Penganut mazhab Syafi'i ikut mazhab Maliki soal najis apa boleh?
Penganut mazhab Syafi'i ikut mazhab Maliki soal najis apa boleh? saya sadari, saya dan orang sekitar salah dalam cara mensucikan najis. Di rumah saya
Penganut mazhab Syafi'i ikut mazhab Maliki soal najis apa boleh?
Permisi Saya mau bertanya. Setelah saya belajar fiqh, saya sadari, saya dan orang sekitar salah dalam cara mensucikan najis. Berikut permasalahan yang ingin saya tanyakan yang sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu sampai sekarang, tapi masih menjadi was-was di hati saya.
1. Di rumah saya ada orang yang sepuh (Mbah) punya penyakit beser(tidak bisa menahan kencing lama-lama) akibatnya sering kali ditengah jalanan (lantai) rumah berceceran kencingnya Mbah. Selama ini saya sekeluarga membersihkannya dengan cara mengelap dengan kain pel saja. Saya jadi was-was najis hukmiyahnya tersebar kemana-mana di rumah, karena kain pel tadi juga digunakan untuk membersihkan seluruh area lantai rumah. Kalau diguyur air semua di lantai, akan jadi masalah besar, karena melakukan sesuatu yang diluar kewajaran apalagi bisa membahayakan nyawa karena bisa terpeleset. Apakah boleh berpindah madzhab ke madzhab maliki yang mengatakan bahwa najis hukmiyah tidak menyebar ketika terkena basah atau berpindah ke Madzhab Imam Abu Hanifah yang mensucikan najis dengan bantuan cahaya matahari(karena selama ini saya menganggap berpindah madzhab ttg najis adalah suatu bentuk talfeq, dan setahu saya talfeq itu dilarang)?
2. Seringkali saya terasa dari dalam kemaluan keluar wadi/madzi tanpa kehendak saya, tapi masih tersangkut/terhenti di dalam(batang) kemaluan, biasanya saya urut dulu di kamar mandi baru keluar madzi/wadi tersebut, habis itu saya siram air agar suci. Pernah suatu hari ketika saya seperti terasa ada wadi/madzi yang tersangkut/terhenti di (batang)kemaluan saya, seketika itu saya tertidur karena mengantuk, setelah bangun tidur saya ke kamar mandi, lalu saya urut kemaluan saya tapi tidak keluar madzi/wadi, nah saya was-was, jangan-jangan waktu tidur tadi madzi/wadi saya tadi keluar dan terkena tempat saya tidur, tapi saya kadang juga bingung keluar benar atau tidak, dan itu dulu sering terjadi di beberapa tempat tidur di asrama. Apakah saya harus mensucikannya dengan air atau bisa dijemur saja dengan niat pindah madzhab karena takut nanti terjadi anggapan yang tidak-tidak?
3. Di dapur asrama sering kali najis kotoran cicak, tikus, hanya dipel dan tanpa diguyur air (disucikan), seringkali juga darah-darah hewan kurban berceceran dan dipel juga tanpa diguyur air. Dan darah hewan sembelihan qurban(kira-kira sebesar jempolan) saya jumpai terkena microfon musholla bahkan sampai kering dan hilang sendiri karena sering dipakai masyarakat, jadi saya was-was pegang micriphone karena menganggap najis hukmiyahnya masih ada. Mohon solusinya apa yang harus saya lakukan agar tidak was-was najis tersebar kemana-mana? Karena jika diguyur akan menjadi masalah sosial dan hal itu sudah menjadi adat kebiasaan karena penghuni asrama tidak tahu cara menghilangkan najis beserta sifatnya.
Saya yakin Islam adalah ajaran mudah tidak mempersulit, sayanya saja yang kurang ilmu. Mohon bantuannya Ustadz atas permasalahan saya, yang saya alami selama ini. Terima kasih banyak
JAWABAN
1. Mengikuti mazhab lain, yakni Maliki, untuk menghindari kesulitan dan menghindari was-was adalah boleh. Bahkan dalam konteks ini dianjurkan. KH Hasyim Asy'ari dalam kitab Risalah Ahlussunnah Wal Jamaah menyatakan "tidak ada kewajiban bagi orang awam untuk ikut satu mazhab saja." Baca detail: Orang Awam Tidak Wajib Ikut Satu Madzhab
Ulama mazhab Syafi'i kontemporer (muashirin) yaitu Wahbah Zuhaili menyatakan hal yang sama. Yakni tidak ada masalah pindah mazhab lain dalam masalah tertentu apabila itu diperlukan. Dalam Al-Fiqhul Islami wa adillatuhu ia menyatakan:
Artinya: Bolehnya talfiq itu berdasarkan pada apa yang telah kami tetapkan bahwa tidak ada kewajiban untuk menetap pada satu mazhab tertentu saja dalam masalah-masalah agama. Dan sesiapa yang tidak wajib ikut satu mazhab maka konsekuensinya boleh untuk talfiq. Orang awam pada dasarnya tidak punya madzhab. Apabila orang awam bermazhab pada setiap masalah agama, maka pada dasarnya ia bermazhab pada orang yang memberi fatwa. Pendapat yang membolehkan talfiq ini termasuk untuk mempermudah umat.... Taqlid pada satu imam fikih pada satu bagian masalah atau satu masalah hukum itu tidak mencegahnya untuk taqlid pada imam mujtahid yang lain dalam masalah berbeda. Baca detail: Hukum Ikut Beberapa Madzhab
2. Dalam soal ini, anda telah terjebak dalam was-was yang dilarang dan tidak perlu dilakukan. Pertama, agama tidak mewajibkan orang untuk meneliti lubang kemaluannya apakah ada najis atau tidak. Yang wajib dibasuh itu adalah kemaluan bagian luar saja. Selagi tidak ada madzi atau wadzi di permukaan kemaluan, maka tidak ada yang perlu disucikan. Dan cara utama dalam menghilangkan rasa was-was adalah mengabaikannya. Baca detail: Cara Sembuh Was-was Najis, Wudhu, Mandi, Shalat
Kedua, hukum tubuh manusia itu adalah suci. Kalau kita ragu apakah tubuh kita terkena najis, maka keraguan yang tanpa adanya bukti itu tidak dianggap. Dan statusnya tetap dianggap suci. Begitu juga dengan baju yang kita pakai. Dalam kaidah fikih dikatakan: "Yakin tidak hilang oleh ragu." Kaidah ini maknanya, bahwa sesuatu yang suci tetap dianggap suci dan tidak berubah jadi najis hanya karena asumsi atau dugaan adanya najis. Baca detail: Kaidah: Suci tidak hilang karena Asumsi Najis
3. Anda bisa ikuti jawaban no. 1. Yakni, ikuti mazhab Maliki yang menganggap najis hukmiyah tidak menularkan najis.
Permisi Saya mau bertanya. Setelah saya belajar fiqh, saya sadari, saya dan orang sekitar salah dalam cara mensucikan najis. Berikut permasalahan yang ingin saya tanyakan yang sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu sampai sekarang, tapi masih menjadi was-was di hati saya.
1. Di rumah saya ada orang yang sepuh (Mbah) punya penyakit beser(tidak bisa menahan kencing lama-lama) akibatnya sering kali ditengah jalanan (lantai) rumah berceceran kencingnya Mbah. Selama ini saya sekeluarga membersihkannya dengan cara mengelap dengan kain pel saja. Saya jadi was-was najis hukmiyahnya tersebar kemana-mana di rumah, karena kain pel tadi juga digunakan untuk membersihkan seluruh area lantai rumah. Kalau diguyur air semua di lantai, akan jadi masalah besar, karena melakukan sesuatu yang diluar kewajaran apalagi bisa membahayakan nyawa karena bisa terpeleset. Apakah boleh berpindah madzhab ke madzhab maliki yang mengatakan bahwa najis hukmiyah tidak menyebar ketika terkena basah atau berpindah ke Madzhab Imam Abu Hanifah yang mensucikan najis dengan bantuan cahaya matahari(karena selama ini saya menganggap berpindah madzhab ttg najis adalah suatu bentuk talfeq, dan setahu saya talfeq itu dilarang)?
2. Seringkali saya terasa dari dalam kemaluan keluar wadi/madzi tanpa kehendak saya, tapi masih tersangkut/terhenti di dalam(batang) kemaluan, biasanya saya urut dulu di kamar mandi baru keluar madzi/wadi tersebut, habis itu saya siram air agar suci. Pernah suatu hari ketika saya seperti terasa ada wadi/madzi yang tersangkut/terhenti di (batang)kemaluan saya, seketika itu saya tertidur karena mengantuk, setelah bangun tidur saya ke kamar mandi, lalu saya urut kemaluan saya tapi tidak keluar madzi/wadi, nah saya was-was, jangan-jangan waktu tidur tadi madzi/wadi saya tadi keluar dan terkena tempat saya tidur, tapi saya kadang juga bingung keluar benar atau tidak, dan itu dulu sering terjadi di beberapa tempat tidur di asrama. Apakah saya harus mensucikannya dengan air atau bisa dijemur saja dengan niat pindah madzhab karena takut nanti terjadi anggapan yang tidak-tidak?
3. Di dapur asrama sering kali najis kotoran cicak, tikus, hanya dipel dan tanpa diguyur air (disucikan), seringkali juga darah-darah hewan kurban berceceran dan dipel juga tanpa diguyur air. Dan darah hewan sembelihan qurban(kira-kira sebesar jempolan) saya jumpai terkena microfon musholla bahkan sampai kering dan hilang sendiri karena sering dipakai masyarakat, jadi saya was-was pegang micriphone karena menganggap najis hukmiyahnya masih ada. Mohon solusinya apa yang harus saya lakukan agar tidak was-was najis tersebar kemana-mana? Karena jika diguyur akan menjadi masalah sosial dan hal itu sudah menjadi adat kebiasaan karena penghuni asrama tidak tahu cara menghilangkan najis beserta sifatnya.
Saya yakin Islam adalah ajaran mudah tidak mempersulit, sayanya saja yang kurang ilmu. Mohon bantuannya Ustadz atas permasalahan saya, yang saya alami selama ini. Terima kasih banyak
JAWABAN
1. Mengikuti mazhab lain, yakni Maliki, untuk menghindari kesulitan dan menghindari was-was adalah boleh. Bahkan dalam konteks ini dianjurkan. KH Hasyim Asy'ari dalam kitab Risalah Ahlussunnah Wal Jamaah menyatakan "tidak ada kewajiban bagi orang awam untuk ikut satu mazhab saja." Baca detail: Orang Awam Tidak Wajib Ikut Satu Madzhab
Ulama mazhab Syafi'i kontemporer (muashirin) yaitu Wahbah Zuhaili menyatakan hal yang sama. Yakni tidak ada masalah pindah mazhab lain dalam masalah tertentu apabila itu diperlukan. Dalam Al-Fiqhul Islami wa adillatuhu ia menyatakan:
وجواز التلفيق مبني على ما قررناه من أنه لا يجب التزام مذهب معين في جميع المسائل، فمن لم يكن ملتزماً مذهباً معيناً، جاز له التلفيق، ...، لأن العامي لا مذهب له ولو تمذهب به، ومذهبه في كل قضية هو مذهب من أفتاه بها. كما أن القول بجواز التلفيق يعتبر من باب التيسير على الناس.Dal
وتقليد إمام في جزئية أو مسألة لايمنع من تقليد إمام آخر في مسألة أخرى،
Artinya: Bolehnya talfiq itu berdasarkan pada apa yang telah kami tetapkan bahwa tidak ada kewajiban untuk menetap pada satu mazhab tertentu saja dalam masalah-masalah agama. Dan sesiapa yang tidak wajib ikut satu mazhab maka konsekuensinya boleh untuk talfiq. Orang awam pada dasarnya tidak punya madzhab. Apabila orang awam bermazhab pada setiap masalah agama, maka pada dasarnya ia bermazhab pada orang yang memberi fatwa. Pendapat yang membolehkan talfiq ini termasuk untuk mempermudah umat.... Taqlid pada satu imam fikih pada satu bagian masalah atau satu masalah hukum itu tidak mencegahnya untuk taqlid pada imam mujtahid yang lain dalam masalah berbeda. Baca detail: Hukum Ikut Beberapa Madzhab
2. Dalam soal ini, anda telah terjebak dalam was-was yang dilarang dan tidak perlu dilakukan. Pertama, agama tidak mewajibkan orang untuk meneliti lubang kemaluannya apakah ada najis atau tidak. Yang wajib dibasuh itu adalah kemaluan bagian luar saja. Selagi tidak ada madzi atau wadzi di permukaan kemaluan, maka tidak ada yang perlu disucikan. Dan cara utama dalam menghilangkan rasa was-was adalah mengabaikannya. Baca detail: Cara Sembuh Was-was Najis, Wudhu, Mandi, Shalat
Kedua, hukum tubuh manusia itu adalah suci. Kalau kita ragu apakah tubuh kita terkena najis, maka keraguan yang tanpa adanya bukti itu tidak dianggap. Dan statusnya tetap dianggap suci. Begitu juga dengan baju yang kita pakai. Dalam kaidah fikih dikatakan: "Yakin tidak hilang oleh ragu." Kaidah ini maknanya, bahwa sesuatu yang suci tetap dianggap suci dan tidak berubah jadi najis hanya karena asumsi atau dugaan adanya najis. Baca detail: Kaidah: Suci tidak hilang karena Asumsi Najis
3. Anda bisa ikuti jawaban no. 1. Yakni, ikuti mazhab Maliki yang menganggap najis hukmiyah tidak menularkan najis.