution, Harun. 1978. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

 

Qathan, Manna’ al-. t.th. Mabahits fi ‘Ulum al-Quran. Kairo: Maktabah Wahbah.

 

ash-Shiddieqy, M. Hasbi. 1990. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran. Jakarta: Bulan Bintang.

 

Supiana dan M. Karman. 2002. Ulumul Quran. Bandung: Pustaka Islamika.

 

Syihab, Quraisy. 1999. Sejarah dan Ulumul Quran. Jakarta: Pustaka Firdaus.

 

al-Thabari,  Imam.  t.th.  Tafsir  al-Thabari.  Kairo:  Maktabah  Ibnu Taimiyah.

 

Tim  Penyusun  Kamus  Pusat  Bahasa.  2005.  Kamus  Besar  Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

 

Zayd,  Abu.  t.th.  Hakadza  Takallama  Ibn  Arabi.  Beirut:  Markaz Dirasat.

 

LihatTutupKomentar