Antara Cerai Khulu dan Talak
Konsultasi cerai: gugat cerai di pengadilan agama dan ucapan talak Sebenarnya dalam kasus yang saya ceritakan diatas, kami bercerai karena talak ataukah karena khulu’? Ada berapa kali kah talak yang terjadi dalam kasus saya diatas? Apakah kami masih dapat bersatu kembali dengan akad nikah yang baru?
KONSULTASI CERAI: GUGAT CERAI DI PENGADILAN AGAMA DAN UCAPAN TALAK
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu,
Yang saya hormati ustadz/ustadzah pengasuh forum konsultasi ini, saya bermaksud mengirimkan pertanyaan mengenai permasalahan keluarga saya, lebih khususnya menyangkut perceraian saya dengan istri sekitar 4 tahun yang lalu. Saya juga sudah mempelajari beberapa tanya-jawab dalam forum konsultasi ini dan menemukan beberapa pendapat yang mungkin relevan, namun saya merasa perlu menanyakan masalah ini secara langsung kepada ustadz untuk mendapatkan penjelasan yang lebih lengkap. Sengaja dalam penjelasan saya selipkan nomor untuk mempermudah pertanyaan yang nanti akan saya sampaikan di belakang
TOPIK SYARIAH ISLAM
Sekitar 4 tahun yang lalu, istri saya merasa bahwa hubungan kami sudah tidak harmonis. Hal yang menjadi penyebabnya adalah saya yang “dingin”. Karena saya bekerja di kota yang terpisah, maka saya hanya bertemu keluarga di akhir minggu. DItambah lagi dengan kondisi fisik saya yang (saat itu) kurang mendukung hubungan suami istri yang ideal. Suatu saat, istri (maaf tetap saya pakai kata istri untuk mempermudah penjelasan) menyampaikan kepada saya bahwa ia telah mempertimbangkan untuk berpisah, dan bahwa ia telah membicarakan hal ini dengan orangtuanya, saudara-saudaranya, dan dengan konsultan. Waktu itu saya belum bisa menerima bahwa kami harus berpisah, karena saya merasa semua yang ia keluhkan pasti ada solusinya.
Saya sempat meminta waktu untuk memperbaiki diri, namun karena hubungan kami yang sudah canggung (terlebih setelah istri menyampaikan keinginan berpisah), maka upaya saya untuk memperbaiki keadaan (termasuk dengan menjalani beberapa pengobatan) tidak bisa sesuai harapan kami. Karena saya tidak ingin istri sedih berlarut-larut dan tertekan (yang saya khawatirkan akan berdampak pada kemampuannya mengasuh anak kami), dan juga karena saya takut bahwa jika saya berkeras menolak justru akan membuat hubungan kami semakin jelek, istri menjadi benci pada saya, dan justru menghilangkan peluang bersatu lagi, akhirnya dengan berat hati saya menerima permintaannya untuk berpisah. Saya lupa kata-kata apa yang saya gunakan waktu itu untuk menyatakan persetujuan. Seingat saya saat itu saya tidak mengucapkan talak sharih seperti: ‘saya menceraikanmu’ atau ‘saya talak kamu’, tetapi mungkin menggunakan kata-kata seperti “ya sudah kalau memang menurutmu yang terbaik adalah kita berpisah” atau semacam itu. Saya waktu itu tidak sadar apakah kata-kata persetujuan tersebut sudah berarti talak.
Dalam pemahaman saya waktu itu, perpisahan baru akan sah secara agama maupun hukum di pengadilan agama (entah pengadilan nantinya memutuskan saya yang menalak ataupun mengabulkan gugatan cerai oleh istri), dan untuk sampai ke pengadilan agama maka kedua belah pihak harus setuju terlebih dahulu untuk melanjutkan proses ini. Waktu itu memang kami belum memutuskan cara yang dipakai untuk berpisah, apakah istri yang menggugat ataukah saya yang menceraikan. Namun akhirnya kami sepakat bahwa istri yang akan mengajukan gugatan ke pengadilan agama. Pertanyaan (1) dan (2)
Ustadz, sungguh saya menyesali kebodohan saya waktu itu. Saat itu saya tidak paham ucapan-ucapan apa saja yang bisa digolongkan sebagai talak. Saya pun memahami perceraian sebagai perjanjian yang baru sah secara syariah di Pengadilan Agama (dengan adanya saksi dan hakim). Bodohnya lagi, dalam kondisi yang tertekan saat itu, yang ada dalam pikiran saya adalah mencari cara bagaimana agar saya dapat berubah menjadi lebih baik seperti yang diharapkan istri – melakukan pengobatan, memperbaiki komunikasi, dan lain sebagainya, dan bukannya mempelajari ilmu agama yang mengatur tentang perceraian ini.
Setelah saya menyetujui keinginan istri untuk berpisah tersebut, kami pun masih beberapa kali berhubungan suami istri (karena berpikiran bahwa kami baru akan resmi bercerai setelah diputuskan di pengadilan. Jika nantinya pengadilan memerintahkan saya untuk mengikrarkan talak, maka dalam pikiran saya talak di pengadilan tersebut akan menjadi talak kesatu). Selama berhubungan itu, pernah istri merasa bahwa kondisi saya sudah lebih baik. Saat itulah istri sempat ragu dan bertanya, “Apakah (proses gugatan) tidak perlu dilanjutkan?” Saat istri mengajukan pertanyaan tersebut, saya mungkin merasa arogan, merasa menang terhadap istri, timbul keinginan menantang kesungguhan istri, dan ada perasaan bahwa mungkin perceraian memang lebih baik untuk kami (terpengaruh saran seseorang bahwa dalam kasus seperti yang kami hadapi, mungkin lebih baik cerai dulu dan baru kemudian bersatu lagi setelah kedua pihak bisa saling menerima kembali), dan akhirnya saya menjawab “Teruskan saja (prosesnya)”. Kejadian serupa berulang sebanyak satu kali lagi (total terjadi dua kali) di beberapa minggu sesudahnya. Setelah berhubungan, istri menanyakan hal yang sama dan saya ulangi dengan jawaban yang sama. Saya tidak tahu apakah saat itu istri sudah mengajukan gugatan ke pengadilan. Kalau ditanya tentang niat saya pada waktu mengucapkan itu, mungkin bisa saya jawab bahwa saya siap untuk bercerai, namun saya tidak berniat untuk bercerai saat itu juga melainkan setelah melalui pengadilan di kemudian hari. Pertanyaan (3) dan (4).
Akhirnya, gugatan istri diproses di pengadilan dan gugatannya dikabulkan.
Pertanyaan:
1. Saat saya menyetujui permintaan istri untuk bercerai (bukan permintaan untuk menalak) sebagaimana cerita yang saya sampaikan diatas, apakah berarti saya telah menjatuhkan talak satu karena mungkin saat itu saya telah menggunakan kata-kata 'pisah' saat menyetujuinya?
2. Ataukah yang berlaku saat itu adalah khulu’?
3. Jika yang berlaku adalah hukum khulu’, maka seharusnya setelah saya menyetujui permintaan istri tersebut, kami sudah tidak dapat rujuk lagi, dan untuk bersatu lagi hanya dapat dengan akad nikah baru (maaf mohon dikoreksi jika salah). Mohon maaf, tanpa bermaksud merasa lebih tahu, saya baru saja membaca satu pendapat bahwa begitu suami menyetujui keinginan istri untuk bercerai, maka khulu' langsung berlaku saat itu juga. Namun jika memang khulu’ langsung berlaku saat itu (dan bukan di pengadilan agama), maka apakah upaya mediasi di pengadilan agama saat gugatan istri tersebut diproses masih ada artinya?
4. Jika memang jawaban untuk pertanyaan (2) adalah benar bahwa khulu’ sudah berlaku, apakah artinya kami telah melakukan perzinaan? Astaghfirullahal azhiim, saya sungguh takut kami telah melakukannya. Semoga Allah melindungi kami dari zina, baik yang kami sadari maupun yang tidak kami sadari, dan Allah mengampuni dosa kami.
5. Namun jika jawaban pertanyaan nomor (1) adalah saya telah menjatuhkan talak satu, apakah berarti saya telah menjatuhkan talak kedua saat meminta istri meneruskan gugatan (karena kami sudah dihitung rujuk saat berhubungan badan), dan kemudian menjatuhkan talak ketiga saat kali kedua saya meminta istri meneruskan gugatan? Ataukah ucapan saya agar gugatan istri diteruskan ini bermakna masa yang akan datang?
6. Sebenarnya dalam kasus yang saya ceritakan diatas, kami bercerai karena talak ataukah karena khulu’? Ada berapa kali kah talak yang terjadi dalam kasus saya diatas? Apakah kami masih dapat bersatu kembali dengan akad nikah yang baru?
Ustad, saya sungguh menyesali kebodohan saya, dan saya sangat mengharapkan bahwa semua kebodohan yang saya alami diatas tidak sampai menyebabkan jatuhnya talak tiga ataupun perzinaan. Terus terang saat itu ilmu saya benar-benar dangkal. Saya mengira bahwa talak baru sah secara agama jika dilakukan di pengadilan, tidak memahami ucapan-ucapan apa saja yang berarti talak, dan tidak paham mengenai hukum khulu’. Saya baru mulai banyak belajar justru beberapa bulan terakhir ini. Saya menyesali perceraian kami dan terus terang saya masih menyimpan harapan suatu saat bisa kembali bersatu lagi dengan mantan istri. Hingga saat ini kami masih sama-sama sendiri, dan masih berkomunikasi dengan sangat baik karena kami mempunyai tujuan yang sama yaitu membesarkan anak kami. Awalnya saya banyak mencari tahu mengenai perbedaan antara cerai akibat talak dengan cerai karena gugatan istri, karena sempat mendengar pendapat beberapa teman bahwa jika istri yang menggugat cerai maka mereka tidak dapat bersatu kembali tanpa si istri menikah terlebih dahulu dengan orang lain (yang sepertinya merupakan salah pemahaman dengan akibat dari talak tiga). Namun setelah saya mempelajari lebih dalam, pasangan yang bercerai karena gugatan istri masih dapat bersatu kembali dengan akad baru, dan justru yang saya takutkan sekarang ini adalah bahwa ucapan-ucapan yang telah saya keluarkan selama berlangsungnya proses perceraian kami diatas telah menjatuhkan talak ketiga.
Mohon bantuannya, Ustad. Dan mohon maaf jika penjelasan saya kurang enak diikuti. Terimakasih banyak atas semua bantuannya.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu
JAWABAN GUGAT CERAI DI PENGADILAN AGAMA DAN UCAPAN TALAK
1. Karena persetujuan anda itu dalam konteks apabila istri melakukan gugat cerai ke Pengadilan Agama (PA), maka anda tidak menjatuhkan talak. Talak baru jatuh saat Hakim PA mengabulkan permintaan istri.
2. Yang berlaku adalah khulu' tapi khulu' yang dikabulkan oleh Hakim PA. Bukan perkataan Anda. Jadi, selama Hakim PA belum mengabulkan permintaan gugat cerai istri, khulu' belum terjadi dan karena itu hubungan intim yang terjadi antara anda dan istri tidak masalah.
3. Lihat poin 1 dan 2.
4. Khulu' belum berlaku pada pertanyaan no. 2. Karena itu, hubungan intim anda berdua hukumnya sah.
5. Lihat poin 1.
6. Anda berdua bercerai karena khulu' yang diputuskan oleh Hakim PA. Oleh karena itu, anda berdua masih dapat bersatu lagi dengan akad nikah yang baru. Karena status gugat cerai atau khulu' adalah talak bain sughro yakni kedua pihak boleh rujuk kembali asal dengan akad nikah yang baru.
Baca detail: Cerai dalam Islam
____________________________
BOLEHKAH ISTRI PERTAMA MINTA SUAMI CERAIKAN ISTRI KEDUA?
ustadz yang diberkahi Allah
saya berkeluarga sejak 1993, dikaruniai 5 anak, alhamdulillah perjalanan rumahtangga saya aman tentram, bahkan sering untuk jadi contoh keluarga yg lain. suami PNS , saya bekerja PNS juga. Alhamdulillah dengan demikian kebutuhan sehari hari dan pendididikan anak anak bisa tercukupi.
Th 2012 ada perempuan yg telah bersuami, menggoda suami saya, terjalin hubungan diantara mereka, suami perempuan itu tahu, dan marah. Saya demkian juga. Tahun 2014 suami perempuan itu meninggal. dan kembali mereka menjalin hubungan, lalu menikah bulan agustus 2015.
saya dan keluarga besar tentu saja shock , suami yg selama ini alim dan begitu baik pada keluarga, ternyata sampai hati berselingkuh dan menyakiti kami. kami sangat tidak setuju dengan pernikahan itu, disamping tentu tidak ada perempuan yg mau dimadu, selama ini saya membantu mencari nafkah untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarga, koq malah disakiti. ibu dari suami , mertua saya, juga sangat tidak setuju dengan pernikahan itu. tapi sampai saat ini suami belum menceraikan istri keduanya itu....alasannya, istri kedua tidak menuntut untuk diberi nafkah secara materi , karena bekerja juga.
saya melihat banyak mudharatnya, suami dicopot dari jabatannya, jadi sering berbohong, tidak lagi aktif mengikuti pengajian yg selama ini diikuti sejak sebelum kami menikah, hubungan dengan adik adiknya jelas renggang, sebab adik adiknya pun tak setuju dengan pernikahan itu, dan yg jelas ibunya sudah sepuh itu merasa begitu kecewa dan sakit hati dengan poligami suami saya, hubungan saya dengan suamipun jelas jadi tidak harmonis...
yang saya tanyakan ustadz,
1. apakah dibenarkan secara syariat apa yg telah dilakukan suami, poligami, padahal amanah satu keluarga saja belum maximal ditunaikan, dalam hal ini masalah ekonomi karena saya masih harus membantunya mencukupi kebutuhan sehari hari,
2. dan juga kata nya istri kedua tidak dinafkahi secara materi,
3. dan poligami itu juga menyakiti hati ibunya ?
4. kalau saya menuntut ia menceraikan istri keduanya, benar atau salah menurut syariat islam ?
demikian ustadz, atas perhatiannya saya ucapkan jazakallahu khoiron katsiron.
JAWABAN
1. Poligami tidak dilarang dalam Islam sebagaimana secara eksplisit tersebut dalam QS An-Nisa 4:3 "Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat."
Namun, sekiranya takut tidak bisa berbuat adil, maka seorang pria hendaknya mencukupkan diri dengan satu istri saja sebagaimana firman Allah dalam kelanjutan di atas: "Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja."
Yang dimaksud 'adil' dalam berpoligami menurut para ulama fiqih adalah (a) sama dalam memberi nafkah lahir termasuk sandang, pangan dan papan sesuai dengan kemampuan suami; (b) sama dalam membagi hari menginap. Sama dalam jumlah waktu menginap tidak berarti harus sama dalam melakukan hubungan intim; (c) Begitu juga tidak harus sama dalam segi cinta atau rasa sayang.
2. Seluruh istri yang dinikah berhak untuk mendapat nafkah materi dan wajib bagi suami untuk melaksanakan kewajibannya. Namun karena itu hak bagi istri, maka boleh saja istri tidak menuntut hak tersebut. Baca: Hak dan Kewajiban Suami Istri http://www.alkhoirot.net/2015/11/hak-dan-kewajiban-suami-istri.html
3. Ibu adalah sosok yang harus ditaati dan anak harus berbakti pada orang tuanya. Termasuk dalam makna berbakti adalah dengan tidak menyakiti hatinya. Kalau ibu tidak setuju dengan pernikahan poligami anaknya, maka idealnya si anak mentaati keinginan ibunya. Baca detail: Hukum Taat Orang Tua
Namun, walaupun ibu tidak setuju, pernikahan poligami putranya tetap sah selagi memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Baca detail: Pernikahan Islam
4. Tidak ada larangan bagi Anda sebagai istri pertama meminta suami untuk menceraikan istri kedua. Namun, permintaan itu jangan memaksa apalagi kalau menganggap poligami itu perbuatan yang tidak senonoh. Karena, secara syariah poligami itu halal, maka tidaklah semestinya ada yang melarang perbuatan yang dihalalkan oleh Allah. Jadi, silahkan mengajukan permohonan pada suami agar menceraikan istri kedua, tapi pada waktu yang sama dalam hati anda tetap harus mengakui bahwa poligami adalah perbuatan yang halal dan dibolehkan oleh syariah Islam.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu,
Yang saya hormati ustadz/ustadzah pengasuh forum konsultasi ini, saya bermaksud mengirimkan pertanyaan mengenai permasalahan keluarga saya, lebih khususnya menyangkut perceraian saya dengan istri sekitar 4 tahun yang lalu. Saya juga sudah mempelajari beberapa tanya-jawab dalam forum konsultasi ini dan menemukan beberapa pendapat yang mungkin relevan, namun saya merasa perlu menanyakan masalah ini secara langsung kepada ustadz untuk mendapatkan penjelasan yang lebih lengkap. Sengaja dalam penjelasan saya selipkan nomor untuk mempermudah pertanyaan yang nanti akan saya sampaikan di belakang
TOPIK SYARIAH ISLAM
- GUGAT CERAI DI PENGADILAN AGAMA DAN UCAPAN TALAK
- BOLEHKAH ISTRI PERTAMA MINTA SUAMI CERAIKAN ISTRI KEDUA?
- CARA KONSULTASI AGAMA
Sekitar 4 tahun yang lalu, istri saya merasa bahwa hubungan kami sudah tidak harmonis. Hal yang menjadi penyebabnya adalah saya yang “dingin”. Karena saya bekerja di kota yang terpisah, maka saya hanya bertemu keluarga di akhir minggu. DItambah lagi dengan kondisi fisik saya yang (saat itu) kurang mendukung hubungan suami istri yang ideal. Suatu saat, istri (maaf tetap saya pakai kata istri untuk mempermudah penjelasan) menyampaikan kepada saya bahwa ia telah mempertimbangkan untuk berpisah, dan bahwa ia telah membicarakan hal ini dengan orangtuanya, saudara-saudaranya, dan dengan konsultan. Waktu itu saya belum bisa menerima bahwa kami harus berpisah, karena saya merasa semua yang ia keluhkan pasti ada solusinya.
Saya sempat meminta waktu untuk memperbaiki diri, namun karena hubungan kami yang sudah canggung (terlebih setelah istri menyampaikan keinginan berpisah), maka upaya saya untuk memperbaiki keadaan (termasuk dengan menjalani beberapa pengobatan) tidak bisa sesuai harapan kami. Karena saya tidak ingin istri sedih berlarut-larut dan tertekan (yang saya khawatirkan akan berdampak pada kemampuannya mengasuh anak kami), dan juga karena saya takut bahwa jika saya berkeras menolak justru akan membuat hubungan kami semakin jelek, istri menjadi benci pada saya, dan justru menghilangkan peluang bersatu lagi, akhirnya dengan berat hati saya menerima permintaannya untuk berpisah. Saya lupa kata-kata apa yang saya gunakan waktu itu untuk menyatakan persetujuan. Seingat saya saat itu saya tidak mengucapkan talak sharih seperti: ‘saya menceraikanmu’ atau ‘saya talak kamu’, tetapi mungkin menggunakan kata-kata seperti “ya sudah kalau memang menurutmu yang terbaik adalah kita berpisah” atau semacam itu. Saya waktu itu tidak sadar apakah kata-kata persetujuan tersebut sudah berarti talak.
Dalam pemahaman saya waktu itu, perpisahan baru akan sah secara agama maupun hukum di pengadilan agama (entah pengadilan nantinya memutuskan saya yang menalak ataupun mengabulkan gugatan cerai oleh istri), dan untuk sampai ke pengadilan agama maka kedua belah pihak harus setuju terlebih dahulu untuk melanjutkan proses ini. Waktu itu memang kami belum memutuskan cara yang dipakai untuk berpisah, apakah istri yang menggugat ataukah saya yang menceraikan. Namun akhirnya kami sepakat bahwa istri yang akan mengajukan gugatan ke pengadilan agama. Pertanyaan (1) dan (2)
Ustadz, sungguh saya menyesali kebodohan saya waktu itu. Saat itu saya tidak paham ucapan-ucapan apa saja yang bisa digolongkan sebagai talak. Saya pun memahami perceraian sebagai perjanjian yang baru sah secara syariah di Pengadilan Agama (dengan adanya saksi dan hakim). Bodohnya lagi, dalam kondisi yang tertekan saat itu, yang ada dalam pikiran saya adalah mencari cara bagaimana agar saya dapat berubah menjadi lebih baik seperti yang diharapkan istri – melakukan pengobatan, memperbaiki komunikasi, dan lain sebagainya, dan bukannya mempelajari ilmu agama yang mengatur tentang perceraian ini.
Setelah saya menyetujui keinginan istri untuk berpisah tersebut, kami pun masih beberapa kali berhubungan suami istri (karena berpikiran bahwa kami baru akan resmi bercerai setelah diputuskan di pengadilan. Jika nantinya pengadilan memerintahkan saya untuk mengikrarkan talak, maka dalam pikiran saya talak di pengadilan tersebut akan menjadi talak kesatu). Selama berhubungan itu, pernah istri merasa bahwa kondisi saya sudah lebih baik. Saat itulah istri sempat ragu dan bertanya, “Apakah (proses gugatan) tidak perlu dilanjutkan?” Saat istri mengajukan pertanyaan tersebut, saya mungkin merasa arogan, merasa menang terhadap istri, timbul keinginan menantang kesungguhan istri, dan ada perasaan bahwa mungkin perceraian memang lebih baik untuk kami (terpengaruh saran seseorang bahwa dalam kasus seperti yang kami hadapi, mungkin lebih baik cerai dulu dan baru kemudian bersatu lagi setelah kedua pihak bisa saling menerima kembali), dan akhirnya saya menjawab “Teruskan saja (prosesnya)”. Kejadian serupa berulang sebanyak satu kali lagi (total terjadi dua kali) di beberapa minggu sesudahnya. Setelah berhubungan, istri menanyakan hal yang sama dan saya ulangi dengan jawaban yang sama. Saya tidak tahu apakah saat itu istri sudah mengajukan gugatan ke pengadilan. Kalau ditanya tentang niat saya pada waktu mengucapkan itu, mungkin bisa saya jawab bahwa saya siap untuk bercerai, namun saya tidak berniat untuk bercerai saat itu juga melainkan setelah melalui pengadilan di kemudian hari. Pertanyaan (3) dan (4).
Akhirnya, gugatan istri diproses di pengadilan dan gugatannya dikabulkan.
Pertanyaan:
1. Saat saya menyetujui permintaan istri untuk bercerai (bukan permintaan untuk menalak) sebagaimana cerita yang saya sampaikan diatas, apakah berarti saya telah menjatuhkan talak satu karena mungkin saat itu saya telah menggunakan kata-kata 'pisah' saat menyetujuinya?
2. Ataukah yang berlaku saat itu adalah khulu’?
3. Jika yang berlaku adalah hukum khulu’, maka seharusnya setelah saya menyetujui permintaan istri tersebut, kami sudah tidak dapat rujuk lagi, dan untuk bersatu lagi hanya dapat dengan akad nikah baru (maaf mohon dikoreksi jika salah). Mohon maaf, tanpa bermaksud merasa lebih tahu, saya baru saja membaca satu pendapat bahwa begitu suami menyetujui keinginan istri untuk bercerai, maka khulu' langsung berlaku saat itu juga. Namun jika memang khulu’ langsung berlaku saat itu (dan bukan di pengadilan agama), maka apakah upaya mediasi di pengadilan agama saat gugatan istri tersebut diproses masih ada artinya?
4. Jika memang jawaban untuk pertanyaan (2) adalah benar bahwa khulu’ sudah berlaku, apakah artinya kami telah melakukan perzinaan? Astaghfirullahal azhiim, saya sungguh takut kami telah melakukannya. Semoga Allah melindungi kami dari zina, baik yang kami sadari maupun yang tidak kami sadari, dan Allah mengampuni dosa kami.
5. Namun jika jawaban pertanyaan nomor (1) adalah saya telah menjatuhkan talak satu, apakah berarti saya telah menjatuhkan talak kedua saat meminta istri meneruskan gugatan (karena kami sudah dihitung rujuk saat berhubungan badan), dan kemudian menjatuhkan talak ketiga saat kali kedua saya meminta istri meneruskan gugatan? Ataukah ucapan saya agar gugatan istri diteruskan ini bermakna masa yang akan datang?
6. Sebenarnya dalam kasus yang saya ceritakan diatas, kami bercerai karena talak ataukah karena khulu’? Ada berapa kali kah talak yang terjadi dalam kasus saya diatas? Apakah kami masih dapat bersatu kembali dengan akad nikah yang baru?
Ustad, saya sungguh menyesali kebodohan saya, dan saya sangat mengharapkan bahwa semua kebodohan yang saya alami diatas tidak sampai menyebabkan jatuhnya talak tiga ataupun perzinaan. Terus terang saat itu ilmu saya benar-benar dangkal. Saya mengira bahwa talak baru sah secara agama jika dilakukan di pengadilan, tidak memahami ucapan-ucapan apa saja yang berarti talak, dan tidak paham mengenai hukum khulu’. Saya baru mulai banyak belajar justru beberapa bulan terakhir ini. Saya menyesali perceraian kami dan terus terang saya masih menyimpan harapan suatu saat bisa kembali bersatu lagi dengan mantan istri. Hingga saat ini kami masih sama-sama sendiri, dan masih berkomunikasi dengan sangat baik karena kami mempunyai tujuan yang sama yaitu membesarkan anak kami. Awalnya saya banyak mencari tahu mengenai perbedaan antara cerai akibat talak dengan cerai karena gugatan istri, karena sempat mendengar pendapat beberapa teman bahwa jika istri yang menggugat cerai maka mereka tidak dapat bersatu kembali tanpa si istri menikah terlebih dahulu dengan orang lain (yang sepertinya merupakan salah pemahaman dengan akibat dari talak tiga). Namun setelah saya mempelajari lebih dalam, pasangan yang bercerai karena gugatan istri masih dapat bersatu kembali dengan akad baru, dan justru yang saya takutkan sekarang ini adalah bahwa ucapan-ucapan yang telah saya keluarkan selama berlangsungnya proses perceraian kami diatas telah menjatuhkan talak ketiga.
Mohon bantuannya, Ustad. Dan mohon maaf jika penjelasan saya kurang enak diikuti. Terimakasih banyak atas semua bantuannya.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu
JAWABAN GUGAT CERAI DI PENGADILAN AGAMA DAN UCAPAN TALAK
1. Karena persetujuan anda itu dalam konteks apabila istri melakukan gugat cerai ke Pengadilan Agama (PA), maka anda tidak menjatuhkan talak. Talak baru jatuh saat Hakim PA mengabulkan permintaan istri.
2. Yang berlaku adalah khulu' tapi khulu' yang dikabulkan oleh Hakim PA. Bukan perkataan Anda. Jadi, selama Hakim PA belum mengabulkan permintaan gugat cerai istri, khulu' belum terjadi dan karena itu hubungan intim yang terjadi antara anda dan istri tidak masalah.
3. Lihat poin 1 dan 2.
4. Khulu' belum berlaku pada pertanyaan no. 2. Karena itu, hubungan intim anda berdua hukumnya sah.
5. Lihat poin 1.
6. Anda berdua bercerai karena khulu' yang diputuskan oleh Hakim PA. Oleh karena itu, anda berdua masih dapat bersatu lagi dengan akad nikah yang baru. Karena status gugat cerai atau khulu' adalah talak bain sughro yakni kedua pihak boleh rujuk kembali asal dengan akad nikah yang baru.
Baca detail: Cerai dalam Islam
____________________________
BOLEHKAH ISTRI PERTAMA MINTA SUAMI CERAIKAN ISTRI KEDUA?
ustadz yang diberkahi Allah
saya berkeluarga sejak 1993, dikaruniai 5 anak, alhamdulillah perjalanan rumahtangga saya aman tentram, bahkan sering untuk jadi contoh keluarga yg lain. suami PNS , saya bekerja PNS juga. Alhamdulillah dengan demikian kebutuhan sehari hari dan pendididikan anak anak bisa tercukupi.
Th 2012 ada perempuan yg telah bersuami, menggoda suami saya, terjalin hubungan diantara mereka, suami perempuan itu tahu, dan marah. Saya demkian juga. Tahun 2014 suami perempuan itu meninggal. dan kembali mereka menjalin hubungan, lalu menikah bulan agustus 2015.
saya dan keluarga besar tentu saja shock , suami yg selama ini alim dan begitu baik pada keluarga, ternyata sampai hati berselingkuh dan menyakiti kami. kami sangat tidak setuju dengan pernikahan itu, disamping tentu tidak ada perempuan yg mau dimadu, selama ini saya membantu mencari nafkah untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarga, koq malah disakiti. ibu dari suami , mertua saya, juga sangat tidak setuju dengan pernikahan itu. tapi sampai saat ini suami belum menceraikan istri keduanya itu....alasannya, istri kedua tidak menuntut untuk diberi nafkah secara materi , karena bekerja juga.
saya melihat banyak mudharatnya, suami dicopot dari jabatannya, jadi sering berbohong, tidak lagi aktif mengikuti pengajian yg selama ini diikuti sejak sebelum kami menikah, hubungan dengan adik adiknya jelas renggang, sebab adik adiknya pun tak setuju dengan pernikahan itu, dan yg jelas ibunya sudah sepuh itu merasa begitu kecewa dan sakit hati dengan poligami suami saya, hubungan saya dengan suamipun jelas jadi tidak harmonis...
yang saya tanyakan ustadz,
1. apakah dibenarkan secara syariat apa yg telah dilakukan suami, poligami, padahal amanah satu keluarga saja belum maximal ditunaikan, dalam hal ini masalah ekonomi karena saya masih harus membantunya mencukupi kebutuhan sehari hari,
2. dan juga kata nya istri kedua tidak dinafkahi secara materi,
3. dan poligami itu juga menyakiti hati ibunya ?
4. kalau saya menuntut ia menceraikan istri keduanya, benar atau salah menurut syariat islam ?
demikian ustadz, atas perhatiannya saya ucapkan jazakallahu khoiron katsiron.
JAWABAN
1. Poligami tidak dilarang dalam Islam sebagaimana secara eksplisit tersebut dalam QS An-Nisa 4:3 "Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat."
Namun, sekiranya takut tidak bisa berbuat adil, maka seorang pria hendaknya mencukupkan diri dengan satu istri saja sebagaimana firman Allah dalam kelanjutan di atas: "Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja."
Yang dimaksud 'adil' dalam berpoligami menurut para ulama fiqih adalah (a) sama dalam memberi nafkah lahir termasuk sandang, pangan dan papan sesuai dengan kemampuan suami; (b) sama dalam membagi hari menginap. Sama dalam jumlah waktu menginap tidak berarti harus sama dalam melakukan hubungan intim; (c) Begitu juga tidak harus sama dalam segi cinta atau rasa sayang.
2. Seluruh istri yang dinikah berhak untuk mendapat nafkah materi dan wajib bagi suami untuk melaksanakan kewajibannya. Namun karena itu hak bagi istri, maka boleh saja istri tidak menuntut hak tersebut. Baca: Hak dan Kewajiban Suami Istri http://www.alkhoirot.net/2015/11/hak-dan-kewajiban-suami-istri.html
3. Ibu adalah sosok yang harus ditaati dan anak harus berbakti pada orang tuanya. Termasuk dalam makna berbakti adalah dengan tidak menyakiti hatinya. Kalau ibu tidak setuju dengan pernikahan poligami anaknya, maka idealnya si anak mentaati keinginan ibunya. Baca detail: Hukum Taat Orang Tua
Namun, walaupun ibu tidak setuju, pernikahan poligami putranya tetap sah selagi memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Baca detail: Pernikahan Islam
4. Tidak ada larangan bagi Anda sebagai istri pertama meminta suami untuk menceraikan istri kedua. Namun, permintaan itu jangan memaksa apalagi kalau menganggap poligami itu perbuatan yang tidak senonoh. Karena, secara syariah poligami itu halal, maka tidaklah semestinya ada yang melarang perbuatan yang dihalalkan oleh Allah. Jadi, silahkan mengajukan permohonan pada suami agar menceraikan istri kedua, tapi pada waktu yang sama dalam hati anda tetap harus mengakui bahwa poligami adalah perbuatan yang halal dan dibolehkan oleh syariah Islam.