Transaksi dengan kartu kredit apakah sah dan halal?

Transaksi dengan kartu kredit apakah sah dan halal? saya telah memakai kartu kredit (bank konvensional) sudah lama dan saya Anggap kartu itu hanya seb
HARTA DAN KARTU KREDIT

Assalamu'alaikum

1. Ustad saya ingin menanyakan perihal hukum kartu kredit, saya telah memakai kartu kredit (bank konvensional) sudah lama dan saya Anggap kartu itu hanya sebagai dana talangan saja, dan saya selalu bayar lunas sebelum tenggat untuk menghindari denda keterlambatan.

Namun beberapa Minggu lalu saya karena ada keperluan mendadak, tidak sengaja salah membaca informasi jumlah limit kredit yang tersisa, dan ketika saya melakukan transaksi, saya terkena over limit yang tentu saja akan terkena denda.

Yang ingin saya tanyakan apakah barang yg saya beli itu jadinya haram karena ketidak sengajaan saya salah membaca informasi jumlah limit di kartu.

2. Bilamana orang tua yg sudah pensiun memberikan kartu kredit yg tidak dipakainya untuk di kelola dan dipakai oleh anaknya, tanpa sepengetahuan bank. Bagaimana hukumnya barang yg di beli anaknya tersebut?

3.Bila ada orang yang terlanjur membeli dengan cara yg haram, namun barang tersebut masih di butuhkan, bisakah barang tersebut dipakai?

JAWABAN

1. Barang yang dibeli tetap halal dengan syarat barang tersebut memang barang yang halal, bukan yang haram seperti alkohol, dan sejenisnya.

2. Boleh. Tidak apa-apa.

3. Membeli dengan cara yang haram bagaimana maksudnya? Dalam pembelian yang terpenting adalah (a) saling rela; (b) barang yang dibeli halal. Apabila terpenuhi kedua unsur ini, maka barangnya halal, transaksinya juga halal. Baca detail: Bisnis dalam Islam

TALAK

Assalamualikum Wr Wb Ustadz Pondok Pesantren Al Khoirot

Saya ingin mengajukan pertanyaan mengenai kata talak dengan rincian sebagai berikut :

1. Pada waktu saya bertengkar dengan istri dalam keadaan marah saya mengucapkan "Sana carilah laki laki lain saya susah capek " walaupum saya tidak niat menceraikan istri dengan kalimat itu saya mengijinkan istri kalau mau cari laki-laki lain, pertanyaan kalimat itu apakah jatuh talak ?

2. Pertanyaan kedua pada hari setelah kejadian no 1 istri saya lewat wa mengirimkan pesan kecewa karena baginya saya sudah mentalak 1 istri saya tetapi saya menyanggah nya dengan membalas pesan wa dengan kalimat "Kan tidak ada kata Talak kan ga ada kata Aku Talak/Cerai kamu bun" nah pertanyaannya kalimat sanggahan itu apakah termasuk jatuh talak karena mengandung kata saya talak kamu.

Demikian pertanyaan yang saya ajukan mohon ustadz berkenan menjawab, atas jawaban yang diberikan saya ucapkan terimakasih

Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh

JAWABAN

1. Tidak jatuh talak kalau tidak ada niat karena itu masuk kategori talak kinayah atau talak implisit. Baca detail: Cerai dalam Islam

2. Bercerita tentang talak pada istri tidak jatuh talak. Baca detail: http://www.alkhoirot.net/2012/10/perceraian-dan-talak.html#notalak3

TENTANG PENDERITA OCD

Assalamualaikum Pak Ustad, saya ingin bertanya seputar murtad dan kafir :

Saya memiliki kasus yang sama seperti Penanya al khoirot disini http://www.alkhoirot.net/2016/10/dosa-yang-dilakukan-penderita-ocd.html Saya tidak tahu yang saya alami OCD atau bukan, hanya bedanya penanya di link tesebut mengucapkan hal yang menyebabkan murtad sedangkan saya tidak sampai diucapkan hanya dipikiran dan hati saya.

Penanya tersebut juga sempat mempercayai/meyakini ucapannya yang menyebabkan murtad, sedangkan saya tidak meyakini pikiran-pikiran saya yang menyebabkan murtad. Jadi intinya didalam pikiran dan hati saya terkadang timbul sesuatu yang jika diucapkan akan menyebabkan murtad, Tapi saya tidak meyakininya pak ustad, karena jika pikiran yang membuat murtad tersebut muncul saya berusaha menghilangkannya.

Jadi seperti terjadi “perkelahian” antara suara-suara dipikiraan saya yang menyebabkan murtad dengan suara-suara yang mencoba menghentikannya. Dan kejadian ini cukup sering sehingga melelahkan saya. Saya ingin sekali berobat ke psikiater namun untuk sekarang memang waktunya belum tepat karena masih banyak kebutuhan hidup saya yang lain. Pertanyaan saya :

1 a) apakah disini kita wajib berobat pak ustad? Apa hukumnya kalau tidak berobat?
1 b) Apakah kita jadi murtad karena membiarkan penyakit ini ?

Saya menemukan kutipan Al Auza’I dari website wahabi seperti berikut ini :

Al Auza’i mengatakan:

مَنْ أَخَذَ بِنَوَادِرِ العُلَمَاءِ خَرَجَ مِنَ الإِسْلاَمِ

“Barangsiapa yang mengambil pendapat yang ganjil dari para ulama, maka ia bisa jadi keluar dari Islam.” Asy Syatibi menyampaikan adanya ijma’ (kesepakatan para ulama) bahwa mencari-cari pendapat yang ganjil dari para ulama tanpa ada pegangan dalil syar’i adalah suatu kefasikan dan hal ini jelas tidak dibolehkan. [Lihat Kasyful Jaani, Muhammad At Tiijani, hal. 96, Asy Syamilah.]


2 a) Benarkah kutipan tersebut ?
2 b) Apakah karena kita mengikuti pendapat ulama yang ganjil bisa keluar dari islam atau murtad?

3 a) Jika ada seseorang yg melakukan perbuatan yg menyebabkan kafir, tapi orang tersebut tidak tahu jika perbuatannya itu menyebabkan kafir, apakah orang tersebut tetap jadi kafir ?

3 b) Jika kita mengetahui ada orang melakukan dosa yg menyebabkan kafir tapi orang tersebut tidak tahu jika perbuatannya menyebabkan dia jadi kafir, dan kita tidak member tahunya apakah kita bertanggung jawab terhadap perbuatan kafirnya? Dan jika orang tersebut sudah tau konsekuensi perbuatannya menyebabkan kafir tapi kita tidak meningatkannya, apakah kita berdosa?

Wassalamualikum

JAWABAN

1a. Hukum berobat ulama menurut Imam Nawawi adalah boleh, bukan wajib. Lihat detail: http://www.konsultasisyariah.in/2015/03/hukum-berobat-dalam-islam.html

1b. Tidak murtad. Lagi pula, tidak berobat bukan berarti membiarkan. Karena, anda bisa saja mengobati diri sendiri dengan memcoba membaca cara-cara menyembuhkan penyakit OCD tsb.

2a. Benar. Namun perlu diketahui bahwa Auza'i adalah ulama dari generasi Tabi'it Tabi'in. Bukan Sahabat atau Tabi'in. Lihat di sini: http://www.konsultasisyariah.in/2017/08/memilih-pendapat-fikih-yang-ringan.html

2b. Yang dimaksud dari ucapan tersebut adalah kita tidak boleh memilih-milih pendapat yang ringan-ringan dari berbagai ulama berbagai madzhab dengan tujuan untuk meringankan atau meremehkan dalam beragama.

Namun, kita dibolehkan mencari pendapat yang ringan dengan tujuan mendapatkan solusi dari permasalahan yang dihadapi dan demi menghindari mafsadat (keburukan) yang lebih besar atau terjerumus ke masalah haram. Misalnya, seorang penganut madzhab Syafi'i yang tinggal di tempat yang banyak anjingnya, selalu merasa was-was akan najis berat dari anjing. Maka dia dibolehkan ikut madzhab Maliki yang tidak menajiskan anjing (memilih yg ringan) demi menghindari perkara yang haram yaitu was-was.
Baca juga:
- http://www.alkhoirot.net/2015/05/talfiq-dalam-islam.html
- http://www.konsultasisyariah.in/2015/07/hukum-talfiq-menurut-wahbah-zuhaili.html
LihatTutupKomentar