Tafsir Lughawi
TAFSIR LUGHAWI
Tafsir lughawi menjelaskan kitab suci Alquran melalui interpretasi semiotic dan semantic yang meliputi etimologis, morfologis,leksikal, gramatikal, dan retorikal. Tafsir lughawi ini merupakan salah satu corak yang dilakukan oleh mufassir untuk menjelaskan ayat-ayat Alquran. Karen Alquran mempunyai gaya bahasa yang sangat tinggi, maka mufassir yang akan menafsirkan Alquran dengan corak ini harus memiliki kapasitas dan criteria tertentu.
Tafsir lughawi ini sudah mulai muncul pada abad kedua dan ketiga hijriyah. Muncul cara menafsirkan Alquran dengan bahasan corak kebahasaan ini disebabkan karena trjadi integrasi antara bangsa Arab dan non bangsa Arab, dan semakin hilangnya zauq Arabi, maka mufassir merasa memerlukan ilmu-ilmu mengenai bahasa Arab untuk menggambarkan makna-makna dan memahami maksud Alquran. Kerangka operasional untuk menjelaskan tafsir lughawi ini adalah dengan mengemukakan pembahasan di bidang ilmu nahu, sharaf, dan balaghah dengan macam-macam dan bagian masing-masing.
Daftar isi
- Pendahuluan
- Pengertian Tafsir Lughawi
- Sejarah Perkembangan Tafsir Lughawi
- Kerangka Operasional Tafsir Lughawi
- Kesimpulan
- Daftar Rujukan
- Metode Tafsir
- Pendekatan Tafsir
- Tafsir Riwayah
- Tafsir Dirayah
- Corak Tafsir
- Kembali ke:
Ilmu Tafsir
PENDAHULUAN
Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk untuk memperdalam pemahaman dan penghaya- tan tentang Islam. Bahasanya yang mempesona dan pesan-pesannya yang begitu agung telah meluluhkan hati orang-orang yang membacanya dan membuat mereka kagum. Namun, penulis melihat banyak orang yang hanya terpesona dengan Alquran, seolah-olah Alqur an itu kitab suci diturunkan hanya untuk dibaca.
Karena itu ulama bertanggung jawab dan berkewajiban untuk memperkenalkan Alqur’an dan menyuguhkan pesan-pesan yang tersimpan di balik setiap untaian mutiara kata sejalan dengan perkembangan masyarakat, sehingga Alqur’an benar-benar berfungsi sesuai menurut semestinya. Untuk menyampaikan pesan-pesan Alqur’an tersebut, ulama menempuh berbagai cara dan beberapa metode dan corak penyajiannya. Melihat kepada metode yang digunakan ulama dalam menafsirkan Alqur an, ada dalam bentuk ijmali atau mengungkap makna Alqur an secara global saja, ada yang menafsirkan secara rinci dan runtut, dan ada juga yang menafsirkan berdasarkan topik tertentu, dan bahkan ada yang membandingkan pendapat ulama tentang pemahaman ayat yang sama, membandingkan antara ayat yang mirip atau ayat dengan hadis. Begitu juga corak yang digunakan mufassir dalam menafsirkan Alqur an, mufassir menyampaikan pesan Alqur an itu sesuai dengan kapasitas ilmu yang mereka miliki. Maka muncullah buku- buku tafsir dengan berbagai corak sesuai dengan perkem- bangan ilmu pengetahuan dan bidang ilmu yang mereka tekuni. Contohnya adalah tafsir ayat ahkam, tafsir al-adabi al-ijtima’i, tafsir isyari, tafsir kauni, dan lain-lain.
Salah satu metode pendekatan yang sangat signifikan adalah dengan menggunakan pendekatan linguistik atau yang lebih dikenal dengan istilah tafsir lughawi. Tafsir lughawi sangat diperlukan dalam memahami Alqur’an, karena Alqur’an menggunakan bahasa Arab yang penuh dengan sastra, balaghah, fashahah, bayan, tamsil dan retorika, dan al-Qur’an juga diturunkan pada masa kejayaan syair dan linguistik. Bahkan pada awal Islam , sebagian orang masuk Islam hanya karena kekaguman linguistik dan kefashihan al-Qur’an.
Tafsir lughawi terdiri dari dua kata, yaitu tafsir dan lughawi. Tafsir yag akar katanya berasal dari ﻓﺴﺮ bermakna keterangan dan penjelasan (Abu al-Husain, t.t.: 504). Kemudian lafal itu diikutkan wazan ﻓﻌﻞ yang bererti menjelaskan atau menampakkan sesuatu. Lughawi berasal dari kata ﻟﻐﻰ yang berarti gemar dan menetapi sesuatu (Abu Al-Husain, t.t.: 255). Manusia yang gemar dan menetapi atau menekuni kata-kata yang digunakannya maka kata – kata itu disebut lughah.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa yang dimaksud dengan tafsir lughawi adalah tafsir yang mencoba menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan menggunakan kaedah-kaedah kebaha- saan, atau lebih simpelnya tafsir lughawi adalah menjelaskan al-Qur’an melalui interpretasi semiotik dan semantik yang meliputi etimologis, morfologis, leksikal, gramatikal dan retorikal (Abd Muin Salim, 1999: 34 ).
Dengan demikian, maka tafsir lughawi itu merupakan tafsir al-Qur’an yang menjelaskan ayat-ayat suci al-Qur’an lebih banyak difokuskan kepada bidang bahasa. Maksudnya tafsir yang meng- kaji Alqur’an dari segi nahwu, sharaf, balaghah (ma’any, bayan dan badi’) dan lain sebagainya yang notabenenya adalah memahami ayat-ayat Alqur’an dengan pendekatan ilmu bahasa, maka seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan bahasa harus mengetahui bahasa yang digunakan al-Qur’an yaitu bahasa arab dengan segala seluk-beluknya, yang terkait dengan nahwu, balaghah dan sastranya. Bahkan Ahmad Syurbasyi (1999: 31) menempatkan ilmu bahasa dan yang terkait (nahwu, syaraf, etimologi, balaghah dan qiraat) sebagai syarat utama bagi seorang mufassir. Abu hayyan (1992: 14–17) mengatakan bahwa seorang mufassir harus mempersiapkan beberapa hal sebagai berikut:
- Mengetahui ilmu lughah, baik yang menyangkut isim, fi’il, maupun huruf
-
Megetahui tata aturan bahasa Arab, baik ketika belum tersusun dalam suatu
kalimat maupun setelah tersusun dalam bentuk kalimat sempurna
- Mengetahui adanya kata-kata atau kalimat yang baligh atau fashih (ditinjau dari ilmu ma’any, bayan , dan badi’).
-
Mengetahui hal-hal yang ijmali, tabyin, umum, khusus, ithlaq, taqyid, dan
mengetahui pula dilalah amar dan nahi.
-
Mengetahui perbedaan kata-kata dalam bahasa Arab, baik ketika adanya penam-
bahan huruf maupun pengurangan-nya, dan adanya perubahan harakat dan sebagainya.
Dengan demikin, berarti seseorang belum layak dan tidak pantas menafsirkan al-Qur’an sebelum mengantongi ilmu-ilmu yang disebut- kan di atas dan tidak akan mendapatkan hasil yang dalam karya tafsirnya, bahkan akan menyesatkan umat dalam memahami al-Qur’an apabila tidak menguasai ilmu bahasa Arab. Al- Zahabi (t.t.: 266) mengatakan bahwa tidak sepantasnya orang yang beriman kepda Allah mendiskusikan kitab Allah (al-Qur’an) jika tidak pandai bahasa Arab. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa seorang mufassir harus mendalam bahasa Arab. Pengetahuan yang sempit tentang baha Arab tidak cukup dipakai sebagai alat untuk menafsirkan al-Qur’an, karena kadang-kadang suatu kata itu memiliki makna ganda (musytarak), sehingga seorang mufassir yang demikan itu hanya mengetahui salah satu maknanya saja, sementara ada kemungkinan makna yang dikehendaki dalam Al-Qur’an adalah makna lain yang belum diketahuinya.
Menurut Hasan ali al-Aridhi (1994: 23- 24), terdapat perbedaan antara tafsir pada abad pertama, kedua dan ketiga hijrah (mutaqaddimin) dengan tafsir pada abad sesudahnya (muta ‘akhkhirin). Tafsir pada abad pertama, kedua dan ketiga hijrah hanya mengacu kepada inti dan kandungan al-Qur’an serta penjelasan makna yang dikehendaki oleh ayat al-Qur’an. Belum ada perhatian terhadap bahasa, yaitu dari segi nahwu dan I’rab, dan tidak ada pula kajian tentang kata, susunan- susunan kalimat, majaz, ijaz, ithnab, taqdim, ta’khir, wasl, qath’ serta nida dan istisna. Apa yang dilakukan oleh ulama tafsir pada abad ketiga yang kemudian mereka tuangkan dalam kitab-kitab karangan mereka, sekaligus mereka mengelompokkannya menjadi bab-bab dan bagiannya adalah karena melihat terjadinya perkembangan ilmiah tentang tafsir pada saat itu.
Apa yang dikatakan al-Aridhi itu, menurut hemat penulis, tidak semuanya benar, karena telah muncul mufassir-mufassir yang mencoba membahas al-Qur’an dari sudut bahasa, tapi jumlahnya sangat sedikit. Bahkan, pada masa sahabat sudah ada mufassir yang mencoba mengkaji dari segi bahasa itu. Sahabat yang banyak ditanya tentang makna dan sinonim kalimat al-Qur’an dan paling banyak menafsirkan al-Qur’an melalui pendekatan bahasa atau syair-syair Arab klasik adalah Abdullah bin Abbas. Oleh karena itu, beliau dianggap sebagai Abu al-Tafsir (bapak tafsir) (Manahij fi al-Tafsir : 23 ).
Penafsiran Abdullah bin Abbas yang cenderung menjadikan syair sebagai salah satu sumber penafsirannya merupakan cikal bikal munculnya madrasah lughah. Hal itu terjadi ketika menjadi pengajar dan pembimbing di madrasah tafsir di Mekah, yaitu pada abad pertama hijrah dan kemudian dilanjutkan oleh murid-muridnya, seperti Sa’id bin Jabir, Mujahid bin Jabar, Ikrimah, Thawus bin Kaisan dan Atha’ bin Abi Rabah hingga abad keduahijrah (Musa’id Muslim Abdullah Ali Ja’far, 1 984: 77-86).
Syeikh Hasan Husain dalam suatu pendapatnya tentang sejarah ilmu tafsir mengatakan bahwa para sahabat dan tabi ‘in tidak menaruh perhatian kepada ilmu tafsir, I’rab dan majaz pada masa permulaan pembukuan tafsir, bahkan, metode yang mereka gunakan sama dengan metode ahli hadis dalam meriwayatkan makna-makna Al-Qur’an. Kemu- dian kondisi yang demikian itu berubah pada masa berikutnya disebabkan semakin bertambah meluasnya interaksi bangsa Arab dan non Arab dan hilangnya zouq Araby. Maka para mufassir merasa sangat memerlukan ilmu-ilmu tentang bahasa Arab yang telah dibukukan, yaitu nahwu, sharaf, ma’any, bayan badi’, dan lain-lain untuk menggambarkan makna-makna dan menjelaskan maksud-maksud Al-Qur’an yang mulia, sehingga sampailah pada kondisi sebagaimana sekarang (Al-‘Aridhi, 1994: 25–26).
Kitab-kitab tafsir yang terkenal dengan prediket tafsir lughawi antara lain adalah kitab Anwar al-Tanzil, Wa Asrar al-Ta’wil karya Imam Al-Baidhawi, Al-Bahr al-Muhith Fi al- Tafsir karya Abu Hayyan al-Andalusy, Irsyad al-‘Aql al-Salim Ila Mazaya al-Kitab al-Karim karya Abu Su’ud, Al-Kasysyaf karya Imam Zamakhsyari dan kitab-kitab tafsir yang sejenisnya.
A. Nahwu
Nahwu merupakan ilmu yang mem- pelajari kaedah untuk mengenal fungsi- fungsi kata yang masuk pada kalimat, mengenal hukum akhir kata dan untuk mengenal cara mengi’rab. Mengenal fungsi kata yang masuk pada kalimat, seperti fungsinya sebagai subjek (fa’il), objek (maf’ulun bihi) dan lain-lain, seperti اﺣﻤﺪ (Ahmadu) yang harakat akhirnya dammah karena diakhiri dengan “u”. Mengenal cara mengi’rab seperti rafa’, nashab, khafadh dan jazm.
Dalam masail nahwiyah, para mufassir tidak sedikit memaparkan perbedaan pendapat di kalangan ulama-ulama nahwu, bahkan mereka memaparkan kata atau kalimat yang dibicarakan itu sampai pada masalah yang detail, seperti mauqi’ al-I’rab, artinya mereka tidak hanya berbicara tentang I’rab saja tetapi juga sudah melebar kepada hal-hal yang lebih dari itu. Contohnya dalam surat Al-baqarah, ayat 25:
اَنَّ لَهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ ۗ
Ayat tersebut , apabila dilihat dari segi mauqi’ al-i’rab, maka kalimat [تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ] berkedudukan sebagai nasab, karena kalimat tersebut sebagai sifat dari kata” ﺟﻨﺎت yang berkedudukan nasab juga (Abu Suud, Juz I : 120).
Sharaf adalah salah satu nama cabang ilmu dalam bahasa Arab yang khusus membahas tentang perubahan bentuk kata. Perubahan bentuk kata ini dalam prakteknya disebut tashrif. Dinamakan ilmu sharaf karena ilmu ini khusus membahas mengenai tashrif. Tashrif itu adalah perubahan atau mengubah bentuk kata (shighat), maksudnya, perubahan dari bentuk kata yang satu kepada contoh-contoh bentuk kata yang berbeda untuk tujuan menghasilkan makna-makna yang yang dimaksud. Tidak akan berhasil tujuan suatu makna kecuali dengan contoh- contoh bentuk yang berbeda-beda itu. Contoh-contoh perubahan itu adalah berupa fi’il madhi berubah menjadi fi’il mudhari’, menjadi mashdar, isim fa’il, isim maf’ul, fi’il amar, fi’il nahi dan sebagainya.
Dalam kajian tafsir lughawi, masalah syaraf, mufassir memaparkan pula berbagai macam makna dalam satu bentuk (shighat) kata. Contoh : [واﯾﺎك ﻧﺴﺘﻌﯿﻦ] . Abu Hayyan (Al- Bahr, Juz I : 41) mengatakan bahwa kata ﻧﺴﺘﻌﯿﻦ adalah musytaq dari اﻻﺳﺘﻌﺎﻧﺔ yang berarti [طﻠﺐ اﻟﻌﻮن ] , sedangkan اﻟﻄﻠﺐ adalah salah satu faedah kata yang mengikuti wazan اﺳﺘﻔﻌﻞ yang memilki pengertian lebih kurang 12 macam, antara lain: [اﻟﺘﺤﻮل – اﻟﻄﻠﺐ – اﻻﺗﺤﺎد]
C. Balaghah
Balaghah secara etimologi adalah tercapai tujuan melalui sebuah ucapan yang indah dan fasih. Seseorang dikatakan mempunyai ucapan baligh dalam ilmu balaghah adalah orang yang telah tercapai tujuannya karena fasih dan indah bicaranya yang ungkapan bicaranya itu mampu mencapai hati orang yang ditujunya. Alqur an mempunyai ungkapan kata balaghah karena kata-kata yang digunakan mempunyai makna yang jelas dan sempurna yang sampai ke dalam hati pembaca atau pendengar. Ungkapan kata dalam al-Qur’an adalah sangat indah. Kata- katanya mampu menceritakan kegembiraan yang dahsyat atau kekaguman dan ketakutan yang dikemas dengan indah .
Ilmu balaghah itu terdiri dari 3 cabang, yaitu: ilmu ma’any, bayan, dan badi’. Dalam Alquran dapat ditemukan ketiga cabang ilmu tersebut , dan masing-masing nya juga terdiri dari beberapa bagian, sebagaimana dapat diuraikan berikut ini:
1. Isim Isyarah
Ungkapan yang menggunakan berbagai macam isim isyarah mengandung rahasia- rahasia keindahan. Ungkapan dengan menggunakan isyarah ذﻟﻚ, kadang- kadang bisa berfungsi li al-ta’zhim dan begitu juga halnya dengan menggunakan ھﺬه , kadang- kadang bisa berfungsi li al-tahqir. Contoh dalam surat Yusuf, ayat:32
قَالَتْ فَذَٰلِكُنَّ الَّذِي لُمْتُنَّنِي فِيهِ ۖ وَلَقَدْ رَاوَدتُّهُ عَن نَّفْسِهِ فَاسْتَعْصَمَ
ayat tersebut tidak menggunakan isyarat ھﺬه tetapi menggunakan ذﻟﻚ. Hal itu menunjukkan ketinggian derajat yang ditunjukkan oleh ayat tersebut. Sedangkan dalam surat al- Ankabut, ayat 64 :
وَمَا هٰذِهِ الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا لَهْوٌ وَّلَعِبٌۗ
Isyarat “ ھﺬه “ dalam ayata tersebut menunjukkan rendahnya kehidupan dunia (Manhaj Zamakhsyari: 220 ).
2. Isim Mausul
Penggunaan adawat (perangkat-perangkat) maushulah dalam tafsir lughawi memiliki kekhususan tersendiri. Lazimnya, adat maushul yang ditujukan kepada lil ‘aqil digunakan ﻣﻦ dan adat maushul yang ditujukan kepada ghairi ‘aqil digunakan ﻣﺎ. Dalam pemakaiannya, ketentuan tersebut tidak selamanya seperti itu. Kadang-kadang adat maushul yang biasanya digunakan li ghairi ‘aqil dipakaikan juga terhadap ‘aqil dan sebaliknya. Penggunaan adat maushul li ghairi ‘aqil terhadap ‘aqil dimaksudkan li al- tahqir. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah, ayat 116:
وَقَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا ۗ سُبْحَانَهُ ۖ بَل لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ كُلٌّ لَّهُ قَانِتُونَ
Isim maushul yang dipakai dalam ayat di atas ialah “ ﻣﺎ “ yang sebenarnya untuk li ghairi ‘aqil\, pada hal ayat itu bermakna, apa saja yang ada di langit dan yang ada di bumi , termasuk di dalamnya manusia, adalah ‘aqil. Hal ini didasari atas qarinah “ ﻗﺎﻧﺘﻮن” . Oleh karena itu, semua yang ada di langit dan di bumi adalah rendah derajatnya di hadapan Allah (al-Kasysyaf, Juz I : 308).
3. Jumlah Ismiyah
Di antara kaedah tafsir yang menyangkut kebahasaan ialah kaedah isim. Sering kita jumpai kalimat-kalimat dalam al-Qur’an yang diungkap dalam bentuk kalimat isim (nominal). Perlu diketahui bahwa dalam beberapa sumber disebut dengan jumlah ismiyah. Jumlah ismiyah atau kalimat nominal menunjukkan arti tsubut (tetap) dan istimrar (terus-menerus) muhammad Cizrin (1998: 240).
Penggunaan kata isim yang bertujuan untuk menunjukkan sesuatu yang tetap dan tidak berubah-ubah, contohnya adalah dalam surat al-Kahfi, ayat 18 :
Kalimat [وَّهُمْ رُقُوْدٌۖ] pada ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa para pemuda penghuni gua itu tidur dalam waktu yang sangat lama dan badan mereka tidak berubah.
Penggunaan kata isim untuk menunjukkan janji surga atau balasan yang amat tinggi. Contoh dalam surat Al- Hijr, ayat 45 :
اِنَّ الْمُتَّقِيْنَ فِيْ جَنّٰتٍ وَّعُيُوْنٍۗ
Jumlah ismiyah (kalimat nominal) itu lebih kokoh dan meyakinkan daripada jumlah fi’liyah ( kalimat verbal ). Contohnya dalam surat Luqman, ayat 33:
وَاخْشَوْا يَوْمًا لَّا يَجْزِيْ وَالِدٌ عَنْ وَّلَدِهٖۖ وَلَا مَوْلُوْدٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَّالِدِهٖ شَيْـًٔاۗ
Apabila dilihat dari segi makna maka kalimat [وَلَا مَوْلُوْدٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَّالِدِهٖ] lebih kokoh dan meyakinkan daripada kalimat [لَّا يَجْزِيْ وَالِدٌ عَنْ وَّلَدِهٖۖ] (Al- Kasysyaf, Juz I : 238 ).
4. Mendahulukan khabar dari pada mubtada’.
Dalam susunan kalimat bahasa Arab, begitu juga susunan kalimat dalam Al-Qur’an, mubtada’ didahulukan posisinya dari khabar, karena mubtada’ itu adalah subjek dan khabar adalah objek. Namun demikian, kadang-kadang ditemukan pula bahwa khabar itu didahulukan dari mubtada’. Susunan kalimat seperti itu karena ada tujuan tertentu.
Mendahulukan khabar di sini memiliki faedah ta’kid terhadap kandungan ayat. Contoh dalam surat Al-Hasyr , ayat 2:
وَظَنُّوْٓا اَنَّهُمْ مَّانِعَتُهُمْ حُصُوْنُهُمْ
Susunan kalimat di atas memiliki perbedaan kandungan makna dengan susunan kalimat biasa yang sesuai dengan urutan mubtada’ kemudian baru ada khabar, seperti susunan berikut:
وظنوا اْن حصونھم تمنعھم اْوما نعتھم
Kalimat ini menunjukkan bahwa mereka dilarang keras memasuki benteng tersebut (Al-Kasysyaf, Juz III : 445)
5. Tatsniyah
Pemakaian kata dalam al-Qur’an sesuai dengan pemakaian kata dalam bahasa Arab. Kata dalam bentuk mufrad digunakan untuk makna tunggal dan kata dalam bentuk tatsniyah digunakan untuk makna ganda. Tetapi ada kata dalam bentuk tatsniyah dapat digunakan kata dalam bentuk mufrad.
Penggunaan bentuk tatsniyah kata-kata yang sebenarnya dapat berbentuk mufrad itu maksudnya adalah agar kata tersebut lebih mengena dan kuat. Contoh dalam surat Al- Maidah, ayat 64:
وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ يَدُ اللّٰهِ مَغْلُوْلَةٌۗ غُلَّتْ اَيْدِيْهِمْ وَلُعِنُوْا بِمَا قَالُوْاۘ بَلْ يَدٰهُ مَبْسُوْطَتٰنِۙ
Bentuk tatsniyah kata ﯾﺪاه dalam ayat tersebut maksudnya adalah untuk menekankan kedermawanan dan meniadakan kekikiran . Pada hal kata sebelumnya adalah mufrad, yaitu [يَدُ اللّٰهِ] (Al-Kasysyaf, Juz I : 628).
6. Ta’nits
Kata–kata dalam bahasa Arab dikelompok- kan kepada dua bentuk yaitu mu’annats dan muzakkar. Kata mu’anats dalam Al-Qur’an bukan hanya menunjukkan kepada jenis kelamin yang pemakaiannya kepada perem- puan tetapi kata mu’anats itu dapat juga digunakan dalam kalimat yang menunjukkan lemah dan lembut. Hampir setiap kata mu’anats memiliki konotasi lemah dan lembut itu. Kalimat mu’anats yang dapat digunakan untuk mengungkapkan suatu ungkapan kelemahan adalah seperti dalam surat Al-Zumar, ayat 38 :
قُلْ اَفَرَءَيْتُمْ مَّا تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ اَرَادَنِيَ اللّٰهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كٰشِفٰتُ ضُرِّهٖٓ
Kata [كٰشِفٰتُ] dalam bentuk mu’anats ini dumaksudkan untuk menujukkan ketidak mampuan dan kelemahan berhala-berhala Latta, Uzza, dan Mana dengan selemah- lemahnya (Al-Kasysyaf. Juz II : 399).
7. Nisbah
Di antara lafal yang digunakan dalam Al- Qur’an itu adalah dengan memakai ya nisbah pada kata-katanya. Penambahan ya nisbah itu menunjukkan greget dan kekuatan perbuatan yang disandarkannya. Seperti kata “ﺧﺼﻮﺻﯿﺔ“ lebih kuat pengertiannya daripada “ﺧﺼﻮص“. Dalam al-Qur’an dapat ditemukan contoh kata yang memakai ya' nisbah tersebut, sebagaimana dalam surat Al-Mukminun, ayat 110:
Kata “ﺳﺤﺮﯾﺎ “ di sini menunjukkan kekuatan sihir yang sangat dahsyat (Al-Kasysyaf. Jua III : 44).
8. Uslub al-Ijaz
Uslub al-Ijaz adalah uslub (style) yang menunjukkan arti kalimat yang singkat tetapi pada makna. Contohnya [هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ] . Kalimat tersebut adalah singkat tapi padat makna, maksudnya, mengapa hidayah hanya bagi orang-orang yang bertaqwa bukan untuk orang-orang sesat ?.
Menurut mufassir lughawi seperti Zamakhsyari mengemukakan bahwa orang yang sesat itu ada dua kelompok: Pertama, kelompok yang telah diketahui kesesatannya dan mereka tetap berada dalam kesesatannya. Kedua, kelompok yang pada mulanya sesat, lalu mereka kembali kepada hidayah. Dengan kata lain, mereka berada (memperoleh) pada hidayah (ﻣﺘﻘﻮن) setelah melewati kesesatan , sehingga kalimat yang ringkas untuk mengungkapkannya adalah [هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ] (Al-Kasysyaf. Juz I : 118).
9. Uslub al-Tikrar
Sering ditemukan dalam al-Qur’an bentuk kata dan kalimat yang berulang. Bentuk berulang kata dan kalimat tersebut merupakan gaya bahasa yang unik yang dimiliki al-Qur’an. Gaya bahasa seperti itu disebut dengan uslub al-Tikrar. Uslub al- Tikrar bukan disebabkan minim bahasa yang digunakan atau menunjukkan kekurangan dan kelemahan al-Qur’an tetapi hal tersebut menunjukkan kelebihan dan keistimewaan bahasa yang digunakannya.
Adapun Uslub al-Tikrar itu bertujuan agar pendengar peduli dan memperhatikan (menganggap baru) setiap berita dari berbagai berita yang disampaikan. Contoh- nya dalam surat al-Qamar, ayat 22:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْاٰنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُّدَّكِرٍ
Dilihat dari segi kandungan makna, maka kata “ ﻣﺪﻛﺮ “ merupakan perulangan dari kata “ ﻟﻠﺬﻛﺮ “ (Al-Baidhawi. Juz II : 436). Contoh lain dapat dilihat dalam surat al- Rahman pada firman Allah:
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
Ayat tersebut diulang berkali-kali dalam setiap menyebutkan nikmat (Manhaj Zamakhsyari : 228).
10. Uslub Iltifat
Iltifat artinya menoleh, berbelok atau beralih, maksudnya ialah membelokkan salah satu diksi kepada diksi lain. Maksud diksi di sini adalah kata ganti orang pertama (takallum), kata ganti orang kedua (khitab) dan kata ganti orang ke tiga (ghaib). Jadi jika kita menggunakan kata ganti orang ketiga , lalu tiba-tiba diganti dengan menggunakan kata ganti orang kedua atau orang pertama, maka inilah yang disebut dengan iltifat. Dalam redaksi lain bahwa iltifat ialah pemalingan kalimat dari suatu konteks kepada konteks yang lain yang mengandung keindahan dan membangkitkan perhatian. Uslub iltifat merupakan salah satu uslub di antara sekian banyak uslub bahasa Arab atau al-Qur an. Inilah salah satu cara dari sekian metode al- Qur an untuk melatih kepekaan indrawi kita. Iltifat memberi nilai plus dan lebih menghunjam kedalam jiwa kita. Apabila susunan kalimat melulu menggunakan satu jalur atau monoton, tanpa menggunakan variasi lain akan menimbulkan kebosanan. Artinya, iltifat merupakan satu gaya bahasa yang menjaga agar redaksi al-Qur an tetap komunikatif. Contoh nya dalam surat al- Fatihah :
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿٢﴾ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ﴿٣﴾ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ﴿٤﴾ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Kelompok ayat pertama dari ayat di atas adalah dalam bentuk ghaib sedangkan kelompok ayat berikutnya dalam bentuk khitab. Memang iltifat dalam ilmu bayan kadang-kadang memalingkan kalimat dalam kontek ghaib kepada konteks khitab seperti ayat tersebut.Dan kadang-kadang, juga iltifat itu pemalingan kalimat dari konteks khitab kepada kalimat dalam konteks ghaib yang tujuan semua itu adalah mubalaghah.Contoh nya dalam surat Yunus, ayat 22:
Dalam ayat tersebut terdapat pemalingan kalimat dari konteks khitab ﻛﻨﺘﻢ kepada kalimat dalam konteks ghaib [وَجَرَيْنَ بِهِم] (Al- Baidhawi, Juz I : 369).
11. Uslub washal dan isti’naf
Washal isti’naf itu memiliki makna yang lebih kokoh dari pada washal yang menggunakan huruf washal. Contohnya dalam surat Hud, ayat 93:
وَيَٰقَوْمِ ٱعْمَلُوا۟ عَلَىٰ مَكَانَتِكُمْ إِنِّى عَٰمِلٌ ۖ سَوْفَ تَعْلَمُونَ مَن يَأْتِيهِ عَذَابٌ يُخْزِيهِ وَمَنْ هُوَ كَٰذِبٌ
Dalam ayat tersebut terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama antara memasangkan huruf fa dan tidak memasangkan atau melepaskannya dalam kalimat [ سَوْفَ تَعْلَمُونَ] . Apabila dipasangkan huruf fa, maka kalimat itu adalah dalam bentuk washal zhahir dengan memasangkan huruf washal. Tetapi apabila dilepaskan huruf washal maka kalimat itu dikatakan washal khafi yang ditaqdirkan menjadi isti’naf yang merupakan jawaban dari pertanyaan yang muqaddar :
فماذا یكون اذا عملنا نحن على مكانتنا وعملت اْنت ؟
Lalu jawabannya adalah [ سَوْفَ تَعْلَمُونَ] (Al- Kasysyaf, Juz II : 289).
12. I’tiradl taqrir dan istifham taqrir
Taqrir dalam al-Qur’an kadang-kadang menggunakan kalimat I’tiradliyah. Contoh- nya dalam surat al-Baqarah ayat 25:
كُلَّمَا رُزِقُوْا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِّزْقًا ۙ قَالُوْا هٰذَا الَّذِيْ رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ وَاُتُوْا بِهٖ مُتَشَابِهًا ۗ
Kalimatﻣﺘﺸﺎﺑﮭﺎ di sini maksudnya adalah memberi gambaran bahwa buah-buahan yang disajikan kepada mereka itu serupa warnanya tetapi berbeda rasanya (Al- Baidhawi , Juz I ; 36). Contoh lain dalam surat al-Naml, ayat 34:
Dalam ayat tersebut terdapat kalimat yang berlawanan. Kalimat itu adalah اھﻠﮭﺎ اْﻋﺰة yang bermakna “ kemuliaan penduduknya” dan اْذﻟﺔ yang bermakna “hina”. Kemudian juga terdapat dalam al-Qur an kalimat taqrir dengan istifham. Contohnya dalam surat al- Baqarah, ayat 246 :
هَلْ عَسَيْتُمْ اِنْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ اَلَّا تُقَاتِلُوْاۗ
Kalimat ﻋﺴﯿﺘﻢ ھﻞ adalah istifham tetapi maknanya taqrir. Maka ayat tersebut bermakna “mungkin sekali jika kamu diwajibkan berperang kamu tidak akan berperang”. (Al-Kasysyaf, Juz I : 388).
13. Majaz
Majaz ialah kalimat yang digunakan bukan pada makna yang sebenarnya atau makna aslinya tetapi digunakan pada makna lain karena ada karenah atau hubungannya. Hubungan tersebut ada kalanya karena ada kesamaannya atau penyandarannya. Yang ada kesamaan itu dinmakan majaz isti’arah. Contoh, [راْیت الاْسد على المنبر] . Maksud اﻻْﺳﺪ dalam ungkapan itu adalah laki-laki pemberani.Yang dalam bentuk penyandaran itu dinamakan majaz mursal. Contoh, [اْنبت المطر العشب] . Maksud اﻟﻤﻄﺮ dalam kalimat itu bukan hujan tetapi yang menurunkan hujan yaitu Allah.
Dalam Alqur’an banyak sekali dijumpai kalimat dalam bentuk majaz itu. Di antaranya, seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah, ayat 16:
Kalimat [فَمَا رَبِحَتْ] dari ayat tersebut maksudnya adalah اﻟﺨﺴﺮان (merugi). Apabila ada fi’il yang disandarkan kepada fa’il lain (selain dari fa’ilnya) karena adanya keserupan antara keduanya maka disebut majaz, baik penyandaran itu dalam bentuk positif atau negatif(Al-Kasysyaf, Juz I: 191).
14. Kinayah dan ta’ridh.
Kinayah merupakan istilah yang sudah dikenal dalam beberapa wacana keilmuan, seperti fiqh, ushul fiqh, tafsir, dan balaghah. Kinayah adalah suatu perkataan yang diucapkan oleh seseorang akan tetapi maksudnya berbeda dengan teks yang diucapkan. Maksudnya, kinayah itu menyebut dan menjelaskan sesuatu dengan menggunakan kata-kata lain.
Kinayah merupakan satu di antara tiga bahasan yang menjadi kaian ilmu bayan. Dua bahasan lainnya adalah tasybih dan majaz. Perbedaan antara kinayah dan majaz sangatlah tipis, sehingga sering terjadi ikhtilaf di antara ahli bahasa dan tafsir dalam menentukan apakah suatu ungkapan termasuk ke dalam kinayah atau majaz. Perbedaan tersebut terletak pada hubugan antara makna haqiqi (denotatif) dengan makna majazi (konotatif). Pada ungkapan majaz , teks harus dimaknai secara majazi dan tidak dibolehkan dimaknai secara haqiqi, sedangkan pada kinayah, teks harus dimaknai dengan makna lazimnya, akan tetapi ada kebolehan untuk dimaknai secara haqiqi. Contoh, dalam surat Al-Baqarah, ayat 222:
وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ
Kata [ اَذًىۙ] dalam ayat tersebut merupakah kinayah dari اﻟﻘﺬر.
Ta’ridh ialah penyebutan terhadap sesuatu untuk menunjukkan sesuatu yang lain yang tidak disebutkan. Contoh, dalam surat Al-Baqarah, ayat 28:
كَيْفَ تَكْفُرُوْنَ بِاللّٰهِ وَكُنْتُمْ اَمْوَاتًا فَاَحْيَاكُمْۚ
Kata اْﻣﻮاﺗﺎ maksudnya adalah keadaan sperma yang masih tersimpan dalam tulang rusuk manusia. Sedangkan kata اْﺣﯿﺎﻛﻢ maksudnya ialah ketika janin berada dalam rahim dan setelah menjadi manusia yang hidup di dunia, (manhaj Zamakhsyari : 251).
15. Jinas
Dari sisi lain, al-Qur’an juga menggunakan kata jinas. Pengertian jinas adalah keserupaan ucapan di antara dua kata yang berbeda maknanya. Contohnya dalam surat Hud, ayat 44:
وَقِيْلَ يٰٓاَرْضُ ابْلَعِيْ مَاۤءَكِ وَيَا سَمَاۤءُ اَقْلِعِيْ وَغِيْضَ الْمَاۤءُ
Dari segi ucapan, kata “ اﺑﻠﻌﻲ
dan اﻗﻠﻌﻲ “ serupa tetapi maknanya berbeda. Contoh
lain dalam surat Al-Naml, ayat 22 :
وَجِئْتُكَ مِن سَبَإٍۭ بِنَبَإٍ يَقِينٍ
Dalam ayat tersebut terdapat keserupaan antara kata “ ﻧﺒﺎْ “ dan kata “ ﺳﺒﺎْ“ ( Al-Kasysyaf, Juz III : 272).
16. Musyakalah
Musyakalah adalah persamaan pada lafazh dan berbeda pada makna. Contohnya dalam surat Al-Baqarah, ayat 138:
.
صِبْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنْ اللَّهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ
Kata" اﻟﺼﺒﻎ“ maknanya penyucian karena iman itu menyucikan jiwa. Pada mulanya kata اﻟﺼﺒﻎ itu berawal dari riwayat bahwa orang-orang Nasrani menelupkan anak- anak mereka ke dalam air kuning dan mereka mengatakan bahwa upaya tersebut sebagai penyucian mereka. Dan ketika salah seorang di antara mereka yang memperlakukan anaknya seperti demikian itu mengatakan : Sekarang anak saya telah menjadi Nasrani. Lalu umat Islam dipanggil Allah agar mengatakan kepada mereka(Nasrani) Ucapkanlah kami beriman kepada Allah dan Allah telah mencelupkan kita dengan celupan iman, tidak seperti celupan kita, dan Allah mensucikan kita dengan penyucian iman, tidak seperti penyucian kita. Kata “ ﺻﺒﻐﺔ “ yang dihadirkan dalam ayat di atas adalah dalam bentuk musyakalah (Al- Kasysyaf, Juz I : 316).
17. Uslub al-Laff
Uslub al-Laff ditemukan juga dalam al-Quranul karim. Uslub seperti ini menunjukkan keindahan bahasa yang digunakannya. Susunan bahasanya sangat lembut, indah dan bertenden . Contohnya dalam surat Al- Baqarah, ayat 185 :
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Kata ﻟﺘﻜﻤﻠﻮا pada ayat tersebut sebagai illat dari perintah dari mencukupkan bilangan puasa, kata ﻟﺘﻜﺒﺮ sebagai illat dari cara bagaimana memenuhi dan keluat dari janji fitrah. Kalimat [لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ] sebagai illat dari kemurahan dan kemudahan. Uslub-uslub di atas adalah uslub al-laff yang sangat lembut dan hampir-hampir tidak dapat memahaminya kecuali orang yang berkompeten (Al-Kasysyaf, Juz I: 91). Contoh lain dapat dilihat dalam surat Al- Qashash, ayat 73:
وَمِنْ رَّحْمَتِهٖ جَعَلَ لَكُمُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوْا فِيْهِ وَلِتَبْتَغُوْا مِنْ فَضْلِهٖ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Ayat di atas menggunakan uslub al-laff. Dalam ayat tersebut terdapat pasangan kata اﻟﻠﯿﻞ danاﻟﻨﮭﺎر . Maksudnya pada malam hari digunakan untuk menenangkan diri dan di siang hari dgunakan untuk mencari rezki, dan begitu juga adanya harapan untuk agar semua itu disyukuri (Al-Kasysyaf, Juz I: 70).
Tafsir lughawi adalah tafsir yang mengkaji al-Qur’an dengan pendekatan ilmu bahasa, yaitu pendekatan nahwu, sharaf, dan ilmu balaghah seperti ma’any, bayan dan badi’. Maka untuk menela’ah dan menafsirkan Alqur’an itu mufassir perlu mengetahui dan memahami ilmu-ilmu yang terkait dengan kebahasaan tersebut, karena Alqur’an memiliki bahasa yang indah, sastera yang tinggi dan makna yang dalam.
Tafsir lughawi sebenarnya telah muncul pada abad kedua dan ketiga hijriyah . Hal ini terbukti dengan tampilnya Al-Farra’, dengan kitab Ma’any al-Qur’an dan Abu ‘Ubaidah dengan tafsirnya Majaz al-Qur’an. Dan begitulah seterusnya hingga sampai pada masa Zamakhsyari pada abad kelima dengan tafsirnya Al-Kasysyaf yang menjadi inspirator bagi mufassir berikutnya seperti Al-Baidhawi, Abu Hayyan Al-Andalusy , dan Abu Su’ud.
Kerangka operasionalnya tafsir lughawi itu telah dikemukakan dalam makalah ini sebagaimana yang dijelaskan oleh para mufassir dalam kitab tafsir mereka masing-masing.
Abu al-Husain Ahmad bin Faris, Maqayis al- Lughah, Jilid 4, Dar al-Fikr, Beirut
Abu al-Husain Ahmad bin Faris, Maqayis al- Lughah, Jilid 5, Dar al-Fikr, Beirut.
Abd Muin Salim, 1999. Metodologi Tafsir, Sebuah Rekonstruksi Epistimologis (Orasi Pengukuhan Guru Besar dalam Rapat Senat Luar Biasa IAIN Alauddin Ujung Pandang)
Ahmad, Badhawi, 1960. Min Balaghat Alqur an, Dar Al-nahdhah, Al-Qahirah
Ahmad Asy-Syirbashi, 1991. Sejarah Tafsir al-Qur’an (Terjemah), Pustaka Firdaus, Cet. II
Abu Hayyan al-Andalusy al-Gharnathy, 1992 .Al-Bahr al-Muhith Fi al-Tafsir, Juz I , Daral- Fikr, 1992.
Al-Imam Mahmud bin Umar, Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf Al- Haqaiq ghawamidh al-tanzil wa ‘uyun al-aqawil al-ta’wil.
Ahmad Syurbasyi, 1999. Sejarah Perkem- bangan Tafsir al-Qur’an al-Karim, Kalam Mulia, Cet. I
Ahmad Makky Al-Anshary, 1405 H. Nadhariyat al-Nahwi al-Qur any, ttp
Ali Hasan al-‘Aridhi, Tarikh Ilm al-Tafsir Wa Manahij al-Mufassirin, Terjemah Ahmad Akrom, 1994. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, Cet. II
Musthafa al-Shawy al-Juwainy, Manhaj al- Zamakhsyari Fi Tafsir Alqur an Wa Bayan I’jazih, Dar al-Ma’arif, Mesir, Cet. II.
Musthafa al-Shawy al-Juwainy, Manahij Fi al- Tafsir, Mansyaat al-Ma’arif, Iskan- dariyah.
Muhammad Husain al-Zahaby, Al-Tafsir wa al- Mufassirun, Jilid I, Dar al-Qalam, Beirut- Libanon, Cet. I.
Muhammad Cizrin, 1998. al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Jakarta: PT.Dana Bhakti Prima Yasa
Musa’id Muslim Abdullah Ali Ja’far, 1984. Atsar al-Tathawwur al-Fikriy fi al- Tafsir, Jilid I, Muassasah al-Risalah,
Nashir al- Din Abu al-Khair Abdullah bin Umar al-Baidhawy, 1939. Tafsir al- Baidhawy, Juz I, Mushthafa al-Baby al- Halaby wa Auladuh, Mesir, Cet. I
Qadhi al-Qudhat Abu al-Su’ud bin Muhammad al-‘Imadyal-Hanafy, Tafsir Abu Su’ud, Juz I Maktabah al-Riyadh al- Haditsah, Riyadh (Tahqiq Abdul Qadir Ahmad ‘Atha’).
Profil Penulis
Syafrijal
Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Imam Bonjol Padang