Karomah Wali menurut Salafi Wahabi

Karomah, karamah (Jawa: keramat) Wali Allah (Auliyaullah) menurut Salafi Wahabi Shaykh al-Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam al-Furqan baina Awliya'

 

Karomah Wali menurut Salafi Wahabi

Karomah, karamah (Jawa: keramat) Wali Allah (Auliyaullah) menurut Salafi Wahabi

  قال شيخ الإسلام ابن تيمية في الفرقان بين أولياء الرحمن وأولياء الشيطان: مما ينبغي أن يعرف أن الكرامات قد تكون بحسب حاجة الرجل فإذا احتاج إليها الضعيف الإيمان أو المحتاج، أتاه منها ما يقوي إيمانه ويسد حاجته، ويكون من هو أكمل ولاية لله منه مستغنيا عن ذلك، فلا يأتيه مثل ذلك، لعلو درجته وغناه عنها، لا لنقص ولايته، ولهذا كانت هذه الأمور في التابعين أكثر منها في الصحابة، بخلاف من يجري على يديه الخوارق لهدي الخلق ولحاجتهم، فهؤلاء أعظم درجة، وهذا بخلاف الأحوال الشيطانية مثل حال عبد الله بن صياد الذي ظهر في زمن النبي صلى الله عليه وسلم وكان قد ظن بعض الصحابة أنه الدجال... اهـ.

Shaykh al-Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam al-Furqan baina Awliya' ar-Rahman wa Awliya' asy-Syaithan: Di antara apa yang patut diketahui adalah bahwa karamah-karamah bisa terjadi sesuai kebutuhan seseorang. Maka jika orang yang lemah imannya atau yang membutuhkan memerlukan itu, maka diberikan kepadanya apa yang memperkuat imannya dan memenuhi kebutuhannya. Sedangkan orang yang lebih sempurna dalam wilayah (kedekatan) kepada Allah daripadanya, ia mandiri darinya, sehingga tidak diberikan semisalnya, karena ketinggian derajatnya dan kemandiriannya darinya, bukan karena kekurangan wilayahnya. Dan untuk itu, perkara-perkara ini lebih banyak terjadi pada Tabi'in daripada pada Sahabat, bertentangan dengan orang-orang yang mukjizat-mukjizat mengalir di tangan mereka untuk memberi petunjuk kepada makhluk dan memenuhi kebutuhan mereka, maka orang-orang ini memiliki derajat yang lebih besar. Dan ini bertentangan dengan keadaan syaitaniyah seperti keadaan Abdullah bin Shaiyad yang muncul pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan sebagian Sahabat mengira bahwa ia adalah Dajjal... Selesai.

وقال في كتابه: اقتضاء الصراط المستقيم ـ وهو يفند ما ورد في استحباب الدعاء عند القبر: ولا يدخل في هذا الباب: ما يروى من أن قوما سمعوا رد السلام من قبر النبي صلى الله عليه وسلم، أو قبور غيره من الصالحين، وأن سعيد بن المسيب كان يسمع الأذان من القبر ليالي الحرة، ونحو ذلك، فهذا كله حق ليس مما نحن فيه، والأمر أجل من ذلك وأعظم، وكذلك أيضا ما يروى: أن رجلا جاء إلى قبر النبي صلى الله عليه وسلم، فشكا إليه الجدب عام الرمادة فرآه وهو يأمره أن يأتي عمر، فيأمره أن يخرج يستسقي بالناس، فإن هذا ليس من هذا الباب، ومثل هذا يقع كثيرا لمن هو دون النبي صلى الله عليه وسلم، وأعرف من هذا وقائع.... فهذا القدر إذا وقع يكون كرامة لصاحب القبر، أما أن يدل على حسن حال السائل، فلا فرق بين هذا وهذا، فإن الخلق لم ينهوا عن الصلاة عند القبور واتخاذها مساجد استهانة بأهلها بل لما يخاف عليهم من الفتنة، وإنما تكون الفتنة إذا انعقد سببها، فلولا أنه قد يحصل عند القبور ما يخاف الافتتان به لما نهي الناس عن ذلك، وكذلك ما يذكر من الكرامات وخوارق العادات، التي توجد عند قبور الأنبياء والصالحين، مثل نزول الأنوار والملائكة عندها، وتوقي الشياطين والبهائم لها، واندفاع النار عنها وعمن جاورها وشفاعة بعضهم في جيرانه من الموتى، واستحباب الاندفان عند بعضهم، وحصول الأنس والسكينة عندها، ونزول العذاب بمن استهانها، فجنس هذا حق، ليس مما نحن فيه، وما في قبور الأنبياء والصالحين من كرامة الله ورحمته، وما لها عند الله من الحرمة والكرامة فوق ما يتوهمه أكثر الخلق، لكن ليس هذا موضع تفصيل ذلك، وكل هذا لا يقتضي استحباب الصلاة، أو قصد الدعاء أو النسك عندها، لما في قصد العبادات عندها من المفاسد التي علمها الشارع كما تقدم، فذكرت هذه الأمور لأنها مما يتوهم معارضته لما قدمناه، وليس كذلك. اهـ. 

Dan ia berkata dalam kitabnya: Iqtida' ash-Shirat al-Mustaqim —dan ia membantah apa yang disebutkan tentang istihbab berdoa di dekat qabr (kubur): Tidak termasuk dalam bab ini: Apa yang diriwayatkan bahwa sekelompok orang mendengar balasan salam dari kubur Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, atau kubur orang-orang shalih selainnya, dan bahwa Sa'id bin al-Musayyab biasa mendengar adzan dari kubur pada malam-malam al-Harrah, dan semisalnya. Maka semua itu benar, bukanlah apa yang kami bahas di sini, dan perkara itu lebih agung dan lebih besar daripada itu. Demikian pula apa yang diriwayatkan: Bahwa seorang laki-laki datang ke kubur Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu mengeluh kepadanya tentang kekeringan pada tahun ar-Ramadah, maka ia melihatnya (dalam mimpi atau ilham) sedang memerintahkannya agar datang kepada Umar, agar Umar memerintahkan untuk keluar beristisqa' (meminta hujan) bersama kaum Muslimin. Maka ini bukan dari bab ini, dan semisal ini sering terjadi bagi orang yang di bawah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan lebih dikenal dari ini adalah kejadian-kejadian... Maka sejauh ini jika terjadi, itu menjadi karamah bagi pemilik kubur. Adapun untuk menunjukkan kebaikan keadaan orang yang bertanya, maka tidak ada perbedaan antara ini dan itu. Karena makhluk tidak dilarang shalat di dekat kubur dan menjadikannya masjid karena meremehkan pemiliknya, melainkan karena apa yang dikhawatirkan atas mereka dari fitnah. Dan fitnah itu terjadi jika sebabnya terpenuhi. Maka seandainya tidak mungkin terjadi di dekat kubur apa yang dikhawatirkan fitnah daripadanya, niscaya orang-orang tidak dilarang dari itu. Dan demikian pula apa yang disebutkan dari karamah-karamah dan pelanggaran-pelanggaran kebiasaan yang ada di kubur para nabi dan orang-orang shalih, seperti turunnya cahaya-cahaya dan malaikat-malaikat di sana, dan ketakutan setan-setan dan binatang-binatang kepadanya, dan api yang menjauh darinya dan dari siapa yang bertetangga dengannya, dan syafaat sebagian mereka bagi tetangganya dari orang-orang mati, dan istihbab dikubur di dekat sebagian mereka, dan terjadinya rasa nyaman dan ketenangan di sana, dan turunnya azab bagi yang meremehkannya. Maka jenis ini benar, bukanlah apa yang kami bahas di sini. Dan apa yang ada di kubur para nabi dan orang-orang shalih dari karamah Allah dan rahmat-Nya, dan apa yang dimiliki kubur-kubur itu di sisi Allah dari kehormatan dan kemuliaan, melebihi apa yang dianggap oleh kebanyakan makhluk. Namun ini bukan tempat untuk membahas secara rinci hal itu. Dan segala ini tidak mengharuskan istihbab shalat, atau qasd berdoa atau ibadah di sana, karena apa yang ada dalam qasd ibadah di sana dari kerusakan-kerusakan yang diketahui oleh syariat sebagaimana disebutkan sebelumnya. Maka disebutkan perkara-perkara ini karena itu termasuk apa yang dianggap bertentangan dengan apa yang telah kami sebutkan sebelumnya, padahal bukan demikian. Selesai. 

 شيخ الإسلام ابن تيمية، فقد ذكر ـ رحمه الله ـ في كتابه الفرقان بين أولياء الرحمن وأولياء الشيطان جملة حسنة من كرامات الأولياء من الصحابة والتابعين وتابعيهم، ومنها أن: صلة بن أشيم مات فرسه وهو في الغزو، فقال: اللهم لا تجعل لمخلوق علي منة، ودعا الله عز وجل فأحيا له فرسه، فلما وصل إلى بيته قال: يا بني خذ سرج الفرس فإنه عارية، وأخذ سرجه، فمات الفرس... ورجل من النخع كان له حمار فمات في الطريق، فقال له أصحابه: هلم نتوزع متاعك على رحالنا، فقال لهم: أمهلوني هنيهة، ثم توضأ فأحسن الوضوء وصلى ركعتين، ودعا الله تعالى فأحيا له حماره، فحمل عليه متاعه. اهـ.

Shaykh al-Islam Ibnu Taimiyyah, maka disebutkan —rahimahullah— dalam kitabnya al-Furqan baina Awliya' ar-Rahman wa Awliya' asy-Syaithan, rangkaian yang indah dari karamah-karamah para wali dari kalangan Sahabat, Tabi'in, dan pengikut mereka, dan di antaranya: Bahwa Shilah bin Asyim kuda-kudanya mati ketika ia sedang dalam perang, maka ia berkata: "Ya Allah, jangan jadikan makhluk memiliki nikmat atas diriku," dan ia berdoa kepada Allah 'Azza wa Jalla, maka Allah menghidupkan kudanya baginya. Maka ketika ia sampai ke rumahnya, ia berkata: "Wahai anakku, ambillah pelana kuda karena itu adalah barang pinjaman," dan ia ambil pelananya, maka kuda itu mati... Dan seorang laki-laki dari Bani an-Nakha' memiliki keledai yang mati di jalan, maka sahabat-sahabatnya berkata kepadanya: Mari kami bagi barangmu ke kendaraan kami. Maka ia berkata kepada mereka: Berilah aku waktu sebentar, kemudian ia berwudhu dengan sempurna dan shalat dua rakaat, dan berdoa kepada Allah Ta'ala, maka Allah menghidupkan keledainya, lalu ia muat barangnya di atasnya. Selesai. 

وقال شيخ الإسلام ابن تيمية في قاعدة جليلة في التوسل والوسيلة: المخلوق يطلب من المخلوق ما يقدر المخلوق عليه، والمخلوق قادر على دعاء الله ومسألته، فلهذا كان طلب الدعاء جائزا كما يطلب منه الإعانة بما يقدر عليه، والأفعال التي يقدر عليها، فأما ما لا يقدر عليه إلا الله تعالى فلا يجوز أن يطلب إلا من الله سبحانه، لا يطلب ذلك لا من الملائكة ولا من الأنبياء ولا من غيرهم، ولا يجوز أن يقال لغير الله: اغفر لي، واسقنا الغيث، وانصرنا على القوم الكافرين، أو اهد قلوبنا ونحو ذلك. اهـ.

Dan Shaykh al-Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam qaidah yang agung tentang tawassul dan wasilah: Makhluk meminta kepada makhluk apa yang mampu makhluk itu (lakukannya), dan makhluk mampu berdoa kepada Allah dan memohon kepada-Nya, maka untuk itu meminta doa adalah jaiz seperti meminta pertolongan darinya dalam apa yang mampu dilakukannya, dan perbuatan-perbuatan yang mampu dilakukannya. Adapun apa yang tidak mampu dilakukannya kecuali Allah Ta'ala, maka tidak boleh diminta kecuali kepada Allah Subhanahu, tidak diminta itu kepada malaikat, tidak kepada para nabi, tidak kepada yang lainnya. Dan tidak boleh dikatakan kepada selain Allah: "Ampunilah aku, turunkanlah hujan untuk kami, menangkanlah kami atas kaum kafir, atau tunjukilah hati kami," dan semisalnya. Selesai. 

 وقال شيخ الإسلام في كتاب النبوات: المراتب ثلاثة: آيات الأنبياء، ثم كرامات الصالحين، ثم خوارق الكفار والفجار، كالسحرة والكهان، وما يحصل لبعض المشركين وأهل الكتاب، والضلال من المسلمين، أما الصالحون الذين يدعون إلى طريق الأنبياء لا يخرجون عنها، فتلك خوارقهم من معجزات الأنبياء، فإنهم يقولون: نحن إنما حصل لنا هذا باتباع الأنبياء، ولو لم نتبعهم لم يحصل لنا هذا، فهؤلاء إذا قدر أنه جرى على يد أحدهم ما هو من جنس ما جرى للأنبياء، كما صارت النار بردا وسلاما على أبي مسلم، كما صارت على إبراهيم، وكما يكثر الله الطعام والشراب لكثير من الصالحين كما جرى في بعض المواطن للنبي صلى الله عليه وسلم، أو إحياء الله ميتا لبعض الصالحين كما أحياه للأنبياء، فهذه الأمور هي مؤكدة لآيات الأنبياء، وهي أيضا من معجزاتهم بمنزلة ما تقدمهم من الإرهاص، ومع هذا فالأولياء دون الأنبياء والمرسلين، فلا تبلغ كرامات أحد قط إلى مثل معجزات المرسلين، كما أنهم لا يبلغون في الفضيلة والثواب إلى درجاتهم، ولكن قد يشاركونهم في بعضها، كما قد يشاركونهم في بعض أعمالهم. اهـ.

Dan Shaykh al-Islam berkata dalam kitab an-Nubuwwat: Derajat-derajat ada tiga: Ayat-ayat para nabi, kemudian karamah-karamah orang-orang shalih, kemudian pelanggaran-pelanggaran kebiasaan bagi orang-orang kafir dan orang-orang fasiq, seperti para penyihir dan peramal, dan apa yang terjadi bagi sebagian orang musyrik dan Ahlul Kitab, dan orang-orang sesat dari kalangan Muslimin. Adapun orang-orang shalih yang dakwahnya mengikuti jalan para nabi dan tidak keluar darinya, maka pelanggaran-pelanggaran kebiasaan mereka adalah dari mukjizat-mukjizat para nabi, karena mereka berkata: "Kami hanya mendapat ini karena mengikuti para nabi, dan seandainya kami tidak mengikuti mereka, niscaya ini tidak terjadi bagi kami." Maka orang-orang ini, jika dikira bahwa mengalir di tangan salah seorang dari mereka apa yang semisal apa yang terjadi bagi para nabi, seperti api menjadi dingin dan selamat bagi Abu Muslim seperti menjadi bagi Ibrahim, dan seperti Allah memperbanyak makanan dan minuman bagi banyak orang shalih seperti yang terjadi pada sebagian kesempatan bagi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, atau Allah menghidupkan orang mati bagi sebagian orang shalih seperti yang dihidupkan bagi para nabi, maka perkara-perkara ini adalah penguat bagi ayat-ayat para nabi, dan itu juga dari mukjizat-mukjizat mereka dengan kedudukan apa yang mendahului mereka dari isyarat-isyarat. Dan dengan itu, para wali di bawah para nabi dan para rasul, sehingga karamah-karamah seseorang tidak pernah mencapai semisal mukjizat-mukjizat para rasul, seperti mereka tidak mencapai dalam keutamaan dan pahala kepada derajat-derajat mereka, tetapi bisa ikut serta dengan mereka dalam sebagiannya, seperti bisa ikut serta dengan mereka dalam sebagian amal-amal mereka. Selesai. 

  قال شيخ الإسلام ابن تيمية كما في مجموع الفتاوى: وتجد كثيرًا من هؤلاء عمدتهم في اعتقاد كونه وليًّا لله أنه قد صدر عنه مكاشفة في بعض الأمور، أو بعض التصرفات الخارقة للعادة، مثل: أن يشير إلى شخص فيموت؛ أو يطير في الهواء إلى مكة، أو غيرها، أو يمشي على الماء أحيانًا؛ أو يملأ إبريقًا من الهواء؛ أو ينفق بعض الأوقات من الغيب، أو أن يختفي أحيانًا عن أعين الناس؛ أو أن بعض الناس استغاث به وهو غائب، أو ميت، فرآه قد جاءه، فقضى حاجته؛ أو يخبر الناس بما سرق لهم؛ أو بحال غائب لهم، أو مريض، أو نحو ذلك من الأمور؛ وليس في شيء من هذه الأمور ما يدل على أن صاحبها ولي لله؛ بل قد اتفق أولياء الله على أن الرجل لو طار في الهواء، أو مشى على الماء، لم يغتر به؛ حتى ينظر متابعته لرسول الله صلى الله عليه وسلم، وموافقته لأمره ونهيه.

Shaykh al-Islam Ibnu Taimiyyah berkata sebagaimana dalam Majmu' al-Fatawa: Dan engkau akan menemukan banyak dari orang-orang ini, dasar mereka dalam meyakini bahwa seseorang adalah wali Allah adalah bahwa telah keluar darinya kasyafan (penyingkapan) dalam sebagian perkara, atau sebagian perbuatan yang melampaui kebiasaan, seperti: Ia menunjuk kepada seseorang maka ia mati; atau ia terbang di udara ke Makkah atau yang lainnya; atau ia berjalan di atas air sesekali; atau ia mengisi teko dari udara; atau ia memberitahu sebagian waktu dari yang ghaib; atau ia menghilang sesekali dari pandangan orang-orang; atau sebagian orang meminta pertolongan kepadanya ketika ia absen, atau mati, maka ia melihatnya telah datang kepadanya, lalu memenuhi kebutuhannya; atau ia memberitahu orang-orang tentang apa yang dicuri dari mereka; atau keadaan orang absen bagi mereka, atau sakit, atau semisalnya dari perkara-perkara; dan tidak ada dalam salah satu dari perkara-perkara ini yang menunjukkan bahwa pemiliknya adalah wali Allah; bahkan para wali Allah sepakat bahwa seandainya seseorang terbang di udara, atau berjalan di atas air, niscaya tidak tertipu dengannya; hingga melihat ketaatannya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan kesesuaiannya dengan perintah dan larangan-Nya.


وكرامات أولياء الله تعالى أعظم من هذه الأمور؛ وهذه الأمور الخارقة للعادة، وإن كان قد يكون صاحبها وليًّا لله، فقد يكون عدوًّا لله؛ فإن هذه الخوارق تكون لكثير من الكفار، والمشركين، وأهل الكتاب، والمنافقين، وتكون لأهل البدع، وتكون من الشياطين، فلا يجوز أن يظن أن كل من كان له شيء من هذه الأمور أنه وليّ لله؛ بل يعتبر أولياء الله بصفاتهم، وأفعالهم، وأحوالهم التي دل عليها الكتاب والسنة، ويعرفون بنور الإيمان، والقرآن، وبحقائق الإيمان الباطنة، وشرائع الإسلام الظاهرة. اهـ.

Dan karamah-karamah wali-wali Allah Ta'ala lebih agung daripada perkara-perkara ini; dan perkara-perkara ini yang melampaui kebiasaan, meskipun bisa jadi pemiliknya adalah wali Allah, tetapi bisa juga musuh Allah; karena pelanggaran-pelanggaran kebiasaan ini terjadi bagi banyak orang kafir, orang musyrik, Ahlul Kitab, munafik, dan terjadi bagi pemilik-pemilik bid'ah, dan terjadi dari setan-setan, maka tidak boleh mengira bahwa setiap orang yang memiliki sesuatu dari perkara-perkara ini adalah wali Allah; melainkan wali-wali Allah dipertimbangkan dengan sifat-sifat mereka, perbuatan-perbuatan mereka, dan keadaan-keadaan mereka yang ditunjukkan oleh Kitab dan Sunnah, dan mereka dikenali dengan cahaya iman, Al-Qur'an, dengan hakikat-hakikat iman yang batiniah, dan syariat-syariat Islam yang zahir. Selesai. 

 فقد قال شيخ الإسلام: ومن أصول أهل السنة والجماعة: التصديق بكرامات الأولياء، وما يجري الله على أيديهم من خوارق العادات في أنواع العلوم والمكاشفات، وأنواع القدرة والتأثيرات، كالمأثور عن سالف الأمم في سورة الكهف وغيرها، وعن صدر هذه الأمة من الصحابة والتابعين وسائر قرون الأمة، وهي موجودة فيها إلى يوم القيامة. اهـ. 

Maka Shaykh al-Islam berkata: Dan di antara asal-asal Ahlus Sunnah wal Jama'ah: Membuktikan karamah-karamah para wali, dan apa yang Allah alirkan di tangan mereka dari pelanggaran-pelanggaran kebiasaan dalam berbagai jenis ilmu dan penyingkapan-penyingkapan, dan jenis-jenis kekuatan dan pengaruh-pengaruh, seperti yang diriwayatkan tentang umat-umat terdahulu dalam surah al-Kahfi dan yang lainnya, dan tentang permulaan umat ini dari Sahabat dan Tabi'in serta seluruh generasi umat, dan itu ada di dalamnya hingga hari kiamat. Selesai.

وجاء في الفتوى رقم: 25917، من فتاوى اللجنة الدائمة للإفتاء، عن سؤال مضمونه: ظهر الخلاف بإصدار مقالة كتبت في إحدى المجلات، ومفادها أن الجن والملائكة مخلوقون، وأعمالهم ليست خارجة عن الأسباب، ولذا إذا استغاث إنسان أو استعان بالجن أو الملائكة فيما يقدرون عليه، فهو مثل ما يستغيث الإنسان بالإنسان الحي الحاضر فيما يقدر عليه، لأن الجن والملائكة والإنسان كلهم مخلوق لله، فلا يكون شركا، وبين ذلك بأمثلة ثلاثة، كلها تدل على أن الاستغاثة بالملائكة والجن فيما يقدرون عليه ليس بشرك، وبعد دراسة اللجنة للاستفتاء أجابت: بأن الاستغاثة والاستعانة بالغائبين من الجن والإنس والملائكة أمر محرم، وهو شرك بالله تعالى، وإنما يستغاث بالحي الحاضر القادر على إغاثة من استغاث به واستعان به، كما استغاث الإسرائيلي بموسى ـ عليه السلام ـ على عدوه من القبط فأغاثه، قال الله تعالى: فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ ـ لأن هذا من الأسباب المعروفة المقدرة للبشر عادة، وقد أمرنا باتخاذ الأسباب النافعة، قال الله تعالى: وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى ـ وإنما تكون الاستعانة فيما لا يقدر عليه إلا الله بالله وحده، قال الله تعالى: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ـ فحصر العبادة والاستعانة به، وذلك فيما لا يقدر عليه إلا الله، وقياس الاستغاثة بالغائب على الاستغاثة بالحاضر القادر قياس مع الفارق، ثم إن العبادات توقيفية، الأصل فيها عدم القياس، وبالله التوفيق، وصلى الله عليه وسلم على نبينا محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين. اهـ.

Disebutkan dalam fatwa nomor: 25917, dari fatwa-fatwa Komite Tetap untuk Iftaa, tentang pertanyaan yang isinya: Telah timbul perselisihan karena diterbitkannya artikel yang ditulis di salah satu majalah, dan isinya bahwa jin dan malaikat adalah makhluk, dan perbuatan-perbuatan mereka bukanlah keluar dari sebab-sebab, maka jika seseorang meminta pertolongan atau meminta bantuan kepada jin atau malaikat dalam apa yang mampu mereka lakukan, maka itu seperti seseorang meminta pertolongan kepada manusia yang hidup dan hadir dalam apa yang mampu dilakukannya, karena jin dan malaikat dan manusia semuanya makhluk Allah, sehingga bukan syirik. Dan dijelaskan dengan tiga contoh, semuanya menunjukkan bahwa meminta pertolongan kepada malaikat dan jin dalam apa yang mampu mereka lakukan bukanlah syirik. Dan setelah Komite mempelajari permintaan iftaa, jawab: Bahwa meminta pertolongan dan meminta bantuan kepada yang absen dari jin, manusia, dan malaikat adalah perkara yang diharamkan, dan itu syirik kepada Allah Ta'ala. Dan yang diminta pertolongan hanyalah yang hidup, hadir, dan mampu menolong siapa yang meminta pertolongan kepadanya dan meminta bantuan kepadanya, seperti Bani Israil meminta pertolongan kepada Musa —alaihissalam— atas musuhnya dari orang-orang Qibth (Mesir), maka ia menolongnya. Allah Ta'ala berfirman: fa istaghathahu alladzi min syi'atihi 'ala alladzi min 'aduwwihi —karena ini termasuk sebab-sebab yang dikenal dan diukur bagi manusia secara biasa, dan kami diperintahkan untuk mengambil sebab-sebab yang bermanfaat. Allah Ta'ala berfirman: wa ta'awanu 'ala al-birri wat taqwa. Dan meminta bantuan dalam apa yang tidak mampu dilakukannya kecuali Allah, adalah kepada Allah semata. Allah Ta'ala berfirman: iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in —maka Ia membatasi ibadah dan meminta bantuan kepada-Nya, dan itu dalam apa yang tidak mampu dilakukannya kecuali Allah. Dan qiyas meminta pertolongan kepada yang absen atas meminta pertolongan kepada yang hadir dan mampu adalah qiyas yang ada perbedaannya. Kemudian ibadah-ibadah adalah taqifiyyah (hanya berdasarkan teks), asalnya adalah tidak ada qiyas, dan kepada Allah keberhasilan, dan shalawat serta salam kepada nabi kami Muhammad, dan atas keluarga serta sahabat-sahabatnya semuanya. Selesai.

LihatTutupKomentar