Gelisah karena Hukum Islam yang Terasa Berat
Gelisah karena Hukum Islam yang Terasa Berat
Mohon maaf kalau panjang, karena saya ingin menjelas duduk pemasalahannya dengan detil.
Saya kan dulu studi kedokteran hewan. Ketika dalam proses pendidikan di tahun 2018, saya pernah menjadi penanggung jawab anjing lumpuh, sehingga kotoran yg menempel di badannya pun saya yang harus membersihkan. Menurut saya secara realita, kontak antara pakaian saya dengan kotoran di badannya pun sulit terhindarkan.
Suatu hari saat saya membersihkan kotorannya tsb, pipisnya dia itu mengenai sepatu saya(bagian ujung dan bawah). Ketika sampai di kos, saya meletakkan sepatu tersebut di area tertentu, saya mengupayakan utk meletakkan sepatu tsb di area lantai luar kamar yg lebih kurang sama, agar najisnya ada di sekitar itu saja. Tetapi, di pagi hari saat saya mau mudik, lantai tempat saya menaruh sepatu itu dilap dengan kain basah oleh penjaga kos. Otomatis berdasarkan logika fikih, najisnya menjadi tersebar. Saat saya menggunakan sepatu yg lain utk mudik, sepatu yg lain itu menginjak bebasahan di luar kamar tsb.
Sepatu itu saya pakai ketika naik kendaraan umum, ke bandara, hingga kemudian sampai ke rumah. Saya meyakini sepatu saya itu tidak kering ketika sampai di rumah. Sepatu itu oleh orang tua saya ditaruh menempel di dinding, hingga kemudian ditaruh di rak sepatu. Dindingnya dulu sudah pernah saya siram dengan air biasa, setidaknya itu sudah cukup menurut madzhab Maliki. Tetapi rak sepatunya tidak saya siram. Sekarang di rak itu diletakkan berbagai macam benda, ada yg menaruh sepatu, deterjen, dan lain-lain, yang mana tidak mungkin kering selalu.
Pertanyaan saya :
1. Dari jawaban pertanyaan sebelumnya nomor 2, najis di alas sepatu itu tidak bisa disucikan oleh debu tsb, apakah najis di alas sepatu itu bisa dianggap najis yang dimaafkan dalam madzhab Maliki ?
2. Andaikata tidak dimaafkan juga, bagaimana dengan semua benda yang ditaruh di rak sepatu itu yang tidak dalam kondisi kering, lalu orang menyentuh benda" itu, lalu tangannya digunakan untuk menyentuh benda-benda lain seperti gagang pintu, mesin cuci, colokan listrik, dan banyak benda yang lain ?
Secara logika fikih kan itu najisnya akan menyebar.
Saya pernah membaca bahwa dalam madzhab Maliki najis hukmiah itu tidak akan berpindah meskipun kontak dengan sesuatu yg basah. Tapi untuk menentukan itu najis hukmiah atau tidak, saya takut mengidentifikasinya, jujur saya trauma terkait kenajisan anjing ini. Dari segi warna tentu ada perubahan warna di rak sepatunya karena rak sepatu itu sudah lama digunakan. Dari segi bau saya takut mengidentifikasinya, saya tidak yakin dalam perosalan ini indra penciuman saya bisa objektif.
3. Segala sumber kegelisahan saya dalan 13 tahun terakhir justru bersumber dari ajaran agama, khususnya ilmu fikih. Menjalani pendidikan dokter hewan itu buat saya adalah kesalahan terbesar dalam hidup, karena konsekuensi fikihnya membuat repot hidup saya. Orang-orang beragama untuk menemukan ketenangan, tapi yang saya dapat justru sebaliknya. Saya tidak tau harus bagaimana menyikapi kenajisan yg dulu pernah kontak dengan barang-barang saya. Sebagian besar barang itu sudah saya buang, mungkin itu bisa dianggap mubadzir, tapi saya gelisah menyimpan barang-barang itu, hingga saya tidak punya pilihan yg lebih baik selain membuangnya. Meskipun demikian, tetap ada barang-barang yang tidak saya buang, salah satunya rak sepatu tsb. Saya bingung, saya tidak menemukan bahwa agama Islam ini mudah seperti teorinya, karena praktiknya justru sebaliknya. Saya merasa bahwa wajar jika umat Islam kalah maju dngan umat agama lain karena beban dari agama itu sendiri yang menghambat kemajuan itu. Saya berusaha untuk menjelaskan kegelisahan ini seadil-adilnya, tanpa dilebih-lebihkan atau dikurang-kurangi. Saya sudah tidak bisa menerima teori yang jauh panggang dari api. Jikalau berkenan, berikan kepada saya nasihat yang sesuai dengan realita ustad, nasihat yang membuat saya bisa berdamai dengan kenajisan anjing ini, baik najis anjing di masa lalu, masa kini, dan masa depan. Saya sudah lelah.
JAWABAN
1. Ya, termasuk najis yang dimaafkan. Dalam arti tidak menularkan najis. Karena, najis di alas sepatu itu termasuk najis hukmiyah. Atau najis yang benda najisnya sudah tidak ada tetapi tetap dibilang najis karena belum disucikan dengan air mutlak.
Dalam mazhab Maliki, najis hukmiyah tidak menularkan najis. Apa maksudnya tidak menularkan najis? Berikut penjelasan dari ulama Malikiyah:
Dalam kitab Al-Muyassar Inda Qauli Khalil, hlm. 1/51, dikatakan:
ولو زال عين النجاسة… لم يتنجس ملاقي محلها، قال: لأنه لم يبق إلا الحكم وهو لا ينتقل، ولذا لو جف البول حتى لم يبق له أثر ولاقى محله طعام مبلول لم ينجس لأن البول لا عين له،
Artinya: Apabila benda najis sudah hilang .. maka tidak menjadi najis dengan menyentuh tempat najis tersebut. Karena, tidak ada yang tersisa kecuali hukumnya saja (yakni najis hukmiyah) sedangkan najis hukmiah tidak menularkan najis. Oleh karena itu, apabila kencing mengering sampai tidak ada lagi bekasnya lalu tempat tersebut ditempati makanan basah, maka makanan itu tidak najis karena kencing itu tidak ada bendanya.
Baca detail: Madzhab Maliki: najis hukmiyah tidak menular
2. Terkait identifikasi najis hukmiyah itu mudah. Ketika benda najis itu tidak tampak oleh mata, maka statusnya disebut hukmiyah. Misalnya, asalnya ada cairan kencing (berarti ainiyah), lalu cairan itu mengering (berarti hukmiyah). Ada feses (= ainiyah), lalu dibuang pakai tisu (= hukmiyah), dst.
Terkait hukmiyah tidak menularkan najis, pada hakikatnya, logika mazhab Maliki ini sama dengan mengkategorikan najis hukmiyah sebagai najis yang dimaafkan (makfu). Karena ketika suatu najis (hukmiyah) tidak menular ke tempat lain itu artinya benda lain itu berstatus suci. Jawaban ini kami kira sudah menjawab keresahan Anda terkait najis yang menular.
Namun sebagai tambahan informasi, khusus terkait najis makfu, mazhab Maliki memiliki pendapatnya sendiri. Yakni, bahwa najis sedikit yang dimaafkan itu ada dua pendapat yg berbeda antara ulama mazhab Maliki dan Imam Malik. Di mana menurut ulama Malikiyah hanya tertentu pada darah dan nanah saja yang dimaafkan (apabila sedikit). Sedangkan menurut Imam Malik kencing yg sedikit juga dimaafkan.
Al-Kharasyi dalam Syarah Mukhtasar Khalil, hlm. 1/107, menjelaskan:
وعُفي عن دون الدرهم من عين الدم؛ سواء كان دم حيض، أو نفاس، أو ميتة، أو خنزير، من الجسد، أو خارجه، في ثوبه، أو ثوب غيره، أو بدنه في الصلاة، أو خارجها. وعفي عما دون درهم من قيح، وصديد. وتخصيصُه الثلاثة بالذكر مشعر بعدم العفو عن قليل غيرها من بول، أو غائط، أو مني، أو مذي، وهو المشهور المعروف لَا مَا نُقِلَ عَنْ مَالِكٍ مِنْ اغْتِفَارِ مِثْلِ رُءُوسِ الْإِبَرِ مِنْ الْبَوْلِ اهـ.
Artinya: Yang dimaafkan dari najis yang kurang dari sebesar satu dirham koin adalah darah. Baik darah haid, nifas, bangkai, babi. Sama saja yang di tubuh atau luar tubuh. Baik di pakaian sendiri atau baju orang lain di waktu shalat atau luar shalat. Juga dimaafkan dari najis yang lebih kecil dari koin dirham adalah nanah kental (qaih) dan nanah cair (sadid). Ketiganya disebut secara khusus itu memberi pemahaman bahwa najis ainiyah yang lain tidak dimaafkan walaupun sedikit seperti kencing, feses, mani, madzi. Ini pendapat yang masyhur (dalam mazhab Malikiyah) akan tetapi berbeda dengan pandangan Imam Malik yang memaafkan najis kencing yang sedikit seperti kepala jarum.
3. Agama Islam akan membuat pemeluknya tenang. Kalau ternyata agama membuat pemeluknya tidak tenang, berarti yang salah adalah cara dia memahami agama yang salah.
Begitu juga dengan fikih. Kalau gara-gara fikih seorang muslim menjadi tidak tenang, maka ada dua kemungkinan: a) dia belum paham soal fikih; atau b) dia menderita OCD/was-was yg akut. Kemungkinan pertama bisa diobati dengan memperdalam soal fikih; untuk kemungkinan kedua harus konsultasi ke psikiater. Atau, berusaha keras untuk mengabaikan OCD-nya. Baca detail: Cara Sembuh dari Was-was menurut Ibnu Hajar al-Haitami
Seperti diketahui, Mayoritas muslim menganut Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) atau di Barat biasa disebut Sunni. Dalam berfikih kalangan Aswaja diberi pilihan empat fikih sekaligus. Ini kunci sumber ketenangan karena memberi banyak solusi bagi masalah yang menimpa seorang muslim. Termasuk bagi anda yang seorang dokter hewan.
Dalam sejumlah kasus yang anda ceritakan, tampaknya anda menderita OCD. Karena benda-benda yang menurut anda najis itu sebenarnya tidak najis. Baik menurut mazhab Maliki maupun mazhab Syafi'i. Benda suci yang tidak terlihat mata terkena najis, tapi diasumsikan najis, itu hukumnya suci. Sebagaimana pemilik anjing yang diasumsikan bersentuhan dengan anjingnya tetapi dihukumi suci selagi tidak ada bukti otentik (seperti bulu anjing, dll) di tubuhnya. Baca detail: Menyentuh Non-Muslim Ragu Najis Anjing