Tafsir Dirayah (bil Ra'yi)

Tafsir Dirayah, bil Ra'yi, bil aqli, bil ijtihad tafsir yang dalam penjelasan maksudnya, mufassir hanya berpegang kepada pemahamannya sendiri

Tafsir Dirayah (bil Ra'yi)

Tafsir bi al-ra‟yi adalah tafsir yang dalam penjelasan maknanya atau maksudnya, mufassir hanya berpegang kepada pemahamannya sendiri, pengambilan kesimpulan (istinbath)nya didasarkan pada logikanya semata.

Daftar isi
  1. Pengertian Tafsir Bi Al-Dirayah
  2. Sejarah kemunculan Tafsir bi Al-Dirayah
  3. Batasan Tafsir bi Al-Dirayah
  4. Kedudukan Tafsir bi Al-Dirayah
  5. Kesimpulan
  6. Metode Tafsir
    1. Tafsir Ijmali
    2. Tafsir Tahlili 
    3. Tafsir Muqaran
    4. Tafsir Maudhui 
  7. Pendekatan Tafsir
    1. Tafsir Riwayah (bil Ma'tsur)
    2. Tafsir Dirayah (bil Aqli)
  8. Corak Tafsir
    1. Tafsir Ilmi
    2. Tafsir Fiqhi
    3. Tafsir Lughawi
    4. Tafsir Sufi 
    5. Tafsir Falsafi
  9. Kembali ke: Ilmu Tafsir

PENDAHULUAN
Kitab suci Al-Qur'an merupakan kitab pedoman hidup bagi seluruh umat manusia terkhusus bagi setiap umat yang beragama Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mukjizat yang abadi hingga akhir zaman (Hidayat, 2020). Sebagai pedoman dan juga petunjuk bagi umat manusia maka sudah selayaknya umat muslim paham akan isi kandungan Al-Qur'an, namun tidak semua umat muslim memahami pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur'an, pasalnya tidak semua isi Al-Qur'an yang dapat dipahami dan dicerna secara mentah­ mentah (Aji et al., 2021). Dari Sebagian ayat ada yang memang cukup gamblang dalam penjelasan dan adapula yang yang sulit untuk dipahami maka diperlukanlah sebuah penafsiran untuk memahami ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Qur'an (lzzan, 2011).

Pada perkembangannya penafsiran Al-Qur'an dimulai dari jaman Nabi Muhammad SAW, kala itu sahabat seringkali langsung bertanya kepada nabi tentang kandungan ayat-ayat Al-Qur'an sehingga kebenarannya hakiki karena langsung dari nabi Muhammad SAW (Zulaiha et al., 2021). Setelah nabi Muhammad SAW wafat pada tahun 11 Hijriah para sahabat kemudian mencari cara agar penafsiran tentang kandungan ayat-ayat Al-Qur'an tetap berlanjut dan terus berkembang, maka tidak heran berbagai metode, sumber dan corak penafsiran bermunculan kemudian. Menurut Husain al-Dzahabi sumber penafsiran terbagi menjadi dua bagian, Tafsir bi al­ Matsur dan Tafsir bi al-Dirayah sedangkan dalam kajian metodologi penafsiran disebutkan ada tiga bagian yaitu Tafsir bi al-Matsur, Tafsir bi al-Dirayah dan Tafsir bi al-lsyarah. Pada awal permulaan penafsiran, banyak ulama yang menafsirkan Al-Qur'an dengan metode Tafsir bi al-Matsur, Al-Farmawi menjelaskan bahwa penafsiran bil ma'tsur adalah penafsiran ayat dengan ayat, penafsiran dengan hadits, yang menjelaskan makna ayat yang sulit dipahami oleh para sahabat atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat atau pula penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi'in (Musbikin, 2014: 29). Namun pada perkembangannya banyak ulama yang dilatabelakangi dengan berbagai keilmuan sehingga muncullah perkembangan Tafsir bi al-Dirayah (Rahman, 2016). Tafsir ini dikenal dengan penafsiran dari hasil ijtihad para mufassir itu sendiri, tafsir bi al-Dirayah mulai berkembang dan banyak ulama yang megunakan metode ijtihad sekitar abad ke-3 Hijriah, meskipun keberadaannya banyak perdebatan diantara ulama yang membolehkan dan yang menharamkan penafsiran melalui hasil ijtihad ini (Yunus & Jamil, 2020).

Sejumlah penelitan sebelumnya banyak dijelaskan berbagai hal tentang keberadaan Tafsir bi al-Dirayah salah satu nya adalah penelitian dari Muhammad Arsad Nasution pada tahun 2018 tentang "Pendekaran dalam Penafsiran", beliau menuturkan bahwa tafsir bi al-Dirayah merupakan salahsatu pendekatan penafsiran dengan hasil ijtihad para ulama tafsir dengan mengkategorikan dua pembagian yaitu al-mahmud dan al-mazmum (Arsad Nasution, 2018). Selanjutnya ada penelitan dari Hamdan Hidayat pada tahun 2020 tentang "Sejarah Perkembangan Tafsir'', beliau menejelaskan bahwa kemunculan tafsir bi al-Dirayah pada abad ke-3 Hijriah dilatarbelakangi karena berbagai keilmuan dan kelompok dari masing-masing ulama tafsir (Hidayat, 2020). Penelitian selanjutnya dari Aldomi Putra pada tahun 2018 tentang "Metodologi Tafsir'', dalam penelitiannya dijelaskan berbagai macam metodologi penfsiran yang digunakan para ulama tafsir, termasuk salahsatunya dengan metodologi bi al-Rayi, penafsiran bi al-Dirayah merupakan penafsiran hasil ijtihad ulama tafsir namun ada syarat dan batasan seseorang dalam menafsirkan melalui metode ijtihad (Putra, 2018). Kemudian ada penelitian dari Ahmad Haromaini pada tahun 2019 tentang "Al-Qawaid fi a/-Tafsir".beliau menjelaskan bahwa dalam menyingkap makna kandungan ayat Al-Qur'an dibutuhkan sumber penafsiran yang jelas, baik itu bi al-Riwayah, bi al-Dirayah maupun bi al-lsyarah (Haromaini, 2019). Dan penelitian dari Hadi Yasin pada tahun 2020 tentang "Mengenal Metode Penafsiran Al-Qur'an, pada penelitiannya diungkapkan tentang berbagai macam metodologi penafsiran yang diperbolehkan termasuk metodologi penafsiran yang ditolak (Yasin, 2020).

Berbagai penelitian sebelumnya merupakan bahan rujukan dalam penelitian ini karena telah memberikan berbagai perspektif pemikiran dan juga mengenbangkan pengetahuan tentang Tafsir bi al-Dirayah. Namun yang menjadi focus penelitian ini adalah seiring berkembangnya penafsiran bi al-Dirayah, banyak polemik yang terjadi diantara para ulama, sebagian ulama ada yang membolehkan dan sebagian yang lain melarang. Sehingga pada penelitian ini melahirkan masalah yang harus diungkap tentang Eksistensi dan Polemik Tafsir bi al-Dirayah. Dengan adanya penelitian ini diharapkan memberikan manfaat besar akan kajian penafsiran Al-Qur'an.

METODE
Penelitian ini menggunakan metode jenis kualitatif, dimana peneliti berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri (Mustari & Rahman, 2012). Pendekatan yang dilakukan ialah berbasis kepustakaan (library research) atau studi pustaka, yaitu dengan metode mengumpulan data pustaka (buku, jurnal, artikel, dokumen pribadi dan lain sebagainya), membaca dan mencatatnya untuk mengklasifikasi dan menganalisis kajian dan mengolah bahan penelitian serta membuat kesimpulan dan laporan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengertian Tafsir Bi Al-Dirayah
lstilah ra'yu dalam bahasa Arab dapat menunjukkan beberapa makna. Diantaranya: keyakinan, qiyas, dan ijtihad. Yang dimaksud ra'yu dalam konteks penafsiran Al-Qur'an di sini adalah ljtihad (Salim, 2021: 290). Sehingga bisa difahami, tafsir bi/ Dirayah adalah penafsiran Al-Qur'an dengan menggunakan ijtihad seorang mufasir setelah ia menguasai ilmu-ilmu yang menunjang untuk menafsirkan Al-Qur'an (Al-Dzahabi, 2000).
Abdurrahman Al-'Akk menamai tafsir bi/ Dirayah dengan tafsir bi/ 'aqli. Disebut al-'aqli karena menunjukkan kebalikan dari tafsir bi al-Naql (Al-'Ak, 1986: 167). Meskipun istilah berbeda, akan tetapi keduanya memiliki maksud yang sama untuk menunjukkan penafsiran yang berdasar kepada ijtihad.
Menurut Khalid Utsman As-Sabt, Ra'yu yang selamat ialah yang dibangun di atas ilmu atau ghalabati Zhani (prasangka) yaitu ia mengetahui keumuman orang Arab dalam lisan mereka, ushlub, dan khitob. Disertai dengan ketaatan terhadap Al-Qur'an dan Al-Sunnah dan yang disampaikan oleh para ulama salaf (As-Sabt, 2018: 271).
Waiau sebenarnya tidak keliru jika dikatakan bahwa Nabi saw pun menggunakan tafsir bil Dirayah, karena pada dasarnya Nabi saw menggunakan akalnya tatkala berupaya memahami Al-Qur'an. imam As-Syafii berkata sebagaimana yang ditulis oleh As-Suyuti dalam Al-ltqan bahwa semua ketetapan hukum Nabi saw adalah hasil dari pmehaman beliau dari Al-Qur'an berdasarkan Q.S An-Nisa: 105 (Shihab, 2013: 362).

Sejarah kemunculan Tafsir bi Al-Dirayah
Tafsir bi al-Dirayah mulai muncul dan berkembang pada bada ke-3 Hijiriah, kemunculan tafsir ini beriringan dengan perkembangan keilmuan dan sekte-sekte kalam. Pada abad pertengahan, pada masa akhir dinasti Umayyah dan awal dinasti 'Abbasiyah. Momentum ini menemukan masa emasnya terutama pada masa pemerintahan khalifah kelima dinasti 'Abbasiyah, yaitu Harun al- Rashid (785-809 M). Pada saat itu, khalifah memberikan perhatian khusus terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Begitu pula dengan khalifah berikutnya yang memberikan perhatian khusus dalam llmu Pengetahuan. Dunia Islam pada saat itu bisa dikatakan merupakan puncak kemajuan dalam peta pemikiran dan pendidikan serta peradaban, masa ini dikenal dengan zaman keemasan (the golden age). Perkembangan ilmu pengetahuan ini berimplikasi kepada munculnya berbagai corak ideologi, dan hal ini berpengaruh pula kepada bidang tafsir (Mustaqim, 2008: 61).
Penafsiran Al-Qur'an pada masa awal perkembangan memakai cara naqli, yaitu yang sering disebut dengan istilah Al-Manhaj Tafsir Bil Matsur. Setelah itu para ulama menafsirkan Al-Qur'an menurut keahlian mereka masing­ masing. Hal itu terjadi karena sesuai dengan kebutuhan pada waktu itu. Kemudian setelah lahirnya sekte-sekte (golongan) aqidah yang didukung dengan semakin berkembangnya ilmu-ilmu kebahasaan dan ilmu-ilmu lainnya, lahirlah pentalwilan terhadap ayat-ayat Mutasyabihat yang dilakukan oleh orang-orang tertentu, untuk menopang paham mereka masing-masing, meskipun sebenarnya praktik ta'wil Al-Qur'an sudah terjadi sejak zaman sahabat, seperti 'Ali bin Abi Thalib , 'Abdullahbin Mas'ud, dan 'Abdullah bin 'Abbas ra (Anwar, 2008). Kemudian melalui Mu"tazilah, terjadilah perluasan tafsir bi al-ra'y, sehingga terjadi pertentangan antaranas al-Qur"an dan akal pikiran, seperti kitab Tafsir al-Kashsha:f oleh al- Zamakhshary.
Al-Qur'an sangat terbuka untuk ditafsirkan (multi interpretas1). Sedangkan mufasir ketika menafsirkan Al­ Qur'an tidak akan terlepas dari pengaruh kondisi sosio-kultural di mana ia tinggal, bahkan situasi politik yang melingkupinya juga berpengaruh baginya. Selain hal itu, disiplin ilmu yang dia kuasai menjadi pembeda dan menjadi kecenderungannya dalam memahami Al-Qur'an. sehingga, meskipun objek kajiannya tunggal (yaitu teks Al-Qur'an), namun hasil penafsiran Al-Qur'an tidaklah tunggal, melainkan plural. Oleh karenanya, munculnya corak-corak penafsiran tidak dapat dihindari dalam sejarah pemikiran umat Islam (Anwar, 2008: 59). Di sisi yang lain, banyak problema baru muncul dari masa ke masa yang jawabannya tidak bisa ditemukan dalam Al-Qur'an. Oleh karena inilah upaya memahami/ menafsirkan Al-Qur'an dengan pikiran, sejak saat itulah Tafsir bi/ Dirayah muncul sebagai salah satu metode penafsiran.

Batasan Tafsir bi Al-Dirayah
Yang dimaksud dengan batasan-batasan dari penafsiran bil al-Dirayah adalah berkaitan dengan pembagian tafsir bi al-Dirayah itu sendiri, sebagaimana para ulama telah mengemukakan bahwa apabila penafsiran dengan ra'yu atau dengan ijtihad sesuai dengan syarat-syarat penafsiran maka tafsir bi al-Dirayah itu disebut tafsir bi al­ Dirayah mahmud atau yang terpuji, yang kemudian dibolehkan untuk dipakai dan sebar luaskan. Namun sebaliknya apabila mufassir tidak memenuhi syarat penafsiran ra'yu dan malah terkesan memaksakan kehendak juga karena dilarbelakangi oleh kelompok nya masing-masing maka tafsir tersebut dikatakan sebagai tafsir bi al-rayi madzmum atau yang tercela.
Maka yang dimaksud dengan batasan disini adalah syarat dan batas penafsiran dengan metode ra'yu atau ijtihad agar mufassir tidak tergelincir ke dalam jurang kesesatan dan menjadikan tafsir tersebut dengan tafsir bil al­ Dirayah madzmum (terceala). Adapaun tafsir bi al-Dirayah yang dapat diterima dan diperbolehkan adalah penafsiran para mufassir yang dapat menjauhi lima hal berikut :
1.    Mufassir harus menjauhi sikap terlalu berani menduga-duga kehendak Allah SWT. atas kalam-kalamnya, tanpa memiliki kapabilitas sebgaia seorang meufassir.
2.    Tidak memaksakan kehendak untuk memahami dan mengtahui sesuatu yang menjadi wewenang Allah SWT.
3.    Dapat menjauhi dan menghindari dari kepentingan hawa nafsu atas nama pribadi
4.    Mengihndari penafsiran untuk mendukung dan memperkuat kepentingan kelompok atau mazhab.
5.    Mufassir ra'yu harus dapat menghindari penafsiran terhadap ayat-ayat past (qath'i) (Nur, 2020: 47-48).

Mufassir yang menerapkan penafsiran bi al-Dirayah juga harus memiki syarat-syarat kepribadian, selain dari keilmuan tentang kapabilitas penafsir, mereka juga harus memiliki kepribadian yang terpuji, seperti ;
1.    Memiliki Aqidah yang benar dan lurus
2.    Memiliki niat dan tujuan yang baik, bukan seseorang yang ingin menghancurkan agama, atau orang yang hanya ingin mendapatkan kepentingan duniawi.
3.    Bukan termasuk golongan orang-orang yang fasik dan munafik (Zainuddin, 2016).

Sedangkan keilmuan yang harus dimiliki oleh para mufassir termasuk mufassir yang menggunakan metode bi al-Dirayah menurut imam Suyuthi harus memenuhi beberapa dan mengusai keilmuan sebagai berikut:
1.    Pengetahuan akan bahasa Arab dan kaidah-kaidah bahasa Arab seperti; (ilmu tata bahasa, santaksis, etimologi, dan morfologi).
2.    Memahami dan menguasai ilmu Retorika (llmu Ma'ani, ilmu Bayan, llmu Badi')
3.    llmu Ushul Fiqh (Khas, 'Am, Mujmal, dan Mufashal).
4.    llmu Asbabun Nuzul
5.    llmu Nasikh dan Mansukh
6.    llmu Qiraat Al-Qur'an
7.    llmu Mauhibbah
8.    llmu tentang Kaidah-kaidah tafsir dan lain-lain (Mustaqim, 2015).

Dengan adanya batasan-batasan penafsiran dan juga syarat-syarat dari kepribadian mufassir yang hendak menafsirkan dengan metode ra'yu atau ijtihad, maka perlu diketahui bahwa kandungan makna dari penafsiran ra'yu dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1.    Kandungan makna Al-Qur'an yang mutlak hanya Allah SWT. yang mengetahuinya berkaitan dengan hal-hal yang berada diluar jangkauan nalar manusia atau dikenal dengan suprarasional, seperti hakikat keberadaan Allah, hari kimat, ruh dan hal-hal ghaib lainnya yang tidak dapat diketahui kecuali Allah SWT. pada masalah
 

ini usaha ijtihad sama sekali tidak mendapatkan eelah untuk menafsirkan, kewenagan dan otoritas penafsiran mutlak hanya milik Allah SWT.
2.    llmu yang khusus diberikan Allah SWT. hanya kepada Rasulullah SAW. seperti pengetahuan tentang makna­ makna ayat di awal permulaan surat. Hal ini pun termasuk tidak boleh ditafsirkan oleh siapapun kecuali Rasul sendiri yang mengajarkan dan menyampaikannya.
3.    llmu yang yang diajarkan oleh Allah SWT. pada Rasul nya untuk disampaikan pada umat. Dalam hal ini dapat dibagi dua klasifikasi yaitu. Pertama, bagian yang tidak dapat ditafsirkan kecuali melalui periwayatan dan kedua, bagian yang bisa diketahui melalui perenungan akal.

Kedudukan Tafsir bi Al-Dirayah
Para ulama memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap keberadaan tafsir bil Dirayah. Hal itu tidak terlepas dari istilah tafsir bil Dirayah itu sendiri. Karena bagi para ulama yang melarang, mereka memandang bahwa tafsir bil Dirayah itu penafsiran yang semata-mata hanya menggunakan fikiran saja. Sebagian yang lain berpendapat bahwa tafsir bil Dirayah itu boleh digunakan.
Berikut ini adalah penjelasan dari dua pendapat yang bertentangan.
1.    Argumentasi Ulama yang berpendapat melarang tafsir bil Dirayah
a.    Menafsirkan Al-Qur'an dengan bil Dirayah (pemikiran sendiri) merupakan cara berkata tentang Allah swt tanpa berdasar kepada dalil Al-Qur'an maupun hadis Nabi saw. Dengan demikian hanya berdasar kepada prasangka saja (Salim, 2021: 291). Mereka berpendapat dengan dalil aqli dan dalil Naqli. Adapaun dalil aqli mereka berpendapat bahwasannya seorang mufasir yang menggunakan ra'yunya tidak akan pernah yakin sesuai dengan apa yang Allah swt maksud dalam Al-Qur'an, ia hanya menafsirkan Al-Qur'an dengan prasangka saja, sedangkan tafsir yang dasarnya prasangka adalah berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Sedangkan menafsirkan Al-Qur'an hanya dengan prsangka saja tidak boleh (Al-Dzahabi, 2000: 222). Adapun dalil Naqlinya adalah:
 
"Dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui".

Ulama yang membolehkan menafsirkan Al-Qur'an dengan bi/ Dirayah membantah pendapat mereka. Menurutnya, zhan (prasangka) adalah salah satu bagian dari ilmu, zhan itu ldraku al-rajih Ii ahadi/ amrain (mengetahui sesuatu yang lebih kuat dari dua perkara). Zhan akan terlarang apabila Nash Al-Qur'an sudah cukup menunjukkan makna yang dimaksud. Jika tidak, maka Zhan lebih dari cukup untuk memahami dalil tersebut. Hal ini berdasarkan hadis Nabi kepada Mu'adz saat ia diutus ke Yaman: dengan apa engkau akan berhukum? Dengan kitab Allah swt. Jika tidak didapati? la berkata dengan Sunah Rasul, Jika tidak didapati? Aku berijtihad dengan ra'yu ku. Maka Rasulullah saw menepuk dadanya dan mengatakan: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah saw menuju apa yang diridhai oleh Rasulullah saw (Al-Dzahabi, 2000: 222).
b.    Allah Swt hanya menisbatkan penjelasan Al-Qur'an ini kepada Nabi Saw bukan kepada yang lainnya. Hal ini berdasarkan kepada ayat Al-Qur'an:

"Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan," (Qs. An-Nahl: 44)

Para Ulama yang membolehkan penggunaan Tafsir Bil Dirayah telah menjawab berdasarkan ayat di atas, bahwasannya Nabi Muhammad saw tidak menafsirkan Al-Qur'an kecuali hanya dibutuhkan oleh para sahabat. Kemudian, akhir dari ayat tersebut secara tersurat menjadi dalil diperbolehkannya menggunakan akal pikiran untuk menafsirkan Al-Qur'an (Salim, 2021).
c.    Mereka berpendapat dengan hadis-hadis Nabi saw yang melarang menafsirkan Al-Qur' an dengan Ra'yu.

"Dari lbnu Abbas, dari Nabi saw. la telah berkata: takutlah kalian kepada Allah berkenaan hadis dariku kecua/i yang ka/ian ketahui, siapapun yang berdusta atasku maka bersiap-siaplah tempat duduknya di Neraka, dan siapapun yang mendustakan Al-Qur'an maka bersiap-siaplah tempat duduknya di Neraka " (Sawrah, 2002: 157).

"Dari Jundab ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: siapapun orang yang berkata tentang Al­ Qur'an dengan Ra'yu nya sekalipun benar maka ia salah" (Sawrah, 2002: 157).

Para Ulama yang membolehkan telah membantah pendapat ulama yang menggunakan hadis ini, karena yang dimaksud dalam hadis ini adalah menafsirkan Al-Qur'an tanpa ilmu dan dalil (menafsirkan Al-Qur'an dengan hawa nafsunya) atau menafsirkan ayat-ayat Mutasyabihat atau berdasarkan tekstual bahasa arab saja (Salim, 2021: 222).

2.    Argumentasi Ulama yang membolehkan Tafsir Bil al-Dirayah
a.    Argumen yang pertama yaitu berkenaan dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang menjelaskan tentang perintah untk melakukan mediasi dan perenungan-perenungan terhadap ayat-ayat Al-Qur'an, beberapa diantaranya  adalah:
1)    Qur'an Surat Muhammad ayat: 24

Artinya: Tidakkah mereka merenungkan Al-Qur 'an ataukah hati mereka sudah terkunci?
 
2)    Qur'an Surat Sad ayat : 29
 
Artlnya (Al-Qur 'an ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu (Nabi Muhammad) yang penuh berkah supaya mereka menghayati ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.
 
3)    Qur'an Surat An-Nisa ayat : 83

Artinya: Apabi/a datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan (kemenangan) atau ketakutan (kekalahan), mereka menyebarluaskannya. Padahal, seandainya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ululamri (pemegang kekuasaan) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ululamri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah engkau mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu).

Dari ayat-ayat yang telah disebutkan Allah SWT. Memerintahkan kita agar dapat merenungkan dan dapat mengambil pelajatan dari ayat-ayat Al-Qur'an berikut disebutkan oada ayat terakhir ulama yang membolehkan penafsiran bi al-rayi memahami bahwa makna-makna Al-Qur'an dapat diintisarikan oleh para ulama dengan hasil ijtihad.
b.    Apabila penafsiran dengan ra'yu tidak diperbolehkan, maka artinya ijtihad pun tidak boleh, dengan demikian akan sangat berpengaruh terhadap vakumnya hukum-hukum Allah SWT. Dan hal tersebut tidak boleh terjadi, karena Rasulullah pun belum menafsirkan semua Al-Qur'an dan juga belum menjelaskan semua hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur'an. Maka jelaslah mereka berpendapat ra'yu diharuskan dan harus tetap ada.
c.    Berbagai rowayat menyebutkan bahwa para sahabat pernah saling berselisih pendapat dalam hal menafsirkan makna kandungan Al-Qur'an. Hal tersebut terjadi karena memang Rasulullah belum menjelaskan semua makna kandungan Al-Qur'an termasuk hukum-hukumnya dan juga tidak semua sahabat mendengar langsung dari Rasulullah, maka sebagian dari para sahabat memahaminya dengan hasil ijtihad.
d.    lbnu Abbas pernah dido'akan oleh Rasulullah SAW. agar ia pandai dalam menta'wil, dalam do'anya
tersebut Rasulullah mengungkapkan :

"Kalaulah makna ta'wil dalam do'a tersebut terbatas hanya pada periwayatan saja, maka tidak ditemukan esensi pengkhususan terhadapa sahabt lbnu Abbas yang dido'akan agar pandai terhadap pentakwilan. Maka jelaslah ta'wil yang dipahami oleh ulama yang memperbolehkan tafsir bi al-Dirayah adalah dibolehkan nya kita memahami makna kandungan Al-Qur'an dengan ijtihan dan perenugang-perenungan." (Arsad Nasution, 2018). 

KESIMPULAN
Tafsir bi al-Dirayah merupakan penafsiran yang bersumber dari hasil ijtihad atau ra'yu, yang perkembangannya mulai pesat dari abad ketiga hijriah, namun seirinya perkembangannya banyak polemik yang terjadi diantara para ulama yang membolehkan dan melarangnya. Ulama yang membolehkan penafsiran bi al­ Dirayah berargumentasi bahwa: Pertama, ayat-ayat Al-Qur'an tersebut menjelaskan tentang perintah untuk melakukan mediasi dan perenungan-perenungan terhadap ayat-ayat Al-Qur'an. Kedua, apabila penafsiran dengan ra'yu tidak diperbolehkan berarti ljtihad pun dilarang, dan hal ini kemudian meyebabkan vakumnya pemikiran. Ketiga, sahabat pernah berselisih pendapat tentang makna kandungan ayat Al-Qur'an, hal ini terjadi karena Rasulullah SAW. belum menafsirkan seluruh Al-Qur'an maka ada sebagian sahabat yang memahami kandungan Al-Qur'an dengan ljtihad dan Keempat, tentang do'a Rasulullah SAW kepada lbnu Abbas agar pandai dalam men­ ta'wil. Sedangkan ulama yang melarang berargumentasi bahwa menafsirkan Al-Qur'an dengan ra'yu (pemikiran sendiri) merupakan cara berkata tentang Allah swt tanpa berdasar kepada dalil Al-Qur'an maupun Hadis Nabi Muhammad SAW. dan juga mengungkapkan dalil dari Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi tentang larangan penafsiran dengan ra'yu. Polemik tersebut akan tetap ada karena hakikatnya Al-Qur'an sudah pasti benar namun penafsiran belum pasti karena penafsiran merupakan produk dari makhluk yang tak terhindar dari lupa dan kesalahan,


DAFTAR PUSTAKA
Aji, M. H., Hilmi, M. Z., & Rahman, M. T. (2021). The Living Qur'an as a Research Object and Methodology in the Qur'anic Studies. Jurnal Iman Dan Spiritualitas, 1(1), 78-84.
Al-'Ak, K. 'Abd al-R. (1986). Usu/ al-Tafsir wa Qawa'iduhu. Dar al-Nafa'is.
Al-Dzahabi, M. H. (2000). al-Tafsir wa al-Mufassirun (Jilid. II). Maktabah Wahbah. Anwar, R. (2008). 'Ulum al-Qur'an. Pustaka Setia.
Arsad Nasution, M. (2018). PENDEKATAN DALAM TAFSIR (Tafsir Bi Al Matsur, Tafsir Bi Al Ra'yi, Tafsir Bi Al lsyari). Yurisprudentia : Jurnal Hukum Ekonomi, 4(2), 147-165.
As-Sabt, K. U. (2018). Qawaid Tafsir Jam'an wa Dirosatan. Dar lbn Affan.
Haromaini, A (2019). Al-Qawa'id Fi Al-Tafsir Pijakkan Teoritis Penyajian Tafsir. Jurnal Asy-Syukriyyah, 20(1), 52- 65.
Hidayat, H. (2020). Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur'an. Al-Munir: Jurnal Studi I/mu Al-Qur'an Dan Tafsir,
2(01), 29-76. https://doi.org/10.24239/al-munir.v2i01.46 lzzan, A (2011). Metodologi I/mu Tafsir. tafakur.
Musbikin, I. (2014). Mutiara Al-Qur'an Khazanah I/mu Tafsir & Al-Qur'an. Jaya Star Nine. Mustaqim, A (2008). Pergeseran Epistemologi Tafsir. Pustaka Pelajar.
Mustaqim, A (2015). Metode Penelitian Al-Qur'an dan Tafsir (2nd ed.). Idea Press. Mustari, M., & Rahman, M. T. (2012). Pengantar Metode Penelitian. Laksbang Pressindo.
Nur, A (2020). Muatan Aplikatif Tafsir Bil-Ma'tsur & Bi Al-Ra'yi ; Telaah fVtab Tafsir Thahir lbnu 'Asyur dan M.
Quraish Shihab. KALIMEDIA.
Putra, A (2018). Metodologi Tafsir. Jurnal Ulunnuha, 7(1), 41-66.
Rahman, M. T. (2016). Rasionalitas Sebagai Basis Tafsir Tekstual (Kajian atas Pemikiran Muhammad Asad). Al- Bayan: Jurnal Studi I/mu Al-Qur'an Dan Tafsir, 1(1), 63-70.
Salim, F. N. (2021). Muitara I/mu-I/mu Al-Qur'an. Al-Fahmu International Indonesia.
Sawrah, A I. M. I. I. (2002). lbn, Sunan al-Tirmidzi: al-Jami" ah al-Sahih. Beirut: Dar al-Ma" rifah. Shihab, M. Q. (2013). Kaidah Tafsir,. Lentera Hati.
Yasin, H. (2020). Mengenal Metode Penafsiran Al Quran. Tahdzib Al-Akhlaq: Jumal Pendidikan Islam, 3(1), 34- 51.
Yunus, B. M., & Jamil, S. (2020). Penafsiran Ayat-Ayat Mutasyabihat dalam Kitab Shafwah al-Tafasir (E. Zulaiha
& M. T. Rahman (eds.)). Prodi S2 Studi Agama-Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Zainuddin, A (2016). Tafsir bi al- ra'yi. Mafhum, 01(01), 14.
Zulaiha, E., Ahadah, A, & Malaka, A (2021). Historical Development ofThematic Interpretation of al-Qur'an. Jumal Iman Dan Spiritualitas, 1(3), 311-316.

CREDITS:

Eksistensi dan Polemik Tafsir Bi al-Dirayah

Asep Sofyan Nurdin UIN Sunan Gunung Djati Bandung asepsofyannurdin@gmail.com

Azis Abdul Sidik UIN Sunan Gunung Djati Bandung azisabdulsidik@gmail.com


Suggested Citation:
Nurdin, Asep Sofyan & Sidik, Azis Abdul. (2022). Eksistensi dan Polemik Tafsir Bi al-Dirayah. Jurnal Iman dan Spiritua/itas, Volume 2, Nomor 3: pp. 341-348. http://dx.doi.org/10.15575/jis.v2i3.18610

Article's History:
Received June 2022; Revised July 2022; Accepted August 2022. 2022. journal.uinsgd.ac.id ©. All rights reserved.


Abstract:
This study aims to discuss the issue of Tafsir bi al-Dirayah and its debates among both Salaf and Khalaf scholars. The method in this research is qualitative through literature study and historical approach as well as the study of interpretation texts. The results of the discussion of this study include the history of the emergence of Tafsir bi al­ Dirayah, the limitations of Tafsir bi al-Dirayah, and the position of Tafsir bi al-Dirayah. Furthermore, this study concludes that Tafsir bi al-Dirayah is the interpretation of the Qur'an verses using reason or understanding with the results of ijtihad. This interpretation emerged and developed in the 3rd century Hijri, coinciding with the development of scholarship and the sects of kalam. Since its emergence, this interpretation has developed very rapidly, although there are many debates among scholars who allow it and also forbid it. Scholars who will enable the argument that Allah SWT. in the Qur'an ordered his servant to do contemplation of the verses of the Qur'an; while those who forbid it to argue that interpretation with ra'yu does not rely on the Qur'an and hadith, but is only based on reason. This debate cannot be separated from the conditions of commentators for interpreting the verses of the Qur'an. Scholars who allow interpretation with ra'yu limit the interpretation and requirements so that the interpretation is not mazhlum or misguided. This research is expected to benefit the people, especially activists in studying the Qur'an and the methodology of interpretation. This study only explains the topic of bi al-ra'yi interpretation, which can give birth to a more up-to-date understanding of it.

Keywords: interpretation method; rational interpretation; commentator's requirements; ijtihad; message of the Qur'an

Abstrak:
Penelitian ini bertujuan membahas tentang hal ihwal Tafsir bi al-Dirayah dan perdebatannya di kalangan para ulama baik Salaf maupun Khalaf. Metode dalam penelitian ini bersifat kualitatif dengan melalui studi pustaka dan pendekatan sejarah maupun kajian naskah tafsir. Hasil dari pembahasan penelitian ini meliputi sejarah kemunculan Tafsir bil Dirayah, batasan-batasan Tafsir bi al-Dirayah dan kedudukan Tafsir bi al-Dirayah. Selanjutnya penelitian ini menyimpulkan bahwa Tafsir bi al-Dirayah merupakan penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an dengan menggunakan akal atau dikenal dengan penafsiran dengan hasil ijtihad. Tafsir ini muncul dan berkembang pada abad ke-3 hijriah, kemunculannya beriringan dengan perkembangan keilmuan dan sekte-sekte kalam. Semenjak kemunculannya, tafsir ini berkembang dengan sangat pesat walaupun banyak perdebatan ulama yang membolehkan dan juga yang
 melarangnya. Ulama yang membolehkan berargumen bahwa Allah SWT. di dalam Al-Qur'an memerintahkan hambanya untuk melakukan perenungan terhadap ayat-ayat Al-Qur'an; sedangkan yang melarangnya berpendapat bahwa penafsiran dengan ra'yu tidak bersandarkan kepada Al-Qur'an dan hadits, tetapi hanya berdasarkan pada akal saja. Perdebatan ini tidak lepas juga dari syarat-syarat mufassir untuk menafsirkan ayat­ ayat Al-Qur'an. Ulama yang membolehkan penafsiran dengan ra'yu membatasi penafsiran dan persyaratan agar penafsiran tersebut tidak mazhlum atau sesat menyesatkan. Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat besar kepada umat khususnya pegiat kajian Al-Qur'an dan metodologi penafsiran. Penelitian ini hanya menjelaskan topik tentang tafsir bi al-ra'yi yang kemudian dapat melahirkan pemahaman yang lebih up to date tentangnya.

Kata Kunci: metode penafsiran; tafsir rasional; syarat mufasir; ijtihad; pesan al-Qur'an


LihatTutupKomentar