Ba’alwi Itu Keluarga Jadid, Sohib Mirbat Itu Fiktif
Seminar Pusat Study Sejarah Hadramaut: Ba’alwi Itu Keluarga Jadid, Sohib Mirbat Itu Fiktif
Penulis: Imaduddin Utsman Al-Bantani
Daftar Isi
- Ibnu Hajar al-Haitami Tidak Pernah Mengisbat Baalwi
- Kitab al-Suyuf Al-Mujliyah Batalkan Nasab Baalwi
- Ba’alwi Itu Keluarga Jadid, Sohib Mirbat Itu Fiktif
- Beberapa Kesesatan Kitab Bughiyatul Mustarsyidin
Diskursus batalnya nasab Ba’alwi yang telah berlangsung selama 29 bulan di Indonesia kini mulai menjalar jauh ke negeri Yaman. Pada tanggal 23 Agustus 2025 M. telah dilaksanakan seminar ilmiyah di Yaman terkait nasab dan sejarah Ba’alwi. Seminar itu diselenggarakan oleh Markaz Hadramaut li al Dirasat al Tarikhiyah wa al Tautsiq wa al Nasyr (Pusat Studi Sejarah, Dokumentasi dan Penerbitan Hadhramaut) yang berpusat di Ibukota Provinsi Hadramaut, Mukalla.
Tampil dalam seminar itu narasumber seorang sejarawan terkenal di Hadramaut Syaikh Awad Salim Hamden. Dalam makalah berjudul “Ibnu Hisan Al-Muftara alaihi” (Ibnu Hassan yang difitnah), Syaikh Awad mempersoalkan banyak pertanyaan tentang buku Tarikh Ibnu Hassan yang disunting oleh DR. Muhammad bin Abubakar Badzib. Menurutnya, buku tersebut tidak layak dikatakan sebagai karya Ibnu Hassan karena manuskrip yang menjadi pegangan Badzib tidak menyebut nama Ibnu Hassan sebagai penulisnya. Selain itu, manuskrip itu tidak mempunyai mukaddimah dan penutup juga tidak diketahui disalin oleh siapa dan tahun berapa. Apakah ia berasal dari manusia atau justru dari bangsa jin. lalu dari mana Badzib berkesimpulan ia merupakan karya Ibnu Hassan yang wafat tahun 818 H. tanpa satu keterangan-pun untuk dijadikan dalil. Menurut Syekh Awad, kitab Tarikh Ibnu Hassan yang disunting oleh Badzib ini tidak bisa dinafikan dari adanya pemalsuan, pengurangan, penambahan, dan permainan.
Dalam seminar itu Syaikh Awad juga mempertanyakan integritas ilmiyah dari Badzib dalam metodologi tahqiq (menyunting) manuskrip-manuskrip ulama masa lalu. Menurutnya, Badzib terindikasi sengaja menyesatkan maksud penulis naskah itu terutama terkait nasab Ali bin Jadid. Dalam naskah itu, keluarga Ba’alwi yang dimaksud adalah keluarga Jadid, tetapi Badzib menyesatkannya menjadi keluarga Ali al-Sakran.
Syaikh Awad Salim Hamden bukanlah nama asing di Hadramaut, ia terkenal karena perhatiannya terhadap sejarah Hadramaut terutana tentang kota Tarim. Pada tahun 2010 M. ia melakukan penelitian tentang kenapa kota Tarim kini bukan lagi menjadi pusat peradaban dan ilmu pengetahuan tetapi menjadi pusat cerita-cerita khurafat. Untuk menjawab itu ia menulis hasil penelitiannya itu dalam sebuah risalah berjudul “Tarim Al-Tsaqofah Am Tarim Al-Khurafat” (Tarim pusat peradaban atau Tarim pusat khurafat).
Dalam artikel setebal 16 halaman yang dipresentasikan dalam seminar itu, Syaikh Awad banyak mengungkap bukti-bukti penyesatan yang dilakukan oleh Badzib dalam mentahqiq (menyunting) naskah yang dinisbatkan sebagai karya Ibnu Hassan itu. Ia juga mengaku setelah melakukan penelitian, mencabut pernyataannya dalam berbagai tulisan di masa lalu yang menyebut Ibnu Hassan sebagai seorang hakim dan sejarawan. Ia mengaku tidak mempunyai sumber tentang hal itu selain buku-buku yang penuh dengan khurafat. Kini ia menyadari bahwa buku-buku seperti itu tidak bisa menjadi sumber terpercaya dalam sejarah. Pencabutan sebuah pernyataan ilmiyah setelah datangnya bukti kuat seperti yang dilakukan oleh Syaikh Awad adalah hal lazim dalam dunia ilmiyah, sebuah tesis masa lalu bisa dicabut kembali setelah datangnya sumber dan bukti-bukti kuat yang membantahnya. Seperti halnya saya mencabut pernyataan saya dalam kitab saya Al-Fikrah al-Nahdliyyah yang ditulis tahun 2018 M. yang menyatakan bahwa Ba’alwi merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW, lalu setelah saya melakukan penelitian mendalam tahun 2022 terbukti secara ilmiyah bahwa nasab mereka batil dan dengan itu terbukti mereka bukanlah keturunan Nabi Muhammad SAW.
Sebelum Badzib menyunting kitab Tarikh Ibnu Hassan, Abdullah Muhammad Al-Habsyi juga mengaku menemukan mansukrip Ibnu Hassan lalu ia menyuntingnya dan mencetaknya dengan judul Al-Baha fi Tarikh Hadramaut, jika manuskripnya sama lalu kenapa isinya berbeda dan kemudian siapa yang berdusta di antara keduanya? Syekh Awad mempertanyakan kenapa Badzib tidak mengungkap dalam suntingannya referensi-referensi dari proposisi historis dalam buku tersebut dari kitab-kitab sejarah sebelum tahun wafatnya Ibnu Hassan yaitu tahun 818 H., tetapi kenapa ia justru mencantumkan referensi-refernsi dari kitab-kitab setelah masa Ibnu hassan. Menurutnya ini adalah sebuah permainan dan pemalsuan, Ketika suatu sejarah masa lalu yang ditulis suatu kitab di tahun tertentu referensinya justru diambil dari kitab-kitab sesudah tahun tersebut.
Syekh Awad memberi beberapa contoh bentuk-bentuk pemalsuan sejarah terkait naskah misterius yang dinisbatkan kepada Ibnu Hassan di antaranya tentang Abu Marwan. Dalam kitab Al-Suluk karya Al-Janadi (w. 732 H.) dan dalam kitab Iqd al Fakhir karya Al-Khazraji (w. 812 H.) Abu Marwan disebut sebagai keluraga Abi Alwi dan merupakan keluarga Abi Alwi pertama yang bertasawuf. Tetapi dalam manuskrip misterius itu kemudian disisipkan kalimat Ahmad bin Alwi yang merubah posisi Abu Marwan dari keluarga Abi Alwi menjadi guru dari Ahmad bin Alwi dari keluarga Abi Alwi.
Menurut Syakh Awad, naskah misterius Tarikh Ibnu Hisan itu, selain mengungkap adanya sisipan teks yang merubah posisi Abu Marwan, ia juga mengungkap adanya ketidak konsistenan historiografi tentang Faqih Muqoddam. Di mana dalam kitab-kitab Baalwi masa belakangan disebutkan bahwa Faqih Muqoddam-lah yang belajar kepada Abu Marwan dan ialah yang pertama kali bertasawuf dari keluarga Ba’alwi bukan Ahmad bin Alwi.
Bagi Syekh Awad, Ahmad bin Alwi yang disebut oleh manuskrip misterius itu berasal dari keluarga dari Ba’alwi-Jadid berdasarkan informasi abad ke-8 H dari kitab Al-Suluk bukan Ahmad bin Alwi bin Muhammad Sahib Mirbat. Menurut Syeh Awad, Muhammad Sahib Mirbat yang disebut sebagai kakek dari Ahmad bin Alwi itu tokoh legenda (fiktif) sesuai yang dikatakan oleh peneliti Alexander Knysh dari Universiatas Michigan Amerika. Dalam kitab Minhajunnassabin saya telah menyatakan secara ilmiyah bahwa tokoh-tokoh dari rangkaian silsilah nasab Ba’alwi bukan hanya Muhammad Sahib Mirbat yang terbukti fiktif, tetapi juga banyak nama lainnya terbukti fiktif mislanya dalam rangkaian silsilah nasab Ali al-Sakran yang terbukti fiktif secara ilmiyah ada 11 nama yaitu Ubaid, Alwi, Muhammad, Alwi kedua, Ali Khali Qasam, Ali (ayah Sahib Mirbat), Muhammad Sahib Mirbat, Ali (ayah Faqih Muqoddam), Muhammad Faqih Muqoddam, Alwi, Ali, dan Muhammad Maula Dawilah. Sebelas nama tersebut muncul pada abad ke-9 H. dalam kitab-kitab Ba’alwi al-Sakran tanpa pernah disebutkan dalam kitab nasab dan sejarah pada masa sebelumnya.
Syekh Awad juga dalam makalahnya membongkar penyimpangan nama-nama yang disebut dalam kitab Al-Suluk yang disebut juga dalam buku suntingan Ba’dzib yang diasosiasikan sebagai keluarga Ba’alwi-al-Sakran oleh Badzib. Padahal, nama-nama tersebut adalah dari keluarga Ba’alwi-jadid. Yang demikian itu, telah saya ungkap pula dalam kitab saya Minhajunnassabin, hanya saja Syekh Awad membongkarnya dengan bersandar terhadap kitab Al-Iqd al-Fakhir (h. 727) dan kitab Al-Gurar, sedangkan saya dengan kitab Syams al-Dzahirah.
Dalam seminar bergengsi yang rutin dilaksanakan di Hadramaut tersebut, Syekh Awad juga membongkar penyesatan yang dilakukan Badzib terkait nama Abdullah dan Ubed. Menurut Syekh Awad, Ubed leluhur Baalwi-al-Sakran bukanlah Abdullah yang merupakan leluhur keluarga Ba’alwi-Jadid. Penghilangan lembaran yang memuat nama dan tahun wafatnya Ali Abil Jadid tahun 620 H. menurut Syekh Awad adalah untuk tujuan agar penyesatan ini tidak terbongkar. Penyesatan itu di antaranya adalah dengan membuat untuk Jadid seorang adik bernama Alwi untuk dicantolkan sebagai leluhur Ba’alwi-al-Sakran. Dalam makalah itupula Syekh Awad mengulas adanya cerita-cerita khurafat yang terdapat dalam kitab suntingan Badzib tersebut.
Dari sini kita mengetahui bahwa betapa sandaran dari nasab Ba’alwi-al-Sakran adalah sandaran yang rapuh. Ia berusaha dibangun sedemikian rupa, tetapi semakin usaha itu dilakukan maka semakin terbuka penyesatan dan kepalsuan itu. Batalnya nasab Ba’alwi-al-Sakran dan sejarahnya, kini tidak hanya diinsafi oleh mayoritas masyarakat Indonesia, tetapi telah menghujam jantung pertahanan nasab Ba’alwi yaitu negeri Hadramaut, negeri mulia yang dulu sebelum abad kesembilan Hijriyah dikenal dengan negeri yang melahirkan para ulama besar, namun setelah Ba’alwi mampu menancapkan otoritasnya di sana, terutama di kota Tarim, ia kini hanya dikenal dunia sebagai negeri yang menjadi pusat cerita-cerita palsu. Padahal hari ini-pun banyak ulama besar di sana , tetapi yang bersuara keras di level internasional justru para pemuja dongeng dan cerita-cerita palsu. Sehingga kemudian dengan itu Hadramaut dikenal dunia.
Harus muncul lagi dari Hadramaut muhaddits handal sebagaimana Ali Abil Jadid di abad ke 7 H. harus muncul Kembali dari sana ahli fiqih sekelas Muhammad Ali al-Qola’I yang fatwa-fatwanya dikutip oleh Imam Nawawi dan sebagainya. Apakah putra-putra Hadramaut akan mampu mengembalikan citra negerinya seperti dulu sebagai negeri ilmu pengetahuan, atau masih akan terus diam dan nama negerinya dijual murah oleh para pendongeng dan penjaja cerita-cerita palsu.
Sumber: RMI Banten
