Tafsir Sufi

Tafsir Sufi adalah tafsir yang berusaha menjelaskan makna ayat-ayat al-Quran dari sudut esotorik atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yg tampak

Tafsir Sufi

Tafsir Sufi

Pengertian Tafsir Sufi

Dalam tradisi ilmu tafsir klasik, tafsir bernuansa tasawuf atau juga sufistik sering didefinisikan sebagai suatu tafsir yang berusaha menjelaskan makna ayat-ayat al-Quran dari sudut esotorik atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh seorang sufi dalam suluknya. Kata tasawuf sendiri menurut Muhammad Husen al- Dzahabi adalah transmisi jiwa menuju Tuhan atas apa yang ia ingin- kan atau dengan kata lain munajatnya hati dan komunikasinya ruh.

 

Daftar isi

  1. Pengertian Tafsir Sufi
  2. Sejarah Lahirnya Tafsir Sufi 
  3. Tasawuf Teoritis 
  4. Tasawuf Praktis
  5. Tafsir Sufi Lebih Dekat dengan Tasawuf
  6. Karakteristik Tafsir Sufi
    1. Tafsir Sufi Nazari
    2. Tafsir Sufi Isyari
  7. Penutup
  8. Footnote dan Referensi


Tafsîr al-Shufiyah, yakni tafsir yang didasarkan atas olah sufistik, dan ini terbagi dalam dua bagian, yaitu tafsîr shûfi nadzary dan tafsîr shûfi isyary. Tafsir sufi nadzary adalah tafsir yang didasarkan atas pere- nungan pikiran sang sufi (penulis) seperti renungan filsafat dan ini tertolak.15 Tafsir sufi isyary adalah tafsir yang didasarkan atas penga- laman pribadi (kasyaf) si penulis seperti tafsîr al-Quran al-‘Adzîm karya al-Tustari, Haqâiq al-Tafsîr karya al-Sulami dan ‘Arâis al-Bayân Haqâiq al-Quran karya al-Syairazi. Tafsir sufi isyari ini bisa diterima (diakui) dengan beberapa syarat, (1) ada dalil syar’i yang menguatkan; (2)  tidak  bertentangan  dengan  syariat/rasio;  (3)  tidak  menafikan makna zahir teks. Jika tidak memenuhi syarat ini, maka ditolak.16


Sejarah Lahirnya Tafsir Sufi
 

Corak penafsiran sufi ini didasarkan pada argumen bahwa setiap ayat al-Quran secara potensial mengandung empat tingkatan makna: zhahir, bathin, hadd, dan matla’. Keempat tingkatan makna ini diyakini telah diberikan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila corak penafsiran semacam ini memang bukan hal yang baru, bahkan telah dikenal sejak awal turunnya al-Quran kepada Rasulullah SAW, sehingga da- sar yang dipakai dalam penafsiran ini umumnya juga mengacu pada penafsiran ini al-Quran melalui hierarki sumber-sumber Islam tradisional yang disandarkan kepada Nabi SAW, para sahabat, dan penda- pat kalangan tabi’in.

 

Di samping itu, selain penafsiran yang didasarkan melalui jalan periwayatan secara tradisional, ada sebuah doktrin yang cukup kuat dipegangi kalangan sufi, yaitu bahwa para wali merupakan pewaris kenabian. Mereka mengaku memiliki tugas yang serupa, meski ber- beda secara substansial. Jika para Rasul mengemban tugas untuk me- nyampaikan risalah ilahiyah kepada umat manusia dalam bentuk ajaran-ajaran agama, maka para sufi memikul tugas guna menyebar- kan risalah akhlaqiyyah, ajaran-ajaran moral yang mengacu pada kelu- huran budi pekerti.17

 

Klaim sebagai pengemban risalah akhlaqiyyah memberi peluang bagi kemungkinan bahwa para sufi mampu menerima pengetahuan Tuhan berkat kebersihan hati mereka ketika mencapai tahapan ma’ri- fat dalam tahap-tahap muraqabah kepada Allah SWT. Sebuah konsep mistik yang oleh Ibn ‘Arabi dikategorikan sebagai kemampuan para sufi dalam mencapai kedudukan yang disebutnya sebagai al-nubuwwat al-amma al-muktasabah (predikat kenabian umum yang dapat diusaha- kan). Berbeda dengan predikat para Rasul dan Nabi yang menerima nubuwwat al-ikhtisas (kenabian khusus) ketika mereka dipilih  oleh Allah sebagai utusannya, kenabian umum bisa dicapai oleh siapa saja, bahkan setelah pintu kenabian tertutup sampai akhir zaman nanti.18

 

Walhasil, dalam penafsiran sufi mufassir-nya tidak menyajikan penjelasan ayat-ayat al-Quran melalui jalan i‘tibari dengan menelaah makna harfiah ayat secara zhahir, tetapi lebih pada menyeruakan signifikansi moral yang tersirat melalui penafsiran secara simbolik, atau dikenal dengan penafsiran isyari. Yaitu, bukan dengan mengung- kapkan makna lahiriyahnya seperti dipahami oleh penutur bahasa Arab kebanyakan, tetapi dengan mengungkapkan isyarat-isyarat yang tersembunyi guna mencapai makna batin yang dipahami oleh kalang- an sufi. Contoh karya yang menampilkan corak tafsir sufi adalah Taf- sir al-Quran al-Azhim karya Sahl al-Tustari (w. 283 H). Haqaiq al-Tafsir karya Abu Abd al-Rahman al-Sulami (w. 412 H). lata’if al-Isyarat karya al-Qusyairi, dan ‘Ara’is al-Bayan fi Haqaiq al-Quran karya al-Syirazi (w. 606 H).

 

Ketika ilmu-ilmu agama dan sains mengalami kemajuan pesat serta kebudayaan Islam tersebar ke seluruh plosok dunia dan menga- lami kebangkitan dalam segala seginya, maka berkembanglah ilmu tasawuf dan ilmu itu mempunyai dua wujud, yaiitu tasawuf teoritis dan praktis.

 

Tasawuf Teoritis
 

Dari kalangan tokoh-tokoh tasawuf lahir ulama yang mencu- rahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami dan mendala- mi al-Quran dengan sudut pandang sesuai dengan teori-teori tasawuf mereka. Mereka menta’wilkan ayat-ayat al-Quran dan menjelaskan- nya dengan penjelasan yang menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan didukung oleh dalil syar’i serta terbukti kebe- narannya dalam bahasa Arab, yaitu dalam bab perihal isyarat.19

 

Imam al-Alusy dalam kitab tafsirnya mengemukakan, sebagai berikut: “Apa yang telah diungkapkan oleh tokoh-tokoh sufi tentang al-Quran adalah termasuk ke dalam bab isyarat terhadap pengertian- pengertian rumit yang berhasil diungkapkan oleh orang yang mengu- asai cara yang harus ditempuh untuk sampai kepada Allah dan pe- ngertian-pengertian itu dapat dipadukan dengan pengertian-pe- ngertian tekstual yang dikehendaki. Hal ini termasuk kesempurnaan iman dan pengetahuan yang sejati. Mereka berkeyakinan bahwa pengertian tekstual sama sekali bukanlah yang dikehendaki (penger- tian batin, bukan tekstual, itulah yang dikehendaki). Oleh karena itu, keyakinan bathiniyah yang ekstrim maka mereka sampai menafikan syariat secara keseluruhan”.

 

Tokoh-tokoh sufi kita tidaklah bersifat demikian, oleh karena itu mereka menganjurkan agar tetap dipelihara penafsiran dan pe- ngertian tekstual. Mereka berkata, pada tahap pertama harus tetap di- lakukan serta diketahui penafsiran dan pengertian tekstual, sebab ti- dak mungkin bisa sampai kepada penafsiran dan pengertian batin (non tekstual) dari suatu ayat sebelum penafsiran dan pengertian tekstualnya terlebih dahulu diketahui. Barang siapa yang mengaku dapat memahami rahasia-rahasia al-Quran sebelum mengetahui penafsiran dan pengertian tekstualnya, maka ia seperti orang yang me- ngaku telah sampai ke bagian dalam ka’bah sebelum ia melawan pin- tunya.20

 

Lebih jauh al-Alusy berkata: “Tidaklah seyogyanya bagi orang yang kemampuannya terbatas dan ke-imanannya belum mendalam mengingkari bahwa al-Quran mempunyai bagian-bagian batin yang dilimpahkan oleh Allah yang Maha Pencipta dan Maha Pelimpah batin-batin hamba-Nya yang dikehendaki”. Al-Alusy berkata tentang isyarat yang diberikan Allah melalui firman-Nya dalam QS. al- Baqarah ayat 45, sebagai berikut:

 وَاسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِۗ وَاِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَۙ

 

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.

 

Bahwa shalat adalah sarana untuk memusatkan dan mengkon- sentrasikan hati untuk menangkap tajally (penampakan diri) Allah dan hal ini sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang luluh dan lunak hatinya untuk menerima cahaya-cahaya dari tajally-tajally Allah yang amat halus  menangkap kekuasaan-Nya  yang Maha Perkasa. Merekalah orang-orang yang yakin, bahwa mereka benar-benar ber- ada di hadapan Allah dan hanya kepada-Nya lah mereka kembali, dengan menghancurkan sifat-sifat kemanusiaan mereka (fana’) dan meleburkannya ke dalam sifat-sifat Allah (baqa’), sehingga mereka tidak menemukan selain eksistensi Allah  sebagai raja yang  Maha Halus dan Maha Perkasa.

 

Tasawuf Praktis
 

Yang dimaksud dengan tasawuf praktis adalah cara hidup yang berdasarkan atas hidup sederhana, zuhud, lapar, tidak tidur pada malam hari, hidup menyendiri, menjaga diri dari segala kenikmatan, memusatkan jiwa dari berbagai macam syahwat dan menghancurkan diri dalam taat kepada Allah.

 

Imam Ahmad Ibn Sahl berkata, musuhmu itu ada empat:

 

  • Dunia, senjata yang digunakan oleh dunia untuk memperdaya manusia adalah hidup membaur dengan hidup sesama manusia dan penangkalnya adalah hidup menyendiri;
  • Syaitan, senjata syaitan adalah kenyang dan penangkalnya adalah lapar;
  • Jiwa, senjata jiwa adalah tidur dan penangkalnya adalah tidak tidur pada malam hari; dan
  • Hawa nafsu,  senjata  hawa  nafsu  adalah  banyak berbicara  dan penangkalnya adalah 21

 

Mereka benar-benar menerapkan sikap-sikap hidup di atas untuk hidup diri mereka, mereka bersikap zuhud di alam kehidupan duni dan selalu bersiap-siap diri menghadapi kehidupan di akhirat. Muhammad Husain al-Dzahaby berkata: “Kami tidak mendengar ada seseorang yang mengarang kitab tertentu tentang tafsir sufi teoritis yang menafsirkan ayat demi ayat dalam al-Quran  seperti dalam tafsir isyari (tafsir yang mengungkapkan makna-makna yang diisyaratkan oleh ayat al-Quran). Yang kami temukan adalah kete- rangan-keterangan yang terpencar-pencar (tidak dalam suatu kitab tertentu) yang termuat dalam penafsiran yang disandarkan kepada Ibn Araby dan kitab al-Futuhat al-Makkiyah, karangan beliau sebagai- mana sebagian yang lain dapat ditemukan dalam banyak kitab-kitab tafsir yang corak penafsirannya berbeda-beda”.

 

Mereka berkata, tafsir sufi dapat diterima jika memenuhi sya- rat-syarat sebagai berikut:

 

  • Tidak menafikan makna lahir (pengertian tekstual) dari ayat al- Quran;
  • Penafsiran itu diperkuat oleh dalil syara’ yang lain;
  • Penafsiran itu tidak bertentangan dengan dalil syara’ atau rasio;
  • Penafsirannya tidak mengakui bahwa penafsirannya itulah yang dikehendaki oleh Allah, bukan pengertian tekstualnya; dan
  • Sebaliknya ia harus mengakui pengertian tekstual dari ayat, seba- gaimana penegasan Imam al-Alusy.22

 

Di antara kitab-kitab tentang tafsir sufi adalah sebagai berikut:

 

Tafsir al-Quran al-Adhim karangan Imam al-Tustury;  Haqaiq al-Tafsir karangan al-Allamah al-Sulamy; dan ‘Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Quran karangan Imam al-Syirazy.23

 

Tafsir Sufi Lebih Dekat dengan Tasawuf
 

Tasawuf merupakan  kata yang  tidak  asing dalam  khazanah pengetahuan Islam, karena di samping telah menjadi suatu disiplin ilmu tertentu tasawuf juga  dalam sejarah perkembangannya telah mempunyai banyak penganut yang dihadapkan atas berbagai polemik.

 

Para ulama berbeda pendapat mengenai asal-usul kata tasawuf, hal ini terjadi karena istilah tasawuf sendiri tidak pernah dipakai da- lam al-Quran ataupun hadits Nabi SAW. Sehingga tidak mengherankan jika sufi atau tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci. Timbulnya tasawuf dalam Islam adalah karena adanya segolongan umat Islam yang belum merasa puas dengan pen- dekatan diri kepada Tuhan melalui ibadah, puasa, dan haji. Mereka ingin merasa lebih dekat lagi dengan Tuhan dengan cara hidup me- nuju Allah dan membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehi- dupan duniawi, sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau ke- senangan dunia lainnya. Kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada kalangan kaum muslim angkatan pertama. Al-Dzahabi membenarkan bahwa praktik tasawuf semacam di atas telah dikenal sejak masa awal Islam, banyak di antara sahabat yang melakukan praktik tasawuf yaitu hidup dalam zuhud dan ibadah, tetapi mereka belum mengetahui istilah tasawuf.

 

Pada angkatan berikutnya (abad ke-2 H dan seterusnya), secara berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidu- pan dunia menjadi lebih berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup sederhana lebih dikenal dengan kaum sufiyah. Pada masa inilah istilah tasawuf mulai dikenal, dan orang yang dianggap pertama kali menggunakan istilah sufi ada- lah Hasyim al-Sufi (w. 150 H).

 

Praktik-praktik zuhud yang dilakukan ulama angkatan I dan II berlanjut sampai pada masa pemerintahan Abbasiyah (4 H), ketika itu umat Islam mengalami kemakmuran yang melimpah, sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga mengalami perkembangan yang tidak terbatas hanya pada praktik hidup sederhana saja, tetapi mulai ditan- dai dengan berkembangnya suatu cara penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut dengan ilmu tasawuf. Pada masa ini tasawuf telah mengalami percampuran dengan filsafat dan kalam, sehingga muncul apa yang dikenal dengan tasawuf nazari dan tasawuf ‘amali. Tasawuf nazari yaitu menjadikan tasawuf sebagai kajian dan pembahasan. Adapun tasawuf ‘amali yaitu tasawuf yang dibangun dengan praktik-praktik zuhud taat kepada Allah SWT.

 

Dari hal tersebut di atas mulai adanya ketidakmurnian dalam tasawuf, orang-orang yang bukan ahlinya mencoba mempelajari ta- sawuf dengan landasan ilmu yang dianutnya. Sehingga hal tersebut sangat berpengaruh pada bidang lainnya seperti fiqh, hadits dan tafsir. Pada masa ini pula bermunculan istilah-istilah seperti khauf, mahab- bah, ma’rifat, hulul, dan lain sebagainya. Dan sejak itu pula selanjutnya tasawuf telah menjadi lembaga atau disiplin ilmu yang mewarnai khazanah keilmuan dalam Islam, seperti halnya filsafat, hukum, dan lain sebagainya.

 

Sebagaimana disiplin ilmu lainnya, tasawuf telah melahirkan para ahli tasawuf yang telah memberikan atau melahirkan paham- pahamnya dalam bidang tasawuf. Di samping itu, telah banyak ber- munculan karya-karya tafsir produk ulama sufi. Di antara karya tafsir ulama sufi adalah al-Futuhat karya Ibn al-‘Arabi, Tafsir al-Quran al- Azim karya al-Tastari dan Haqaiq al-Tafsir karya al-Salmi.

 

Dua macam tasawuf yang telah disebutkan di atas, telah mem- bawa pengaruh besar terhadap penafsiran al-Quran, sehingga muncul darinya apa yang dikenal sebagai tafsir sufi nazary dan tafsir sufi isyari.

 

Karakteristik Tafsir Sufi
 

Corak tafsir sufi yang lahir sebagai akibat dari timbulnya gerak- an-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak ter- hadap materi telah mempunyai ciri khusus atau karakter yang mem- bedakannya dari tafsir lainnya. Tafsir sufi ini telah didominasi paham sufi yang dianut oleh mufassir-nya karena memang tasawuf telah menjadi minat dasar bagi mufassir, sebelumnya dia melakukan usaha penafsiran atau juga bahwa penafsirannya itu hanya untuk legitimasi atas pendapatnya dalam hal ini adalah paham tasawuf.

 

Tafsir Sufi Nazari

 

Tafsir sufi al-nazari adalah tafsir sufi yang dibangun untuk mempromosikan dan memperkuat teori-teori mistik yang dianut mufassir. Dalam menafsirkannya itu mufassir membawa al-Quran me- lenceng jauh dari tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan manu- sia, tetapi yang ada adalah penafsiran pra konsepsi untuk menetapkan teori mereka. Al-Dzahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nazari dalam praktiknya adalah pensyarahan al-Quran yang tidak memperhatikan segi bahasa serta apa yang dimaksudkan oleh syara’.

 

Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir al-nazari yaitu Muhyiddin Ibn al-‘Arabi. Beliau dianggap sebagai ulama tafsir sufi nazari yang menyandarkan beberapa teori-teori tasawufnya dengan al-Quran. Karya tafsir Ibn al-‘Arabi di antaranya al-Futuhat al-Makiyat dan al-Fushush. Ibn al-‘Arabi adalah seorang sufi yang dikenal dengan paham wahdatul wujud-nya. Wahdatul wujud dalam teori sufi adalah paham adanya persatuan antara manusia dengan Tuhan. Pertama, dalil al-Quran tentang paham ini di antaranya dalam QS. al-Baqarah ayat 186:

 

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. Aku me- ngabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memo- hon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

 

Kata doa yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikan bukan berdoa dalam arti lazim dipakai. Kata itu bagi mereka adalah mengandung arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil dan Tuhan melihatnya dirinya kepada mereka. Dengan perkataan lain, mereka berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan dirinya kepada mereka. Kedua, dalam QS. al-Baqarah ayat 115: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah”. Kaum sufi menafsirkannya de- ngan di mana saja Tuhan ada, dan di mana saja Tuhan dapat dijum- pai. Sehingga untuk mencari Tuhan tidak perlu jauh-jauh, dan Tuhan dapat dijumpai di mana saja dan Dia selalu ada. Ketiga, dalam QS. Qaf ayat 16:

 

Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.

 

Para ahli tasawuf menafsirkan ayat itu sebagai gambaran bahwa untuk mencari Tuhan, orang tidak perlu pergi jauh-jauh. Un- tuk itu ia cukup kembali dalam dirinya sendiri. Dengan perkataan lain bahwa Tuhan bukan berada di luar diri manusia, tetapi Tuhan berada di dalam diri manusia. Mereka memperkuat penafsirannya itu dengan mengutip hadits Nabi SAW: “Siapa yang mengetahui dirinya, maka mengetahui Tuhannya”. Untuk memperkuat tafsiran itu me- reka juga mengambil atau menghubungkannya dengan ayat-ayat lain, seperti dalam QS. al-Anfal ayat 17:

 

Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

 

Ibn al-‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran sangat dipengaruhi oleh paham wahdatul wujud yang merupakan teori atau paham terpenting dalam tasawufnya dan seolah-seolah penafsirannya itu dijadikan legitimasi atas pemahamannya. Al-Dzahabi berpendapat bahwa Ibn al-‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran telah keluar dari madlul ayat yang dimaksudkan oleh Allah. Dari pendapat- nya itu, al-Dzahabi kelihatan tidak setuju atas penafsiran Ibn al- ‘Arabi yang telah keluar dari maksud dilalah ayat.

 

Contoh penafsiran Ibn al-‘Arabi sebagai landasan untuk mem- perkuat paham wahdatul wujud di antaranya yaitu ketika menafsirkan QS. al-Fajr ayat 29-30 yang berbunyi: 

 

 فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْࣖ

 

Wadkhuli jannati, menurut tafsirannya adalah masuklah ke da- lam diri kamu (manusia) untuk mengetahui Tuhanmu karena Tuhan itu adalah diri kamu sendiri (manusia). Manusia untuk bisa mengetahui Tuhan yang ada pada dirinya adalah dengan menyingkap penu- tup yang ada pada diri manusia yaitu nafsu insaniyah. Jika kamu telah masuk ke dalam surga-Nya maka telah masuk dalam diri kamu, dan mengetahui akan Tuhan yaitu ada dalam dirimu. Dengan perkataan lain bahwa kamu (manusia) adalah Tuhan dan kamu juga adalah hamba.

 

Selanjutnya al-Dzahabi secara lebih panjang lebar menjelaskan karakteristik atau ciri-ciri dalam penafsirannya nazary yang dapat diringkas sebagai berikut: Pertama, dalam penafsiran ayat-ayat al- Quran tafsir nazary sangat besar dipengaruhi oleh filsafat. Al- Dzahabi memberikan contoh tafsir nazary yang dipengaruhi filsafat yaitu penafsiran Ibn al-‘Arabi terhadap QS. Maryam ayat 57 yang berbunyi: 

 

 وَّرَفَعۡنٰهُ مَكَانًا عَلِيًّا

 

Menurut al-Dzahabi penafsiran Ibn al-‘Arabi tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat alam yaitu dengan menafsirkan lafaz makanan ‘aliyyan dengan antariksa (alam binatang). Kedua, di dalam tafsir nazary, hal-hal yang gaib dibawa ke dalam sesuatu yang nyata atau tampak atau dengan perkataan lain mengqiyaskan yang gaib ke yang nyata. Ketiga, terkadang tidak memperhatikan kaidah- kaidah nahwu dan hanya menafsirkan apa yang sejalan dengan ruh dan jiwa sang mufassir.

 

Kelihatannya apa yang ditulis al-Syatibi mengenai tafsir nazary adalah hanya berdasarkan pada penafsiran takwil ang tidak sesuai dengan aturan yang ada. Dan menurut hemat penulis, tafsir nazary pada hakikatnya adalah tafsir isyari yang secara umum dipakai oleh kaum sufi. Tetapi tafsir nazary ini dalam praktiknya tidak memperha- tikan kaidah-kaidah yang ada dan hasilnya sangat jauh dari apa yang dimaksudkan ayat secara zahir.

 

Tafsir Sufi Isyari

 

Tafsir sufi isyari adalah pentakwilan ayat-ayat al-Quran yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi di antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan. Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan menggunakan tafsir isyari adalah bahwa al-Quran mencakup apa yang zahir dan batin. Makna zahir dari al-Quran adalah teks ayat, sedang-kan makna batinnya adalah makna isyarat yang ada di balik makna tersebut.

 

Seorang ulama sufi Nasiruddin Khasr mengatakan bahwa penafsiran nash al-Quran yang hanya melihat zahirnya, hanya meru- pakan badan atau pakaian akidah sehingga diperlukan tafsir atau penafsiran yang dalam dengan menelusuri di balik makna lahir ter- sebut dan itu adalah ruhnya, sehingga bagaimana mungkin badan bisa hidup tanpa ruh. Dan begitu, bukan berarti ulama tasawuf me- nolak makna lahir, mereka tetap menerima makna lahir dan mene- lusuri makna batin untuk mengetahui hikmah-hikmah yang ada di balik makna lahir tersebut. Imam al-Ghazaly seorang ulama tasawuf, ia tidak menolak secara mutlak apa yang ada dari makna lahir. Untuk bisa memahami makna batin tidak bisa dilakukan oleh akal atau ra’yu, sehingga beliau sangat menolak yang namanya tafsir dengan ra’yu atau akal.

 

Menurut hemat penulis, metode yang dipakai dalam tafsir tasawuf secara umum adalah takwil metode isyarat. Isyarat di sini maksudnya adalah menyingkap apa yang ada di dalam makna lahir suatu ayat untuk mengetahui hikmah-hikmahnya. Mereka menggu- nakan kata “isyarat” adalah untuk membedakannya dari takwil yang selalu dinisbatkan kepada tujuan buruk. Padahal metode isyarat yang digunakan oleh mereka dalam praktiknya lebih banyak sama dengan takwil. Para ulama sufi juga berpendapat bahwa hasil penafsiran me- reka terhadap al-Quran tidak disebut sebagai tafsir, karena hal itu sama saja dengan membatasi makna al-Quran dengan cara pemak- naan dan penafsiran, dan mereka lebih menyebutnya dengan nama “isyarat”.

 

Lahir-batin merupakan konsep yang dipergunakan oleh kaum sufi untuk melandasi pemikirannya dalam menafsirkan al-Quran khususnya dan melihat dunia pada umumnya. Pola sistem berpikir mereka adalah berangkat dari yang zahir menuju yang batin. Bagi mereka batin adalah sumber pengetahuan sedangkan zahir teks adalah penyinar. Rujukan yang mereka pakai adalah pernyataan yang selalu dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib, bahwa setiap ayat al- Quran memiliki empat makna, yaitu zahir, batin, had, dan matla’. Al- Ghazali sendiri menegaskan bahwa selain yang zahir, al-Quran memiliki  makna  batin.  Abdullah  (al-muhasibi)  dan  Ibnu  al-‘Arabi memberikan penjelasan pernyataan tersebut, bahwa yang dimaksud dengan yang zahir adalah bacaannya, dan yang batin adalah tak- wilnya. Sementara Abu Abdurrahman mengatakan bahwa yang di- maksud dengan zahir adalah bacaannya sementara yang batin adalah pemahamannya.

 

Baik makna zahir ataupun makna batin pada al-Quran adalah dari Allah. Lahir adalah turunnya (tanzil) al-Quran dari Allah kepada para nabi dengan bahasa umatnya, sedangkan batin adalah adanya pemahaman di hati  sebagian orang  mukmin (hati  al-arifin), yang berasal dari Allah. Oleh karena itu, dualisme lahir-batin dalam wa- cana al-Quran, pemahaman dan penakwilannya tidak dikembalikan kepada manusia, tetapi kepada Allah. Sebab Allah menjadikan segala sesuatu (makhluk) memiliki dimensi zahir dan batin (al-Quran ter- masuk makhluk). Yang zahir adalah bentuk yang bisa diindera (al- shurah al-hassiyah), dan yang batin adalah al-ruh al-ma’nawi. Contoh penafsiran isyari yang dapat diterima karena telah memenuhi syarat- syarat tersebut di atas, yaitu penafsiran al-Tastary ketika menafsirkan QS. al-Baqarah ayat 22 yang berbunyi: 

 

 فَلَا تَجْعَلُوْا لِلّٰهِ اَنْدَادًا

 

Al-Tastary menafsirkan andadan yaitu nafsu amarah yang jelek. Jadi maksud andadan di sini bukan hanya patung-patung, setan atau jiwa tetapi nafsu amarah yang sering dijadikan Tuhan oleh manusia adalah perihal yang dimaksud dari ayat tersebut, karena manusia se- lalu menyekutukan Tuhannya dengan selalu menjadi hamba bagi naf- su amarahnya.

 

Menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan melihat isyarat yang ada di dalamnya telah banyak dilakukan oleh para  sahabat  Nabi SAW, di antaranya penafsiran isyari sahabat, yaitu ketika para sahabat mendengar ayat pertama dari QS. al-Nasr ayat 1 yang berbunyi: 

 

 إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ

 

Di antara mereka ada yang mencoba memberikan penafsiran ayat tersebut dengan mengatakan bahwa ayat tersebut memerintah- kan kepada mereka untuk bersyukur kepada Allah dan meminta am- punannya. Tetapi berbeda dengan Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa  ayat  tersebut  adalah  sebagai  tanda  ajal  Rasulullah  SAW.

 

Contoh lainnya adalah ayat tiga dari surat al-Maidah yang dianggap oleh sebagian ulama sebagai ayat yang terakhir diturunkan. ‘Umar bin Khatab ketika mendengar ayat tersebut ia menangis tidak seperti sahabat yang lain yang ketika mendengar ayat ini sangat gembira. Dalam sebuah riwayat Ibnu Abi Syaibah menyatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan ‘Umar bin Khatab menangis, lantas Nabi SAW bertanya: “Apa yang kamu tangisi  ‘Umar? Saya menangis bahwa sesungguhnya kita telah bertambah dalam agama kita, maka ada tidak sesuatu yang sempurna lagi kecuali tambah berkurang”.

 

Al-Dzahabi memberikan penjelasan mengenai perbedaan antara tafsir sufi nazari dengan tafsir sufi isyari sebagai berikut:

 

Pertama, tafsir sufi nazari dibangun atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada dalam seorang sufi yang kemudian menafsirkan al-Quran yang dijadikan sebagai landasan tasawufnya. Adapun tafsir sufi isyari bukan didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu sebe- lumnya, tetapi didasari oleh ketulusan hati seorang sufi yang men- capai derajat tertentu sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat al-Quran. Kedua, dalam tafsir sufi nazari seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat al-Quran mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna lain yang di balik ayat. Adapun dalam tafsir sufi isyari asumsi dasarnya bahwa ayat-ayat al-Quran mempunyai makna lain yang ada di balik makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa al-Quran terdiri dari makna zahir dan batin.

 

Persoalan yang timbul kemudian adalah bagaimana para sufi menafsirkan ayat-ayat tentang hukum atau fiqh. Hal ini dikarenakan bahwa di dalam cerita-cerita para sufi, mereka menolak hukum fiqh atau syariah seperti shalat, puasa, zakat, dan sebagainya. Yang dite- kankan oleh mereka adalah hakikat bukan syariat. Dalam menang- gapi persoalan ini, perlu merujuk para ulama tasawuf sendiri.

 

Dalam sejarah tasawuf, pada sekitar abad keempat telah terjadi pergulatan yang tajam antara ahli hakikat yang diperankan oleh para ahli tasawufdan ahli syariah yang dimainkan oleh para fuqaha. Tetapi setelah itu, al-Ghazaly berusaha menyatukan kembali antara keduanya dengan menulis berbagai kitab, terutama yang terkenal di antara kitabnya adalah Ihya ‘Ulumuddin. Al-Ghazaly sebagai seorang yang dulunya filosof berpendapat bahwa dalam Islam antara syariah dan hakikat tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa mengambil salah satu dari keduanya.

 

Dalam menafsirkan ayat-ayat fiqh, mereka juga menggunakan pendekatan isyarat. Ayat-ayat tentang perintah seperti shalat, zakat, dan yang lainnya, tetap diterima sebagaimana para ahli fuqaha tetapi yang berbeda adalah bahwa para ahli tasawuf tidak hanya sebatas mengetahui hal itu wajib atau tidak tetapi menelusuri apa yang ada di balik isyarat tersebut untuk mengetahui hikmah-hikmahnya, dan hal ini tidak bisa dilakukan oleh para fuqaha.

 

Contoh-contoh penafsiran ulama tasawuf tentang ayat-ayat syariah atau fiqh di antaranya, ayat-ayat tentang kewajiban menutupi aurat. Ibn al-‘Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyat sebagai- mana dikutip oleh Ignaz Goldziher menafsirkannya sebagai berikut. Beliau mengatakan bahwa secara syariah menutup aurat adalah me- rupakan kewajiban, adapun makna batin dari syariah ini adalah wajib bagi setiap orang berakal untuk menutupi rahasia Tuhan, dan apabila membukakan rahasia Tuhan, dia bukan termasuk orang yang berakal dan berilmu.24

 

Dalam menafsirkan ayat-ayat tentang zakat, para ulama sufi menerima adanya kewajiban membayar zakat yang ditujukan pada delapan orang yang berhak menerima zakat (mustahiq zakat). Ibnu al- ‘Arabi dengan pendekatan isyarat dalam menafsirkan ayat-ayat ten- tang zakat ini berpendapat bahwa zakat yang arti bahasanya adalah pensucian (al-isytiqaq) yang secara syariah diwajibkan, tujuannya ada- lah untuk penyucian delapan anggota badan kita. Angka delapan ini dinisbatkan pada orang yang berhak menerima zakat yang jumlahnya delapan.

 

Dari contoh-contoh di atas, terlihat jelas bahwa ulama tasawuf tidak menolak syariah. Mereka tetap berpegang pada syariah dan hakikat. Terhadap orang-orang yang lebih mementingkan syariah, al- Ghazaly sangat kecewa, karena mereka hanya memahami syariah (Islam) secara lahirnya saja tidak bisa menelusuri isyarat-isyarat yang ada di balik perintah syariat dan hikmah-hikmahnya.

 

Para ahli tasawuf yang tetap menjalankan syariat-syariat Islam mereka adalah tasawuf Islami. Dikatakan tasawuf Islami karena ada di antara para sufi yang dalam praktiknya hanya mementingkan haki- kat tanpa memperhatikan syariat. Karena di dalam Islam, bahwa sya- riat dan hakikat adalah seperti dua mata uang yang tidak bisa dipi- sahkan.

 

Penutup

 

Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat dirumus- kan bahwa corak  tafsir adalah  ragam,  jenis dan  ke-khasan  suatu tafsir. Dalam pengertian yang lebih luas “corak tafsir” adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual seorang mufassir, ketika ia menjelaskan maksud-maksud ayat al-Quran.

 

Selanjutnya yang termasuh  corak tafsir adalah  tafsir falsafi, yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai para- digmanya. Ada juga yang mendefinisikan tafsir falsafi sebagai penaf- siran ayat-ayat al-Quran dengan menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat al-Quran dapat ditafsirkan dengan meng- gunakan filsafat. Karena ayat al-Quran bisa berkaitan dengan perso- alan-persoalan filsafat atau ditafisirkan dengan menggunakan teori- teori filsafat. Dengan kata lain, Tafsîr al-Falâsifah berarti menafsirkan ayat-ayat al-Quran berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti tafsir bi al-ra’y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifika- si ayat. Sebagai contoh tafsir falsafi adalah al-Dzahabi menyebutkan penafsiran sebagian filosof yang mengingkari kemungkinan mi’raj Nabi Muhammad SAW dengan fisik di samping ruhnya. Mereka hanya meyakini kemungkinan mi’raj Nabi Muhammad SAW hanya dengan ruh tanpa jasad.

 

Sedangkan corak tafsir sufi (Tafsîr al-Shufiyah) adalah  yakni tafsir yang didasarkan atas olah sufistik, dan ini terbagi dalam dua bagian, yaitu tafsîr shûfi nadzary dan tafsîr shûfi isyary. Tafsir sufi nadzary adalah tafsir yang didasarkan atas perenungan pikiran sang sufi (penulis) seperti renungan filsafat dan ini tertolak.25 Tafsir sufi isyary adalah tafsir yang didasarkan atas pengalaman pribadi (kasyaf) si penulis seperti tafsîr al-Quran al-‘Adzîm karya al-Tustari, Haqâiq al-Tafsîr karya al-Sulami dan ‘Arâis al-Bayân fî Haqâiq al-Quran karya al- Syairazi. Tafsir sufi isyari ini bisa diterima (diakui) dengan beberapa syarat, yaitu: ada dalil syar’i yang menguatkan, tidak bertentangan dengan syariat/rasio, tidak menafikan makna zahir teks. Dan jika tidak memenuhi syarat ini, maka ditolak.[]

 

Footnote

 

15 Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, hlm. 377.

 

16 Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, jilid II, hlm. 346. 

 

17.  Tawfiq ibn Amir, Dirasah fi al-Zuhd wa al-Tasawwuf (Beirut: Dar al-Fikr.
t.th.), hlm. 15-17.


18. Abu Zayd, Hakada Takallama Ibn Arabi (Beirut: Markaz Dirasat. t.th.),
hlm. 54.

 

19 Ali Hasan al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir. hlm. 55.

 

20 Ibid. hlm. 56.

 

21 Ibid. hlm. 57.

 

22 Muhammad Husein al-Dzahabi, Kitab al-Tafsir wa al-Mufassirun. hlm. 43.

 

23 Ibid.

 

24 Ignaz Goldziher, Madzahib al-Tafsir terj.  Abdul Halim al-Najar, (Beirut: Dar Iqra’. 1983), hlm. 32.

 

25 Ignaz Goldziher, Madzahib al-Tafsir. hlm. 377.

 
 
DAFTAR PUSTAKA

 

Amir, Taufiq ibn. t.th. Dirasah fi al-Zuhd wa al-Tasawwuf. Beirut: Dar al-Fikr.

 

Anshori.  2010.  Tafisr  bi  al-Ra’yi:  Memahami  al-Quran  Berdasarkan Ijtihad. Jakarta: Gaung Persada Press.

 

al-Aridl, Ali Hasan. 1994. Sejara dan Metodologi Tafsir. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

 

al-Dzahabi, Muhammad Husein. 1995. Kitab al-Tafsir wa al-Mufassirun. Beirut: Dar al-Fikr.

 

Ghani, Bustami Abdul. 1994. Beberapa Aspek Ilmiah tentang al-Quran. Jakarta: Litera Antar Nusa.

 

Goldziher, Ignaz. 1983. Madzahib al-Tafsir terj. Abdul Halim al-Najar. Beirut: Dar Iqra’.

 

Hanafi, A. 1979. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 

 

Hidayat, Komaruddin. t.th. Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermaneutik. Jakarta: Pramadina.

 

Nasution, Harun. 1978. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

 

Qathan, Manna’ al-. t.th. Mabahits fi ‘Ulum al-Quran. Kairo: Maktabah Wahbah.

 

ash-Shiddieqy, M. Hasbi. 1990. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran. Jakarta: Bulan Bintang.

 

Supiana dan M. Karman. 2002. Ulumul Quran. Bandung: Pustaka Islamika.

 

Syihab, Quraisy. 1999. Sejarah dan Ulumul Quran. Jakarta: Pustaka Firdaus.

 

al-Thabari,  Imam.  t.th.  Tafsir  al-Thabari.  Kairo:  Maktabah  Ibnu Taimiyah.

 

Tim  Penyusun  Kamus  Pusat  Bahasa.  2005.  Kamus  Besar  Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

 

Zayd,  Abu.  t.th.  Hakadza  Takallama  Ibn  Arabi.  Beirut:  Markaz Dirasat.

LihatTutupKomentar