Tafsir Ilmi
A. Pengertian Tafsir Ilmi Dalam Menafsirkan Al-Qur’an
Tafsir ilmi terdiri atas dua kata yaitu tafsir yang secara bahasa mengikuti wazan “taf‟il”, artinya menjelaskan, menyingkap dan menerangkan makna- makna rasional.1 Ilmi yang secara bahasa ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan tafsir ilmi adalah sebuah penafsiran tentang ayat-ayat al-Qur‟an melalui pendekatan ilmu pengetahuan, seperti Sains, ilmu bahasa/sastra, ilmu sosial, ilmu politik, dan ilmu pengetahuan yang lainnya. Jadi, dapat didefinisikan sebagai penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an berdasarkan pendekatan ilmiah. Ayat-ayat yang ditafsirkan adalah ayat kauniyah2, mendalami tentang teori-teori hukum alam yang ada dalam al-Qur‟an, teori-teori pengetahuan umum dan sebagainya.3 Lebih lanjut Husain Adz-Dzahabi memberikan pengertian tafsir ilmi yaitu:
Daftar isi
- Pengertian Tafsir Ilmi Dalam Menafsirkan Al-Qur’an
- Ayat-Ayat Kauniyah Landasan Tafsir Ilmi
- Kaidah Kebahasaan
- Memperhatikan Korelasi Ayat
- Berdasarkan Fakta Ilmiah yang Telah Mapan
- Pendekatan Tematik
- Arah dan tujuan Tafsir ilmi
- Tokoh Tafsir ilmi Dan Kitab Tafsirnya
- Tafsir al-Kabir / Mafatih Al-Ghaib (Fakhruddin Al-Razi)
- Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur‟an al-Karim (Thanthawi Al-Jauhari)
- Zaghlul al-Najjar
- Footnote dan Referensi
-
Metode Tafsir
- Pendekatan Tafsir
- Tafsir Riwayah
- Tafsir Dirayah
- Corak Tafsir
- Kembali ke:
Ilmu Tafsir
التفسير الذى يُحَكِّم الاصطلاحات العلمية فى عبارات القرآن، ويجتهد فى استخراج مختلف العلوم والآراء الفلسفية منها
Artinya: “Tafsir yang menetapkan istilah ilmu-ilmu pengetahuan dalam penuturan al-Qur‟an. Tafsir ilmi berusaha menggali dimensi ilmu yang dikandung al-Qur‟an dan berusaha mengungkap berbagai pendapat keilmuan yang bersifat falsafi”.4 Sedangkan „Abd Al-Majid „Abd As-Salam Al-Mahrasi juga memberikan batasan sama terhadap tafsir ilmi, yaitu:“Tafsir yang mufasirnya mencoba menyingkap ibarat-ibarat dalam al-Qur‟an yaitu mengenai beberapa pandangan ilmiah dan istilahnya serta mengerahkan segala kemampuan dalam menggali berbagai problem ilmu pengetahuan dan pandangan-pandangan yang bersifat falsafi”.5
Dijelaskan pula mengenai tafsir ilmi yaitu penafsiran corak yang berusaha untuk mengungkap hubungan ayat-ayat kauniyah dalam al-Qur‟an dengan bidang ilmu pengetahuan untuk menunjukkan kebenaran mukjizat al-Qur‟an.6 Meskipun al-Qur‟an bukan kumpulan ilmu pengetahuan, namun di dalamnya banyak terdapat isyarat yang berkaitan erat dengan ilmu pengetahuan, serta motivasi manusia mendalaminya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tafsir ilmi adalah penafsiran al-Qur‟an melalui pendekatan ilmu pengetahuan sebagai salah satu dimensi ajaran yang terkandung dalam al-Qur‟an.7 Atau dapat kita pahami bahwa mufasir menjelaskan makna yang terkandung dalam al-Qur‟an dengan metode atau pendekatan ilmiah atau ilmu pengetahuan.
Tafsir ilmi berprinsip bahwa al-Qur‟an mendahului ilmu pengetahuan modern, sehingga mustahil al-Qur‟an bertentangan dengan sains modern.8 Dari segi pendekatan Tafsir al-Qur‟an terbagi pada dasarnya dua yaitu Tafsir bi al- Matsur (riwayah) dan Tafsir bi al-Ra‟yi (akal), namun ada pula yang menggabungkan keduanya secara siginifikan, yaitu mengambil riwayat yang merupakan hal penting dalam memahami al-Qur‟an serta menggunakan rasio dan penalaran yang juga merupakan satu keharusan dalam menafsirkannya disebut dengan al-Tafsri al-Atsary al-Nazhariy atau al-Naqdiy.9 Dalam hal ini, tentunya riwayat-riwayat yang digunakan adalah riwayat yang shahĩh, yang dapat dipertanggungjawabkan dan penalarannya pun sesuai dengan al-Qur‟an dan sunnah serta mufasirnya sendiri memenuhi persyaratan-persyaratan yang diperlukan.10 Menurut Pengamatan penulis, dari klasifikasi tersebut maka tafsir ilmi bisa termasuk tafsir bi al-Ra‟yi. Sedangkan dari segi dan aspek pembahasannya, tafsir ilmi bisa disebut sebagai penjelasan salah satu aspek kemukjizatan al-Qur‟an, yaitu kemukjizatan ilmiah.
Dari pandangan tersebut, maka alasan yang mendorong para mufassir menulis tafsirnya dengan corak ini adalah di samping banyaknya ayat-ayat al- Qur‟an yang secara eksplisit maupun implisit memerintah untuk menggali ilmu pengetahuan, juga ingin mengetahui dimensi kemukjizatan al-Qur‟an dalam bidang ilmu pengetahuan modern.11
Menganalisis teks wahyu tentu saja akan berbeda dengan teks lainnya. Hal itu karena wahyu dipandang sebagai teks yang sarat dengan makna dan penafsirannya dipandang relevan dan sesuai dengan segala kondisi, baik objek, zaman atau tempat di mana seorang mufasir itu berada.12
Ayat-ayat al-Qur‟an yang menyinggung tentang persoalan ilmu-ilmu sains dan teknologi oleh para ahli tafsir disebut sebagai ayat kauniyah atau „ulûm.13 Adapun beberapa kaidah yang diterapkan oleh para aktivis tafsir ilmi dalam melakukan analisis terhadap ayat al-Qur‟an. Kaidah-kaidah tafsir Ilmi menganalisis ayat kauniyah sebagai berikut:
- Kaidah Kebahasaan
Kaidah kebahasaan merupakan syarat mutlak bagi mereka yang ingin memahami al-Qur‟an. Baik dari segi bahasa Arabnya, dan ilmu yang terkait dengan bahasa seperti í‟rãb, nahwu, tashrĩf, dan berbagai ilmu pendukung lainnya yang harus diperhatikan oleh para mufasir.14
Kaidah kebahasaan menjadi penting karena ada sebagian orang yang berusaha memberikan legitimasi dari ayat-ayat al-Qur‟an terhadap penemuan ilmiah dengan mengabaikan kaidah kebahasaan ini.15 Oleh karena itu, kaidah kebahasaan ini menjadi prioritas utama ketika seseorang hendak menafsirkan al-Qur‟an dengan pendekatan apapun yang digunakannya, terlebih dalam paradigma ilmiah.
- Memperhatikan Korelasi Ayat
Seorang mufasir yang menonjolkan nuansa ilmiah disamping harus memperhatikan kaidah kebahasaan seperti yang telah disebutkan, ia juga dituntut untuk memperhatikan korelasi ayat (munãsabah al-ayat) baik sebelum maupun sesudahnya. Mufasir yang tidak mengindahkan aspek ini tidak menutup kemungkinan akan tersesat dalam memberikan pemaknaan terhadap al-Qur‟an.
Sebab penyusunan ayat-ayat al-Qur‟an tidak didasarkan pada kronologi masa turunnya, melainkan didasarkan pada korelasi makna ayat- ayatnya, sehingga kandungan ayat-ayat terdahulu selalu berkaitan dengan kandungan ayat kemudian.16 Sehingga dengan mengabaikan korelasi ayat dapat menyesatkan pemahaman atas suatu teks.
- Berdasarkan Fakta Ilmiah yang Telah Mapan
Sebagai kitab suci yang memiliki otoritas kebenaran mutlak, maka ia tidak dapat disejajarkan dengan teori-teori ilmu pengetahuan yang bersifat relatif. Oleh karena itu, seorang mufassir hendaknya tidak memberikan pemaknaan terhadap teks al-Qur‟an kecuali dengan hakikat-hakikat atau kenyataan-kenyataan ilmiah yang telah mapan dan sampai pada standar tidak ada penolakan atau perubahan pada pernyataan ilmiah tersebut, serta berusaha menjauhkan dan tidak memaksakan teori-teori ilmiah dalam menafsirkan al- Qur‟an.17 Fakta-fakta al-Qur‟an harus menjadi dasar dan landasan, bukan menjadi objek penelitian karena harus menjadi rujukan adalah fakta-fakta al- Qur‟an, bukan ilmu yang bersifat eksperimental.18
- Pendekatan Tematik
Corak tafsir ilmi pada awalnya adalah bagian dari metode tafsir tahlili (analitik). Sehingga kajian tafsir ilmi pembahasannya lebih bersifat parsial dan tidak mampu memberikan pemahaman yang utuh tentang suatu tema tertentu. Akibatnya pemaknaan suatu teks yang semula diharapkan mampu memberikan pemahaman yang konseptual tentang suatu persoalan, tetapi justru sebaliknya, membingungkan bagi para pembacanya.19
Misalnya ayat-ayat al-Qur‟an yang berbicara tentang konsep penciptaan manusia, yang dalam terminologi al-Qur‟an diilustrasikan sebagai suatu proses evolusi dengan menggunakan beberapa term yang berbeda-beda. Satu sisi manusia diciptakan dari tanah, namun di sisi lain ia diciptakan dari air, atau air mani yang hina. Jika ayat-ayat al-Qur‟an yang memiliki term yang sama ini tetap dikaji secara parsial dan berdiri sendiri, tentu konsep yang dihasilkan pun juga bersifat parsial dan tidak utuh. Akibatnya, pemaknaan atas persoalan tersebut akan menjadi pertentangan dalam al-Qur‟an.20
M.Quraish Shihab mengemukakan bahwa perlu digaris bawahi dan perlu di perhatikan, dalam usaha memahami atau menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an yang mengambil corak ilmi. Prinsip-prinsp dasar tersebut adalah:
-
Setiap muslim, bahkan setiap orang, berkewajiban untuk mempelajari dan
memahami kitab suci yang dipercayainya, walaupun hal ini bukan berarti bahwa
setiap orang bebas untuk menafsrikan atau menyebarluaskan
pendapat-pendapatnya tanpa memenuhi seperangkat syarat-syarat
- Al-Qur‟an diturunkan bukan hanya khusus ditujukan untuk orang-orang Arab yang hidup pada masa Rasul dan tidak pula hanya untuk masyarakat abad ke-20, tetapi untuk seluruh manusia hingga akhir zaman. Mereka semua diajak berdialog oleh al-Qur‟an serta dituntut menggunakan akalnya dalam rangka memahami-memahami petunjuk-petunjuk-Nya. Dan kalau disadari bahwa akal manusia dan hasil penalarannya dapat berbeda-beda akibat latar belakang pendidikan, kebudayaan, pengalaman, kondisi social, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka adalah wajar apabila pemahaman atau penafsiran seseorang dengan yang lainnya, baik dalam satu generasi atau tidak, berbeda-beda pula.
- Berpikir secara kontemporer sesuai dengan perkembangan zaman dan iptek dalam kaitannya dengan pemahaman al-Qur‟an tidak berarti menafsirkan al- Qur‟an secara spekulatif atau terlepas dari kaidah-kaidah penafsiran yang telah disepakati oleh para ahli yang memiliki otoritas dalam bidang
- Salah satu sebab pokok kekeliruan dalam memahami dan menafsirkan a- Qur‟an adalah keterabatasan pengetahuan seseorang menyangkut subjek bahasan ayat-ayat al-Qur‟a Seorang mufasir mungkin sekali terjerumus ke dalam kesalahan apabila ia menafsirkan ayat-ayat kauniyah tanpa memiliki pengetahuan yang memadai tentang astronomi, demikian pula dengan pokok- pokok bahasan ayat yang lain.
Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip pokok di atas, ulama-ulama tafsir memperingatkan perlunya para mufasir khususnya dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan penafsiran ilmiah untuk menyadari sepenuhnya sifat penemua- penemuan ilmiah, serta memperhatikan secara khusus bahasa dan konteks ayat- ayat al-Qur‟an.21
Oleh karena itu pada perkembangannya, paradigma tafsir ilmiah menggunakan metode tafsir tematik yaitu penafsiran ayat-ayat dengan menentukan terlebih dahulu suatu topik, lalu ayat-ayat tersebut dihimpun dalam satu kesatuan yang kemudian melahirkan sebuah teori.22 Dengan demikian, bagi seorang mufasir ilmi sebaiknya menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur‟an yang mempunyai kesamaan tema pembahasan, sehingga dapat sampai kepada makna hakiki.23
Memanfaatkan ilmu pengetahuan manusia dengan tujuan untuk menguatkan kandungan ayat-ayat al-Qur'an. Dalam beberapa contoh yang tidak sedikit dapat kita jumpai seorang mufasir atau penulis memanfaatkan penemuan- penemuan ilmiah baru untuk memperkuat ayat-ayat al-Qur'an yang membahas masalah tersebut tanpa ia ingin menuntaskan sebuah permasalahan dengan menyebutkan penemuan-penemuan ilmiah itu. Kita dapat menemukan contoh- contoh untuk hal ini dalam beberapa permasalahan berikut ini:
- Peranan air dalam kehidupan; "Dan Kami menjadikan dari air segala sesuatu yang " (Q.S. al-Anbiyã' /21:30)
- Realita berpasangan-pasangan di alam makhluk hidup; "Dan dari setiap sesuatu Kami jadikan berpasangan supaya kamu " (Q.S. al- Dzãriyat/51:49)
- Peran angin dalam mewujudkan awan dan hujan; "Dan Allah adalah Dzat yang telah mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan, dan kemudian Kami menggiring awan tersebut ke arah negeri yang " (Q.S. Fãthir/35:9) Kita juga dapat melihat hal ini di dalam surah an-Nur, ayat 43, surah al-Rũm, ayat 48, dan surah al-A'rãf, ayat 57.
Menyingkap rahasia-rahasia pemaparan al-Qur'an di dalam buku-buku tafsir masa lalu membuktikan bahwa para penulis tafsir itu hanya mencari kemukjizatan al-Qur'an di dalam kefasihan kata ayat-ayat al-Qur'an. Sementara itu, pada abad-abad terakhir ini, di bawah pengaruh penemuan-penemuan ilmiah telah terbukti bahwa penjelasan al-Qur'an memiliki presisi24, elegansi25, dan poin-poin yang sangat jeli.26 Sebagai contoh atas hal ini, kita dapat memperhatikan dan merenungkan realita-realita berikut ini:
- Dalam menyifati bulan, al-Qur'an menggunakan kosa kata "nur" (cahaya), tetapi ketika menyifati matahari, ia menggunakan kosa kata "sirâj" (pelita). “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.”(Q.S. Yũnus/10:5) atau ia menegaskan bahwa menemukan arah di malam hari dapat dicapai dengan melihat cahaya bintang-bintang. "Dan dengan bintang-bintang mereka mendapatkan petunjuk." (Q.S. Al-Nahl/16:16)
- Tentang gerakan angin, al-Qur'an menggunakan ungkapan "tashrîf" yang berarti memutar dan membolak-balikkan. "... dan di dalam tiupan "
(Q.S. al-Jãtsiyah/45:5) Ini adalah sebuah ungkapan yang sangat jeli tentang gerakan dan tiupan angin, sebagaimana hal itu telah dibuktikan oleh ilmu ramalan cuaca.
Memanfaatkan penemuan-penemuan ilmiah baru untuk menafsirkan dan menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an. Untuk menjelaskan hal ini, kita dapat menengok contoh-contoh berikut ini. Kami akan menyebutkan contoh-contoh tersebut tanpa kami menganalisis kebenaran atau kesalahannya.
- Allah berfirman,"Kami mengirimkan angin-angin untuk " (Q.S.al-Hijr/15:22). Ayat ini ditafsirkan dengan pertemuan aliran listrik positif dan negatif di awan.
- Allah berfirman, "Dan setelah itu, Ia memperluas " (Q.S.al- Nãzi'at/79:30). Ayat ini ditafsirkan dengan kebermunculan benua-benua di dunia ini.
- Allah berfirman, "Kamu tidak akan dapat menyusup [ke batas-batas langit] kecuali dengan kekuatan [yang luar biasa]."(Q.S.Al-Rahman/55:33) Ayat ini ditafsirkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Semua penafsiran itu masih disertai dengan kehati-hatian dan bersifat moderatif. Akan tetapi, di beberapa kalangan mufassirin kita melihat keteledoran dan keberlebihan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an dengan rangka mendukung metode panafsiran ilmiah.
Adapun tokoh-tokoh penafsir ilmi beserta kitabnya yang berusaha mencoba menafsirkan ayat-ayat kauniyah dalam Al-Qur‟an antara lain yaitu:
- Tafsir al-Kabir / Mafatih Al-Ghaib (Fakhruddin Al-Razi)
Pengarangnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Umar bin Husain bin Hasan bin Ali al-Tamimi, Al-Bakry, Al-Thabari, Al-Razi, dia punya nama panggilan Fahruddin, dan dikenal juga dengan nama Ibn Khatib as Syafi‟i. Lahir tahun 544 H.27 Dia merupakan orang yang cerdas pada masanya dan banyak mengumpulkan ilmu-ilmu, dan menjadi imam dalam ilmu tafsir dan kalam (tauhid), ilmu aqliyah, ilmu bahasa. Dia sangat terkenal dan banyak ulama‟ yang menimba ilmu darinya. Dia belajar pertama kali dengan ayahnya Dziyauddin, yang terkenal dengan nama Khatib Al-Rayyi. Dia juga belajar dari Kamal Al-Sam‟ani, Majd Al-Jili, dan ulama‟ lainnya. Dia menguasai banyak bahasa, Arab dan lainnya. Dia banyak memberikan nasihat dan sering menangis ketika memberikan nasihat-nasihatnya. Kitab-kitab karangannya adalah Tafsir Kabir yang terkenal dengan Mafãtih al-Ghaib, Tafsir Surat Fatihah.28 Ciri-ciri utama tafsir Mafatih al-Ghaib yaitu antara lain:
- Sangat memperhatikan pengungkapan tentang munasabah ayat-ayat dan surat-surat dalam al-Qur‟an, analisis susunan ayat.
- Sering memperdalam pembahasannya tentang ilmu-ilmu matematika, filsafat, ilmu alam, serta ilmu-ilmu lainnya yang dianggapnya baru dikalangan agamawan di masanya (ayat-ayat kauniyah).
- Melakukan penolakan dan bantahan terhadap pandangan filosof yang bertentangan dengan paham ahli sunah, juga menolak mu‟
- Tekanan pembahasan ar-Razi adalah masalah aqidah,29
- Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur‟an al-Karim (Thanthawi Al-Jauhari)30
Thanthawi Jauhari adalah seorang seorang ulama modern yang sangat fanatik terhadap corak tafsir Ilmi. Dalam muqaddimah kitab tafsirnya, dijelaskan bahwa sejak dulu ia sering menyaksikan kejaiban alam, mengagumi dan merindukan keindahannya baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi, revolusi matahari, perjalanan bulan, bintang yang bersinar, awan yang berarak, kilat yang menyambar dan listrik yang membakar serta keajaiban-keajaiban lainnya. Itulah yang mendorong Thanthawi menyusun pembahasan-pembahasan yang dapat mengkompromikan pemikiran Islam dengan kemajuan Studi Ilmu Alam.31
Karya monumental Tanthowi Jauhari (w. 1940), yaitu Tafsir al- Jawãhir, cukup representatif untuk diajukan sebagai produk tafsir ilmi. Kitab itu seperti dijelaskan Baljon, dapat dikualifikasikan sebagai pegangan ilmu lainnya. Di dalamnya terdapat pula kaedah-kaedah yang menyeluruh dan prinsip-prinsip umum tentang hukum alam yang boleh kita saksikan, fenomena-fenomena alam yang boleh kita lihat dari waktu ke waktu dan hal-hal lain yang boleh diungkap oleh ilmu pengetahuan modern dan kita menduga itu semua sebagai suatu yang baru. Itu semua sebenarnya bukan suatu yang baru menurut al-Qur‟an, sebab kesemuanya telah diungkap dan diisyaratkan oleh ayat-ayat muhkamat dalam al Quran.32ar
- Zaghlul al-Najjar
Pendukung tafsir ilmi zaman modern, Zaghlul al-Najjar, seorang pakar geologi asal Mesir,33 dan sejak tahun 2001 menjadi Ketua Komisi Kemukjizatan Sains Al-Qur'an dan Al-Sunnah di "Supreme Council of Islamic Affairs" Mesir. Zaghlul berkeyakinan penuh bahwa al-Qur'an adalah kitab mukjizat dari aspek bahasa dan sastranya, akidah-ibadah-akhlaq (tasyri'), informasi kesejarahannya, dan tak kalah pentingnya adalah dari sudut aspek isyarat ilmiahnya. Dimensi kemukjizatan yang disebut terakhir ini maksudnya adalah keunggulan kitab ini yang memberikan informasi yang menakjubkan dan akurat tentang hakikat alam semesta dan fenomenanya yang mana ilmu terapan belum sampai ke hakikat itu kecuali setelah berabad-abad turunnya al-Qur'an.
Al-Qur'an menyuruh umat manusia untuk merenungi proses penciptaan yang tak pernah disaksikan oleh manusia, Zaghlul menilai dalam rangka mengkompromikan konteks dan tujuan ayat-ayat al-Qur‟an, penciptaan langit dan bumi, kehidupan, juga manusia yang memang terjadi di luar kesadaran manusia yang mutlak. Akan tetapi, Allah swt. menyisakan beberapa bukti di lempengan bumi dan lapisan langit yang dapat membantu manusia untuk menyatakan asumsi proses penciptaan. Akan tetapi asumsi yang bisa diraih ilmuan di bidang ini baru sebatas hipotesa dan teori belaka, dan belum sampai pada tingkatan hakikat/fakta keilmuan. Zaghlul menilai bahwa ilmu terapan di bidang hakikat penciptaan tak dapat melampaui teorisasi belaka. Varian teori penciptaan ini pun tergantung pada asumsi dan keyakinan para pencetusnya. Kesimpulan ilmuan yang beriman akan berbeda dengan ilmuan atheis atau yang netral agama. 34
Pada posisi inilah, bagi ilmuan muslim tersedia cahaya Allah swt. yang terdapat dalam ayat al-Qur'an atau hadis Nabi. Cahaya yang diberikan "gratis" oleh Allah dan Rasul-Nya itu dapat membantu ilmuan muslim untuk mengangkat salah satu teori dan asumsi sains ke tingkat hakikat ilmiah, bukan karena ilmu terapan itu yang menetapkannya, akan tetapi lebih karena terdapat isyarat hakikat ilmiah itu dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Artinya kita telah memenangkan ilmu dengan informasi al-Qur'an atau Sunnah dan bukan sebaliknya, memenangkan al-Qur'an dengan bantuan ilmu. Di sinilah letak keunikan dan keistimewaan teori i'jaz yang diajukan Zaghlul.
Masih banyak tokoh dan karya tafsir ilmi, antara lain : Al-Tafsir al-ilmi li al-Ayat al-Kauniyah fi al-Qur‟an (Hanafi Ahmad), Tafsir al-Ayãt al-Kauniyah (Abdullah Syahatah), Al-Isyãrat Al-ilmiyah fi al-Qur‟an al-Karim (Muhammad Syawqi Al-Fanjari), dan Al-Qur‟an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Ahmad Bayquni).35
Contoh ayat dengan penafsiran al-ilmi yaitu salah satunya penafsiran pada: Q.S. Al Baqarah/2: 29,Q.S. At Thalaq/65: 12, Q.S. Nuh/71: 15-16, Q.S. An Naba‟/78: 12, Q.S. Al A‟raf/7: 54
Surah Al-Baqarah ayat 29 :
هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا ثُمَّ اسْتَوٰٓى اِلَى السَّمَاۤءِ فَسَوّٰىهُنَّ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ ۗ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
Artinya : Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.
Surah Al-Thalaq ayat 12 :
اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ وَّمِنَ الْاَرْضِ مِثْلَهُنَّۗ يَتَنَزَّلُ الْاَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ەۙ وَّاَنَّ اللّٰهَ قَدْ اَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا ࣖ
Artinya : Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.
Surah Nũh ayat 15-16 :
Artinya : Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat? Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita?
وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًاۙ
Artinya : dan Kami bina di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh,
Artinya : Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah- Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam.
Penafsiran dari ayat-ayat di atas tersebut yaitu memang ada beberapa skala benda langit, misalnya tata surya ada matahari, ada planet beserta satelitnya. Miliaran tata surya membentuk galaksi. Miliaran galaksi membentuk alam semesta. Dan seluruh alam ini berisi sejumlah alam semesta. Dengan demikian alam punya 7 dimensi dan ini yang dimaksud dengan 7 langit yaitu berupa dimensi lapisan-lapisan seperti kue lapis yang berurutan.
Di sisi lain, 7 langit kemungkinan adalah 7 lapisan atmosfer yang dekat dengan bumi, yaitu trophosfer, tropopause, stratosfer, stratopause, mesofer, mesopause, dan termosfer. Pembagian ini berdasarkan temperatur suhu tiap-tiap lapis. Lapisan-lapisan tersebut bersifat kokoh dalam pengertian menyelimuti dan melindungi bola bumi secara kokoh karena ada gravitasi bumi.36 Tujuh langit juga bisa ditafsirkan 7 dimensi ruang dan waktu. Dalam ilmu fisika terdapat empat gaya fundamental di jagad raya ini, yaitu gaya elektromagnetik, gaya nuklir lemah, gaya nuklir kuat, dan gaya gravitasi. Empat gaya tersebut terbentuk dari ledakan dahsyat dari satu gaya tunggal yaitu Grand Unified Force. Ketersatuan gaya-gaya tersebut disatukan dengan geometri ruang dan waktu yang sekarang ini kita berada di dalamnya.37
Ayat ini menerangkan bahwa Allah swt. menyempurnakan kejadian langit dengan menjadikan tujuh lapis dalam dua masa. Masa yang dimaksud, sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah dua periode yang rentang waktunya sangat panjang. Pada awalnya, Allah swt. menciptakan langit pertama, dan kemudian disempurnakan menjadi tujuh langit yang berlapis-lapis.
Selanjutnya dijelaskan bahwa setiap langit memiliki fungsi dan keadaan yang berbeda. Masing-masing langit mempunyai kegunaan yang berbeda untuk kepentingan makhluk yang ada di bawahnya, misalnya: langit yang memperkuat gaya tarik planet-planet, sehingga benda-benda tetap bergerak pada orbitnya, tidak oleng, atau menyimpang yang mungkin bisa menyebabkan tabrakan satu dengan lainnya.
Footnote dan Referensi
1 Manna‟ al-Qaththan, Mabahits Fi „Ulũm Al-Qur‟an, terj. Aunur Rafiq el-mazni (Jakarta:pustaka al-kautsar,2004), 407-408.
2 Kata kauniah berasal dari akar kata al-kaun, yang berarti yang dijadikan, makhluk, dan alam semesta. Berdasarkan makna bahasa tersebut, tafsir kauniah dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memberi penafsiran yang bersifat ilmu pengetahuan kepada ayat-ayat al-Qur‟an. Tafsir kauniah menggunakan temuan-temuan ilmiah untuk menafsirkan makna dan maksud dari suatu ayat al-Qur‟an Ayat-ayat kauniah adalah ayat-ayat yang berbicara tentang hukum, data, atau setidaknya mengandung isyarat ilmiah. Para ulama telah memperbincangkan kaitan antara ayat- ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur‟an dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang, sejauh mana paradigma-paradigma ilmiah itu memberikan dukungan dalam memahami ayat-ayat al-Qur‟an dan penggalian berbagai ilmu pengetahuan, teori-teori baru dan hal-hal yang ditemukan setelah lewat masa turunnya al-Qur‟an, yaitu hukum-hukum alam, astronomi, teori-teori kimia dan penemuan-penemuan lain yang dengannya dapat dikembangkan ilmu kedokteran, astronomi, fisika, zoologi, botani, geografi, dan lain-lain. Ali Hasan al-„Aridl, Sejarah dan Metedologi Tafsir. Terjemah Ahmad Arkom, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 62-63.
3 Mohamad Gufron & Rahmawati, Ulumul Qur‟an: Praktis dan Mudah, (Yogyakarta: Teras, 2013), 195.
4 Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an, (Pustaka Setia: Bandung 2004), 109.
5 Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an, 109.
6 Mohamad Gufron & Rahmawati, Ulumul Qur‟an: Praktis dan Mudah, 195.
7 Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an, 108.
8U. Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual Usaha Memaknai Pesan Al-Qur‟an, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), 34.
9 Abdullah karim, Rasionalitas penafsiran Ibnu „Athiyah, (Banjarmasin:IAIN Antasari Press,2015), 81.
10 Abdullah karim, Rasionalitas penafsiran Ibnu „Athiyah, 91.
11 Ali Hasan al-„Aridl, sejarah dan metedologi tafsir. Terjemah Ahmad Arkom,, 65-68.
12 Andi rosadisastra, metode tafsir ayat-ayat sains dan sosial,(Jakarta: Amzah, 2007), 146
13 Ahmad Izzan, Ulumul Quran, (Bandung: Tafakur,2013), 175.
14 M. Nor Ichwan, Tafsir Ilmy, (Yogyakarta: Menara Kudus Jogja. 2004), 161.
15 M. Nor Ichwan, Tafsir Ilmy, 162.
16 M. Nor Ichwan, Tafsir Ilmy, 163.
17 M. Nor Ichwan, Tafsir Ilmy, 164.
18 M. Nor Ichwan, Tafsir Ilmy,hal.169 Seorang mufasir harus memiliki ilmu pengetahuan lainnya, seperti perubahan sosial dan ilmu pengetahuan lainnya. Hal ini didasarkan atas prinsip al-Qur‟an yang diturunkan sebagai rahmatan lil „alamin. Dengan demikian, maka al-Qur‟an akan sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat (shalih li kulli zaman wa makan). Sebagai contoh Surat al „Alaq ayat 2: Ayat tersebut mengungkap tentang penciptaan manusia. Para ulama berpendapat mengenai kejadian manusia dari „alaqa yaitu darah beku atau segumpal darah yang merupakan keadaan janin pada hari pertama kejadiannya. Pandangan lain dikemukakan oleh Muraice Maurice Bucaille, yang menegaskan bahwa sesuai dengan penemuan kedokteran kata „alaa seharusnya diterjemahkan dengan “sesuatu yang tergantung”, bukan darah beku, karena darah beku tidak dalam proses kejadian manusia dan yang dikenal adalah ovum yang dibuahi melekat pada dinding rahim setelah beberapa hari. Dalam hal ini, Quraisy Shihab juga memberikan perbandingan antara penegasan ayat al-Qur‟an dan memberikan penegasan dan konsepsi embriologi tentang proses kejadian manusia. Dengan demikian, kaidah ilmu pengetahuan sangat diperlukan juga dalam memahami al-Qur‟an.
19Ahmad Fuad Pasya, Dimensi Sains Al-Qur‟an Menggali Ilmu Pengetahuan dari Al- Qur‟an (Solo: Tiga Serangkai, 2004), 47.
20 M. Nor. Ichwan, Tafsir Ilmy, 171.
21 M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an; Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, 205-206.
22 M. Nor. Ichwan, Tafsir Ilmy, 171.
23Ahmad as-shouwy DKK, mukjizat al-Qur‟an dan as-sunah tentang IPTEK, (Jakarta: gema insani press,1995). Hal. 26-27.
24 http://kbbi.web.id/presisi. Diakses 12 Desember 2016. Artinya ketelitian.
25 http://kbbi.web.id/elegansi. Diakses 12 Desember 2016. Artinya kerapian.
26Muhammad Nor Ichwan Memasuki Dunia Al-Qur‟an(Semarang: Lubuk Raya, 2001), 253.
27Muhammad al-raji fakh al-din, tafsir al-fakhr al-raji, (Beirut: darul fikri, 1993 M/1414H), 4.
28 Muh. Husein Azd-Dzahabi, At-Tafsir wa al-Mufassirin, (Mesir, 1976), 290.
29Didin Saefuddin Buchori, Pedoman Memahami Al-Qur‟an, (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005,) 216-217.
30 Ahmad Izzan, metodologi ilmu tafsir, 202.
31Nanang Gojali, Manusia, Pendidikan dan Sains dalam Perspektif Tafsir hermeneutic,
121-122.
32Didin Saefudin Bukhori, Pedoman Memahami Al-Qur‟an, 216-217.
33 Selamat Amir DKK, epistemology pentafsiran saintifitik al-Qur‟an: tinjauan terhadap
pendekatan Zaghlul al-Najjar dalam pentafsiran ayat al-kauniyat, jurnal prespektif. Jilid 7. 59-60.
34 Selamat Amir DKK, epistemology pentafsiran saintifitik al-Qur‟an: tinjauan terhadap
pendekatan Zaghlul al-Najjar dalam pentafsiran ayat al-kauniyat, 61.
35 Ahmad Izzan, metodologi ilmu tafsir, 202.
36Ahmad Hanafi, Tafsir al-Ilmi li al-Ayati al-Kauniyah fi Al-Qur‟an, (Mesir: Darul Ma‟arif. 1119), 131.
37Kemenag RI, Al Quran dan Tafsirnya, 2012, Jakarta: PT Sinergi Pustaka Indonesia