Hukum Berobat ke Dokter Non-Muslim
Hukum Berobat ke Dokter tabib dukun Non-Muslim kafir Bagaimana hukum seorang muslim yang berobat ke dokter, tabib, ahli akunpuntur, atau dukun yang non muslim atau kafir, apakah boleh? Kalau boleh apakah mubah, makruh atau sunnah? Ataukah haram?
HUKUM BEROBAT KE DOKTER ATAU TABIB KAFIR (NON-MUSLIM)
Bagaimana hukum seorang muslim yang berobat ke dokter, tabib, ahli akunpunktur Budha, atau dukun yang non muslim atau kafir, apakah boleh? Kalau boleh apakah mubah, makruh atau sunnah? Ataukah haram?
Assalamualaikum pak ustadz, saya mau tanya tentang :
1. apa betul kalau kita berobat ke seorang ahli pengobatan Akupuntur yang sudah berhasil menyembuhkan banyak penyakit disebut menggadaikan aqidah hanya karena beliau ini seorang pemeluk agama lain?
Keponakan saya usia 15 tahun menderita penyakit otak dan syaraf, diakibatkan dari kejang-kejang sejak usia 3 tahun. Ayahnya sangat fanatik, dia menolak pengobatan ke dokter dan ahli pengobatan yang non muslim. Ayahnya hanya percaya kepada ustadz dan haji/kyai yang berprofesi ahli pengobatan yang cara pengobatannya menurut saya agak aneh seperti menyembelih ayam dan kambing, menanam kepala ayam, dan yang membosankan ujung-ujungnya keponakan saya dibilang ada yang merasuki. Alhasil hingga sekarang keponakan saya tidak ada perubahan.
TOPIK KONSULTASI ISLAM
Saya tahu persis karena anak saya pernah berobat disana. Banyak pasien muslim yang berobat disana. Pasien dari luar negeri pun ada. Saya kasihan pada keponakan saya dan ibunya (ibunya adalah adik saya). Saya tahu persis perasaannya karena saya pun punya anak dengan kekurangan. Saya sudah pernah berdebat dengan ayahnya, dia tetap kukuh bahwa jika dia membawa anaknya berobat disana sama dengan menggadaikan aqidahnya. Saya agak tersinggung karena secara tidak langsung menuduh saya pernah menggadaikan aqidah karena pernah berobat disana. Dia mengancam istrinya apabila nekad ingin berobat kesana akan dijatuhkan talak.
2. Bagaimana dengan masalah itu pak ustadz? Bukankah anak adalah titipan Allah, yang harus diurus dengan sebaik-baiknya? Bukankah hak anak untuk sehat adalah kewajiban orangtuanya untuk berusaha?
3. Saya tahu saya tidak punya hak untuk memutuskan karena saya bukan orangtuanya, tapi apa salah jika saya ingin meluruskan pandangan yang keliru? Karena ini menyangkut nyawa anak. Terimakasih sebelumnya atas penjelasan pak ustadz. Wassalamualaikun.
JAWABAN
1. Tidak benar. Seorang muslim memang dianjurkan untuk berobat ke sesama muslim dengan prioritas berdasar sesama jenis kelamin misalnya pasien wanita idealnya berobat ke dokter wanita yang muslim, kalau tidak ada berobat ke dokter pria muslim. Begitu juga seorang pasien lelaki dianjurkan berobat ke dokter laki-laki, kalau tidak ada ke dokter perempuan. Namun kalau tidak ada dokter atau tabib muslim yang cocok, maka ke dokter / tabib non-muslim dibolehkan.
Khatib Al-Syarbini dalam Mughni Al-Muhtaj, hlm. 4/298 menyatakan:
ويجوز استيصاف الطبيب الكافر واعتماد وصفه كما صرح به الأصحاب على دخول الكافر الحرم
Artinya: Boleh berobat pada tabid (dokter) yang kafir (non-muslim) ...
Al-Khadimi dalam Bariqoh Mahmudiyah 2/166 bahkan berpendapat bolehnya berobat pada orang kafir secara mutlak:
لا فرق بين كون الطبيب عادلاً وفاسقاً، بل مؤمناً وكافراً، بعد أن سبق ظن المريض إلى صدقه وحذاقته
Artinya: Tidak ada bedanya antara dokter yang adil atau fasiq, antara dokter yang muslim atau kafir, asalkan pasien percaya pada reputasinya.
2. Anda dapat berusaha maksimal untuk meyakinkan ayahnya, tapi bagaimanapun itu hak si ayah untuk mengurus dan mengobati si anak.
3. Untuk meluruskan pandangannya yang keliru, sebaiknya anda meminjam tangan atau meminta tolong pada orang lain yang dihormati oleh si ayah.
Si ayah tampaknya sosok individu temperamental. Terhadap figur seperti itu sebaiknya anda tidak frontal memberi nasihat karena dia sangat tidak suka dinasihati karena itu akan sangat menyinggung martabatnya. Lebih baik gunakan cara seperti disebut di poin 3. Atau anda meminta maaf terlebih dahulu padanya sebelum memberi saran.
HUKUM BEROBAT
Terlepas dari itu semua, perlu juga diketahui bahwa berobat itu hukumnya sunnah, tidak wajib. Khatib Al-Syarbini dalam Mughni Al-Muhtaj, hlm. 4/298 menyatakan:
ويسن للمريض التداوي، لخبر: «إن الله لم يضع داء إلا وضع له دواء، غير المحرَّم
Artinya: Sunnah bagi orang sakit untuk berobat berdasarkan hadis hasan sahih riwayat Tirmidzi Nabi bersabda, "Allah tidak meletakkan penyakit kecuali dengan obatnya selain yang diharamkan."
Bahkan Imam Nawawi dalam Al-Majmuk, hlm. 5/95 menyatakan:
إن ترك التداوي توكلاً، فهو فضيلة
Artinya: Tidak berobat karena tawakal itu keutamaan.
Al-Buhuti dalam Kasyaful Qinak, hlm. 2/85 menyatakan:
ترك الدواء أفضل؛ لأنه أقرب إلى التوكل. ولا يجب التداوي ولو ظن نفعه، لكن يجوز اتفاقاً، ولا ينافي التوكل،
Artinya: Tidak berobat itu lebih utama karena lebih mendekati pada tawakal. Berobat hukumnya tidak wajib walau diperkirakan akan bermanfaat akan tetapi boleh menurut kesepakatan ulama dan hal itu tidak meniadakan tawakal.
Baca juga: Syariah Islam
______________________
WARISAN WANITA TANPA ANAK DAN WASIAT
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Saya ingin bertanya mengenai warisan dari seorang istri inisial A yang tidak mempunyai anak.
Saya adalah seorang wanita dan merupakan anak angkat, tetapi masih terikat hubungan darah. Karena saya adalah sepupunya A, dari pihak ibunya A.
A meninggal pada tahun 2013 meninggalkan seorang suami inisial B. Masing-masing keluarga A dan B adalah keluarga besar.
A mempunyai 9 saudara kandung, kedua orangtua, kakek nenek sudah meninggal dunia. A merupakan anak tertua, mempunyai adik perempuan 5 orang dan adik laki-laki 4 orang. Seorang adik laki-laki telah meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak laki-laki, tanpa istri, karena sudah bercerai.
Sedangkan B mempunyai 11 saudara kandung, kedua orangtua, kakek nenek sudah meninggal dunia. B mempunyai 10 orang saudara perempuan dan seorang saudara laki-laki. Sebagai catatan, 2 saudara perempuan dan seorang saudara laki-laki telah meninggal dunia. B sekarang ini adalah seorang pensiunan BUMN dengan profesi pelaut, sedangkan A semasa hidup tidak bekerja.
Sebelum A meninggal dunia, A berwasiat kepada B, keluarganya dan disaksikan oleh saya. Isi wasiatnya adalah rumah yang kami tempati dijual dan pembagiannya 1/3 untuk B, 1/3 untuk saudara kandungnya dan 1/3 lagi untuk diinfakkan. Yang 1/3 untuk B dibelikan rumah yang nantinya untuk saya.
Setelah A meninggal dunia, keluarga kandung A mengatakan bahwa pembelian tanah dan pembangunan rumah tersebut menggunakan uang orangtua A. Semasa hidup A juga pernah mengatakan hal yang sama. Di sini, B berkeberatan, karena berpikir bahwa tidak mungkin keseluruhan uang orangtua A, karena B punya penghasilan. Sebagai catatan, pada saat pembangunan rumah, B tidak ikut serta karena sedang berlayar, dan komunikasi pada masa itu (sekitar tahun 1992 atau 1993) belum semudah sekarang.
Pada akhirnya rumah dan tanah tersebut dijual B, kemudian diberikan 1/3 utk saudara kandung A, pembagian ini diserahkan kepada salah seorang adik A yang kemudian diteruskan ke saudara A yang lain. Oleh adik-adik A, pembagian itu dibagi rata. Sisa 2/3 lagi masih dipegang B.
Kemudian B membeli rumah dengan harga 1/3 dari pembagian tersebut. Dan sebagian dari 1/3 uang itu, dibelikan mobil, sisanya ditabung oleh B.
Rumah yang dibeli B tersebut kemudian dihibahkan kepada saya, anak angkatnya.
Adik-adik A mulai menanyakan kepada saya apakah sudah dijalankan 1/3 untuk diinfakkan itu.
Saya khawatir, bila B meninggal dunia, ada bagian pihak keluarga B yang tidak akan didapatkan mereka.
Yang menjadi pertanyaan saya :
1. Bagaimana sebenarnya pembagian warisan ini terutama untuk saudara kandung A dan B menurut Islam, ketika tidak diketahui persis berapa yang merupakan bagian A ataupun B dalam pembangunan rumah tersebut.
2. Apakah benar wasiat yang dipesankan A itu
3. Dan apakah wajib menjalankan wasiat tersebut
4. Adakah aturan dalam menghibahkan sesuatu. Yang saya dengar tidak boleh lebih dari separuh.
5. Apakah rumah yang dihibahkan kepada saya tersebut benar dalam Islam
6. Adakah harta bersama dalam Islam, dan bagaimana batasannya.
7. Bila istri bekerja, apakah penghasilan istri disebut harta bersama atau tetap disebut harta istri
8. Saya pernah membaca harus dipisahkan harta suami dan harta istri. Jadi, ketika salah satu meninggal dunia, maka jelas pembagian warisannya.
Misal : dalam membangun rumah seorang suami dibantu istri yang bekerja, misal dengan perbandingan suami 80% sedangkan istri 20%. Ketika suami meninggal dunia, maka pembagian tersebut adalah 80% uang penjualan rumah dibagikan ke ahli waris, yang 20% tetap merupakan bagian istri. Benarkah hal ini???
Terima kasih atas bantuan permasalahan ini.
JAWABAN
1. Pertama-tama perlu diketahui bahwa seorang yang wafat tidak boleh mewasiatkan hartanya lebih dari 1/3 kecuali atas persetujuan para ahli waris yang berhak, sedang yang 2/3 harus menjadi harta warisan dan dibagikan kepada ahli waris yang berhak. Baca detail: Wasiat dalam Islam
Kedua, adapun ahli waris yang berhak mendapat warisan dalam kasus ini ada tiga yaitu:
(a) suami mendapat 1/2 = 3/6
(b) ibu mendapat 1/6 = 1/6
(c) ayah mendapatkan sisanya yakni 2/6
Sedangkan ahli waris lain yakni saudara kandung A tidak mendapat warisan apapun karena terhalang oleh adanya Bapak si A. Adapun saudara kandung B tidak mendapat warisan karena B masih hidup.
2. Wasiat yang dibuat A tidak benar. A tidak boleh mewasiatkan seluruh hartanya. Ia hanya boleh mewasiatkan maksimal 1/3 dari keseluruhan hartanya dan wasiat hanya boleh ditujukan kepada bukan ahli waris misalnya kepada anda sebagai anak angkat. Jadi, wasiat A untuk anda itu sah asal tidak lebih dari 1/3 dari total harta A.
3. Wajib dilaksanakan asal tidak lebih dari 1/3 Baca detail: Wasiat dalam Islam
4. Kalau hibah tidak ada batasan maksimal atau minimal. Baca detail: Hibah dalam Islam
5. Kalau hibah dari orang yang hidup maka dibenarkan. Sedangkan pemberian dari orang yang mati namanya wasiat bukan hibah. Dan wasiat ada aturan dan syaratnya.
6. Harta bersama suami-istri dalam Islam itu baru terjadi apabila pada harta tersebut memang ada saham kedua belah pihak. Baca detail: Harta Gono gini dalam Islam
7. Tetap disebut harta istri.
8. Betul.
Baca detail: Hukum Waris Islam
Bagaimana hukum seorang muslim yang berobat ke dokter, tabib, ahli akunpunktur Budha, atau dukun yang non muslim atau kafir, apakah boleh? Kalau boleh apakah mubah, makruh atau sunnah? Ataukah haram?
Assalamualaikum pak ustadz, saya mau tanya tentang :
1. apa betul kalau kita berobat ke seorang ahli pengobatan Akupuntur yang sudah berhasil menyembuhkan banyak penyakit disebut menggadaikan aqidah hanya karena beliau ini seorang pemeluk agama lain?
Keponakan saya usia 15 tahun menderita penyakit otak dan syaraf, diakibatkan dari kejang-kejang sejak usia 3 tahun. Ayahnya sangat fanatik, dia menolak pengobatan ke dokter dan ahli pengobatan yang non muslim. Ayahnya hanya percaya kepada ustadz dan haji/kyai yang berprofesi ahli pengobatan yang cara pengobatannya menurut saya agak aneh seperti menyembelih ayam dan kambing, menanam kepala ayam, dan yang membosankan ujung-ujungnya keponakan saya dibilang ada yang merasuki. Alhasil hingga sekarang keponakan saya tidak ada perubahan.
TOPIK KONSULTASI ISLAM
- HUKUM BEROBAT KE DOKTER ATAU TABIB KAFIR (NON-MUSLIM)
- WARISAN WANITA TANPA ANAK DAN WASIAT
- CARA KONSULTASI SYARIAH ISLAM
Saya tahu persis karena anak saya pernah berobat disana. Banyak pasien muslim yang berobat disana. Pasien dari luar negeri pun ada. Saya kasihan pada keponakan saya dan ibunya (ibunya adalah adik saya). Saya tahu persis perasaannya karena saya pun punya anak dengan kekurangan. Saya sudah pernah berdebat dengan ayahnya, dia tetap kukuh bahwa jika dia membawa anaknya berobat disana sama dengan menggadaikan aqidahnya. Saya agak tersinggung karena secara tidak langsung menuduh saya pernah menggadaikan aqidah karena pernah berobat disana. Dia mengancam istrinya apabila nekad ingin berobat kesana akan dijatuhkan talak.
2. Bagaimana dengan masalah itu pak ustadz? Bukankah anak adalah titipan Allah, yang harus diurus dengan sebaik-baiknya? Bukankah hak anak untuk sehat adalah kewajiban orangtuanya untuk berusaha?
3. Saya tahu saya tidak punya hak untuk memutuskan karena saya bukan orangtuanya, tapi apa salah jika saya ingin meluruskan pandangan yang keliru? Karena ini menyangkut nyawa anak. Terimakasih sebelumnya atas penjelasan pak ustadz. Wassalamualaikun.
JAWABAN
1. Tidak benar. Seorang muslim memang dianjurkan untuk berobat ke sesama muslim dengan prioritas berdasar sesama jenis kelamin misalnya pasien wanita idealnya berobat ke dokter wanita yang muslim, kalau tidak ada berobat ke dokter pria muslim. Begitu juga seorang pasien lelaki dianjurkan berobat ke dokter laki-laki, kalau tidak ada ke dokter perempuan. Namun kalau tidak ada dokter atau tabib muslim yang cocok, maka ke dokter / tabib non-muslim dibolehkan.
Khatib Al-Syarbini dalam Mughni Al-Muhtaj, hlm. 4/298 menyatakan:
ويجوز استيصاف الطبيب الكافر واعتماد وصفه كما صرح به الأصحاب على دخول الكافر الحرم
Artinya: Boleh berobat pada tabid (dokter) yang kafir (non-muslim) ...
Al-Khadimi dalam Bariqoh Mahmudiyah 2/166 bahkan berpendapat bolehnya berobat pada orang kafir secara mutlak:
لا فرق بين كون الطبيب عادلاً وفاسقاً، بل مؤمناً وكافراً، بعد أن سبق ظن المريض إلى صدقه وحذاقته
Artinya: Tidak ada bedanya antara dokter yang adil atau fasiq, antara dokter yang muslim atau kafir, asalkan pasien percaya pada reputasinya.
2. Anda dapat berusaha maksimal untuk meyakinkan ayahnya, tapi bagaimanapun itu hak si ayah untuk mengurus dan mengobati si anak.
3. Untuk meluruskan pandangannya yang keliru, sebaiknya anda meminjam tangan atau meminta tolong pada orang lain yang dihormati oleh si ayah.
Si ayah tampaknya sosok individu temperamental. Terhadap figur seperti itu sebaiknya anda tidak frontal memberi nasihat karena dia sangat tidak suka dinasihati karena itu akan sangat menyinggung martabatnya. Lebih baik gunakan cara seperti disebut di poin 3. Atau anda meminta maaf terlebih dahulu padanya sebelum memberi saran.
HUKUM BEROBAT
Terlepas dari itu semua, perlu juga diketahui bahwa berobat itu hukumnya sunnah, tidak wajib. Khatib Al-Syarbini dalam Mughni Al-Muhtaj, hlm. 4/298 menyatakan:
ويسن للمريض التداوي، لخبر: «إن الله لم يضع داء إلا وضع له دواء، غير المحرَّم
Artinya: Sunnah bagi orang sakit untuk berobat berdasarkan hadis hasan sahih riwayat Tirmidzi Nabi bersabda, "Allah tidak meletakkan penyakit kecuali dengan obatnya selain yang diharamkan."
Bahkan Imam Nawawi dalam Al-Majmuk, hlm. 5/95 menyatakan:
إن ترك التداوي توكلاً، فهو فضيلة
Artinya: Tidak berobat karena tawakal itu keutamaan.
Al-Buhuti dalam Kasyaful Qinak, hlm. 2/85 menyatakan:
ترك الدواء أفضل؛ لأنه أقرب إلى التوكل. ولا يجب التداوي ولو ظن نفعه، لكن يجوز اتفاقاً، ولا ينافي التوكل،
Artinya: Tidak berobat itu lebih utama karena lebih mendekati pada tawakal. Berobat hukumnya tidak wajib walau diperkirakan akan bermanfaat akan tetapi boleh menurut kesepakatan ulama dan hal itu tidak meniadakan tawakal.
Baca juga: Syariah Islam
______________________
WARISAN WANITA TANPA ANAK DAN WASIAT
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Saya ingin bertanya mengenai warisan dari seorang istri inisial A yang tidak mempunyai anak.
Saya adalah seorang wanita dan merupakan anak angkat, tetapi masih terikat hubungan darah. Karena saya adalah sepupunya A, dari pihak ibunya A.
A meninggal pada tahun 2013 meninggalkan seorang suami inisial B. Masing-masing keluarga A dan B adalah keluarga besar.
A mempunyai 9 saudara kandung, kedua orangtua, kakek nenek sudah meninggal dunia. A merupakan anak tertua, mempunyai adik perempuan 5 orang dan adik laki-laki 4 orang. Seorang adik laki-laki telah meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak laki-laki, tanpa istri, karena sudah bercerai.
Sedangkan B mempunyai 11 saudara kandung, kedua orangtua, kakek nenek sudah meninggal dunia. B mempunyai 10 orang saudara perempuan dan seorang saudara laki-laki. Sebagai catatan, 2 saudara perempuan dan seorang saudara laki-laki telah meninggal dunia. B sekarang ini adalah seorang pensiunan BUMN dengan profesi pelaut, sedangkan A semasa hidup tidak bekerja.
Sebelum A meninggal dunia, A berwasiat kepada B, keluarganya dan disaksikan oleh saya. Isi wasiatnya adalah rumah yang kami tempati dijual dan pembagiannya 1/3 untuk B, 1/3 untuk saudara kandungnya dan 1/3 lagi untuk diinfakkan. Yang 1/3 untuk B dibelikan rumah yang nantinya untuk saya.
Setelah A meninggal dunia, keluarga kandung A mengatakan bahwa pembelian tanah dan pembangunan rumah tersebut menggunakan uang orangtua A. Semasa hidup A juga pernah mengatakan hal yang sama. Di sini, B berkeberatan, karena berpikir bahwa tidak mungkin keseluruhan uang orangtua A, karena B punya penghasilan. Sebagai catatan, pada saat pembangunan rumah, B tidak ikut serta karena sedang berlayar, dan komunikasi pada masa itu (sekitar tahun 1992 atau 1993) belum semudah sekarang.
Pada akhirnya rumah dan tanah tersebut dijual B, kemudian diberikan 1/3 utk saudara kandung A, pembagian ini diserahkan kepada salah seorang adik A yang kemudian diteruskan ke saudara A yang lain. Oleh adik-adik A, pembagian itu dibagi rata. Sisa 2/3 lagi masih dipegang B.
Kemudian B membeli rumah dengan harga 1/3 dari pembagian tersebut. Dan sebagian dari 1/3 uang itu, dibelikan mobil, sisanya ditabung oleh B.
Rumah yang dibeli B tersebut kemudian dihibahkan kepada saya, anak angkatnya.
Adik-adik A mulai menanyakan kepada saya apakah sudah dijalankan 1/3 untuk diinfakkan itu.
Saya khawatir, bila B meninggal dunia, ada bagian pihak keluarga B yang tidak akan didapatkan mereka.
Yang menjadi pertanyaan saya :
1. Bagaimana sebenarnya pembagian warisan ini terutama untuk saudara kandung A dan B menurut Islam, ketika tidak diketahui persis berapa yang merupakan bagian A ataupun B dalam pembangunan rumah tersebut.
2. Apakah benar wasiat yang dipesankan A itu
3. Dan apakah wajib menjalankan wasiat tersebut
4. Adakah aturan dalam menghibahkan sesuatu. Yang saya dengar tidak boleh lebih dari separuh.
5. Apakah rumah yang dihibahkan kepada saya tersebut benar dalam Islam
6. Adakah harta bersama dalam Islam, dan bagaimana batasannya.
7. Bila istri bekerja, apakah penghasilan istri disebut harta bersama atau tetap disebut harta istri
8. Saya pernah membaca harus dipisahkan harta suami dan harta istri. Jadi, ketika salah satu meninggal dunia, maka jelas pembagian warisannya.
Misal : dalam membangun rumah seorang suami dibantu istri yang bekerja, misal dengan perbandingan suami 80% sedangkan istri 20%. Ketika suami meninggal dunia, maka pembagian tersebut adalah 80% uang penjualan rumah dibagikan ke ahli waris, yang 20% tetap merupakan bagian istri. Benarkah hal ini???
Terima kasih atas bantuan permasalahan ini.
JAWABAN
1. Pertama-tama perlu diketahui bahwa seorang yang wafat tidak boleh mewasiatkan hartanya lebih dari 1/3 kecuali atas persetujuan para ahli waris yang berhak, sedang yang 2/3 harus menjadi harta warisan dan dibagikan kepada ahli waris yang berhak. Baca detail: Wasiat dalam Islam
Kedua, adapun ahli waris yang berhak mendapat warisan dalam kasus ini ada tiga yaitu:
(a) suami mendapat 1/2 = 3/6
(b) ibu mendapat 1/6 = 1/6
(c) ayah mendapatkan sisanya yakni 2/6
Sedangkan ahli waris lain yakni saudara kandung A tidak mendapat warisan apapun karena terhalang oleh adanya Bapak si A. Adapun saudara kandung B tidak mendapat warisan karena B masih hidup.
2. Wasiat yang dibuat A tidak benar. A tidak boleh mewasiatkan seluruh hartanya. Ia hanya boleh mewasiatkan maksimal 1/3 dari keseluruhan hartanya dan wasiat hanya boleh ditujukan kepada bukan ahli waris misalnya kepada anda sebagai anak angkat. Jadi, wasiat A untuk anda itu sah asal tidak lebih dari 1/3 dari total harta A.
3. Wajib dilaksanakan asal tidak lebih dari 1/3 Baca detail: Wasiat dalam Islam
4. Kalau hibah tidak ada batasan maksimal atau minimal. Baca detail: Hibah dalam Islam
5. Kalau hibah dari orang yang hidup maka dibenarkan. Sedangkan pemberian dari orang yang mati namanya wasiat bukan hibah. Dan wasiat ada aturan dan syaratnya.
6. Harta bersama suami-istri dalam Islam itu baru terjadi apabila pada harta tersebut memang ada saham kedua belah pihak. Baca detail: Harta Gono gini dalam Islam
7. Tetap disebut harta istri.
8. Betul.
Baca detail: Hukum Waris Islam