Sikap Imam Malik atas Perintah Membasuh Bekas Anjing
Pertanyaan ini lanjutan dari pertanyaan sebelumnya.
1. Jadi sebenarnya bagaimana penerimaan imam Malik terhadap hadist yang berisi perintah pencucian dengan air + debu/tanah tersebut ?
Seperti yg dijelaskan ulama Malikiyah Syekh Sa'id Kamaly dari Maroko (link ), hadist pencampuran air + debu/tanah itu dianggap imam Malik mutthorib/goncang, walaupun hadist-hadist yang membahas soal itu ada di kitab sahih imam Muslim. Sesuai dengan penjelasan Syekh Sa'id Kamaly tsb, Malikiyah juga lebih menguatkan hadist penyiraman dengan air 7 kali tanpa menggunakan tanah sesuai dengan hadist yang dibawa oleh imam Malik sendiri. Saya paham bahwa setiap mujtahid memiliki metode berpikir tersendiri dalam beristimbath, tapi saya bingung kalau memang itu dianggap mutthorib, kenapa pengamalannya tetap dianggap mustahab. Apakah justru kesimpulan hukum bahwa itu mustahab tidak dikeluarkan oleh imam Malik sendiri, melainkan dari ulama lain yg bermadzhab Maliki.
2. Dalam madzhab Maliki, kotoran anjing (urin & feses) tetap dianggap najis. Dalam perspektif madzhab Maliki, apabila najis"nya tersebut menempel di alas sendal/sepatu, lalu sendal/sepatu tersebut dipakai untuk berjalan, apakah najis"nya tersebut dapat tersucikan dengan sendirinya oleh debu di jalanan (aspal/semen/keramik) yang diinjak oleh sendal/sepatu tersebut ?
3. Saya sudah membaca penjelasan di link ini . Saya izin bertanya, dalam perspektif madzhab Syafi'i apakah pendapat bahwa najis anjing di jalanan itu dimaafkan adalah pendapat yg mu'tamad, atau memang ada beberapa pendapat dalam menyikapi persoalan tersebut ?
JAWABAN
1. Perintah itu dianggap ta'abbudi atau anjuran alias tidak wajib. Salah satu alasan Imam Malik karena berlawanan dengan sejumlah ayat Quran dan beberapa hadits.
Soal status hadits, dari literatur yang ada, Imam Malik tidak pernah menyatakan bahwa hadits itu mudhtarib (lemah). Hanya saja, hadits yang didapat Imam Malik hanya menyebutkan tujuh kali basuhan tanpa debu. Terlepas dari itu, berikut pernyataan Imam Malik sebagaimana dikutip Atiya Salim dalam Syarah Bulugh al-Maram, hlm. 3/5, terkait hadits soal anjing
طهور إناء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب أن يغسله سبع مرات أولاهن بالتراب) أخرجه مسلم:
إذاً: كلمة: (طهور) أخذ منها الجمهور أن سؤر الكلب نجس، وإذا ولغ في الإناء نجّسه، ويجب تطهيره، بأن يغسل سبع مرات إحداهن بالتراب.ومالك يقول: الأمر بالغسل هنا تعبدي، وليس للنجاسة؛ لأننا وجدنا كلمة (طهور) تستعمل في غير النجاسة، كما أنها تستعمل في غير الحدث، وعلى هذا فـ مالك يقول: سؤر الكلب طاهر، والغسل فيه تعبدي
Artinya: Kata (طهور) menurut jumhur (mayoritas) ulama bahwa sisa (makan dan minuman) anjing itu najis. Dan ketika menjilat wadah maka wadah menjadi najis dan wajib disucikan dengan membasuh 7x salahsatunya dengan debu. Imam Malik berkata: "Perintah untuk membasuh di sini bersifat ta'abbudi, bukan karena najis." (Ulama Malikiyah berkata): "Karena kami menemukan kata (طهور) digunakan untuk selain najis sebagaimana ia dipakai untuk selain hadas." Untuk itu, maka Imam Malik berkata: "Sisa anjing itu suci dan membasuhnya itu ta'abbudi."
Soal membasuh 7x yang mustahab, sudah dijelaskan di jawaban sebelumnya bahwa itu pandangan Imam Malik juga yakni dengan ucapan Imam Malik "ta'abbudi" yang dalam istilah Malikiyah sama dengan mustahab. Jadi,tidak ada yang perlu diherani di sini.
Baca detail: Mengapa Imam Malik Menganggap Anjing Suci
2. Najis ainiyah tetap harus disucikan dengan air yang suci menyucikan dalam mazhab Maliki sebagaimana dalam mazhab Syafi'i.
Al-Hattab dalam Mawahib al-Jalil menjelaskan pandangan mazhab Maliki, hlm. 1/188, sbb:
وإنما قال: حكم الخبث؛ لأن عين النجاسة تزول بغير الماء، وأما حكمها، وهو كون الشيء نجسًا في الشرع لا تباح ملابسته في الصلاة والغذاء، فلا يرتفع إلا بالماء المطلق. انتهى.
Artinya: ... Hukum najis dalam syariah adalah tidak bisa hilang kecuali dengan air mutlak.
3. Ada beberapa pendapat. Namun intinya, tetap dimakfu apabila sulit dihindari.
Syatha' dalam I'anah al-Talibin, hlm. 1/124, menjelaskan:
وإذا تعين عين النجاسة في الطريق، ولو مواطئ كلب، فلا يعفى عنها، (وإن عمت الطريق على الاوجه).(وأفتى شيخنا) في طريق لا طين بها بل فيها قذر الادمي وروث الكلاب والبهائم وقد أصابها المطر، بالعفو عند مشقة الاحتراز.
Artinya: Apabila jelas benda najis di jalan, walaupun berupa bekas pijakan anjing, maka hukumnya tidak dimaafkan. Bahkan walaupun hal itu menyebar rata di jalan menurut pendapat yang paling unggul (dalam mazhab Syafi'i). Guru kami (yakni Ibnu Hajar al-Haitami guru dari al-Malibari pengarang Fathul Muin) berfatwa: apabila najis itu terdapat di jalan yang tidak berlumpur dan terdapat kotoran manusia, anjing dan hewan lain, lalu terkena air hujan, maka hukumnya dimakfu apabila sulit dihindari.
Intinya: pendapat dimaafkannya najis anjing di jalangan ini termasuk pendapat yang kuat.
Baca detail: Najis Anjing di jalanan, apakah dimaafkan?