Makna dan Waktu Niat dalam Kitab Fathul Wahab, Fathul Muin, Fatul Qorib dan Ianah al-Thalibin

Makna Niat dalam Kitab Fathul Wahab, Fathul Muin dan Ianah al-Thalibin yakni bersengaja untuk melakukan sesuatu yang bersamaan dengan awal perbuatan

Makna Niat dalam Kitab Fathul Wahab, Fathul Muin dan Ianah al-Thalibin
NIAT DAN WAKTU WUDHU MENURUT Zakariya al-Anshari, Fathul Wahab, hlm. 1/14

 وَالنِّيَّةُ شَرْعًا قَصْدُ الشيء مُقْتَرِنًا بِفِعْلِهِ فَإِنْ تَرَاخَى عَنْهُ سُمِّيَ عَزْمًا وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ وَالْأَصْلُ فِيهَا خَبَرُ الصَّحِيحَيْنِ: «إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ» وَتَعْبِيرِي بِإِلَيْهِ أَيْ الْوُضُوءِ أَوْلَى مِنْ تَعْبِيرِهِ بِإِلَى طُهْرٍ لِأَنَّهُ يُوهِمُ صِحَّةَ الْوُضُوءِ بِنِيَّةِ الْمُكْثِ بِالْمَسْجِدِ مَثَلًا لِأَنَّهُ يَتَوَقَّفُ عَلَى طُهْرٍ وَهُوَ الْغُسْلُ مَعَ أَنَّهُ لَا يَصِحُّ «مَقْرُونَةٌ بِأَوَّلِ غَسْلِ الْوَجْهِ» فَلَا يَكْفِي قرنها بما بعد الوجه لخلو أَوَّلِ الْمَغْسُولِ وُجُوبًا عَنْهَا وَلَا بِمَا قَبْلَهُ لِأَنَّهُ سُنَّةٌ تَابِعَةٌ لِلْوَاجِبِ نَعَمْ إنْ انْغَسَلَ مَعَهُ بَعْضُ الْوَجْهِ كَفَى لَكِنْ إنْ لَمْ يَقْصِدْ بِهِ الْوَجْهَ وَجَبَ إعَادَتُهُ وَلَوْ وُجِدَتْ النِّيَّةُ فِي أَثْنَاءِ غَسْلِ الْوَجْهِ دُونَ أَوَّلِهِ كَفَتْ وَوَجَبَ إعَادَةُ الْمَغْسُولِ مِنْهُ قَبْلَهَا كَمَا في المجموع فوجوب قرنها بالأول لِيُعْتَدَّ بِهِ

Dan niat menurut syariat adalah qashdu (kehendak) terhadap sesuatu yang menyertai perbuatannya. Maka jika ia tertunda daripadanya, disebut azm (tekad). Tempatnya adalah hati, dan dasarnya adalah hadits dalam dua Shahih: «Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya». Dan ucapan saya dengan «kepada itu» yaitu kepada wudhu lebih utama daripada ucapannya dengan «kepada kesucian» karena itu menggambarkan sahnya wudhu dengan niat bermalam di masjid misalnya, karena itu bergantung pada kesucian dan itu adalah mandi wajib, padahal itu tidak sah. «Yang disertai dengan awal pencucian wajah» maka tidak cukup menyertainya dengan apa setelah wajah karena kekurangan awal bagian yang wajib dicuci daripadanya, juga tidak dengan apa sebelumnya karena itu sunnah yang mengikuti yang wajib. Ya, jika sebagian wajah tercuci bersamanya, itu cukup, tetapi jika tidak berniat wajah dengannya, wajib diulanginya. Walaupun niat ditemukan di tengah pencucian wajah tanpa awalnya, itu cukup dan wajib mengulangi yang dicuci daripadanya sebelumnya sebagaimana dalam Al-Majmu', maka wajib menyertainya dengan yang pertama agar dihitung dengannya. 

***

 NIAT DAN WAKTU WUDHU MENURUT Al-Bakri al-Dimyati, I'anah al-Thalibin, hlm.  1/48

إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين  —  البكري الدمياطي (ت ١٣١٠) 

(قوله: أحدها نية) هي لغة: القصد.
وشرعا: قصد الشئ مقترنا بفعله.
واعلم أن الكلام عليها من سبعة أوجه، نظمها بعضهم بقوله: حقيقة، حكم محل وزمن كيفية شرط ومقصود حسن فحقيقتها - لغة وشرعا - ما تقدم، وحكمها الوجوب، ومحلها القلب، وزمنها أول الواجبات، وكيفيتها تختلف بحسب الأبواب، وشرطها إسلام الناوي وتمييزه وعمله بالمنوي، وعدم الإتيان بما ينافيها بأن يستصحبها حكما.
والمقصود بها تمييز العبادة عن العادة، كالجلوس مثلا للاعتكاف أو للاستراحة.
(قوله: أو أداء فرض وضوء) أي أو نية ذلك، بأن يقول: نويت أداء فرض الوضوء.
(قوله: أو رفع حدث) أي أو نية رفع حدث، بأن تقول: نويت رفع الحدث.
والمراد رفع حكمه، وهو المنع من الصلاة.
وقوله: لغير دائم حدث قيد في الأخير لا غير، وخرج به دائمه فلا ينوي رفع الحدث لأن حدثه لا يرتفع.
(قوله: حتى في الوضوء المجدد) يعني أنه يأتي بالأمور المتقدمة - أعني نية الوضوء أو أداء فرض الوضوء أو نية رفع الحدث - حتى في الوضوء المجدد، قياسا على الصلاة المعادة.
وخالف في بعض ذلك الرملي، وعبارته: ومحل الاكتفاء بالأمور المتقدمة في غير الوضوء المجدد.
أما هو فالقياس عدم الاكتفاء فيه بنية الرفع أو الاستباحة، وإن ذهب الأسنوي إلى الاكتفاء بذلك، كالصلاة المعادة.اه.
إذا علمت ذلك تعلم أن الغاية المذكورة للرد بالنسبة لبعضها، وكان الأولى تأخيرها عن جميع ما يأتي من صيغ النية.
(قوله: أو الطهارة عنه) أي أو نية الطهارة عن الحدث.
فهو معطوف على قوله وضوء.
ولو قال: نويت الطهارة، من غير أن يقول عن الحدث لم يكف، لأن الطهارة لغة: مطلق النظافة.
(قوله: أو الطهارة لنحو الصلاة) أي أو نية الطهارة لنحو الصلاة.
وقوله: مما الخ بيان لنحو الصلاة.
والمراد كل عبادة متوقفة على الوضوء، كالطواف ومس المصحف وحمله.
(قوله: أو استباحة مفتقر إلى وضوء) أي أو نية استباحة ما يفتقر إلى وضوء، بأن يقول: نويت استباحة الصلاة أو الطواف أو مس المصحف، فيأتي بإفراد هذه الكلية، ويصح أن يأتي بهذه الصيغة الكلية بأن يقول: نويت استباحة مفتقر إلى وضوء.
(قوله: ولا تكفي نية الخ) أي لأنه يستبيحه مع الحدث فلم يتضمن قصده قصد رفع الحدث.
اه نهاية.
وقال ع ش: وصورة ذلك - أي عدم الاكتفاء بالنية المذكورة - أنه ينوي استباحة ذلك، كأن يقول: نويت استباحة القراءة.
أما لو نوى الوضوء للقراءة، فقال ابن حجر: أنه - أي الوضوء، لا يبطل إلا إذا نوى التعليق أولا، وجوب النية خبر، إنما الاعمال بالنيات.
أي إنما صحتها لاكمالها.
ويجب قرنها (عند) أول (غسل) جزء من (وجه)، فلو قرنها بأثنائه كفى ووجب إعادة غسل ما سبقها.
ولا يكفي قرنها بما قبله حيث لم يستصحبها إلى غسل شئ منه، وما قارنها هو أوله، فتفوت سنة المضمضة إن انغسل معها شئ من الوجه - كحمرة الشفة - بعد النية فالاولى أن يفرق النية بأن ينوي عند كل من غسل الكفين والمضمضة والاستنشاق سنة الوضوء، ثم فرض الوضوء عند غسل الوجه، حتى لا تفوت فضيلة استصحاب النية من أوله.
وفضيلة المضمضة والاستنشاق مع انغسال حمرة الشفة.

(Ucapan pengarang:: Ahaduhā niyyah) Ia secara bahasa: al-qashd (kehendak).

Dan secara syariat: qashdu al-syi’i muqtarinan bi-fi‘lih (kehendak terhadap sesuatu yang disertai dengan perbuatannya).

Dan ketahuilah bahwa pembahasan tentangnya dari tujuh segi, yang dinazham (dirangkai berirama) oleh sebagian orang dengan sabdanya: haqīqah (hakikat), ḥukm (hukum), maḥall (tempat), wa zamān (dan waktu), kayfiyyah (cara), syarth (syarat), wa maqṣūd (dan tujuan) ḥasan (yang baik). Maka hakikatnya—secara bahasa dan syariat—adalah apa yang telah disebutkan sebelumnya, hukumnya wajib, tempatnya hati, waktunya adalah awal dari kewajiban-kewajiban, caranya berbeda-beda menurut bab-bab (perkara), syaratnya adalah Islam bagi yang berniat, balighnya, dan pelaksanaannya terhadap yang diniatkan, serta tidak melakukan apa yang bertentangan dengannya dengan cara menyertainya secara hukum.

Dan yang dimaksud dengannya adalah membedakan ibadah dari kebiasaan, seperti duduk misalnya untuk i’tikaf atau untuk beristirahat.

(Ucapan pengarang:: aw adā’u farḍi wuḍū’) Yaitu atau niat terhadap itu, dengan mengatakan: Nawaitu adā’a farḍi al-wuḍū’ (Aku niat menunaikan wajib wudhu).

(Ucapan pengarang:: aw raf‘u ḥadath) Yaitu atau niat mengangkat hadas, dengan mengatakan: Nawaitu raf‘a al-ḥadath (Aku niat mengangkat hadas).

Dan yang dimaksud adalah mengangkat hukumnya, yaitu larangan terhadap shalat.

Dan sabdanya: li-ghayri dā’imi ḥadath (untuk bukan yang hadasnya tetap) adalah qaid (pembatasan) pada yang terakhir saja, dan dengan itu dikecualikan yang hadasnya tetap, sehingga ia tidak berniat mengangkat hadas karena hadasnya tidak terangkat.

(Ucapan pengarang:: ḥattā fī al-wuḍū’i al-mujaddad) Maksudnya bahwa ia melakukan perkara-perkara yang disebutkan sebelumnya—yaitu niat wudhu atau menunaikan wajib wudhu atau niat mengangkat hadas—bahkan dalam wudhu yang diulang, berdasarkan qiyas (analogi) dengan shalat yang diulang.

Dan al-Ramlī berbeda pendapat dalam sebagian itu, dan redaksinya: Dan tempat iktifa’ (kecukupan) dengan perkara-perkara yang disebutkan sebelumnya adalah selain wudhu yang diulang.

Sedangkan menurutnya, qiyasnya adalah tidak iktifa’ (tidak cukup) di dalamnya dengan niat mengangkat atau istibahah (membolehkan), meskipun al-Asnawī berpendapat iktifa’ dengan itu, seperti shalat yang diulang.

Jika engkau mengetahui itu, engkau mengetahui bahwa tujuan yang disebutkan untuk sangkalan itu berlaku terhadap sebagiannya, dan yang lebih utama adalah menundurkannya setelah semua yang datang dari bentuk-bentuk niat.

(Ucapan pengarang:: aw al-ṭahārata ‘anhu) Yaitu atau niat thaharah dari hadas.

Maka itu ma‘ṭūf (diawali dengan huruf ‘ataf) pada sabdanya wudhu.

Dan seandainya ia berkata: Nawaitu al-ṭahārah (Aku niat thaharah), tanpa mengatakan dari hadas, maka tidak cukup, karena thaharah secara bahasa: kebersihan secara mutlaq (umum).

(Ucapan pengarang:: aw al-ṭahārah li-naw‘i al-ṣalāh) Yaitu atau niat thaharah untuk semisal shalat.

Dan sabdanya: mimmā al-kha (dari apa yang semisal) adalah penjelasan untuk semisal shalat.

Dan yang dimaksud adalah segala ibadah yang tergantung pada wudhu, seperti thawaf, menyentuh mushaf, dan membawanya.

(Ucapan pengarang:: aw istibāḥati muftaqirin ilā wuḍū’) Yaitu atau niat istibahah (membolehkan) apa yang membutuhkan wudhu, dengan mengatakan: Nawaitu istibāḥata al-ṣalāti aw al-ṭawāfi aw mas-si al-muṣḥaf (Aku niat membolehkan shalat atau thawaf atau menyentuh mushaf), sehingga ia datang dengan penyebutan khusus dari yang umum ini, dan sah jika datang dengan bentuk umum ini dengan mengatakan: Nawaitu istibāḥata muftaqirin ilā wuḍū’ (Aku niat membolehkan apa yang membutuhkan wudhu).

(Ucapan pengarang:: wa-lā takfī niyyatu al-kha) Yaitu karena ia membolehkannya dalam keadaan hadas, sehingga niatnya tidak mencakup niat mengangkat hadas.

Dan ‘Umar Syarh (mungkin maksudnya penulis syarah) berkata: Dan bentuk dari itu—yaitu tidak iktifa’ dengan niat yang disebutkan—adalah bahwa ia berniat istibahah terhadap itu, seperti mengatakan: Nawaitu istibāḥata al-qirā’ah (Aku niat membolehkan membaca).

Adapun jika berniat wudhu untuk membaca, maka kata Ibn Hajar: Bahwa itu—yaitu wudhu—tidak batal kecuali jika berniat ta‘liq (penangguhan) terlebih dahulu. Kewajiban niat adalah khabar (berita), innamā al-a‘mālu bi-al-niyyāti (sesungguhnya amal tergantung niat).

Yaitu sesungguhnya kesahannya untuk menyempurnakannya.

Dan wajib menyertainya (pada) awal (pencucian) bagian dari (wajah), maka jika disertai pada pertengahannya, itu cukup dan wajib mengulangi pencucian apa yang mendahuluinya.

Dan tidak cukup menyertainya dengan apa sebelumnya karena tidak menyertainya secara hukum ke pencucian sesuatu daripadanya, dan apa yang disertainya adalah awalnya, sehingga terlewat sunnah madzmazah jika tercuci bersamanya sesuatu dari wajah—seperti kemerahan bibir—setelah niat. Maka yang lebih utama adalah memisahkan niat dengan berniat pada masing-masing pencucian tangan, madzmazah, dan istinshaq sunnah wudhu, kemudian wajib wudhu pada pencucian wajah, agar tidak terlewat keutamaan istishab (penyertaan) niat sejak awalnya.

Dan keutamaan madzmazah dan istinshaq bersamaan dengan tercucinya kemerahan bibir. 

NIAT DAN WAKTU WUDHU MENURUT KITAB FATHUL QORIB, HLM. 31

 (وفروض الوضوء ستة أشياء): أحدها (النية). وحقيقتها شرعا قصد الشيء مقترنا بفعله؛ فإن تراخى عنه سمي عزما. وتكون النية (عندَ غسل) أول جزء من (الوجه) أي مقترنة بذلك الجزء، لا بجميعه، ولا بما قبله، ولا بما بعده؛ 

(Dan kewajiban-kewajiban wudhu adalah enam perkara): Yang pertama (niat). Dan hakikatnya secara syariat adalah kehendak terhadap sesuatu yang disertai dengan perbuatannya; maka jika tertunda daripadanya, disebut azm (tekad). Dan niat itu (pada pencucian) awal bagian dari (wajah) yaitu disertai dengan bagian itu, bukan dengan keseluruhannya, bukan dengan apa sebelumnya, dan bukan dengan apa sesudahnya;

LihatTutupKomentar