Respons Kyai Imaduddin pada Gus Fahrurrozi PBNU dan Metode Nasab Ba Alawi
Judul: Pak Fahrur Dan Metode Nasab Ba Alwi
Penulis: KH Imaduddin Utsman Al Bantani
Jabatan: Pengasuh Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum, Banten
Fenomena Masih adanya orang yang percaya bahwa Ba’alwi yang berhaplo group G adalah keturunan laki-laki Nabi Muhammad SAW yang berhaplogroup J1, itu mirip dengan fenomena “kaum bumi datar” yang masih percaya bahwa bumi itu tidak bulat. Ada beberapa alasan mengapa seseorang mungkin tetap percaya bahwa Bumi datar, meskipun mayoritas ilmuwan telah membuktikan bahwa Bumi adalah bulat. Menurut Joko Luknanto dari Universitas Gajah Mada, ada beberapa alasan orang meyakini bumi datar meliputi:
Baca juga: Buku Menakar kesahihan Nasab Habib Di Indonesia oleh KH Imaduddin Usman al-Bantani
Pertama, skeptisisme terhadap ilmu: Beberapa orang mungkin merasa tidak percaya pada ilmuwan dan ilmu pengetahuan, sehingga mereka meragukan penemuan yang telah diterima secara umum; kedua, Keengganan untuk menerima fakta yang tidak nyaman: Ada orang yang mungkin enggan untuk menerima fakta yang tidak sesuai dengan keyakinan atau pandangan mereka; ketiga, Keraguan terhadap teori konspirasi: Ada beberapa orang yang percaya bahwa pemerintah atau organisasi lain telah memalsukan bukti tentang Bumi yang bulat untuk menyembunyikan kebenaran dari masyarakat; keempat, kurangnya pendidikan: Ada orang yang mungkin tidak memiliki akses atau tidak mendapatkan pendidikan yang cukup tentang topik ini, sehingga mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk memahami kenyataan ilmiah; kelima, Efek konformitas grup : Beberapa orang mungkin percaya pada teori Bumi datar karena dorongan untuk konformitas dengan kelompok sosial mereka yang juga percaya pada teori tersebut; Itu hanya beberapa alasan yang dapat dikemukakan, namun pada dasarnya, keyakinan dalam teori Bumi datar sebagian besar disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan pemahaman ilmiah.
Baca juga: Buku Terputusnya Nasab Habib Kepada Nabi Muhammad Oleh Kyai Imaduddin
Pendukung Ba’alwi mirip dengan kaum bumi datar. Ilmuan telah mengatakan bahwa menurut hasil tes DNA, pertemuan kakek antara keturunan Nabi Harun dan Nabi Muhammad SAW yang hidup hari ini adalah antara sekitar 3.460-5.700 tahun yang lalu. Artinya, mereka yang mengaku keturunan garis lurus laki Nabi Harun, dan mereka yang mengaku keturunan garis lurus laki Nabi Muhammad SAW, menunjukan pertemuan logis karena keduanya secara ilmu nasab tercatat memiliki kakek yang sama yaitu Nabi Ibrahim AS yang lahir sekitar tahun 2295 SM.
Baca juga: Habib di Indonesia
Berbeda ketika keturunan Nabi Harun di sandingkan dengan Ba’alwi, pertemuan kakek mereka berada di sekitar 30.000-48.000 tahun lalu. Bagaimana orang yang sama sama mengaku keturunan Nabi Ibrahim yang hidup sekitar 4000 tahun lalu, tetapi hasil tes DNA nya baru bertemu kakek yang sama di sekitar 48.000 tahun lalu. Tentu tidak masuk akal. Hasil penelitian silsilah nasab Ba’alwi pun menunjukan tidak adanya ketersambungan antara Ba’alwi dan Nabi Muhammad SAW. tetapi mengapa masih ada orang yang masih percaya?
Alasan dari fenomena ini mirip dengan alasan fenomena kaum bumi datar di atas, yaitu terutama pada point adanya orang yang mungkin enggan untuk menerima fakta yang tidak sesuai dengan keyakinan atau pandangan mereka. Bisa ditambahkan dengan alasan psikologis: sebenarnya mereka bukan membela Ba’alwi tetapi membela dirinya sendiri dari kesalahan pilihan sikap pengetahuannya selama ini. ia tidak ingin menjadi “tertuduh” sebagai orang yang salah memilih kesimpulan. Padahal manusia tidak ada yang sempurna, kesalahan itu bisa menerpa siapa saja baik dalam fikiran maupun perbuatan. Alasan psikologis lainnya: tentang pengagungan terhadap guru yang berlebihan yang telah dianggap oleh masyarakat sebagai “orang suci”. Ia tidak ingin gurunya yang dulu “mahabbah” dengan para Ba’alwi itu dianggap orang yang “tidak sakti” karena tidak bisa mendeteksi kepalsuan nasab itu. Padahal belum tentu juga gurunya yang telah tiada itu mengitsbat nasab Ba’alwi.
Baca juga: Metode Menetapkan Nasab
Fakta-fakta ilmiyah yang terang benderang berusaha dihindari untuk tentramnya pertahanan jiwa itu, bahkan ada “orang alim” mengatakan: Aku tidak akan bertanya tentang dalil pensahihan atau pembatalan nasab Ba’alwi hari ini, Aku tetap akan bertaklid mengikuti para ulama salaf NU. Ia tidak mengatakan: apakah bertaklid itu maksudnya bertaklid mensahihkan atau bertaklid membatalkan. Karena jika kita membaca hasil keputusan muktamar NU tahun 2004, tes DNA bisa digunakan untuk membatalkan nasab. jika bertaklid kepada ulama NU, tentu hasil muktamar adalah fatwa ulama NU yang tertinggi. Ketika Ba’alwi secara DNA terbukti bukan keturunan Nabi, maka menurut fatwa ulama NU, seharusnya sang “orang alim” ini akan langsung membatalkan nasab Ba’alwi sebagai keturunan Nabi karena itulah hasil keputusan ulama NU.
Ada juga yang membuat pertahanan psikologis itu dengan membangun narasi pejorative terhadap proposisi-proposisi penulis dalam berbagai tulisan tulisan. Dengan itu, mereka berharap para awam akan terpengaruh, walau tanpa satupun jawaban yang mereka dapat suguhkan dari pertanyaan-pertanyan penulis. Contohnya ada seorang murid Gus Najih (pembela Ba’alwi) yang menulis bahwa pemaknaan penulis terhadap kalimat “al Abdal” dalam kitab “Rasa’il fi ilmil Ansab” dengan “dari generasi ke generasi” adalah “dungu”, menurutnya, sesuai keterangan Gus Najih, kata “al Abdal” artinya pakar. Jelas murid Gus Najih dan gurunya itu tidak khatam membaca kitab itu. Kalau mereka berdua membaca kitab itu sampai khatam, maka akan ditemukan bahwa pemaknaan “al Abdal” dengan “dari generasi kegenerasi” itu adalah pemaknaan yang diinginkan oleh pengarang kitab itu sendiri. Silahkan bukan kitab “Rasa’il” halaman 193. Pengarang kitab itu mengatakan:
والابدال هم الذين يخلفون بعضهم بعضا على هذا العلم
“para ahli nasab abdal adalah mereka yang saling bergenerasi (menggantikan) sebagian mereka kepada yang lainnya terhadap ilmu ini (nasab)” (Rasa’il, h. 193)
Lalu siapa yang “dungu”?
Baca juga: Mengkonfirmasi Alawi bin Ubaidillah
Di antara mereka juga ada yang mencoba mengutak-ngatik metode penulis, padahal mereka tidak faham bagaimana metode para pakar nasab mengitsbat dan menafikan nasab. contohnya Pak Fahrur, yang katanya metode kitab sezaman adalah teori baru yang penulis ciptakan. Hal itu, Jelas membuktikan ia tidak pernah membaca kitab tentang teori ilmu nasab semisal “Rasa’il fi Ilil Ansab” dan “Muqaddimat fi Ilmil Ansab”. Jika ia sudah khatam membaca dan memahaminya, penulis yakin ia tidak akan mendebat lagi tentang pentingnya kitab sezaman dalam pengitsbatan nasab. karena nasab Ba’alwi sudah rungkad, sekarang penulis kasih bocoran: jika ingin memahami bagaimana seorang pakar nasab dapat mengetahui nasab palsu, sejarah rakitan, sarat kitab sezaman dan sebagainya, silahkan baca dengan teliti kitab “Rasa’il fi Ilmil Ansab dari halaman 178- 200, lalu peraktikan susunan nasab Ba’alwi sebagai objek percobaaanya. Yakin kesimpulan Pak Fahrur sama.
Baca juga: Tanggapan Terhadap Surat Rabitah Alawiyah
Dalam kesempatan lain ditulisannya, Pak Fahrur mulai mengakui kitab sezaman atau yang mendekati adalah penentu kesahihan nasab, tetapi menurutnya bukan satu-satunya. “suhrah walistifadoh” juga menentukan. Penulis kasih bocoran lagi, jika kitab “Rasail” dan “al Muqaddimah” itu sudah dibaca Pak Fahrur, maka Pak Fahrur akan setuju dengan penulis bahwa “suhrah wal istifadoh” hari ini itu bisa digunakan hanya jika tidak bertentangan dengan sumber kitab sezaman atau yang mendekatinya, silahkan baca kitab “Rasail” halaman 100. Dalam kitab itu dikatakan pula bahwa: “syuhroh” itu harus di Negara asalnya yaitu Madinah bahwa Ahmad bin Isa punya anak bernama Ubed, bukan dinegara tempat hijrahnya yaitu Yaman. silahkan baca masih di halaman yang sama.
Banyak orang yang membaca kitab tetapi tidak faham apa yang dibaca, ketika ada narasi beberapa metode pengitsbat nasab, lalu difahami bahwa mengitsbat nasab yang jauh seperti Ubed itu bisa dilakukan dengan salah satu dari cara-cara itu. Seperti ketika pendukung Ba’alwi melihat dalam beberapa kitab bahwa itsbat nasab bisa dilakukan dengan cara: khotunnasabah (catatan ahli nasab), al bayyinah al syar’iyyah (dua orang saksi), dan I’tiraf (pengakuan ayah ke anak), suhroh istifadoh dan di undi (qur’ah). Lalu difahami bahwa cukup salah satu cara itu bisa untuk mengisbat nasab Ubed sebagai anak Ahmad bin Isa. Lalu minta secarik catatan pengisbat nasab dari Seh Mahdi Roja’i: “sahih”. Atau minta dua orang saksi hari ini mengitsbat Ubed sebagai anak Ahmad; atau diukur dari suhroh dan istifadoh hari ini, walau bertentangan dengan kitab-kitab tua; atau di undi pakai koin: kalau keluar gambar rumah wayang maka Ubed sahih menjadi anak Ahmad, kalau keluar gambar kerbau Ubed batal jadi anak Ahmad. Gak bisa, Pak. Itu bisa diguyu pitik. Kelima cara itu hanya bisa untuk mengitsbat nasab orang yang hidup hari ini bahwa dia benar anak dari bapaknya. untuk nasab jauh, silahkan baca kitab khusus ilmu nasab .
Begini: nasab jauh bisa diitsbat dengan empat cara. Baca kitab “Al Muqaddimat fi Ilmil Ansab”: pertama riq’ah (kitab atau tulisan); kedua Syuhroh walistifadoh; ketiga ikrar keempat pembahasan ilmiyah. dari empat metode itu, tiga metode, yaitu: adanya kitab, adanya “syuhrah wal istifadoh” dan adanya “ikrar”, mempunyai satu sarat yang sama, yaitu: ketiganya tidak boleh bertentangan dengan kitab sebelumnya. Jika bertentangan dengan kitab sebelumnya akan tertolak. Agar yakin, silahkan baca kitab “al Muqadimah” halaman 58. Semua dalil yang selama ini keluar dari pendukung Ba’alwi: ada yang baca kitab Ibnu hajar al Haitami, ada yang baca kitab Annabhani, Murtado Azzabidi; ada yang baca kitab “Tobaqat al Khawas”; ada yang baca Uqudullujen Syekh Nawawi al Bantani, ada yang pakai “guru saya dulu begini”; ada yang berhujjah taklid ulama NU”; semuanya tidak sesuai dengan cara ulama nasab dalam menetapkan dan menafikan nasab. untuk mendapatkan metode yang benar dalam menetapkan atau membatalkan nasab, kembalilah kepada cara ahli fan ilmu nasab: baca kitab Al Rasail dan al Muqaddimah; taslam.
Rumail Abbas masih yang terbaik dalam memahami metode penulis. Ia tidak pernah mempermasalahkan metode penulis. Oleh karena itu ia terus berusaha mencari bahan untuk menjahit robekan jaket nasab Ba’alwi yang tertulis produksi tahun 345 H itu. Sayang, bahan yang sama tidak ditemukan di tahun itu sama sekali. Usaha terakhir yang dilakukan hanya menghasilkan bahan produksi tahun 895 H. Tentu itu karena, kemungkinan besar, ia telah membaca semua piranti penelitian ini beserta metodenya: metode ilmu nasab dan metode ilmu sejarah. Penggabungan kedua metode itu akan menghasilkan kesimpulan yang paripurna untuk mengetahui apakah nasab itu sahih, atau nasab itu: batilun, maudhu’un, munqoti’un.
Rumail juga tahu, bahwa dalam kitab Rasa’il itu, ada metode bagaimana cara mengetahui manuskrip palsu dan bagaimana cara-cara para pemalsu dalam melakukan interpolasi, oleh karena itu setiap Ba’alwi memberikan manuskrip yang dikalim bertahun tua, Rumail hanya menampilkan potongannya saja, kenapa? Jika ditampilakan seutuhnya, apalagi seluruh isinya, maka tanpa uji karbon, dari hanya membaca isinya, seorang peneliti akan langsung mengetahui kepalsuannya. Walhasil walau manuskrip itu ditampilkan hanya sepotong, netizen saja langsung tahu: manuskrip sanad Alwi bin Ubed yang hidup di tahun 400 Hijriah itu, ternyata ditulis di atas kertas bergaris yang mirip kertas produksi APP Sinar Mas tahun 2022.
Penulis: Imaduddin Utsman Al Bantani
Sumber: RMI Banten