Tafsir Maudhui
Tafsir maudhu’i adalah metode tafsir yang cara kerjanya dengan menghimpun ayat-ayat Al Qur’an yang mempunyai maksud yang sama membicarakan satu topik
Daftar isi
- Pengertian Tafsir Maudhu’i
 - Sejarah Tafsir Maudhu’i
 - Langkah-langkah dalam Tafsir Maudhu’i
 - Keistemewaan dan Kekurangan Tafsir Maudhu’i
 - Footnote dan Referensi 
 - 
    Metode Tafsir 
 - Pendekatan Tafsir
 - Tafsir Riwayah
 - Tafsir Dirayah 
 - Corak Tafsir 
 - Kembali ke: Ilmu Tafsir
 
  BAB II LANDASAN TEORI
A. Tafsir Maudhu’i
  
  1.    Pengertian Tafsir Maudhu’i
Tafsir maudhu’i merupakan salah satu metode tafsir yang ditawarkan oleh
  para ahli untuk memahami makna dalam Al Qur’an, untuk dapat mengetahui
  bagaimana cara kerja tafsir maudhu’i maka terlebih dahulu harus diketahui
  makna dari tafsir maudhu’i.
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”, berasal dari kata al Fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan “daraba-yadribu” dan nasara-yansuru”. Dikatakan; “fasara (asy-syai’a) yafsiru” dan “yafsuru, fasran”, dan “fasarahu” artinya abanahu (menjelaskannya). Kata at tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup.1
Dalam kamus Lisanul Arab kata al fasr berarti menjelaskan, atau menerangkan dan menyingkap,2 sedangkan kata at tafsir menyingkap maksud sesuatu lafadz yang musykil, pelik. Dalam Al Qur’an dinyatakan dalam QS, al Furqan; 33
  Artinya :  “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa)
  sesuatu  yang  ganjil,  melainkan  Kami 
  datangkan  kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya,
  Maksudnya: Setiap kali mereka datang kepada Nabi Muhammad s.a.w membawa suatu
  hal yang aneh berupa usul dan kecaman, Allah menolaknya dengan suatu yang
  benar dan nyata.”3
Dengan demikian jelas makna tafsir secara bahasa
  adalah penjelasan, penyingkapan dan menampakkan makna suatu kata, suatu kata
  itu juga dipakai untuk sesuatu yang konkrit.4 
Sedangkan tafsir secara terminologi atau istilah para ulama dalam mendefinisikan berbeda pendapat dalam sisi redaksinya, namun jika dilihat dari segi makna dan tujuannya memiliki pengertian yang sama.
Tafsir menurut Az Zarkasy dalam kitab Al Burhan
  اﻟﺘﻔﺴﲑ ﻋﻠﻢ ﻳﻌﺮف ﺑﻪ ﻓﻬﻢﻛﺘﺎب اﷲ اﻟﻨﺰل ﻋﻠﻰ ﻧﺒﻴﻪ ﳏﻤﺪ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ و ﺑﻴﺎن ﻣﻌﺎ
  ﻧﻴﻪ واﺳﺘﺨﺮاج أﺣﻜﺎﻣﻪ وﺣﻜﻤﻪ
  Artinya: “Berarti ilmu untuk memahami kitab Allah Swt. Yang diturunkan kepada
  Nabi Muhammad Saw, menjelaskan maknanya serta mengeluarkan hukum-hukum dan
  hikmahnya.”5
Muhammad Abd al Zarqani dalam kitab Manahil al Irfan
  fi ulum Al Qur’an mendefinisikan tafsir;
  اﻟﺘﻔﺴﲑﰱ اﻻﺻﻄﻼح ﻋﻠﻢ ﻳﺒﺤﺚ ﻓﻴﻪ ﻋﻦ اﻟﻘﺮان اﻟﻜﺮﱘ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ دﻻﻟﺘﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﺮاد اﷲ ﺑﻘﺪر
  اﻟﻄﺎﻗﺔاﻟﺒﺸﺮﻳﺔ
  Artinya: “Merupakan ilmu yang membahas tentang Al Qur’an dari segi
  maksud-maksudnya  (dalalahnya)  sebagaimana  yang dikehendaki
  Allah sejauh kemampuan manusianya.”6
Menurut Ali al Shabuni tafsir
  merupakan pemahaman secara komprehensif tentang kitab Allah yang diwahyukan
  kepada Nabi Saw, dan penjelasan  makna  yang  dalam, 
  menggali  hukum-hukumnya,  mengambil hikmah dan pelajaran.7
Sedangkan tafsir menurut Ibnu Hayyan dalam kitab al Bahrul- Muhith yang diikuti bapak Ichwan dalam bukunya Belajar Al Qur’an, tafsir adalah ilmu yang membahas tentang tata cara mengucapkan kata-kata Al Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, maknanya, hukum-hukum yang terkandung didalamnya, baik perkata maupun rangkaian kata dan kelengkapannya, seperti pengetahuan tentang nasakh, sebab nuzul dan lain-lain.
Lebih lanjut beliau menjelaskan yang dimaksud dengan kata-kata ilmu adalah; kata jenis yang meliputi segala macam ilmu; kemudian kata- kata yang membahas cara mengucapkan lafadz Al Qur’an, adalah meliputi ilmu qira’at; lalu kata-kata petunjuk-petunjuknya, berupa ilmu bahasa (lughah) yang diperlukan dalam ilmu ini, meliputi pengertian yang hakiki dan majazi, sebab suatu susunan kalimat (tarkib) kadang-kadang secara dhahir memiliki arti tertentu, tapi arti tersebut harus diartikan secara majazi; kata-kata “hal-hal yang melengkapinya”, mencakup ilmu nasikh-mansukh, asbab al-wurud, khas dan amm dan lain sebagainya.8
  Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa tafsir adalah suatu cara
  atau metode untuk memahami ayat-ayat Allah yang diturunkan kepada Nabi
  Muhammad melalui berbagi macam ilmu, baik itu meliputi tata cara mengucapkan
  atau ilmu qira’atnya, dari ilmu bahasa dan lain sebagainya sesuai kemampuan
  yang dimiliki manusia, sehingga dapat diambil hukum dan hikmah serta
  pelajaran.
Maudhu’i secara etimologi berasal dari kata t...و yang berakar
  kata ض و dan ع yang memiliki arti (4..b..:و � Jا J:__,Jا) meletakkan sesuatu
  dan meletakkannya,9    menurut  al  Jurjany 
  menyatakan  bahwa     t...و  berarti menjadikan
  sesuatu lafadz sesuai pemaknaannya,10  kata maudhu’i sendiri
merupakan
  bentuk dari isim maf’ul yang berasal dari kata kerja t...و yang mempunyai arti
  judul, tema dan topic.11
  Sedangkan Tafsir maudhu’i menurut para ahli adalah;
Tafsir maudhu’i
  menurut al Farmawi merupakan metode  tafsir yang cara kerjanya dengan
  menghimpun ayat-ayat Al Qur’an yang mempunyai maksud yang sama dalam arti
  sama-sama membicarakan satu topik    masalah,  yang 
  penyusunannya  berdasarkan  kronologi  serta  sebab
  turunnya ayat tersebut, kemudian penafsir mulai memberikan keterangan dan
  penjelasan serta mengambil kesimpulan.12
Menurut Baqir Shadr tafsir maudhu’i merupakan metode al Taukhidi,13 adalah menafsirkan ayat Al Qur’an dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mempunyai maksud yang sama, secara lebih jauh beliau menyebutkan bahwa tafsir maudhu’i juga disebut dengan tematis dan sintesis, “tematis” adalah untuk menerangkan bentuk dari tafsir ini, yakni suatu penafsiran Al Qur’an yang dimulai dengan membahas suatu tema dalam suatu realitas dalam kehidupan, untuk dapat dikembalikan dalam Al Qur’an. disebut dengan “sintesis” karena pendekatan tafsir ini berupaya menyatukan pengalaman-pengalaman manusia dan alam sebagai ayat kauniyah.
Menurut Quraish Shihab tafsir maudhu’i adalah suatu metode tafsir dengan cara menetapkan satu topik tertentu, dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat – ayat, dari beberapa surat, yang berbicara tentang topik tersebut, untuk kemudian dikaitkan satu dengan yang lainnya, sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pandangan Al Qur’an.14
Walaupun sama mengumpulkan ayat-ayat yang mempunyai pembahasan yang sama, akan tetapi metode maudhu’i membagi metodenya menjadi dua bentuk.
  Pertama, pembahasan mengenai satu surat secara menyeluruh dan utuh 
  dengan  menjelaskan  maksudnya  yang  bersifat 
  umum  dan  khusus, kemudian menjelaskan korelasi antara berbagai
  masalah yang dikandungnya, sehingga surat ini tampak dalam bentuknya 
  yang  betul- betul utuh dan cermat.
Kedua, menghimpun sejumlah ayat
  dari berbagai surat yang membicarakan masalah yang sama (dalam tema tertentu);
  kemudian ayat- ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan dibawa
  satu tema bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara maudhu’i.15
  2.    Sejarah Tafsir Maudhu’i
Tafsir Maudhu’i sebenarnya telah ada sejak zaman dulu, bisa juga
  disebut sejak zaman rasulullah, hal ini bisa kita lihat dari sejarah, tentang
  penafsiran rasulullah terhadap kata (rl...) yang dihubungkan dengan kata
  “syirik” karena adanya kesamaan makna.
Dr. Ali Khalil dalam komentarnya tentang riwayat ini menegaskan bahwa “ dengan penafsiran ini Rasulullah telah memberikan pelajaran kepada para sahabat bahwa tindakan menghimpun sejumlah ayat dapat memperjelas pokok masalah dan akan melenyapkan keraguan menurut beliau, hal tersebut menunjukkan bahwa tafsir maudhu’i telah dikenal sejak zaman rasulullah, akan tetapi belum memiliki karakter metodologis yang mampu berdiri sendiri.16
  Pada perkembangannya benih tafsir maudhu’i lebih banyak  lagi, yang
  ditemukan dalam kitab-kitab tafsir, hanya saja masih dalam bentuknya yang
  sederhana, bahkan ada juga yang masih dalam bentuknya
yang ringkas,
  seperti yang terdapat di dalam kitab tafsir karya al Fakhr al Razi, karya al
  Qurtuby dan karya Ibn al Arabi.17
Selanjutnya menurut Dr. Al Farmawy pencetus dari metode tafsir ini adalah Syeh Muhammad Abduh, kemudian ide pokoknya diberikan oleh Syekh Mahmud Syaltut, yang kemudian dikenalkan secara konkret oleh Prof. Dr. Sayyid Ahmad Kamal al Kumy, yang ditulis dalam karangannya yang berjudul al Tafsir al Maudhu’i. pada tahun 1977, Prof. Dr. ‘Abd al Farmawy yang posisinya sedang menjabat sebagai guru besar pada fakultas Ushuluddin al Azhar menerbitkan buku dengan judul al Bidayah fi Tafsir al Maudhu’i, dalam karangannya ini beliau menyebutkan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menerapkan tafsir maudhu’i,18 sedangkan di Indonesia sendiri metode maudhu’i dikembangkan oleh M. Quraish Shihab
Belakangan ini, tafsir tematik sangat diminati oleh para ahli tafsir, hal ini terjadi karena tafsir maudhu’i dapat memecahkan berbagai persoalan yang terjadi dan mendesak dengan menggunakan pendekatan Al Qur’an, disisi lain langkah-langkah operasional tafsir maudhu’i tampak lebih mudah dan sederhana, padahal dalam prakteknya terasa sangat berat, sulit dan rumit. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh M, Quraish Shihab yang mengingatkan bahwa menerapkan tafsir maudhu’i memerlukan keahlian akademis sehingga sikap hati - hati dan tekun sangat diperlukan.19
  Tafsir maudhu’i telah muncul sejak zaman Rasulullah akan tetapi metode tafsir
  ini mampu berdiri sendiri baru-baru ini. Lantas  apa yang menyebabkan
  penafsir masa lalu kurang memiliki minat terhadap tafsir maudhu’i, diantara
  sebab kurangnya minat penafsir masa  lalu  terhadap tafsir maudhu’i
  adalah;
Pertama, metode tafsir maudhu’i mengarahkan kepada kajian
  spesialis, yang bertujuan mengkaji satu tema bahasan setelah meneliti dan
  menghimpun ayat – ayat yang berkaitan dengan tema tersebut. Sedangkan penafsir
  masa lalu tidak melakukan kajian semacam ini karena prinsip spesialisasi waktu
  itu belum menjadi tujuan kajian.
Kedua, penafsir zaman dulu belum merasakan pentingnya melakukan kajian terhadap topik – topik tertentu yang terdapat di dalam Al Qur’an menurut cara kerja tafsir maudhu’i. mereka semua hafal Al Qur’an dan ilmu – ilmu keislaman sangat mendalam serta mencakup semua aspek. Oleh karenanya, mereka mempunyai kompetensi menghubungkan maksud suatu ayat yang berkaitan dengan topik masalah tertentu yang dijelaskan sesuai keahlian ilmu yang dimiliki.20
Begitu juga sebaliknya, ada faktor – faktor tertentu yang menyebabkan metode tafsir maudhu’i menjadi perhatian ulama’ masa kini. Diantara penyebab;
Pertama, Al Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad di dalamnya mengandung bermacam – macam ilmu yang bernilai tinggi, sehingga banyak para ahli mempelajarinya untuk mendapatkan khazanah tersebut.
  Sementara itu, Al Qur’an ditujukan kepada manusia sesuai dengan karakter atau
  fitrahnya; ajakan untuk bersifat universal agar mampu mengungkap kepada umat
  manusia segala syariat dan peraturan Al Qur’an, yang mempunyai hubungan dengan
  kehidupan dan problem yang sedang dihadapi, untuk menyelesaikan masalah dan
  mencapai tujuan dari Al Qur’an itu. dewasa ini para mufassir tidak mungkin
  menggunakan metode tafsir Tahlily, yang di dalamnya terdapat uraian tafsir dan
  bukan tafsir.
Oleh karena itu tafsir maudhu’i ini menjadi pilihan untuk
  menafsirkan Al Qur’an karena diharapkan  mampu  menjawab 
  persoalan dan keagungan dalam Al Qur’an.21
Kedua, Al Qur’an menjadi kajian yang sangat digandrungi, tidak hanya oleh kaum muslim saja, akan tetapi non muslim juga ikut mengkaji Al Qur’an; tidak jarang kajian yang dihasilkan oleh merupakan tuduhan akan kebatilan dan kelemahan Al Qur’an, tuduhan ini dilontarkan oleh orang – orang yang tidak memiliki pengetahuan keislaman, atau bisa juga oleh orang – orang yang tidak terbiasa dengan kajian dengan pendekatan tematik ilmiah.
  Inilah yang diharapkan oleh metode tafsir maudhu’i, yakni mampu melenyapkan
  tuduhan negatif yang dilontarkan kaum kuffar, dan tidak bisa dielakkan bahwa
  kebutuhan akan tafsir maudhu’i zaman sekarang, karena adanya  
  pembaharuan   metode   dakwah  
  Islamiyah,   guna   mengimbangi
perkembangan yang
  ada. 22
Setiap gagasan yang muncul merupakan perkembangan dari gagasan sebelumnya, hal ini juga yang dialami oleh perkembangan metode penafsiran Al Qur’an. Dalam kaitan ini, munculnya empat metode tafsir secara kronologis dapat dikatakan sebagai upaya penyempurnaan metode yang telah ada sebelumnya. Sebagai contoh tafsir bi al Ra’y muncul untuk menyempurnakan tafsir bi al Ma’tsur dalam artian fungsional, demikian juga dengan kehadiran metode maudhu’i adalah untuk melengkapi keberadaan metode tahlili.
  Diantara karya tafsir yang dapat menggunakan metode maudhu’i
adalah;
a.   
  اy Jا � أةy Jا dan انy Jا � نl.....�ا ; karya Abbas al Aqqad
b.   
  انy Jا � l-yJا ; karya Abu al A’la al Mawdudy
c.   
  r:lytJا انy Jا � ة� ..Jا ; karya Muhammad Abu Zahrah
d.   
  r:lytJا انy Jا �  J l yJوا  ھ_J ا ; karya Muhammad al Samahi
e.   
  r:lytJا انy Jا � نl..... ا ; karya Ibrahim Mahna
f.   
  r:lytJا انy Jا �   ..l..... ا تl._ . ; Karya Ibrahim Mahna
g.   
  r:lytJا انy Jا � r... Jا اتl:lا ; oleh Ahmad Kamal al Mahdi
h.   
  y  ..Jا l:ll..._Jا ; karya al Syeikh Syaltut
i.   
  اءy �ا رة_... l:ll...و ; karya Adb al Hayy al Farmawiy
j.   
  Major Themes of the Qur’an karya Fazlur Rahman serta
k.   
  Wawasan Al Qur’an oleh M, Quraish Shihab,  semua  karya 
  ini  ada yang secara utuh menerapkan metode maudhu’i dalam karyanya, dan
  ada yang sebagian menerapkan metode ini.
  
  
  3.    Langkah-langkah dalam Tafsir Maudhu’i
Setiap metode ada langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menerapkan
  prinsip yang akan dikerjakan, begitu juga metode tafsir, khususnya metode
  tafsir maudhu’i, adapun langkah-langkah dalam tafsir maudhu’i adalah;
a. Memilih atau menetapkan masalah yang akan dikaji secara tematik (maudhu’i)
b. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan, baik itu Makiyyah atau Madaniyyah
c. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, yang disertai dengan pengetahuan mengenai latar belakang turunnya ayat (asbab al Nuzul)
d. Mengetahui korelasi ayat-ayat tersebut dalam masing-masing suratnya
e. Menyusun tema bahasan yang sesuai dan sistematis serta utuh
f. Melengkapi pembahasan menggunakan hadis, bila dipandang perlu sehingga pembahasan semakin sempurna dan jelas
g. Mempelajari ayat yang dibahas secara utuh dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat yang mengandung pengertian yang serupa, mengkompromikan antara ayat yang amm dan khas, mensinkronkan yang lahirnya tampak kontradiktif dengan tujuan ayat tersebut bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.23
Dalam pandangan Quraish Shihab langkah-langkah di atas telah sistematis akan tetapi perlu sedikit penambahan, guna pengembangan metode tafsir maudhu’i, diantaranya;
  a.    Pada poin penetapan masalah yang dibahas
Untuk 
  menetapkan  masalah  yang  dibahas  diharapkan  agar
  terlebih   dahulu   mempelajari  
  problem-problem   yang   muncul   di masyarakat,
  atau ganjalan yang dirasa sangat perlu mendapatkan jawaban dari Al Qur’ an.
b. Dalam menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya. Dibutuhkan dalam upaya mengetahui perkembangan petunjuk Al Qur’an menyangkut persoalan yang dibahas, bagi mufassir yang bermaksud menguraikan satu kisah, maka runtutan yang dibutuhkan adalah runtutan kronologis peristiwa.
c. Walaupun metode ini tidak mengharuskan uraian tentang kosa kata, namun kesempurnaan hasil dapat dicapai jika dari awal ada upaya untuk memahami kosa kata ayat yang ditafsirkan24
  4.    Keistemewaan dan Kekurangan Tafsir Maudhu’i
Keunggulan   atau   keistimewaan  
  metode   tafsir   maudhu’i   jika dibandingkan
  dengan tiga tafsir sebelumya adalah;
a. terletak pada kapabilitasnya menjawab tantangan zaman, karena metode ini memang ditujukan untuk memecahkan persoalan, dinamis dan praktis guna menjawab masalah yang timbul dalam masyarakat, sehingga Al Qur’an yang shahih li kulli zaman wa makan telah terbukti.25
b. jika kita lihat bahwa tafsir maudhu’i itu menafsirkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadis nabi maka dapat dikatakan bahwa tafsir dengan cara seperti itu merupakan cara tafsir yang terbaik untuk memahami Al Qur’an.
  c.    Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami karena tanpa
  mengemukakan berbagai macam disiplin ilmu tertentu, sehingga membuktikan
  persoalan yang disentuh oleh Al Qur’an  semata-mata tidak hanya bersifat
  teoritik saja,  akan tetapi juga menyentuh ranah persoalan yang timbul
  dalam masyarakat
d.    Metode ini sekaligus 
  juga  menolak anggapan  terhadap  adanya  ayat- ayat Al
  Qur’an yang bertentangan.26
Sedangkan kekurangan dari metode maudhu’i ini adalah dari segi penyajian ayat-ayat Al Qur’an yang sepotong-sepotong menimbulkan kesan kurang sempurnanya dalam memahami Al Qur’an yang kamil, kemudian pemilihan pembahasan terhadap topik-topik tertentu membuat pemahaman terhadap Al Qur’an menjadi terbatas, dan membutuhkan kecermatan dalam mendeterminasi keterkaitan ayat dengan tema yang diangkat.27
  Setiap metode pasti memiliki keunggulan dan kekurangan, akan tetapi tidak
  lantas menjadikan kekurangan tersebut sebagai kekurangan, hingga menjadikannya
  terabaikan, sebaliknya dari kekurangan tersebut dapat dijadikan sesuatu yang
  istimewa sehingga menjadikan akan terus menggali ilmu-ilmu dalam Al Qur’an dan
  berusaha memperbaiki. Ringkasnya keunggulan yang dimiliki oleh metode 
  tafsir  dapat memperkaya prosedur penafsiran Al Quran, sementara
  kekurangan dari metode  –  metode  itu  dapat 
  jadi  pemicu  (trigger)  untuk  menemukan
metode lain
  yang lebih sempurna.28
B.    Warna
1.   
  Pengertian Warna
Alam semesta diciptakan oleh Allah dalam segala bentuk
  serta wujudnya, bentuk-bentuk tersebut juga memiliki segala macam  warna
  yang beraneka  ragam, pernahkah terlintas  dalam fikiran jika 
  dalam kehidupan ini tanpa adanya warna? Inilah  yang  kemudian 
  menjadi renungan agar selalu bertafakur terhadap segala macam yang diciptakan
  oleh Allah untuk makhluknya.
Warna dalam bahsa Arab sering disebut
  dengan (ان_Jا ), sedangkan warna dalam Al Qur’an tersebut yakni kuning
  (أy_...), putih (   -) , merah (أy ..:), hitam (دأ   
  ), hijau (أy   ..:), dan biru ( زر).
Warna sendiri dalam ilmu pengetahuan merupakan gejala yang timbul karena suatu benda memantulkan cahaya yang mengenainya, setiap cahaya berwarna terbentuk dari berbagai panjang macam gelombang cahaya yang dapat dilacak oleh mata. Panjang gelombang yang dapat ditangkap oleh mata manusia berkisar 380-780 nanometer. Seperti warna biru yang memiliki panjang gelombang berkisar 460 nanometer, dan warna kuning yang memiliki panjang gelombang 650 nanometer.29
Sebuah benda tampak berwarna karena benda itu memantulkan cahaya dengan warna tersebut, sedangkan cahaya dengan warna lain diserap.30
  2.    Munculnya Teori Warna
Chromatics adalah ilmu yang
  membahas tentang warna, teori tentang warna ini telah dikenal oleh Albeti
  (1435)31 kemudian diikuti oleh Leonardo da Vinci (1490), perkembangan ilmu
  yang dikembangkan oleh kedua tokoh ini tidak begitu pesatnya jika dibandingkan
  dengan Sir Isaac Newton beliau juga ahli fisika, tulisannya yang berkaitan
  dengan  ilmu warna adalah Optick pada tahun 1704. Pada awalnya teori
  warna dikembangkan dengan warna dasar merah, kuning dan biru (Red, Yellow,
  Blue atau RYB) perkembangan pencampuran ketiga warna banyak ditulis oleh 
  Johann  Wolfgang  von  Goethe  pada  tahun 
  1810  dengan  tulisannya Theory of Colors dan oleh ahli kimia
  Prancis Michel Eugene Chevreul pada tahun1839 dalam bukunya The Law of
  Simultaneous Color Contrast, setelah abad ke 19 ilmuwan Jerman dan Inggris
  menemukan bahwa warna dasar yang paling bagus adalah merah, hijau, dan biru
  (Red, Green, Blue atau RGB). Pada kurun waktu yang sama ahli kimia menemukan
  teori pewarnaan cat, tinta, pencelupan dengan menemukan warna 
  dasar  tinta yaitu cyan, magenta dan yellow dengan dibantu warna hitam
  yang diberi rumus K (Key) sehingga singkatannya adalah CMYK, tinta
  penggabungan warna ini disebut Color Subtractive atau pengurangan 
  warna,  para  ahli yang terus mengembangkan teori warna antara lain
  Ogden Rood (1879) dalam bukunya Modern Chrmatics, Albert Munsell (1915) dalam
  bukunya Book of Corol, pada tahun yang sama Wilhelm Ostwald dengan bukunya
  Color Atlas, hingga tahun 1919 seperti Wasilly Kandinsky, Johannes Itten,
  Faber  Birren,  dan  Josef  Albers  mereka 
  diantara  para  ilmuwan  yang mengembangkan teori tentang
  warna.32
Warna yang kita lihat itu ternyata membutuhkan proses dan tahap-
  tahap, padahal hal tersebut tanpa kita sadari, sedangkan untuk melihat satu
  warna tunggal, misalnya merah, atau hijau proses  ini harus kita lewati,
  dan uniknya proses ini harus berurutan;
a. Kondisi pertama yang diperlukan untuk pembentukan warna adalah cahaya (light), sedangkan kita tahu bahwa sebagian besar cahaya yang kita dapat adalah cahaya dari matahari.
Cahaya adalah radiasi elektromagnetik dan masuk dalam rangkaian sinar kosmik, sinar-x, sinar ultraviolet dan inframerah, dan gelombang radio serta televisi. Mata kita hanya sensitif pada sebagian kecil kesinambungan - yang panjang gelombangnya berkisar 400 sampai 700 nanometer, karena nanometer adalah satu per miliar meter, energy yang terlihat hanya mencakup bagian yang sangat kecil dari gelombang elektromagnetik. Dan kita buta terhadap panjang gelombang yang lain.33
b. Sinar yang dipancarkan oleh matahari harus melewati filter, filter ini disebut “atmosfer” yang menyelimuti bumi, mengapa harus melewati filter? Karena sinar yang dipancarkan oleh matahari jika tidak melewati filter akan membahayakan mata.
c. Cahaya yang melewati atmosfer disebarkan ke seluruh permukaan bumi, ketika mengenai objek, cahaya ini dipantulkan.34
d. kemudian alat yang dapat mengindra mata, yakni mata, organ ini sangat penting dalam pembentukan warna karena antara gelombang cahaya dan organ satu ini harus selaras sehingga baru terciptalah warna yang kita lihat.
  Kondisi cahaya mempunyai pengaruh terhadap penglihatan, hal ini disebabkan
  karena dalam mata terdapat sel, yang mana sel tersebut dinamakan sel batang
  dan sel kerucut, sel batang ini ditujukan untuk melihat di malam hari; karena
  sel ini bekerja pada intensitas  yang rendah dan menyebabkan sensasi yang
  tidak berwarna, lain halnya dengan sel kerucut, sel ini bekerja pada siang
  karena sel ini merespon
terhadap intensitas cahaya yang tinggi sehingga
  menimbulkan sensasi warna.35
e. Sinar yang datang dari matahari harus melewati lensa dan lapisan- lapisan mata dan kemudian diubah menjadi implus-implus saraf dari dalam retina, sinyal ini kemudian harus diangkut ke pusat penglihatan pada otak, yang bertugas menginterpretasikan pandangan.
f. Tahap terakhir dalam pembentukan warna adalah interpretasi sinyal listrik dari otak sebagai “warna” oleh sel saraf khusus yang terdapat dalam otak.36
  Demikianlah, untuk pembentukan satu warna saja  dibutuhkan proses-proses
  diatas,  dan proses-proses  ini harus  berjalan seimbang.
  Betapa agung kekuasaan Allah menjadikan ini bagi makhluknya.
Semua
  informasi tentang warna menunjukkan bahwa setiap proses yang terjadi selama
  pembentukan warna diatur dalam keseimbangan yang rumit.
Para ahli banyak yang mengungkapkan teori tentang warna diantaranya adalah Sir Isaac Newton37, Newton melakukan percobaan dan menyimpulkan apabila dilakukan pemecahan warna spectrum dari sinar matahari akan ditemukan warna- warna yang beraneka ragam yang terdiri dari merah, jingga, kuning, hijau, biru, dan ungu. Warna- warna ini dapat kita lihat pada pelangi.38
  Dari percobaan menggunakan prisma ini beliau menyimpulkan bahwa cahaya putih
  adalah campuran berbagai warna. Prismanya membiaskan, atau membengkokkan
  warna-warna itu dalam jumlah yang berbeda-beda.   Warna-warna 
  ini  menyebar  atau  “berdisperi”  sehingga masing-masing
  dapat dilihat.39
Pada tahun 1858, Munsell menyelidiki warna dengan standar warna untuk aspek fisik dan psikis. Berbeda dengan Newton dan Brewster, Munsell mengatakan warna pokok terdiri dari merah, kuning, hijau, biru dan jingga. Sementara warna sekunder terdiri dari warna jingga, hijau muda, hijau tua, biru tua dan nila.
  Teori dari Munsell yang terkenal adalah tentang “pengklasifikasian warna”,
  suatu warna dapat diklasifikasikan secara khusus, apabila corak warna,
  kejenuhan, dan kecemerlangan dapat ditentukan, salah satu sistem itu adalah
  atlas warna Munsell.40
Teori warna juga dikemukakan oleh Philipp
  Otto Runge, beliau mengatakan bahwa warna memiliki tiga dimensi, yakni hue,
  saturasi, dan kecerahan, teori ini digambarkan dengan “bola warna”
Pada
  gambar ini garis lintang bola (gambar kiri) adalah hue, garis bujur pada bola
  (gambar kanan) adalah luminance (atau kecerahan/ brightness), dan garis dari
  pusat bola ke permukaan (baik gambar kanan atau gambar kiri adalah
  saturasi).
Dimensi warna dapat dibagi menjadi dua, yakni HSL (hue,
  saturation, luminance), diagramnya adalah;
 
Dimensi warna yang
  lain adalah dimensi warna HSV (hue, saturation, dan value), diagramnya
  adalah;41
Hue pada dasarnya adalah perbedaan warna karena adanya
  perbedaan panjang gelombang. Jadi, hue ditentukan oleh panjang gelombang. Para
  ahli sering membagi hue menjadi 360 macam seperti diagram ini, merah berbeda
  dengan hijau dan berbeda pula dengan biru, yang merupakan hasil perbedaan
  hue.
Saturasi adalah ukuran kemurnian warna.  Warna 
  disebut  murni bila jernih dan terang, saturasi juga dapat disebut dengan
  tingkat kepucatan warna, cara menambah saturasi adalah dengan menambahkan
  warna hitam (atau abu - abu) dan untuk menguranginya  dapat 
  menggunakan  warna putih (atau abu - abu) atau warna komplemennya. Para
  ahli sering membagi satuan persen 0-100 % berarti tak ada warna. 100 
  %  berarti murni. Saturasi adalah masalah intensitas dan kekaburan atau
  hilangnya warna, secara matematis saturasi adalah spectrum yang didapat dari
  gelombang utama.
Luminance (Brightness) atau kecerahan adalah
  terang atau gelapnya warna pada suatu tampilan layar, nilai minimal akan
  membuat gambar tampak gelap, demikian juga sebaliknya. Para ahli sering
  membagi dalam  satuan  persen  0-100  %  dan 
  0  %  berarti  gelap  secara  matematis
luminence
  adalah amplitude gelombang warna.42
Brightness dapat dijelaskan
  sebagai terang vs gelap (light vs dark) atau putih vs hitam (white vs black)
  dari warna.
  Pengklasifikasian warna menjadi empat yakni, warna primer, sekunder, tersier
  dan warna netral. Pengklasifikasian warna ini sering dikenal dengan 
  teori  Brewster, teori  ini dikemukakan pada tahun 1831, untuk lebih
  memudahkan pemahaman kita, Brewster membuat lingkaran warna, lingkaran warna
  ini sering kita sebut dengan lingkaran warna Brewster
Keterangan
  A    : Merah
B    : Merah-Jingga
  C    : Jingga
D    : Jingga-Kuning
  E    : Kuning
F    : Kuning-Hijau
  G    : Hijau
H    : Hijau-Biru
  I    : Biru
J    : Biru-Ungu
K   
  : Ungu
L    : Merah-Ungu43
Tidak hanya makhluk
  hidup yang memiliki sifat, warna yang kita lihat disekeliling kita  juga
  memiliki sifat, para  ahli telah sepakat untuk mengklasifikasikan warna
  kedalam dua sifat utama yang ekstrim, berdasarkan sifatnya, lingkaran warna
  primer hingga warna tersier dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok
  warna panas dan warna dingin. Warna panas yang dimulai dari kuning kehijauan
  hingga merah, sementara warna dingin dimulai dari warna ungu kemerahan hingga
  hijau.
FOOTNOTE
  1 Manna Khalil al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an,trjm. Mudzakir AS, (Bogor;
  Pustaka Litera Antar Nusa, 2001), hlm. 455
2 Ibnu Manzur, Lisanul Arab,
  (Kairo, Darul Hadis, 2003), vol ix, hlm. 124
3 Manna Khalil al Qattan, op
  cit, hlm. 456
4   Mohammad Nor  Ichwan,  Belajar Al
  Qur’an;  menyingkap khazanah Ilmu-ilmu Al Qur’an melalui Pendekatan
  Historis-Metodologis, (Semarang; RaSAIL, 2005), hlm. 160
5Chaerudji Abd.
  Chalik, Ulum Al Qur’an, (Jakarta; Diadit Media, 2007), hlm. 221
6Chairudji
  Abd. Chalik, loc.cit
7   Muhammad Ali  Ash Shabuni, 
  Ikhtisar Ulumul Qur’an  Praktis,  trjm,  Muhammad Qadirun Nur,
  (Jakarta; Pustaka Amani, 2001), hlm. 97 
8Mohammad Nor Ichwan, op. cit,
  hlm. 161
9  Ahmad bin Faris bin Zakariya, Abu al Husain, Mu’jam
  Muqayis al Lughoh, Vol 6,
(Beirut; Dar al Fikr, Tth), 117
10 
  Ali bin Muhammad al Syarif al Jurjany, Kitab al Ta’rifat, (Beirut; Maktabah al
  Bannan, 1985 M), 273
11 Lois Ma’luf , Al Munjid fi al Lughoh wa al A’lam,
  (Bairut; Dar Masyrik, 1973), 1004
12 Abd. Al Hayy Al Farmawi, Metode
  Tafsir Maudhu’iy (Suatu Pengantar), trjm. Suryan
A. Jamrah, hlm. 36
13
  Mohammad Nor Ichwan, op. cit, hlm. 268
14   M. 
  Qurais  Shihab,  Membumikan  Al  Qur’an; 
  Fungsi  dan  Peran  Wahyu  dalam Kehidupan Masyarakat,
  (Bandung; Mizan, 2007), hlm. 114
15Abd, Al Hayy Al Farmawi, Metode Tafsir
  Maudhu’iy (Suatu Pengantar), trjm. Suryan
A.    Jamrah,
  hlm. 35
16Abd, Al Hayy Al Farmawi, Ibid, hlm. 38
17 Abd, Al Hayy Al
  Farmawi, Ibid, 39
18 Mohammad Nor Ichwan, Tafsir Ilmiy, Memahami Al
  Qur’an melalui Pendekatan Sains Modern, ( Jogjakarta: Menara KududJogja,
  2004), hlm.122
19 M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, dalam uraian
  pendahuluan.
 
20 Abd, Al Hayy Al Farmawi, op. cit, hlm. 41
21
  Ibid, hlm 42-43 
22 Rosihan Anwar, Samudera Al Quran, (Bandung; Pustaka
  Setia, 2001), hlm. 164
 
 
23Abd. Al Hayy Al Farmawi,
  op. cit, hlm 45-46
 
24 M. Quraish Shihab, op. cit, hlm
  115-116
25  Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al Qur’an
  Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, hlm. 56-57
  
26 M.
  Quraish Shihab, op. cit, hlm. 117
27 Ahmad Syukri Saleh, loc. cit.
28
  Ahmad Syukri Saleh, Ibid. 58
  
29 Abdul Syukur, Ensiklopedi
  Umum untuk Pelajar, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), 2008, hlm.120
30
  Abdul Syukur, loc. cit
31  Lihat Pengantar Psikologi, Rita L.
  Atkinson, trjm. Widjaja Kusuma, menyebutkan bahwa teori tentang penglihatan
  warna pertama kali diajukan oleh Thomas Young  pada tahun
1807, lima
  puluh tahun kemudian Herman Von Helmholtz yang mengembangkan teori Young,
  menurut teori ini atau yang sering dikenal dengan teori Young-Helmholtz dengan
  teorinya yakni teori trikromatik, teori ini menyebutkan bahwa walaupun banyak
  warna yang dapat kita bedakan, hanya terdapat tiga jenis reseptor untuk warna,
  reseptor ini hubungannya dengan panjang gelombang warna yang mana gelombang
  warna ini menentukan jenis warna yang dapat ditangkap oleh indra penglihatan,
  reseptor pertama yakni reseptor pendek, yang ditempati oleh warna biru,
  reseptor kedua adalah reseptor mediuseptor, reseptor ini paling sensitif
  dengan warna hijau dan kuning, dan reseptor terakhir adalah reseptor panjang,
  yang ditempati oleh warna merah. 
  32 Eko Nugroho, Pengenalan Teori Warna, (Yogyakarta: ANDI, 2008), dalam
  pengantar. 
  33  Rita L. Atkinson, Pengantar Psikologi, trjm. Widjaya Kusuma, (Batam;
  Interaksara, tth), hlm. 228
34  Dalam buku karangan Fuad Pasya,
  Dimensi Sains Al Qur’an (Menggali Kandungan
Ilmu Pengetahuan dari Al
  Qur’an) disebutkan perbedaan penggunaan antara dhiya (sinar) dan nur (cahaya),
  dalam buku ini disebutkan bahwa kata dhiya digunakan untuk benda yang sinarnya
  memancarkan dari diri sendiri (benda ini sering disebut dengan bintang), dan
  penggunaan nur itu digunakan pada benda yang bersinar atau cahayanya diperoleh
  dari pantulan sinar lain (benda ini sering disebut dengan planet.
35 Hal
  ini sejalan dengan ayat Al Quran (QS, al Baqarah; 17) Artinya: Perumpamaan
  mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, Maka setelah api itu
  menerangi   sekelilingnya   Allah  
  hilangkan   cahaya   (yang  
  menyinari)   mereka,   dan membiarkan mereka dalam
  kegelapan, tidak dapat melihat. Dalam ayat ini disebutkan bahwa kita mustahil
  dapat melihat dalam keadaan gelap dengan menggunakan mata telanjang.
  36 Harun Yahya, Pustaka Sains Populer Islami (Kesempurnaan warna Ilahi),
  Tatacipta
Dirgantara, Trjm. (Bandung: Dzikra, 2004), hlm. 8-10
  
37Lihat David Burnie, Karya-karya Isaac Newton (1642-1727) mendominasi
  ilmu fisika selama lebih dari dua abad. Ia menerbitkan dua dari buku-buku
  ilmiah terpenting yang pernah ditulis orang, Principia (1687), yang
  menjelaskan tentang dalil-dalilnya tentang gerak dan teori gravitasi; dan
  Opticks (1704), yang menyelidiki cahaya. Pada tahun 1703 ia menjadi ketua
  Royal Society, sebuah perkumpulan ilmiah terkemuka yang dibentuk pada tahun
  1662.
38 http://rizky.student.esaunggul.ac.id/files/2012/10/Newton.jpg
  Lihat David Burnie, Newton bukanlah orang pertama yang mengemukakan pendapat
  tentang warna-warna pelangi, filosof Prancis, Rene Descartes adalah orang
  pertama yang menyingkap misteri pelangi, akan tetapi Newton mampu menerangkan
  dengan tepat bagaimana cahaya dari matahari dapat berbelah, dan bagaimana
  cahaya matahari itu dapat membentuk warna tidak hanya satu, tetapi
  kadang-kadang dua pelangi  
  39 David Burnie, Jendela Iptek; Cahaya, (Jakarta; Jendela, t.th), hlm. 28
40   
  J.  H.  Rush,  Ensiklopedi  Ilmu  Pengetahuan 
  Populer  Jilid  5,  (Jakarta;  Ikrar Mandiriabadi, 2004),
  hlm. 114
41 Eko Nugraha, Pengenalan Teori Warna, (Yogyakarta; ANDI,
  2008), hlm. 11-12 
  42 Eko Nugraha, Ibid, hlm. 13-15
43  Wirania Swasty, A-Z Warna
  Interior Rumah Tinggal, (Bogor; Griya Kreasi, 2010), hlm. 7
